23
BAB I PENDAHULUAN Sindroma Hepatorenal merupakan sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktivitas faktor vasoaktif endogen. 1,2 Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan fungsi tanpa ditandai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila ginjal tersebut ditansplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan hati, maka fungsi ginjal tersebut akan kembali normal atau penderita yang mengalami SHR dilakukan transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya akan kembali normal. SHR dilaporkan pertama sekali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863), yang masing-masing melaporkan timbulnya oligura pada pasien-pasien sirosis dengan asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histologi ginjal yang nyata pada pemeriksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang aspek klinis fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi

Referat Sindrome Hepatorenal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat Sindrome Hepatorenal

Citation preview

Page 1: Referat Sindrome Hepatorenal

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Hepatorenal merupakan sindroma klinis yang terjadi pada

pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang

ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi

arteri dan aktivitas faktor vasoaktif endogen.1,2

Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan

fungsi tanpa ditandai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila

ginjal tersebut ditansplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan

hati, maka fungsi ginjal tersebut akan kembali normal atau penderita yang

mengalami SHR dilakukan transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya akan

kembali normal.

SHR dilaporkan pertama sekali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863),

yang masing-masing melaporkan timbulnya oligura pada pasien-pasien sirosis

dengan asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histologi ginjal yang

nyata pada pemeriksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang

aspek klinis fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi SHR dengan nama

terminal “fungtional renal failure”. Beliau menekankan gagal ginjal pada SHR

tidak berhubungan dengan kerusakan struktur ginjal dan berkembangnya

sindroma ini merupakan keadaan terminal dan irreversible pada sirosis dengan

asites. Pada tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien

penyakit hati bersamaan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan proteinuria dan

ekskresi NA+ yang rendah.6

Page 2: Referat Sindrome Hepatorenal

BAB II

SINDROMA HEPATORENAL

DEFINISI

Definisi Sindroma Hepatorenal yang diusulkan oleh International Ascites

Club (1994) adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik

dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan

fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktivitas faktor

vasoaktif endogen. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju

filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi diluar ginjal terdapat vasodilatasi

arteriol yang luas menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan

hipotensi. 1,2,5

EPIDEMIOLOGI

Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi ginjal yang

normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun dan 39%

setelah 5 tahun perjalanan penyakit.3 Gines dkk melaporkan kemungkinan insiden

SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun pertama dan akan

meningkat hingga 39% pada tahun ke lima.1,5Pasien dengan peritonitis bakterial

spontan memiliki kesempatan sepertiga untuk men-galami perkembangan menjadi

SHR. 2

PATOFISIOLOGI

Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal

yang timbul pada penderita SHR. Teori pertama, menjelaskan hipoperfusi ginjal

berhubungan dengan penyakit hati itu sendiri tanpa ada patogenetik yang

berhubungan dengan gangguan sistem hemodinamik. Teori ini berdasarkan

hubungan langsung hati – ginjal, yang didukung oleh dua mekanisme yang

berbeda yang mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal

dengan penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati

yang dapat menyebabkan pengurangan perfusi ginjal dan pada percobaan binatang

Page 3: Referat Sindrome Hepatorenal

diperlihatkan bahwa hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. Teori

kedua menerangkan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubahan

patogenetik dalam sistem hemodinamik dan SHR adalah bentuk terakhir dari

pengurangan pengisian arteri pada sirosis. Hipotesis ini menerangkan bahwa

kekurangan pengisian sirkulasi arteri menyebabkan hipoperfusi yang bukan

sebagai akibat penurunan volume vaskuler, tetapi vasodilatasi arteriolar yang luar

biasa terjadi terutama pada sirkulasi splanik. Hal ini dapat menyebabkan aktifasi

yang progresif dari mediator baroreseptor sistem vasokonstriktor (Gambar1), yang

mana dapat menimbulkan vasokonstruksi tidak hanya pada sirkulasi ginjal tetapi

juga pada pembuluh darah yang lain. Splanik dapat bebas dari efek

vasokonstriktor dan vasodilasi dapat bertahan, kemungkinan karena adanya

rangsangan vasodilator lokal yang sangat kuat. Timbulnya hipoperfusi ginjal

menyebabkan SHR dapat terjadi sebagai akibat aktifitas yang maksimal

vasokonstriktor sistemik yang tidak dapat dihalangi oleh vasodilator, penurunan

aktifitas vasodilator atau peningkatan produksi vasokonstriktor ginjal atau

keduanya.1,2,5

Gambar 1 : Patofisiologi sindroma hepatorenal.

Page 4: Referat Sindrome Hepatorenal

Faktor-faktor vasoaktif yang berperan dalam pengaturan perfusi ke ginjal

pada penderita sindrom hepatorenal, yaitu :

Vasokonstriktor

Angiotension II

Norepineprine

Neuropeptide Y

Endothelin

Adenosine

Cysteinyl leukotrines

F2-isoprostanes

Vasodilators :

Prostaglandins

Nitric oxide

Natriuretic peptides

Kallikrein – kinin system

Pada sirosis hati, awalnya terjadi bendungan di sistem vena porta akibat

penyempitan pembuluh darah di dalam hati. Tekanan hidrostatik di kapiler

meningkat dan jumlah cairan yang berlebihan akan difiltrasi ke dalam rongga

abdomen yang disebut dengan asites. Karena sinusoid hati memiliki

permeabilitas yang tinggi terhadap protein, protein plasma juga berpindah ke

dalam ruang ekstrasel. Selain itu, protein plasma yang dihasilkan di parenkim hati

juga lebih sedikit. Akibatnya, terjadi hipoproteinemia yang menyebabkan filtrasi

cairan plasma meningkat dan mendorong terjadinya edema perifer. Pembentukan

Page 5: Referat Sindrome Hepatorenal

asites dan edema perifer terjadi dengan menggunakan volume plasma yang

bersirkulasi, akibatnya terjadi hipovolemia.7

Dalam perjalanan penyakit yang lebih lanjut terjadi vasodilatasi perifer.

Mediator vasodilatasi (misal, substansi P) dihasilkan di usus dan endotoksin yang

dilepaskan oleh bakteri umumnya didetoksifikasi di hati. Pada sirosis hati,

kerusakan parenkim hati dan peningkatan jumlah darah sirkulasi portal secara

langsung akan menuju ke sirkulasi sistemik, sehingga mediator tersebut dapat

masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Mediator memiliki efek vasodilatasi secara

langsung, sedangkan endotoksin memiliki efek vasodilatasi dengan merangsang

sintase nitrat oksida (iNOS). Hal ini dapat menurunkan tekanan darah sehingga

menyebabkan rangsangan persarafan simpatis yang hebat. Keadaan ini

menyebabkan penurunan dari perfusi ginjal sehingga menurunkan GFR. Aliran

darah ginjal yang menurun akan mendorong pelepasan renin dan pembentukan

angiotensisn II, ADH serta aldosterone. ADH dan aldosterone akan meningkatkan

reabsorbsi air dan NaCl di tubulus, dan ginjal akan mengeluarkan urine yang

sedikit dengan konsentrasi yang sangat pekat (oliguria).

Inaktivasi mediator hepatik yang tidak total, yang memiliki efek

vasokonstriktor langsung terhadap ginjal (misal,leukotriene) juga berperan pada

vasokonstriksi ginjal.

Iskemia ginjal biasanya merangsang pelepasan Prostaglandin yang

memiliki efek vasodilatasi sehingga mencegah penurunan fungsi ginjal lebih

lanjut. Jika terdapat kekurangan pembentukan Prostaglandin (misal, akibat

penghambatan Postaglandin), mekanisme kompensasi tersebut terhambat dan

terjadinya gagal ginjal menjadi lebih cepat. Penurunan kemampuan tubuh untuk

mensintesa Prostaglandin juga ditemukan pada Sindroma Hepatorenal.

Vasokonstriksi ginjal dapat juga dicetuskan oleh Ensefalopati hepatikum.

Penurunan aktivitas metabolik di hati menyebabkan perubahan konsentrasi asam

amino dan meningkatkan konsentrasi NH4+ di dalam darah dan otak. Keadaan ini

menyebabkan pembengkakan sel glia dan menimbulkan gangguan yang hebat

Page 6: Referat Sindrome Hepatorenal

pada metabolism transmitter di otak, melalui perangsangan sistem saraf simpatis,

menyebabkan kontriksi pembuluh darah ginjal.

Oleh karena aktivitas sintesis di hati terganggu, kininogen yang dihasilkan

menjadi lebih sedikit sehingga jumlah kinin yang bersifat vasodilatasi menjadi

lebih sedikit dan produksi kinin yang bersifat vasodilatasi menjadi berkurang,

mendorong terjadinya vasokonstriksi di ginjal.

Gambar Patofisiologi Sindroma Hepatorenal.7

Page 7: Referat Sindrome Hepatorenal

GAMBARAN KLINIS

Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal

ginjal, gangguan sirkulasi dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara

perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang

menimbulkan ascites, edema dan hyponatremia, yang ditandai oleh ekskresi

natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan buang air (oliguri –

anuria ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri

yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh

darah sistemik.1,2,3

Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu :

1. Sindroma Hepatorenal tipe I

Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN

(Blood urea nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl

atau penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini

timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering

dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah urin, retensi

natrium dan hiponatremi . Penderita dengan tipe ini biasanya dalam

kondisi klinik yang sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti

ikterus, ensefalopati atau koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis

alkoholik berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul

pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus SHR tipe ini timbul

spontan tanpa ada faktor presipitasi yang diketahui, kadang-kadang pada

sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang erat dengan

beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti infeksi bakteri,

perdarahan gastrointestinal, parasintesis). Spontaneus bacterial peritonitis

(SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis.

Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I. SHR Tipe

I adalah komplikasi dengan prognosis yang sangat buruk pada penderita

sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%.

Page 8: Referat Sindrome Hepatorenal

2. Sindroma Hepatorenal Tipe II

Tipe II SHR ini ditandai dengan penurunan yang sedang dan stabil

dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum

< 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada

penderita dengan fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita

dengan ascites resisten diuretic.

DIAGNOSIS

Kriteria diagnostik berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria

of Hepatorenal Syndrome.1,2,8,9

Kriteria Mayor diagnostik SHR berdasarkan International Axcites Club 4

1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi

portal.

2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40

ml/mnt.

3. Tidak ada syok,infeksi bakteri yang sedang berlangsung, kehilangan cairan

dan

mendapat obat nefrotoksik.

4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5

ltr

dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau

peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)

5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruktif uropati atau penyakit

parenkim ginjal secara ultrasonografi.

Kriteria tambahan :

1. Volume urin < 500 ml / hari

2. Natrium urin < 10 meg/liter

3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma

4. Eritrosit urin < 50 /lpb

Page 9: Referat Sindrome Hepatorenal

5. Natrium serum <130 meg / liter

Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosis Sindroma

Hepatorenal, sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosis

tersebut.

Penatalaksanaan Sindroma Hepatorenal

Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR oleh karena itu

pencegahannya terjadinya SHR harus mendapatkan perhatian yang utama.

Penatalaksanaan Umum

SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

pada pasien sirosis hati. Oleh karena pasien sirosis hati sangat sensitif dengan

perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit maka hindari pemakaian diuretic

agresif, parasentesis asites, dan retraksi cairan yang berlebihan. Terapi suportif

berupa :

- Diet tinggi kalori dan rendah protein

- Koreksi keseimbangan asam basa

- Hindari pemakaian OAINS

- Peritonitis bakterial spontan pada sirosis hati harus segera diobati sedini

dan seadekuat mungkin

- Hemodialisis belum pernah secara formal diteliti pada pasien SHR, namun

tampaknya tidak cukup efektif dan efek samping tindakan cukup berat

misalnya hipotensi, sepsis, dan pendarahan saluran cerna.

Page 10: Referat Sindrome Hepatorenal

Pengobatan medikamentosa

a.Vasodilator

Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator terutama PGs telah dipakai pada

penderita dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal.

Pemberian PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral

aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan

fungsi renal. Dopamin pada dosis nonpressor juga digunakan dalam usaha

menimbulkan vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamin selama 24

jam hanya menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa

perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis

endotelin spesifik dapat segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada

pasien dengan SHR.

b.Vasokonstriktor

Hipoperfusi ginjal pada SHR pada penderita sirosis berhubungan dengan

pengurangan pengisian sirkulasi arteri. Rasionalisasi penggunaan Vasokonstriktor

adalah untuk mengatasi vasodilatasi splanik (yang merupakan salah satu hipotesis

terjadinya sindroma hepatorenal). Vasokonstriktor telah digunakan dalam usaha

memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan

menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik.

Pemberian Terlipressin berdampak positif terutama bila dikombinasikan

dengan pemberian infuse albumin atau koreksi albumin serum merupakan

vasokonstriktor yang baik pada kasus SHR.

Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi

ornipressin dengan penambahan volume plasma dengan albumin memperbaiki

fungsi ginjal dan menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis

dengan SHR. Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat

menormalkan aktifitas yang berlebihan dari rennin – angiotensin dan sistem saraf

simpatis, peningkatan kadar natriuetik peptida arteri, dan hanya memperbaiki

sedikit fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari,

Page 11: Referat Sindrome Hepatorenal

perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju

filtrasi glomerulus. Terapi ini dapat digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi.

Pada beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan karena komplikasi iskemik.

Pada beberapa penelitian pemberian Midodrine dan Octreotide pada 13

penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas

plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472

hari, 1 penderita dilakukan transplantasi hati, dan yang lain meninggal setelah 75

hari karena gagal hati.

Tindakan invasif

a. Peritoneovenous shunt

Peritoneovenous shunt telah digunakan pada masa lalu untuk

penatalaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt

menyebabkan cairan ascites mengalir terus menerus dari rongga peritoneum ke

sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac

output) dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari

peritoneovenous shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari aktifitas

sistem vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium, dan pada beberapa kasus

dapat memperbaiki aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal inilah yang

menyebabkan rasionalisasi tindakan pada penderita SHR.

b. Portosystemic shunt

Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode non bedah untuk

kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS).

Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt adalah

penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada pasien

yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan

obstruksi dari stent. TIPS bermanfaat pada 75% kasus, dengan angka ketahanan

hidup SHR tipe 2 lebih baik dibandingkan SHR tipe 1. Beberapa laporan yang

melibatkan sejumlah pasien cenderung memperlihatkan bahwa prosedur ini

Page 12: Referat Sindrome Hepatorenal

meningkatkan fungsi ginjal pada pasien sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat

lagi untuk dilakukan transplantasi hati. Penelitian diatas menunjukkan bahwa

TIPS memberikan banyak keuntungan pada penatalaksanaan SHR. Walaupun

demikian, penggunaan TIPS masih memerlukan penelitian kontrol untuk dapat

direkomendasikan. Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1

dan menyimpulkan TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal, menurunkan aktifitas

renin angiotension dan sistem saraf simpatis.

c.Dialisis

Hemodialisis atau peritoneal dialisis telah dipergunakan pada

penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan

dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang

mengevaluasi efektifitas dari dialisis pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian

tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang

meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup

tinggi. Pada beberapa pusat penelitian, hemodialisis masih tetap digunakan untuk

pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.

d. Transplantasi Hati

Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita

SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya.

Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk

dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat

transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat

diamati selama 48 jam sampai 72 jam pertama. Setelah itu laju filtrasi glomerulus

mulai mengalami perbaikan.

Angka harapan hidup pada SHR tipe 1 umumnya pendek, sehingaa

transplantasi hati pada SHR tipe 1 sulit dilaksanaakan. Pada SHR tipe 2

transplantasi hati terbukti bermanfaat pada 90% kasus dengan angka ketahanan

hidup yang lebih kurang sama dengan transplantasi pada pasin tanpa SHR.

Page 13: Referat Sindrome Hepatorenal

PENCEGAHAN

Resiko SHR dapat dikurangi dengan pemakaian terapi diuretik secara

berhati-hati dan pemantauan ketat, penemuan dini setiap komplikasi seperti

ketidakseimbangan elektrolit, perdarahan atau infeksi. Obat nefrotoksik dihindari.

Resiko perburukan ginjal setelah parasintesis volume besar dikurangi dengan

pemberian albumin rendah garam.

Resiko serangan ulangan peritonitis bakterial spontan dikurangi dengan

pemberian antibiotik profilaksis. Bila pasien SBP mendapat terapi antibiotika,

pemberian albumin akan mengurangi frekuensi disfungsi ginjal. Pencegahan

infeksi bakteri : infeksi bakteri terjadi pada hampir 50% pasien dengan perdarahan

varises dan antibiotika profilaksis memperbaiki survival sekitar 10%. Ekspansi

volume : untuk mencegah terjadinya gagal ginjal pada pasien SBP,

direkomendasikan pemberian ekspansi volume plasma dengan albumin 20% (1-

1,5 gram/kgBB selama 1-3 hari) pada saat diagnosis untuk mencegah disfungsi

sirkulasi, gangguan ginjal, dan mortalitas. Pemakaian diuretik dengan bijaksana :

mengidentifikasi dosis efektif terendah diuretik untuk setiap individu pasien

adalah sangat penting karena gangguan fungsi ginjal akibat diuretik terjadi pada

sekitar 20% pasien asites sehingga terjadi penurunan volume intravaskular.

Menghindari pemakaian obat nefrotoksik : pasien dengan sirosis dan asites

merupakan predisposisi mendapat aminoglikosida dengan gagal ginjal terjadi

sekitar 33%. Penyebab penting lain kegagalan ginjal adalah pemakaian NSAIDs.

Obat ini menghambat pembentukan prostaglandin intra renal yang mengakibatkan

penurunan nyata fungsi ginjal dan eksresi Na+/H2O2 pada pasien sirosis dengan

asites.

PROGNOSIS

SHR merupakan komplikasi terminal penyakit hati yang sudah lanjut atau

berat, sehingga prognosis penyakit ini buruk dengan angka kematian lebih dari

90%.

Page 14: Referat Sindrome Hepatorenal

BAB III

KESIMPULAN

SHR adalah komplikasi dari penyakit hati yang lanjut yang ditandai tidak

hanya gagal ginjal, tapi juga gangguan sistem hemodinamik dan aktifitas sistem

vasoaktif endogen. Patogenesis SHR belum diketahui pasti, tetapi diduga

gangguan keseimbangan antara faktor vasokonstriktor dan vasodilator, serta

sistem persarafan simpatis. Diagnosa SHR berdasarkan International Ascites

Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome. Pilihan pengobatan yang

baik adalah transplantasi hati. Pengobatan pendukung hanya diberikan jika fungsi

hati dapat kembali normal atau sebagai jembatan untuk menunggu tindakan

transplantasi hati.

Page 15: Referat Sindrome Hepatorenal

DAFTAR PUSTAKA

1. Platt JF,Ellis JH, Rubin JM et al. Renal Duplex Doppler Ultrasonography:

A Noninvasive Predictor Of Kidney Dysfunction and Hepatorenal Failure

in Liver Disease. Hepatology 1994;20:362-9.

2. Gines P, Arroyo V. Hepatorenal Syndrome.J Am Soc Nephrol

1999;10:1833-9

3. Setiawan, P. B, Hernomo K. Sindrom Hepatorenal. Dalam: ed. Sudoyo,

Ari Wdkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat

Penerbi-tan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas In-donesia; 2006. Hal 452 – 454

4. Steven Silbernagl, Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.

EGC. Edisi Pertama, Jakarta, 2007

5. Dagher L, Moore K. The Hepatorenal Syndrome. Gut 2001;49:729-737

6. Arroyo V, Gines P,Gerbes Al et al. Defenition and Diagnostic criteria of

Refractory ascites and Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis Hepatology

1996;23:164-76

7. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.2007.Balai

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

8. Emedicine. Hepatorenal Syndrome. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/178208, update 4th jan 2012

9. CJASN. Hepatorenal Syndrome : Pathophisiology and Management.

Available at http://cjasn.asnjournals.org/content/1/5/1066.full ,update 5th

Oct 2012.