Upload
rizka-amalia-fulinda
View
20
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
SLE
Citation preview
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. ADJ
Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Cilebu barat 8/8 Bogor
Tanggal masuk : 26 Oktober 2014
Tanggal periksa : 26 Oktober 2014
II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Nyeri dada sebelah kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo pada
tanggal 26 Oktober 2014 dengan keluhan nyeri dada. Keluhan nyeri
dada kiri telah dirasakan sejak 1 hari setelah pulang dari RSMS yang
sebelumnya mondok dengan keluhan yang sama dirawat 4 hari di
RSMS.
Selain nyeri dada kiri, pasie juga mengeluhkan sesak napas dan
sakit kepala keluhan dirasakan sangat tidak nyaman dan mengganggu
aktifitas pasien. Pasien mengaku sebelumnya sudah pernah di diagnosis
SLE spesialis penyakit dalam dan mondok di RSUP. Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo tahun 2012.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama : diakui
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat OAT : disangkal
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat diabetes melitus : disangkal
f. Riwayat mondok : diakui
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat jantung : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat penyakit tuberkulosis: disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat diabetes melitus : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
g. Riwayat jantung : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Rumah satu dengan
yang lain berdekatan. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan
keluarga dekat baik. Anggota keluarga pasien lain yang tinggal satu
rumah dan tetangga sekitar pasien tidak ada keluhan seperti pasien.
b. Home
Pasien tinggal bersama suami dan kedua orang tua pasien. Rumah
pasien berdinding tembok, berlantai ubin dan memiliki langit-langit
dan beratap genting. Rumah memiliki jendela dan ventilasi yang
memadai.
c. Occupational
Pasien bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga.
d. Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 3 kali. Pasien tidak merokok, senang
mengkonsumsi makanan berlemak, manis dan asin. Pasien tidak
rutin berolahraga.
2
III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Tampak sesak
b. Kesadaran : Compos mentis
c. BB : 45 kg
d. TB : 155 cm
e. Vital sign
- Tekanan Darah : 120/90 mmHg
- Nadi : 100 x/menit
- RR : 28 x/menit
- Suhu : 36.8 oC
f. Status Generalis
1) Kepala : Venektasi temporal (-/-)
2) Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
3) Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), discharge (-/-)
4) Mulut : Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
5) Leher : Deviasi trakhea (-), JVP 5 + 2 cmH2O
g. Status Lokalis
1) Pulmo
Inspeksi : Hemithoraks sinistra = dextra, ketinggalan gerak
(-)
Palpasi : Vocal fremitus lobus superior dextra = sinistra
Vocal fremitus lobus inferior dextra = sinistra
Perkusi : sonor pada lapang paru dextra dan sinistra
Batas paru hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, ronki basah kasar (+/+),
ronkhi basah halus (+/+),Wheezing (-/-)
2) Cor
Inspeksi : Ictus cordis terlihat di SIC V 2 jari medial LMCS,
pulsasi parasternal (-), pulsasi epigastrium (+)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS,
kuat angkat (-)
3
Perkusi : Batas jantung kanan atas di SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas di SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah di SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah di SIC V 2 jari medial
LMCS
Auskultasi : S1 > S2, reguler, murmur (-), gallop (-)
3) Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) seluruh lapang abdomen,
undulasi (-)
4) Hepar dan lien : Tidak teraba
5) Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral hangat (+/+), sianosis (-/-),
purpura (+/-)
Inferior : Edema (-/-), akral hangat (+/+), sianosis (-/-),
purpura (+/+)
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium (26 Oktober 2014)
CK : 23 mg/dl (N) Normal : 21-215 U/L
CKMB: 26 mg/dl (H) Normal : 7-25 U/L
b. Pemeriksaan Laboratorium ( 31 Oktober 2014)
Darah lengkap
Hemoglobin : 7.2 g/dl (↓) Normal : 14-18 gr/dl
Leukosit : 15400 /uL (N) Normal : 4800-10800 /uL
Hematokrit : 21 % (↓) Normal : 42 %-52 %
Eritrosit : 2,7. 10^6/uL (↓) Normal : 4,7-6,1 juta/ uL
Trombosit : 455.000 /uL (N) Normal : 150000-450000/uL
4
MCV : 78.0 fL (N) Normal : 79-99 fL
MCH : 26.9 pg (N) Normal : 27-31 pg
MCHC : 34.4 % (N) Normal : 33-37 gr/dl
RDW : 34.4 % (↑) Normal : 11,5-14,5
MPV : 15.8 (-) Normal : 7,2-11,1
Hitung Jenis
Basofil : 0.3 % Normal : 0-1 %
Eosinofil : 0.0 % (L) Normal : 2-4 %
Batang : 6.6 % (H) Normal : 2-5 %
Segmen : 87.9 % (H) Normal : 40-70 %
Limfosit : 2.2 % (↓) Normal : 25-40 %
Monosit : 3.3 % (N) Normal : 2-8 %
Ureum : 46.9 mg/dL(N) Normal : 14.98-38.52
Kreatinin : 0.69 mg/dL (N) Normal : 0.60-1.00
c. Pemeriksaan Laboratorium post tranfusi PRC 3 kolf (3 November
2014)
Darah lengkap
Hemoglobin : 10.2 g/dl (L) Normal : 14-18 gr/dl
Leukosit : 27760 /uL (H) Normal : 4800-10800 /uL
Hematokrit : 27 % (L) Normal : 42 %-52 %
Eritrosit : 3,6 10^6/uL (L) Normal : 4,7-6,1 juta/ uL
Trombosit : 348.000 /uL (N) Normal : 150000-450000/uL
MCV : 76.9 fL (L) Normal : 79-99 fL
MCH : 28.7 pg (N) Normal : 27-31 pg
MCHC : 37.4 % (H) Normal : 33-37 gr/dl
RDW : 15.0 % (H) Normal : 11,5-14,5
MPV : 8.5 (N) Normal : 7,2-11,1
Hitung Jenis
Basofil : 0.5 % (N) Normal : 0-1 %
Eosinofil : 0.0 % (L) Normal : 2-4 %
Batang : 7.6 % (H) Normal : 2-5 %
5
Segmen : 88.0 % (H) Normal : 40-70 %
Limfosit : 1.7 % (L) Normal : 25-40 %
Monosit : 2.2 % (N) Normal : 2-8 %
IV. ASSESSMENT
1. Diagnosis Klinis:
SLE
Cest pain
V. PLANNING
1. Diagnosis Kerja:
SLE
2. Terapi
a. Farmakologi
1) Transfusi PRC 3 kolf
2) Injeksi Methyl Prednisolone 62.5 mg
3) Injeksi ketorolac 2 x 1
4) Injeksi Ranitidin 2 x 1
5) Injeksi kalnex 3 x 500mg
6) Injeksi Vit K 2 x 1 amp
7) Po diazepam 2 x 2
8) Po cell cept 2 x 1 mg
9) Po codein 2 x 10mg
b. Non Farmakologi
1) Istirahat
2) Diet rendah garam
3) Edukasi penyakit kepada pasien dan keluarga meliputi
pencegahan, etiologi.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht, Leukosit, Eritrosit, Trombosit,
MCV, MCHC, hitung jenis leukosit, PT, APTT, Kimia darah)
4. Usulan Pemeriksaan Penunjang
ECHO
6
5. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi penyakit
6. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit rematik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio, 2009).
B. Etiopatogenesis
Etiopatogenesis dari SLE masih belum diketahui dengan jelas, dimana
terdapat banyak bukti bahwa pathogenesis SLE bersifat multifaktorial seperti
faktor genetic, lingkungan, dan hormonal terhadap respon imun. Faktor genetik
memegang peranan penting pada banyak penderita lupus dengan risiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir
menunjukan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang menkode unsur-
unsure sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respon imun spesifik pada
kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat
komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang
mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, immunoglobulin
dan sitokin.
Studi lain mengenai faktor genetic ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA ( Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen
MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibody
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
8
komplemen, seperti C2, C4 atau C1q (Mok, 2003). Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagosit mononuclear
sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel
fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuclear akan
menimulkan respon imun (Silva, 2001).
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self
immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebakan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,
dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung mengubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit (Manson, 2003). Faktor
lingkunagn lainya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukan bahwa perokok
memiliki risiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung
dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatic (Eisenberg, 2010). Pengaruh obat
juga dapat memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat
salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan
lainya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada
penderita lupus.Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekskresi sel
permukaan dan apoptosis (Manson, 2003)
Faktor ketiga yang mempengaruhi pathogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang pada wanita muda dan beberapa
study menunjukan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormone estrogen
dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
9
mengakibatkan produksi autoantibody berlebihan pada penderita SLE (Sequeira,
1993). Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk menjadi antigen nuclear
(ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibody terhadap struktur sel lainya
seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal
(Kanda, 1999).
C. Patofisiologi
Anti Nuclear Antibody (ANA) dengan antigenya yang spesifik
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini
akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada orang tersebut. Peristiwa ini menyebakan aktivasi komplemen
yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Bagian yang
penting dalam pathogenesis ini adalah terganggunya mekanisme regulasi yang
dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang
resisten.
Gangguan imunologis berupa pengujian imun yang abnormal termasuk
anti-bodi anti-DNA atau anti-Sm (Smith), positif semu pada pengujian darah
unutk sifilis, anti-bodi anti-kardiolipin, uji LE positif.
D. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1997,
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana apabila didapatkan 4
kriteria, diagnosis LES dapat ditegakkan2;
10
Tabel 1. Kriteria Manifestasi SLE
Kriteria Batasan
1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipatan nasobial.
2. Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
3. Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadapsinar matahari, baik dari anamnesis atau pemeriksaan fisik.
4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umunya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa.
5. Artritis Artritis non erotif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai nyeri tekan atau efusia.
6. Serositisa. Pleuritis
b. Perikarditis
a. Riwayat pleuritik atau pleuritik friction rub yang di dengar oleh dokter atau terdapat bukti efusi pleura.
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau terdapat bukti efusi perikardium
7. Gangguan renal a. Proteinuria menetap > 0.5 gr/hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, atau campuran.
8. Gangguan hematologi
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis ataub. Leukopenia <4000/mm3 pada 2x pemeriksaan atau
lebihc. Limfopenia < 1500/mm3 pada 2x pemeriksaan atau
lebih ataud. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan.9. Gangguan
imunologia. Anti ANA : antibody terhadap native DNA dengan
titer abnormal ataub. Anti –Sm : terdapatnya antibody terhadap antigen
nuclear Smc. Temuan positif terhadap antibody antifosfolipid yang
didasarkan atas:-kadar antibody antikardiolipin abnormal baik IgM atau IgG
-tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar
-hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan konfirmasi dengan tes atau fluororesensi absorbs antibody treponema.
10. Gangguan neurologi
a. Kejang yang ukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic (missal uremia, ketoasidosis, ketidakseimbangan elektrolit)
11
b. Psikosis yang buka disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic (missal uremia, ketoasidosis, ketidakseimbangan elektrolit)
11. ANA Test (Antibodi Antinuklear Positif)
Titer abnormaldari antibody antinuclear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki
sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan (Isbagio, 2009).
Gambar 1. Ruam malar
12
E. Diagnosis Banding
Beberapa penyakit atau kondisi dibawah ini seringkali mengacaukan
diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes
laboratorium yang serupa, yaitu : 26,28
1. Undifferentiated connective tissue disease
2. Sindrom Sjogren
3. Sindroma antibody antifosfolipid (APS)
4. Fibromialgia (ANA positif)
5. Purpura trombositopenik idiopatik
6. Lupus imbas obat
7. Artritis rheumatoid dini
8. Vaskulitis
F. Penatalaksanaan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan
strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini
seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari
dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli
reumatologi (PRI, 2011).
Berikut merupakan pilar pengobatan Lupus Erimatosus Sistemik (PRI, 2011) :
1. Edukasi dan konseling
2. Program rehabilitasi
3. Pengobatan medika mentosa
a. OAINS
b. Antimalaria
c. Steroid
d. Imunosupresan/Sitotoksik
13
e. Terapi lain
I.1 Edukasi
Pada umumnya, penderita LES mengalami fotosensitivitas sehingga
penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh
sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim
pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan
berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap
sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita LES juga harus
menghindari rokok (Isbagio, 2009).
Infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,
terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi,
obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup
jantung, ulkus dikulit dan mukosa. Profilaksis antibiotic harus
dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan menjalani prosedur
genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasive lainya (Isbagio, 2009).
I.2 Program rehabilitasi
Modalitas yang dapat diberikan pada pasien SLE tergantung maksud
dan tujuan program ini. Slah satu hal penting adalah pemahamanaakan
turunnya massa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan
dalam kondisi imobilitas selama lebih 2 minggu. Di samping itu
penurunan masa otot akan terjadi sekitar 1-5 % per hari dalam kondisi
imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan
14
kestabilan sendi. Modalitas seperti pemberian dingin atau panas di
perlukan untuk mengurangi nyeri, menghilangkankekakuan atau
spasme otot. Demikian pula modalitas seperti transcutaneous
electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup
besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot (PRI, 2011).
I.3 Terapi Medika mentosa
Terapi lain
Pengobatan SLE berdasarkan derajat keparahan2:
1. Pengobatan SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang
penting agar tujuan diatas tercapai, yaitu:
i. Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500mg
ii. Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan
diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi
iii. Glukokortikoid topical untuk mengatasi ruam (preparat ringan).
iv. Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kgBB/hari (150-300mg/hari) (1
tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa)
catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan
dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hiroksiklorokuin dosis 5-
6,5 mg/kgBB/hari (200-400mg/hari) dan periksa mata setiap 6-
12 bulan.
15
v. Kortikosteroid dosis rendah seperti prednisone <10 mg/hari
atau yang setara. Tabir surya untuk perlindungan kulit dari
sinar matahari sekurang-kurangnya 15 SPF.
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan
SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya efeksamping, kortikosteroid tetap
merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.
Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan
maslah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukan standarisasi berdasarkan
patofisiologi dan farmakokinetiknya (PRI, 2011).
Tabel 2. Terminology pembagian dosis kortikosteroid
Indikasi Pemberian Kortikosteroid
Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam
menatalaksanakan kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada
SLE yang relative tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang
aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat
seperti pada vaskulitis luas, nefritis lupus, lupus cerebral (PRI, 2011).
16
Tabel 3. Farmokodinamik Pemakaian Kortikosteroid pada Reumatologi
Efek samping kortikosteroid
Efek samping kortikosteroid tergantung pada dosis dan waktu, dengan
meminimalkan jumlah kortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko efek
samping. Efek samping yang paling sering ditemukan paqda penggunaan steroid
dapat dilihat pada tabel berikut (PRI, 2011);
Tabel 4. Efek Samping Pemakaian Kortikosteroid
17
Cara Penggunaan Dosis Kortikosteroid
Karena berpotensial mempunyai efek samping , makan dosis
kosrtikosteroid mulai dikurangi segera setelah penyakit terkontrol. Tapering
harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas
penyakit, dan defisiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis (PRI, 2011).
Tapering secra bertahap memberikan pemulihan terhadap fungsi
adrenal. Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan
lama terapi, serta respon klinis. Sebagai panduan, untuk tapering dosis
prednisone lebih dari 40 mg sehari maka dpat dilakukan penurunan 5-10 mg
setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada
dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3
minggu bila dosis prednisone <20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam
dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit (PRI, 2011).
18
2. Pengobatan SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE edang sama seperti SLE ringan kecuali
pada pengobatan. Pada SLE diperlukan beberapa rejimen obat-
obata tertentu serta mengikuti protocol pengobatan yang ada.
Misalnya pada serositis refrakter: 20 mg/hariprednison atau yang
setara (PRI, 2011).
3. Pengobatan SLE Berat
Pengobatan SLE berat yang mengancam nyawa antara lain :
a. Glukokortikoid dosis tinggi
Indikasi : Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia (40-60
mg/hari (1 mg/kgBB) prednisone setara selama 4-6 minggu
yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan di dahlui
pemberian metal prednisolon iv 500 mg samapai dengan 1
gr/hari selama 3 hari berturut-turut (PRI, 2011).
b. Obat Imunosupresan atau sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotosik
yang bisa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklosfamid,
metotreksat siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan
tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru
atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikosteroid dan imunosupresan/ sitostoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik (PRI, 2011).
19
Bagan 1. Algoritma penatalaksanaa SLE
TR
RP
RS TR
TR
Keterangan:
TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh KS adalah kortikosteroid
setara prednison, MP metilprednisolon, AZA azatioprin, OAINS obat
antiinflamasi steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE (PRI,
2011).
20
Derajat beratnya SLE
TerapiHidroksiklorokuin/klorokuin atau MTX + KS (dosis rendah)OAIN
Terapi InduksiMP iv 0,5-1 gr/hr selama 3 hari)+CYC iv (0,5-075 gr/m 2/bln x 7 dosis
Tambahkan Rituximab inhibitor calcineurin (siklosporin) IVIg (immunoglobulin intravena)
SedangNefritis ringan sampai sedangTrombositopenia (trombosit <20-50 x 103/mm3
Serositis mayor
Terapi pemeliharaanCYC iv (0,5-0,75 gr/m 2/3 bln selama satu tahun)
Terapi InduksiMP iv (0,5-1 gr/hari selama 3 hari diikuti oleh ; AZA (2mg/kgBB/hari atau MMF (2-3 grr/hari)
RinganManifestasi klinisArtritis
Terapi pemeliharaan AZA (1-2mg/kgBB/hr) atau MMF (1-2 gr/hr)+KS (KS diturunkan sampai dosis 0,125 mg/kg//hr selang sehari)
BeratNefritis berat (kelas IV, III+V, IV+V atau III-V dengan gangguan fungsi ginjalTrombositopenia refrakter berat (trombosit < 20 x 103/mm3
Anemia hemolitik refrakter beratKeterlibatan paru-paru (hemoragik)
G. Derajat SLE
Penyakit SLE dapat dikategorikan menjadi 3 yaitu ringan, sedang dan berat.
Berikut adalah beberapa manifestasi klinis dari derajat SLE (PRI, 2011):
1. Kriteria SLE ringan;
- secara klinis tenang
-Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
- Fungsi organ normal atau stabil, yaitu; ginjal,paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
2. Kriteria SLE sedang;
-Nefritis ringan sampai sedang (Lupus nefritis kelas I dan II)
-Trombositopenia (trombosit 20-50 x 103/mm3).
-Serositis mayor
3. Kriteria SLE berat;
-Jantung : endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
-Paru-paru; hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, fibrosis interstitial, vaskulitis mesenterika.
-ginjal : nefritisproliferatif dan atau membranous
-Kulit : vaskulitis berat, ruam difus disertai ulks atau melepuh.
-Neurologi : kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
tranversa, mononeuritis, polyneuritis, neuritis optic, psikosis, sindroma
demielinasi.
21
-Hematologi : anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3, purpura trombolitik trombositopenia,
thrombosis vena atau artei.
H. Prognosis
Prognosis penyakit SLE sangant tergantung pada organ mana yang
terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas
pada pasien dengan SLE telah menurun selama 20 tahun terkhir ini. Sebelum
1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada SLE < 50%.
Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-
rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun
terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10
tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari
60-70 %. Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan SLE dapat
dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secra dini, perbaikan dalam
pengobatan penyakit SLE, dan kemajuan dalam perawatan medis umum.
22
BAB III
KESIMPULAN
1. Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit rematik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan.
2. Diagnosisnya bila ditemukan 4 atau lebih dari 11 kriteria SLE, atau
ditemukan 3 kriteria dan salah satunya ANApositif maka sangat mungkin
SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Apa bila hanya tes
ANA positif dan maifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE,
dan obeservasi jangka panjang.
3. Pengobatan SLE berdasarkan 3 pilar antara lain: Edukasi dan konseling,
program rehabilitasi, pengobatan medika mentosa.
23
DAFTAR PUSTAKA
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.2011; Perhimpunan
Reumatologi Indonesia
Eisenberg H. SLE-Rituximab in lupus. 2010 [ cited 2011 Dec 29 ]. Available
from : http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC165056
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009 ; 2565-2579.
Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Estrogen enhancement of anti-double-
stranded DNA antibody and immunoglobulin G production in
peripheral blood mononuclear cells from patients with systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum 1999;42:328–37.
Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus erythematosus.
J Netherl Med 2003;61(11):343-346.
Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin
Pathol 2003;56:481-490.
Sequeira JF, Keser G, Greenstein B, et al. Systemic lupus erythematosus: sex
hormones in male patients. Lupus 1993;2:315–17.
Silva C, Isenberg DA. Aetiology and pathology of systemic lupus
erythematosus. Hospt Pharm 2001;7:1-7.
24