31
BAB I PENDAHULUAN Banyak orang di seluruh dunia pernah mengalami gangguan jiwa seperti depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan stress post trauma dan gangguan kecemasan. Pada tahun 2011, World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa gangguan kesehatan jiwa adalah penyebab utama kecacatan dari angka harapan hidup yang disesuaikan diseluruh dunia, jumlahnya sebanyak 37% dari penyakit tidak menular. 1,2 Otak manusia adalah sebutan umum dari semua kelompok pemikiran tentang perilaku manusia. Bidang pencitraan otak termasuk sejumlah teknik yang mempunyai dua ciri umum. Pertama, teknik pencitraan otak mengukur dan menguji suatu aspek atau karakteristik otak. Kedua, teknik pencitraan otak menerjemahkan informasi tersebut ke dalam citra visual atau kadang-kadang hasil ketikan numerik bagi dokter atau peneliti untuk dipelajari. Dengan sama kuatnya seperti teknik lain, seperti genetika molekuler dan biokimiawi protein, hanya teknik pencitraan otak yang memungkinkan peneliti untuk mempelajari otak manusia yang utuh, keseluruhan dan hidup. 1,2,3 Penggunaan neuroimaging untuk mengevaluasi psikopatologi ini akan berdampak pada masa depan

Peran Neuroimaging Pada Pasien Psikiatri

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gh

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Banyak orang di seluruh dunia pernah mengalami gangguan jiwa seperti depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan stress post trauma dan gangguan kecemasan. Pada tahun 2011, World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa gangguan kesehatan jiwa adalah penyebab utama kecacatan dari angka harapan hidup yang disesuaikan diseluruh dunia, jumlahnya sebanyak 37% dari penyakit tidak menular.1,2Otak manusia adalah sebutan umum dari semua kelompok pemikiran tentang perilaku manusia. Bidang pencitraan otak termasuk sejumlah teknik yang mempunyai dua ciri umum. Pertama, teknik pencitraan otak mengukur dan menguji suatu aspek atau karakteristik otak. Kedua, teknik pencitraan otak menerjemahkan informasi tersebut ke dalam citra visual atau kadang-kadang hasil ketikan numerik bagi dokter atau peneliti untuk dipelajari. Dengan sama kuatnya seperti teknik lain, seperti genetika molekuler dan biokimiawi protein, hanya teknik pencitraan otak yang memungkinkan peneliti untuk mempelajari otak manusia yang utuh, keseluruhan dan hidup.1,2,3Penggunaan neuroimaging untuk mengevaluasi psikopatologi ini akan berdampak pada masa depan gangguan kejiwaan , dan membantu dalam diagnosis dan manajemen klinis. Pemanfaatan yang terintegrasi dari neuroimaging dalam hubungannya dengan penilaian klinis menjanjikan untuk meningkatkan perawatan klinis dan nyata mengubah praktek psikiatri .2,4Kemajuan dalam teknik pencitraan telah meningkatkan pemahaman kita tentang lintasan perkembangan yang normal di otak , yang dapat meningkatkan wawasan tentang pola pembangunan abnormal serta gangguan jiwa di berbagai masa yang dimulai dari masa kanak-kanak. Untuk penelitian masa depan , analisis statistik seperti struktur pemodelan persamaan dapat membantu menjelaskan interaksi fungsional antara daerah otak yang terlibat dalam perencanaan .2,5,6Alat yang berguna untuk mengidentifikasi langkah-langkah biologis mencerminkan mendasari mekanisme penyakit yang pada gilirannya dapat membantu mengatasi utama klinis tantangan dalam psikiatri.5,6,7Adalah penting bahwa dokter memahami manfaat dan keterbatasan teknik neuroimaging modern dan juga sesuai dengan kelengkapan yang ada untuk menilai perkembangan di masa depan.6,8

BAB IITINJAUAN PUSTAKAOtak manusia adalah sebutan umum dari semua kelompok pemikiran tentang perilaku manusia. Bidang pencitraan otak termasuk sejumlah teknik yang mempunyai dua ciri umum. Pertama, teknik pencitraan otak mengukur dan menguji suatu aspek atau karakteristik otak. Kedua, teknik pencitraan otak menerjemahkan informasi tersebut ke dalam citra visual atau kadang-kadang hasil ketikan numerik bagi dokter atau peneliti untuk dipelajari. Dengan sama kuatnya seperti teknik lain, seperti genetika molekuler dan biokimiawi protein, hanya teknik pencitraan otak yang memungkinkan peneliti untuk mempelajari otak manusia yang utuh, keseluruhan dan hidup.8,10Pembagian konvensional dari berbagai teknik pencitraan otak adalah menjadi tipe struktural dan fungsional. Salah satu pencitraan otak yang murni structural adalah tomografi computer (CT) yang dengan mana peneliti mampu mendapatkan gambaran sinar-X otak. CT merupakan satu-satunya teknik pencitraan otak (selain sinar-X tengkorak) yang digunakan dalam praktik dan riset psikiatri kontemporer. Tiap teknik pencitraan otak lainnya mendeteksi suatu tingkat struktur otak maupun fungsi otak. Selain itu, dengan terus berkembangnya yang disebut teknik pencitraan otak fungsional, kemampuan teknik tersebut untuk mengungkapkan struktur otak kemungkinan sama dengan yang disebut teknik struktural.Suatu contoh dari teknik pencitraan otak yang murni fungsional adalah pengukuran aliran darah serebral yang lama yang menceritakan kepada peneliti tentang jumlah darah yang mengalir ke otak, tanpa mengidentifikasi daerah mana yang mendapatkan sekian banyak darah. Namun demikian, keputusan telah membagi teknik pencitraan otak menjadi kategori struktural dan fungsional.10,11,12Dua teknik pencitraan otak yang biasanya digambarkan sebagai teknik struktural adalah CT dan pencitraan resonansi magnetik (MRI). Tiga teknik pencitraan yang biasanya disebut fungsional adalah tomografi emisi positron (PET; positron emission tomography), sigle photon emission computed tomography (SPECT), dan magnetic resonance spectroscopy (MRS). Suatu pemeriksaan teknik elektrofisiologi merupakan teknik pencitraan otak tipe ketiga. Teknik tersebut termasuk elektroensefalografi (EEG), polisomnografi, evoked potentials (EPs), dan teknik-teknik tersebut dengan versi analisis komputer, EEG topografik computer dan EPs topografik computer. Teknik pencitraan otak keempat dan terakhir adalah magnetoensefalografi.10,12Tomografi KomputerTomografi Komputer (CT) didasarkan atas prinsip fisika yang sama dengan sinar-X tengkorak, yaitu pengukuran perlemahan foton sinar-X yang telah lewat melalui otak. foton sinar-X kurang diperlemah oleh jaringan dengan densitas lemah, seperti cairan serebrospinal, dibandingkan oleh jaringan berdensitas tinggi, seperti tulang. Jadi, citra jaringan dengan densitas rendah tampak hitam, dan citra jaringan densitas rendah tampak putih. Perbedaan utama antara CT dan sinar-X tengkorak adalah penerapan detektor foton sinar-X sebagai pengganti filem sinar-X. Tabung sinar-X dan detector dirotasi disekeliling kepala dan juga digerakan secara pararel dalam arah rostral-kaudal. Detektor mengirimkan informasi ke dalam computer, yang mampu merekonstruksi citra bidang atau irisan dalam otak. Citra yang diperoleh dari CT dapat diperkuat dengan menggunakan material kontras beriodium yang disuntikan ke dalam sirkulasi darah dan yang menyebabkan perlemahan tinggi foton sinar-X dan dengan demikian tampak putih pada bayangannya. Penggunaan material kontras dapat membantu ahli radiologis mendeteksi jenis tumor tertentu, infeksi, dan penyakit serebrovaskular. Kerugian utama dari penggunaan material kontras adalah adanya efek merugikan yang relatif sering, seperti rasa metal di mulut, sampai komplikasi yang jarang berupa reaksi anafilaksis terhadap material kontras.13,14CT scan pada pasien psikiatrik dilakukan untuk dua alasan. Pertama, CT scan sering digunakan dalam pemeriksaan pasien psikiatrik untuk menyingkirkan gangguan otak organik, seperti tumor dan penyakit serebrovaskular. Kedua, CT scan telah menjadi sering digunakan dalam riset psikiatrik; riset CT scan pada pasien skizofrenik merupakan laporan riset pertama yang secara meyakinkan menunjukkan patologi otak organik pada pasien skizofrenia.Teknik Resonansi MagnetikPrinsip resonansi magnetic (MR; magnetic resonance) telah diterapkan dalam pencitraan otak untuk menghasilkan dua jenis citra otak. Pencitraan resonansi magnetic (MRI; magnetic resonance imaging) menghasilkan citra otak yang sangat mirip dengan CT scan tetapi memiliki peningkatan gambaran dalam focus dan mampu membedakan antara substansia putih dan substansia abu-abu. Kemampuan untuk membedakan substansia putih dan substansia abu-abu dan perbedaan samar lainnya di dalam jaringan otak menyebabkan MRI baik untuk memeriksa lesi seperti yang ditemukan pada sklerosis multipel. Jadi, citra MR dapat terlihat hamper seperti preparat anatomic dari otak sendiri. Tetapi cara spesifik dimana citra MR didapatkan dapat disesuaikan untuk mendapatkan informasi tentang kualitas jaringan itu sendiri. Jadi, citra MR bukan tepat suatu citra structural, karena dapat memberikan informasi tambahan tentang keadaan fungsional jaringan. Seperti pada Ct scan, material kontras dapat digunakan pada penelitian MR untuk memperjelas pembuluh darah.2,8Spektroskopi Resonansi MagnetikJenis kedua citra MR didapatkan melalui penggunaan spektroskopi resonansi magnetik (MRS; magnetic resonance spectroscopy). Bilamana MRI menggunakan resonansi magnetik inti hydrogen (terutama ditemukan di dalam cairan otak), MRS menggunakan resonansi magnetic inti lain dan, dengan demikian, mampu untuk menilai berbagai fungsi metabolik. Dari semua teknik yang dibicarakan spektroskopi resonansi magnetic (MRS) masih memimpin dalam kemajuan yang paling revolusioner dalam pencitraan otak. Tidak seperti MRI, yang mendeteksi inti hidrogen untuk menentukan struktur otak, MRS didesain untuk mendeteksi sejumlah inti yang berbeda. Kemampuan MRS untuk mendeteksi inti yang penting secara biologis memungkinkan penggunaan teknik untuk mempelajari berbagai rentang proses metabolik. Walaupun resolusi mesin MRS sekarang ini masih buruk dibandingkan dengan alat PET dan SPECT yang sekarang tersedia, penggunaan medan magnetic yang lebih kuat akan memperbaiki ciri tersebut di masa depan. MRS adalah suatu contoh teknik pencitraan otak yang biasanya diklasifikasikan sebagai fungsional, kendatipun cara ini melokalisir fungsi di dalam otak dan, dengan demikian, juga strukturalnya. Indikasi tambahan adalah penggunaan MRS untuk mengukur konsentrasi obat psikoterapeutik dalam otak. Satu penelitian menggunakan MRS untuk mengukur konsentrasi litium (Eskalith) di dalam otak pasien dengan gangguan bipolar I dan telah menemukan bahwa konsentrasi litium otak adalah setengah dari konsentrasi plasma selama periode depresi dan eutimik tetapi naik sampai lebih tinggi dari konsentrasi plasma selama episode manic. Beberapa senyawa, seperti fluoxetine (Prozac), dan trifluoperazine (Stelazine) mengandung fluorine-19 dan dengan demikian juga dapat di deteksi di dalam otak dan diukur dengan menggunakan teknik MRS.10,14Tomografi Komputer Emisi Foton TunggalBilamana MRS menggunakan inti yang tidak radioaktif dan ada secara alami, tomografi computer emisi foton tunggal (SPECT; single photon emission computed tomography dan tomografi emisi positron (PET; positron emission tomography) memerlukan dimasukkannya radioaktif buatan. Keunggulan utama SPECT diatas PET adalah waktu paruh isotop SPECT yang lebih lama, yan tidak memerlukan suatu siklotron yang terpasang. Suatu kerugian utama pada SPECT adalah karena memiliki resolusi citra yang lebih buruk dibandingkan PET.21-23Teknologi SPECTSPECT menggunakan senyawa yang telah dilabel dengan isotop yang memancarkan foton tunggal: iodine-123, teknetium-99m, dan xenon-133. Isotop tersebut dilekatkan pada molekul yang melewati sawar darah otak. Jika senyawa yang memancarkan foton memasuki otak, sifat memancarkan sinar gama yang dimilikinya adapat dideteksi oleh detector yang mengelilingi kepala pasien. informasi tersebut disambungkan ke suatu komputer, yang mengkonstruksi citra distribusi isotop secara dua-dimensi di dalam suatu irisan otak. Titik kunci yang membedakan SPECT dan PET adalah bahwa pada SPECT suatu partikel tunggal dipancarkan, sedangkan pada PET dua partikel dipancarkan, yang memberikan lokasi kejadian dengan lebih tepat dan resolusi citra yang lebih baik. baik untuk penelitian SPECT maupun PET, peneliti telah semakin banyak melakukan penelitan pendahuluan dengan MRI atau CT, selanjutnya menumpangkan citra SPECT atau PET di atas citra MRI atau CT untuk mendapatkan lokasi anatomis yang lebih akurat tentang informasi fungsional.23Tomografi Emisi PositronTomografi emisi positron (PET; positron emission tomography) kemungkinan merupakan teknik pencitraan otak yang paling kuat yang sekarang tersedia. Berbagai senyawa dapat digunakan dalam pemeriksaan PET, dan resolusi PET semakin diperhalus mendekati minimal teoritisnya 3 mm. Kerugian utama dari PET adalah karena diperlukannya siklotron yang terpasang (on-site) dengan mana dibuat isotop. Isotop yang paling sering digunakan dalam PET adalah fluorin-18, nitrogen-13, dan oksigen-15. Isotop-isotop tersebut biasanya berikatan dengan molekul lain, kecuali pada oksigen-15 (O15), dan diberikan kepada pasien. Di dalam otak isotop radioaktif memancarkan positron yang naik sampai 3 mm sebelum bertubrukan dengan suatu elektron. Tubrukan antara materi dan antimateri menyebabkan penghancuran partikel dan dihasilkan sepasang proton yang secara teoritis menjauhi tempat tubrukan dengan sudut 180 derajat satu sama lain. Kepala pasien berada di dalam kamera PET, yang mempunyai suatu cincin Kristal deteksi yang didesain untuk mendeteksi datangnya proton dengan 180 derajat satu sama lain secara bersama-sama. Informasi tersebut disambungkan dengan suatu komputer yang dapat menciptakan citra dua dimensi yang sering dilaporkan di dalam literatur. Ligan yang paling sering digunakan adalah fluorine-18(F18)-deoxyglucose (FDG), yang merupakan suatu analog dengan glukosa yang tidak dapat dimetabolisme oleh otak. Jadi, daerah otak dengan kecepatan metabolik yang tertinggi dan aliran darah yang paling cepat mengambil paling banyak FDG tetapi tidak mampu memetabolisme dan mengekspresikan produk metabolit yang biasanya. Konsentrasi F18 yang berada dalam neuron tersebut dan dideteksi dengan kamera PET. Air15 (H2O15) dan nitrogen-13 (N13) digunakan untuk mengukur aliran darah, dan oksigen-15 (O15) digunakan untuk menentukan kecepatan metabolik. PET telah semakin banyak digunakan unuk mempelajari perkembangan dan fungsi otak. Otak normal dan juga untuk mempelajari gangguan neuropsikiatrik. Dalam hal perkembangan otak, pemeriksaan PET telah menemukan bahwa penggunaan glukosa adalah paling tinggi di dalam korteks sensorik, thalamus, dan batang otak, dan vermis serebelum jika bayi berusia 5 minggu atau kurang. Pada usia 3 bulan, sebagian besar area korteks memiliki peningkatan penggunaan kecuali korteks frontalis dan asosiasi, yang tidak mulai meningkat sampai bayi berusia 8 bulan. Suatu pola metabolsme glukosa dewasa dicapai pada usia 1 tahun, tetapi korteks terus meningkat di atas kadar dewasa sampai anak berusia kira-kira 9 tahun, saat mana korteks mulai menurun, dan mencapai kadar dewasa akhirnya pada akhir usia belasan tahun. Mengingat onset skizofrenia yang biasanya terjadi dalam periode yang sama, kita dapat memperkirakan bagaimana perkembangan penggunaan glukosa pada pasien skizofrenia. Penelitian FDG juga telah digunakan untuk mempelajari patologi dalam gangguan neurologis dan gangguan psikiatrik.Pada PET dan SPECT dan akhirnya pada MRS, semakin banyak penelitian dan kemungkinan prosedur diagnostik akan menggunakan alat uji (probes) farmakologis dan neuropsikologis. Tujuan dari alat uji tersebut adalah untuk menstimulasi daerah aktivitas otak tertentu, sehingga, jika dibandingkan dengan nilai dasar, dapat diambil kesimpulan tentang hubungan fungsional dengan daerah otak tertentu. Satu contoh dari pendekatan tersebut adalah penggunaan PET untuk mendeteksi daerah otak yang terlibat dalam memproses bentuk, warna dan kecepatan dalam sistem visual. Contoh lain adalah menggunakan tugas yang mengaktivasi kognitif (sebagai contoh, Winconsin Card Sorting Test) untuk mempelajari aliran darah frontal pada pasien skizofrenik.Suatu kunci pertimbangan dalam memeriksa laporan tersebut adalah penegakan nilai dasar yang sesungguhnya dalam suatu desain penelitian. Biasanya, laporan menggunakan keadaan istirahat dan terjaga, tetapi terdapat variasi dalam apakah pasien harus menutup matanya atau ditutupi telinganya; kedua kondisi tersebut dapat mempengaruhi fungsi otak. Juga terdapat variasi dalam faktor fungsi otak dasar tertentu seperti jenis kelamin, usia, kecemasan terhadap tes, pengobatan dengan obat nonpsikiatrik, dan waktu.15,16,17TEKNIK ELEKTROFISIOLOGIElektro ensefalografi (EEG), yang merupakan teknik pencitraan otak paling klasik yang sekarang digunakan, dikembangkan pada tahun 1929 oleh Hans Berger. Penentu utama pada EEG adalah aktivitas listrik dari neuron pada lapisan korteks yang paling atas. Elektroda dipasang pada kulit kepala pasien dan mengukur aktivitas listrik pada neuron kortikal tersebut. Pencitraan grafik dari masing-masing elektroda biasanya digambar melalui pena pencatat dan ditempatkan dalam berbagai susunan, yang disebut montages, pada kertas pencatat.Frekuensi gelombang yang terlihat pada pencatatan EEG secara klasik dibagi menjadi kelompok berikut: aktivitas delta (siklus per detik atau hertz [Hz]), aktivitas teta (13 Hz). Siklus terjaga pada dewasa normal dengan mata tertutup mempunyai aktivitas alfa yang menonjol. Jika seseorang distimulasi atau matanya dibuka, aktivitas alfa digantikan oleh aktivitas beta. Tidur ditandai dengan adanya aktivitas delta dan aktivitas teta.Interpretasi EEG dimulai dengan inspeksi visual secara keseluruhan pada montase. Karakteristik kunci yang dinilai adalah frekuensi, amplitude, dan distribusi bentuk gelombang. Penilaian catatan EEG juga memerlukan inspeksi untuk adanya peristiwa paroksismal, seperti paku (spike) dan ledakan gelombang (wave bursts), yang dapat menyatakan aktivitas epileptik. Adanya gelombang lambat abnormal, penekanan amplitudo EEG, dan asimetrisitas abnormal adalah abnormalitas EEG lain yang harus dicatat.Saat aspek Interpretasi EEG yang paling menantang adalah pengenalan artifak EEG. Dua sumber artifak yang paling sering pada pencatatan EEG adalah aktivitas otot kulit kepala, yang dapat dikacaukan dengan aktivitas beta yang cepat, dan pergerakan mata, yang dapat dikacaukan dengan aktivitas delta lambat di atas kutub frontal. Indikasi klinis, Penilaian dugaan epilepsi pada seorang pasien adalah indikasi klinis utama untuk pemeriksaan EEG, walaupun EEG juga dilakukan dalam memeriksa demensia dan delirium. kemungkinan indikasi lain untuk EEG adalah perubahan tingkat kesadaran, otomatisme, cedera kepala, halusinasi, dan fenomena disosiatif.EEG bukan merupakan suatu tes yang sensitif. Pasien dengan aktivitas epileptik kadang-kadang tidak terdeteksi pada EEG rutin. Empat pendekatan yang umum digunakan untuk menstimulasi timbulnya aktivitas abnormal pada suatu EEG: (1) stimulasi cahaya yang berupa menunjukkan pasien kilatan sinar strobe selama EEG. Suatu hasil yang abnormal adalah tampaknya aktivitas paroksismal yang tidak dalam fase kilatan cahaya. (2) membuat pasien hiperventilasi selama kira-kira 3 menit juga dapat menyebabkan tampaknya paku, gelombang tajam, atau aktivitas gelombang lambat paroksismal. (3) penyimpangan tidur berupa membuat pasien terjaga pada malam hari sebelum pemeriksaan EEG, dengan demikian menyebabkan pasien mengantuk dan tertidur dan terjaga selama prosedur EEG sendiri. EEG selama tidur dan EEG selama perubahan antara tidur dan terjaga sering mengungkapkan patologi. (4) Lead nasofaring khusus dapat digunakan untuk mendapatkan jarak dekat secara fisik dengan area limbik otak yang mungkin terlibat dalam aktivitas epileptic yang mengenai lobus temporalis.PolisomnografiTeknik pencatatan EEG saat seseorang tertidur adalah disebut polisomnografi. Polisomnografi sering dilakukan bersamaan dengan elektrokardiogram (EKG), elektromiogram (EMG), dan kadang-kadang dengan pencatatan kekencangan penis. Mencatat saturasi oksigen darah, pergerakan tubuh, temperature tubuh, respons kulit galvanik, dan sekresi asam lambung adalah pengukuran tambahan yang dapat digunakan dengan polisomnografi dalam lingkungan riset. Polisomnografi paling sering digunakan dalam menilai gangguan yang berhubungan dengan tidur, seperti insomnia, mioklonus nocturnal, apnea tidur, enuresis, dan somnambulisme. Dalam penerapan polisomnografi yang berorientasi riset, teknik ini telah digunakan secara luas untuk mempelajari arsitektur tidur pada pasien psikiatrik. penelitian tersebut telah diarahkan untuk menggambarkan kelainan pada arsitektur tidur, yang dapat berperan sebagai petanda untuk gangguan psikiatrik spesifik, khususnya gangguan depresif. Variabel yang paling sering dinilai pada pemeriksaan polisomnografi pasien psikiatrik adalah jumlah waktu yang digunakan oleh tidur REM (rapid eye movement), berapa lama setelah tertidur tampak episode pertama REM (latensi REM), dan jumlah episode REM dalam semalam. REM dan tidur non-REM adalah dua perbedaan utama dalam arsitektur tidur. Terdapat empat stadium tidur non-REM. Stadium 4 merupakan tidur yang paling dalam dan stadium I adalah yang paling dangkal. Seperti yang dijelaskan di atas, aktivitas alfa adalah yang ditemukan jika seorang dewasa berbaring dan menutup matanya. Aktivitas alfa secara bertahap menghilang selama tidur stadium I. Aktivitas delta lambat meningkat selama tidur stadium 2 sampai 4. Gelombang delta lambat dengan amplituda tinggi digantikan oleh aktivitas mirip beta yang menyerupai EEG pada orang yang terjaga dan sadar selama tidur REM.Potensial BangkitanPencatatan potensial bangkitan (EPs; evoked potentials) menggunakan elektroda dan susunan perekaman yang sama dengan pencatatan EEG. Potensial bangkitan memberikan suatu pengukuran bagaimana korteks berespon terhadap stimulasi sensoris tertentu. Jenis EPs berikut ini adalah yang paling sering diuji : potensial bangkitan somatosensorik (SEPs; somatosensory evoked potentials), potensial bangkitan auditoris (AEPs; auditory evoked potentials), dan potensial bangkitan visual (VEPs; visual evoked potentials). Dalam penguji EP, suatu stimulus dari satu modalitas sensorik (sebagai contoh, kejutan listrik ringan, suatu bunyi klik, atau suatu kilatan cahaya) diberikan banyak kali sambil dilakukan pencatatan EEG. Pencatatan EEG yang mengikuti masing-masing stimulus berulang selanjutnya dirata-ratakan oleh komputer untuk mengurangi aktivitas yang berhubungan dengan nonstimulus.Hasilnya adalah kurva mulus (potensial bangkitan) yang memiliki puncak dan lembah. Gelombang positif adalah defleksi kearah bawah, dan gelombang negative adalah defleksi kearah atas. gelombang tertentu diidentifikasi lebih lanjut dengan jumlah milidetik yang terjadi setelah stimulus. Dengan demikian, gelombang P300 adalah suatu defleksi kearah bawah (positif) yang terjadi kira-kira 300 mdet setelah stimulus. Besar dan saat terjadinya gelombang EP merupakan dasar penilaian klinis dan riset pada pencatatan EP.Gelombang EP telah diklasifikasi menjadi komponen awal (2 mdet setelah stimulus), pertengahan (50 sampai 250 mdet), dan akhir (250 mdet). Penyambungan informasi sensorik saat berjalan dari organ sensorik (sebagai contoh, mata) ke korteks sensorik primer dan ke korteks asosiasi dicerminkan pada komponen EP awal. Semakin kompleksnya proses kognitif dan psikologis dari informasi sensorik dicerminkan dalam komponen EP terakhir.Indikasi klinis, penilaian suatu gangguan demielinasi, seperti pada sklerosis multipel, merupakan alasan yang paling sering untuk melakukan pemeriksaan EP pada seorang pasien. Suatu EP kemungkinan tidak diindikasikan dalam pemeriksaan rutin bagi seorang pasien psikiatrik kecuali dicurigai ada gangguan demielinasi. Tetapi, peneliti psikiatrik telah menggunakan pencatatan EP secara luas untuk mempelajari kelompok pasien psikiatrik. Banyak penelitian menemukan bahwa kelompok spesifik pasien psikiatrik mempunyai gelombang yang lebih besar atau lebih kecil yang terjadi lebih awal atau lebih lambat dibandingkan orang yang sakit bukan psikiatrik. Perekaman EP khusunya merupakan sasaran kontaminasi oleh berbagai artifak disamping yang mengganggu perekaman EEG. Perhatian, Kepatuhan, kelelahan, konsumsi kopi, dan rokok, usia pasien, dan variasi diurnal semuanya telah dilaporkan mempengaruhi data dari perekaman EP.Topografik Komputer EEG dan EPsWalaupun inspeksi visual EEG dan EPs oleh ahli elektroensefalografi yang berpengalaman merupakan metode standar dan dapat diterima dalam penilaian EEG, banyak informasi yang berguna kemungkinan terlewatkan dengan semata-mata mempercayai pada mata manusia. Berbagai program komputer telah dibentuk untuk menerjemahkan rekaman EEG dan EP ke dalam grafik dan citra otak yang dapat dimengerti. Program komputer tersebut menghitung jumlah tegangan (voltage) yang terdapat pada masing-masing rentang frekuensi dasar-alfa, beta, teta, dan delta untuk masing-masing elektroda. Hasil perhitungan tersebut selanjutnya ditampilkan pada peta topografik otak dan menggunakan skala abu-abu atau skala warna untuk menyatakan bagian mana dari otak yang mempunyai aktivitas yang lebih rendah atau lebih tinggi terhadap rentang frekuensi tertentu. Walaupun beberapa peneliti telah melaporkan bahwa topografik komputer EEG dan EP telah mempunyai relevansi klinis pada psikiatri, sebagian besar dokter psikiatrik percaya bahwa teknik harus masih dibatasi pada penerapan riset.MAGNETOENSEFALOGRAFITeknik pencitraan otak yang paling awal dalam hal perkembangannya dan penerapannya adalah magnetoensefalografi (MEG). Penerapan MEG hampir seluruhnya terbatas pada lingkungan riset, walaupun beberapa dokter menggunakan teknik dalam menilai pasien epileptic. Medan magnetic kecil di produksi sebagai hasil aktivitas elektrik pada neuron. Medan magnetic kecil tersebut dideteksi dan dianalisis dengan komputer oleh MEG. Seperti EEG dan EPs, MEG tidak memaparkan pasien dengan radiasi atau zat kimia; berbeda dengan EEG dan EPs, MEG mampu memberikan informasi tentang struktur otak kortikal dan subkortikal.Walaupun beberapa penelitian telah berusaha menunjukkan bahwa MEG adalah lebih unggul daripada EEG untuk menilai aktivitas epileptic, usaha tersebut biasanya belum berhasil. Selain itu, MEG adalah suatu teknologi yang mahal karena diperlukan teknologi superkonduksi untuk memperkuat sinyal kecil untuk mencapai rasio sinyal terhadap bising (signal-to-noise) yang dapat diterima. Riset berlanjut pada penggunaan EEG dan MEG secara bersama-sama mungkin bermanfaat dalam mempelajari pasien neuropsikiatrik.Pencitraan Otak pada Pasien Gangguan MoodPemeriksaan pencitraan otak pada pasien dengan gangguan mood telah memberikan sejumlah petunjuk yang tidak meyakinkan tentang fungsi otak yang abnormal pada gangguan tersebut. Tidak ada data pencitraan otak tentang gangguan mood yang telah diulangi dengan sama konsistennya dengan temuan peningkatan ukuran ventrikal pada pasien skizofrenik. Namun demikian, pemeriksaan pencitraan otak structural dengan tomografi computer (CT) dan pencitraan resonansi magnetic (MRI) telah menghasilkan data yang menarik. Walaupun penelitian tidak melaporkan hasil yang konsisten data memang menyatakan hal beerikut ini : (1) sekumpulan bermakna pasien dengan gangguan bipolar I, terutama pasien laki-laki, memiliki ventrikel serebral yang membesar; (2) pembesaran ventricular adalah jauh lebih jarang pada pasien dengan gangguan depresif berat dari pada pasien dengan gangguan bipolar I. Satu keberatan pada point kedua adalah bahwa pasien dengan gangguan depresif berat dengan ciri psikotik memiliki kecenderungan memiliki ventrikel serebral yang membesar. Penelitian MRI juga mengatakan bahwa pasien dengan gangguan depresif berat memiliki nucleus kaudatus yang lebih kecil dan lobus frontalis yang lebih kecil dibandingkan dengan subjek kontrol; pasien yang mengalami depresi juga memiliki waktu relaksasi T1 hipokampus yang abnormal, dibandingkan dengan subjek kontrol. Sekurangnya satu penelitian MRI melaporkan bahwa pasien dengan gangguan bipolar I memiliki peningkatan jumlah lesi substansia putih dalam yang meningkat secara bermakna, jika dibandingkan dengan subjek kontrol.Banyak laporan di dalam literature mempersalahkan aliran darah serebral dalam gangguan mood, biasanya diukur dengan menggunakan tomografi computer emisi foton tunggal (SPECT; single photon emission computed tomography) atau tomografi emisi positron (PET; positron emission tomography). sebagian besar penelitian telah melaporkan adanya penurunan aliran darah pada korteks cerebral pada umumnya dan area kortikal frontalis pada khususnya. Sebaliknya, satu penelitian menemukan peningkatan aliran darah pada pasien dengan gangguan depresif berat. Penelitian tersebut menemukan peningkatan yang tergantung keadaan di korteks, ganglia basalis, dan thalamus medial, dengan kemungkinan peningkatan yang tergantung pada sifat di amigdala.Satu teknik pencitraan otak tambahan yang mulai diterapkan pada berbagai gangguan mental adalah spektroskopi rosonansi magnetic (MRS). Penelitian dengan MRS pada pasien dengan gangguan bipolar I telah menghasilkan data yang konsisten dengan hipotesis bahwa patofisiologi gangguan mungkin melibatkan suatu regulasi abnormal pada metabolisme fosfolipid membrane. Penelitian MRS pada binatang yang telah diobati dengan litium telah menunjukkan efek litium pada fosfolipid. penerapan lain MRS pada gangguan bipolar I adalah penggunaan MRS Li7 untuk mempelajari konsentrasi litium pada otak dan plasma pada pasien. Penelitian tersebut menemukan bahwa konsentrasi litium orang adalah kira-kira 40 persen dari konsentrasi plasma setelah pengobatan kira-kira satu minggu.18,19,20Gangguan KecemasanBerbagai penelitian pencitraan otak, yang hampir selalu dilakukan pada gangguan kecemasan spesifik, telah menemukan beberapa kemungkinan yang menyebabkan pengertian gangguan kecemasan. Penelitian structural, sebagai contoh pemeriksaan tomografi computer (CT) dan pencitraan resonansi magnetic (MRI) kadang-kadang menemukan suatu peningkatan ukuran ventrikel serebral. pada satu penelitian peningkatan tersebut dihubungkan dengan lama waktu pasien menggunakan benzodiazepine. Dalam suatu penelitian MRI suatu defek spesifik pada lobus temporalis kanan ditemukan pada pasien dengan ganguan panic. Beberapa penelitian pencitraan otak lain telah melaporkan adanya temuan abnormal pada hemisfer kanan tetapi tidak pada hemisfer kiri, yang mengarahkan bahwa suatu jenis asimetrisitas serebral mungkin penting di dalam perkembangan gejala gangguan kecemasan pada pasien tertentu. Penelitian pencitraan otak fungsional sebagai contoh tomografi emisi positron (PET), tomografi computer emisi foton tunggal (SPECT), dan elektroensefalografi (EEG) pada pasien dengan gangguan kecemasan telah secara beragam melaporkan adanya kelainan di korteks frontalis, daerah oksipitalis dan temporalis, dan, pada satu penelitian, girus parahipokampus pada suatu penelitian gangguan panic. Interpretasi konservatif terhadap data tersebut adalah bahwa beberapa pasien dengan gangguan kecemasan memiliki patologi fungsional cerebral yang dapat ditunjukkan dan bahwa patologi tersebut mungkin relevan sebagai sebab pada gejala gangguan kecemasan mereka.

BAB IIIKESIMPULANNeuroimaging saai ini semakin diterapkan dalam pengembangan terapi kejiwaan. neuroimaging memungkinkan dokter untuk menguji apakah target obat potensial gangguan kejiwaan dan keadaan abnormal pada pasien, oleh karena itu, mungkin dibutuhkan terapi. neuroimaging memungkinkan untuk pemilihan kelompok individu yang paling kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan dalam percobaan klinis. Neuroimaging fungsional menemukan aplikasi lebih lanjut dalam psikiatri sebagai sarana pemantauan efek pengobatan dan mempelajari korelasi respond an non-respon neurofisiologis terhadap pengobatan. Kesulitan memprediksi pasien yang responsif menurut dasar klinis untuk jenis farmakoterapi atau psikoterapi tertentu. Di masa depan , fungsional neuroimaging dapat membantu kita memprediksi kemungkinan bahwa suatu bentuk pengobatan akan berhasil sebelum dimulai. Informasi ini dapat digunakan dalam membuat keputusan klinis, misalnya dalam keputusan apakah akan menerapkan farmakoterapi atau psikoterapi . Dengan pengecualian dari beberapa studi kasus, studi neuroimaging fungsional yang melibatkan psikoterapi telah terbatas, sejauh ini, untuk terapi jangka pendek manualized seperti kognitif terapi perilaku dan terapi interpersonal. Sebuah perpanjangan dari neuroimaging fungsional untuk mempelajari teknik psikodinamik pasti akan sangat menarik, terutama karena hipotesis yang kuat pada efek neurobiologis mereka sudah pernah diusulkan berdasarkan studi eksperimental plastisitas. metode baru dari neuroimaging fungsional, terutama fungsional magnetic resonance imaging, telah membuat kontribusi besar untuk penelitian di bagian psikiatri. Mereka sekarang tampaknya telah tiba di ambang penerapan klinis. Aplikasi neuroimaging fungsional untuk psikoterapi tidak akan berarti bahwa lebih tua, teknik psikologis telah dibuang dan memungkinkan perbaikan lebih lanjut dari indikasi untuk, dan penggunaan, tetapi metode dalam terang pemahaman neurobiologis peningkatan penyakit mental.

DAFTAR PUSTAKA 1. First M, Botteron K, Carter C, Castellanos FX, Dickstein DP, Drevets W, et al. Consensus Report of the APA Work Group on Neuroimaging Markers of Psychiatric Disorders. APA 2012.

2. Mayberg HS. Neuroimaging and psychiatry. Hasting Center Report 2014.

3. Fu CHY, McGuire PK. Functional neuroimaging in psychiatry. Phil trans R Sos Lon B. 1999:1359-70.

4. Borglet EL, Buchman DZ, Illes J. Neuroimaging in mental health care voice in translation. Frontiers in human neuroscience. 2012;6:1-5.

5. Masdeu JC. Neuroimaging in psychiatric disorders. Neurotherapeutics. 2011;8(1):93-100

6. Linden DEJ. Functional neuroimaging in psychiatry. Dtsch Arztebl.2006;103(38):2472-8.

7. Phillips ML. Neuroimagaing in psychiatry. BJPsych. 2012

8. Owen AM, Coleman MR. Functional neuroimaging of thevegetative state. Neuroscience. 2008;235-41.

9. Turner JA. The rise of large-scale imaging studies in psychiatry. GigaScience. 2014;3(29):1-8.

10. Burklund LJ, Lieberman MD. Neuroimaging of psychopathology. PPP. 2011;18(4):1-6.

11. Dichter GS, Sikich M, Song A, Voyvodic J, Bodfish JW. Functional neuroimaging of treatment effects in psychiatry: Methodological challenges and recommendations. International Journal of Neuroscience. 2012.

12. Wilkinson DJ, Kahane G, Horne M, Savulescu J. Functional neuroimaging and withdrawal of lifesustaining treatment from vegetative patients. J Med Ethics. 2009;35:508511.13. Gallaghe HL, Frith CD. Functional imaging of theory of mind. TRENDS in Cognitive Sciences. 2003;7(2):77-83.

14. Kulynych J. Psychiatric Neuroimaging Evidence: A High-Tech Crystal Ball?. Stanford Law Review. 1997;49(5):1249-1270.

15. Malhil GS, Lagopoulos J. Making sense of neuroimaging in psychiatry. Acta Psychiatr Scand. 2007.

16. Marsh R, Gerber AJ, Peterson BS. Neuroimaging Studies of Normal Brain Development and Their Relevance for Understanding Childhood Neuropsychiatric Disorders. J.am.Acad.Child Adolesc.Psychiatry. 2008.

17. Unterrainer JM, Owen AM. Planning and problem solving: From neuropsychology to functional neuroimaging. Journal of Physiology. 2006.

18. Amen DG, Trujillo M, Newberg A, Willeumier K, Tarzwell R, Wu JC, et al. Brain SPECT Imaging in Complex Psychiatric Cases: An Evidence Based,Underutilized Tool. The Open Neuroimaging Journal. 2011.

19. Casale AD, Serata D, Rapinesi C, Kotzalidis GD, Angeletti G, Tatarelli R, et al. Structural neuroimaging in patients with panic disorder findings and limitations of recent studies. Psychiatria Danubina.2013;25(2):108-114.20. Redayani P. Gangguan cemas menyeluruh. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, editor. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2010.h.230.

21. DSM 5 (American Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th Ed, text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association).

22. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Otak dan perilaku: Pencitraan otak. Dalam: Wiguna IM, editor. Sinopsis Psikiatri. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher; 2010.h.184-202.

23. Ovsiew F. Neuropsychiatric Approach to the patient. In: Sadock BJ, Sadock VA. Comprehensive Textbook of Psychiatry, 8th Ed. New York: LWW Publisher; 2005.