Laporan :
Kejahatan Kehutanan dan Monopoli Bisnis Kehutanan di Papua Barat
Koalisi Penyelamatan Hutan Papua
2015
Laporan
Kejahatan Kehutanan dan Monopoli Bisnis Kehutanan di Papua Barat PENDAHULUAN
Menteri LHK mengatakan illegal logging adalah perbuatan merusak hutan dan lingkungan seperti
teroris yang merusak masa depan generasi yang akan datang dan menyakiti hati rakyat. oleh kare-
nanya negara harus hadir.1 Hari ini, para penjahat teroris masih beroperasi dengan cara-cara jahat
dan melanggar hukum untuk mengeksploitasi hasil hutan dan merampas hak-hak orang asli Papua
yang tinggal didalam dan sekitar kawasan hutan.
Operasi kejahatan kehutanan tersebut masih melibatkan aktor-aktor pemodal dan bersekongkol
dengan oknum aparatus. Para pemodal berperan sebagai penyandang dana yang mengongkosi oper-
ator dan buruh penebangan. Hasil hutan kayu diangkut ke industri milik para pemodal dengan
dokumen ijin yang seolah-olah legitimate. Warga pemilik hutan adat diberikan fee yang nilainya
tidak sebanding dengan manfaat dan resiko bencana. Kejahatan ini dimungkinkan karena kurangnya
pengawasan dan lemahnnya penegak hukum.
Pada Februari 2016, Koalisi Penyelamatan Hutan Papua (Koalisi) mendokumentasikan kasus-kasus
pelanggaran serius yang berhubungan dengan aktifitas kedua perusahaan pembalakan kayu PT.
Wukirasari (WKS) dan PT. Arfak Indra (AI), yang ditenggarai masih berhubungan dan dimiliki
oleh Mr. Paulus George Hung, pemilik modal dan sebagai operator dalam aktifitas pembalakan
kayu hingga pengangkutan hasil kayu ke lokasi industri kayu disekitar Papua dan luar Papua.
Keberadaan bisnis Mr. Paulus George Hung menunjukkan praktik monopoli bisnis pengusahaan
hasil hutan kayu di Papua masih kuat. Seorang penguasa modal dapat memiliki dan menguasai be-
ragam bisnis investasi mulai dari kehutanan, pertambangan hingga industri pengolahan, yang
diduga diperoleh dan dilakukan dengan cara-cara melanggar konstitusi, mengabaikan kepentingan
dan hak-hak masyarakat, merugikan negara, bersekongkol melakukan KKN dan merusak ling-
kungan hidup. Monopoli bisnis tersebut tentu hanya menguntungkan diri sendiri dan pihak-pihak
yang koruptif.
MONOPOLI BISNIS MEGA MASINDO GROUP
Mr. Ting Ting Hung, pengusaha asal Malaysia ini dikenal sebagai cukong pembalakan kayu
secara liar (illegal logging) yang beroperasi di daerah Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur
dan Papua, pada tahun 2000 an. Menteri Kehutanan, Malem Sambat Kaban, pernah menjadikan Mr.
Ting Hung sebagai salah satu dari 50 cukong pembalakan kayu liar yang masuk dalam daftar hitam
target operasi hutan lestari. Mr. Hung pernah menjadi tersangka dan berurusan dengan Mabes Polri
pada tahun 2010. Pada Juli 2006, petugas Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) di Pulau Adi,
Fakfak, Papua Barat, menangkap kapal MV King Glory, kapal asal dari Thailand dan berbendera
Panama, yang mengangkut kayu hasil dari penebangan liar didaerah setempat yang hendak diangkut
ke Cina dengan menggunakan dokumen pemerintah Papua New Guinea. Kapal dan muatan kayu
tersebut terkait dengan bisnis ilegal Mr. Ting Hung, tetapi diberitakan Mr. Ting Hung bebas.2
Mr. Ting Ting Hung dikenal juga bernama Mr. Ting Ting Hong, kemudian berganti nama menjadi
Paulus George Hung, setelah menjadi warga negara Indonesia. Mr. Ting Hung beberapa kali lolos
dari jeratan hukum dan bisnisnya justeru menggurita di Papua, dibawah bendera Mega Masindo
Group, beralamat kantor di Jalan Kelapa Hybrida Raya Paulus Blok PF 18 Nomor 32, Kelapa Gad-
ing, Jakarta Utara. Perusahaan-perusahaan pengusahaan hasil hutan kayu yang diduga berhubungan
dimiliki, dikelola dan dikendalikan oleh Mr. Ting Hung, terdiri dari: (1) PT. Alas Tirta Kencana,
1 Lihat: http://sitinurbaya.com/kegiatan-menteri-lhk/453-menteri-lhk-di-papua-memeriksa-4-kontainer-kayu-hasil-
tangkapan-illegal-logging 2 Lihat: “Dulu Hong Kini Hung”, Majalah TEMPO, 3 Juli 2011, halaman 30.
perusahaan pembalakan kayu berlokasi di Timika, Provinsi Papua, seluas 87.500 ha; (2) PT. Wu-
kirasari, perusahaan pembalakan kayu berlokasi di Teluk Bintuni dan Kaimana, Provinsi Papua
Barat, seluas 116.320 ha; (3) PT. Arfak Indra, perusahaan pembalakan kayu berlokasi di Fakfak,
Provinsi Papua Barat, seluas 153.000 ha, dan (4) PT. Bagus Jaya Abadi (Keputusan Menteri Ke-
hutanan Nomor SK.120/Menhut-II/2009, tanggal 12 Maret 2009, perusahaan industri pengolahan
kayu berlokasi di Kampung Klayas, Distrik Seget, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat,
dengan kapasitas produksi 60.000 meter kubik per tahun.
Terdapat pula, perusahaan PT. Masindo Mitra Papua, yang bergerak dalam bisnis angkutan kapal
laut atas nama Maspapua, yang digunakan untuk membawa dan diduga menyelundupkan kayu
logging ke industri kayu di Papua dan luar Papua. Selain itu, Mega Masindo juga memiliki PT.
Mega Nusantara Indah, perusahaan yang menangani bisnis bidang penyewaan alar berat, logging,
truk dan excavator. Alat-alat tersebut digunakan dalam operasional logging perusahaan.
Bisnis pembalakan kayu Mr. Hung di Papua sering mendapat komplain keluhan masyarakat karena
permasalahan hak buruh, kelalaian kewajiban pembayaran kompensasi, manipulasi, pengabaian
tanggung jawab sosial, perampasan hak masyarakat, praktik kekerasan, intimidasi, pengrusakan hu-
tan hingga kejahatan kehutanan di areal konsesi, tapi belum ada penanganan dan penegakan hukum
secara berarti. Kedekatan Mr. Hung dengan pejabat nasional dan daerah setempat ditenggarai
melindungi aktifitas bisnis anak perusahaan Mega Masindo Group.
Perusahaan lainnya berada dibawah kontrol Mega Masindo Group adalah PT. Papua Lestari Ab-
adi (15.231 ha) dan PT. Sorong Agro Sawitindo (11.000 ha), keduanya adalah perusahaan perke-
bunan kelapa sawit berlokasi di Sorong, Papua Barat. Terdapat pula perusahaan pertambangan,
yakni: (1) PT. Bagus jaya Abadi (SK Bupati Nomor 223 Tahun 2009, IUP eksplorasi batu bara ber-
lokasi di Salawati, Kab. Sorong, seluas 7.843 hektar); (2) PT. Papua Lestari Abadi (SK Bupati
Nomor 224 Tahun 2009, IUP eksplorasi batu bara di Mayamuk dan Salawati, Kab. Sorong, seluas
9.707 ha); (3) PT. Mega Masindo Bara Abadi (SK Bupati Mimika Nomor 122 Tahun 2009, IUP
eeksplorasi batu bara, seluas 25.000 ha; (4) PT. Mega Masindo Bara Sukses (SK Bupati Mimika
Nomor 123 Tahun 2009, IUP eeksplorasi batu bara, seluas 25.000 ha; (5) PT. Mega Masindo
Coalindo (SK Bupati Mimika Nomor 124 Tahun 2009, IUP eeksplorasi batu bara, seluas 25.000
ha.(6) PT. Kalteng Bara Persada (SK Bupati Mimika Nomor 125 Tahun 2009, IUP eeksplorasi
batu bara, seluas 25.000 ha; (7) PT. Mega Masindo Bara Utama (SK Bupati Mimika Nomor 126
Tahun 2009, IUP eksplorasi batu bara, seluas 25.000 ha. Bisnis pertambangan tersebut berada
dibawah bendera PT. Mega Masindo Energi.
PT. Wukirasari (WKS) adalah perusahaan pembalakan kayu yang memiliki izin HPH (Hak Pen-
gusahaan Hutan, sekarang IUPHHK-HA) semenjak 6 Agustus 1990, berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 396/Kpts-II/1990, dan diperpanjang kembali berdasarkan Surat Kepu-
tusan Menteri Kehutanan Nomor 477/Menhut-II/2008, tanggal 31 Desember 2008, dengan areal
konsesi seluas 116.320 hektar, berlokasi di Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Kaimana,
dengan masa berlakukanya izin (IUPHHK-HA) berlaku hingga tahun 2052 atau 45 tahun.
Awalnya, PT. WKS dimiliki oleh perusahaan industri kayu lapis PT. Kayu Lapis Indonesia (KLI),
mulik Keluarga Sutanto, beralamat di Jalan Letjen S. Parman Kav 67, Wisma Idola Tunggal Lt 1 -
2, Slipi Palmerah, Jakarta 11410. Pada periode perpanjangan HPH PT. WKS, terjadi perubahan
managemen dan pengolahan hutan dari pemegang ijin PT. Wukirasari, kepada group perusahaan
Mega Masindo Group, milik Paulus George Hung atau dikenal panggilan Mr. Ting ting Hung,
yang beralamat kantor di Jalan Kelapa Hybrida Raya Paulus Blok PF 18 Nomor 32, Kelapa Gading,
Jakarta Utara. Berdasarkan dokume Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) yang dikeluarkan PT. Equal-
ity Indonesia, diketahui alamat PT. WKS berada di Jl. Kampung Lama Bintuni Timur, Provinsi
Papua Barat, dengan pengurus terdiri dari Komisaris Utama: Hadi Djojo Kusumo, Komisaris: Andi,
Direktur Utama: Iwan Tandiono dan Direktur Keuangan: Ronald L. Sanudin. Pada dokumen
lainnya3, diketahui PT. Wukirasari mempunyai alamat di Jalan Gunung Tidar No. 01 A, Kampung
3 Putusan Mahkamah Agung, Nomor 19/PDT/2013/PT.JPT, Perkara Gugatan PT. Wukirasari melawan PT. Hendrison
Iriana.
Baru, Sorong Barat, yang juga alamat dari PT. Masindo Mitra Papua, anak perusahaan Mega
Masindo Group. Belum diketahui hubungan antara Hadi Djojo Kusumo dengan pemilik Mega
Masindo Group, Paulus George Hung, terkait pemilikan saham PT. Wukirasari. Diketahui Hadi
Djojo Kusumo adalah pengusaha asal Surabaya dan pemilik CV. Surabaya Trading, pedagang kayu
merbau di Surabaya, Jawa Timur.
PT. Arfak Indra (AI) adalah perusahaan pembalakan kayu yang beroperasi di Kabupaten Fakfak,
Provinsi Papua Barat. PT. AI memperoleh izin IUPHHK - HA dari Menteri Kehutanan berdasarkan
Surat Keputusan Nomor 553/KPTS-II/1989, tanggal 25 Oktober 1989, luas konsesi 153.000 hektar.
Pada tahun 2009, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat perpanjangan izin melalui surat Nomor
SK.333/Menhut-II/2009, tanggal 15 Juni 2009, luas areal 177.900 hektar, berlokasi di Kabupaten
Fakfak, Provinsi Papua Barat.Berdasarkan dokumen penilaian kinerja PHPL PT. AI yang dilakukan
PT. Ayamaru Sertifikasi (Bogor), diketahui alamat kantor pusat PT. AI di Wisma Nugraha Lantai 4,
Jalan Raden Saleh Nomor 6, Jakarta Pusat, Telp. 021 319044328 dan Fax. 021 3190 4329. Alamat
lain PT. AI di Kompleks Rukan Artha Gading Niaga Blok B No. 29, Jakarta Utara. Sedangkan kan-
tor perwakilan di Jalan Yos Sudarso Nomor 88, Fakfak, Prov. Papua Barat. Telp/Fax. 0956 22854
dan Main Camp di Kampung Goras. Diketahui, pengurus Dewan Komisaris PT. AI adalah Henry
Tanamas, Direktur Utama: Ir. Muhammad Ihsan M.Si dan Direktur: Samsudin.
Studi Hatta (2007), diketahui kinerja perusahaan PT. AI terbilang buruk. Luas hutan primer sebe-
lum ada perusahaan berkurang hingga sebesar 52.303 ha atau rata-rata 3.077 hektar per tahun,
setelah aktifitas HPH selama 17 tahun dan tanpa ada upaya reboisasi. Hasil penilaian independen
kinerja PT. AI selama tahun 2000 sampai 2006 dikategorikan buruk, tetapi sangsi yang diberikan
oleh Departemen Kehutanan hanya tidak disetujui Rencana Kerja Tahunan (RKT) pada izin tebang
tahun 2003 hingga 2006. Perkembangannya tahun 2009, Menteri Kehutanan mengeluarkan per-
panjangan IUPHHK - HA kepada PT. AI. Tidak ada sangsi hukum berarti dan bahkan pencabutan
izin kepada perusahaan PT. AI yang lalai menjalankan kewajibannya.
Aktifitas pembalakan kayu PT. AI pada periode perpanjangan izin dilakukan oleh perusahaan kon-
traktor PT. Masindo Mitra Papua, anak perusahaan Mega Masindo Group, aktif melakukan
kegiatan penebangan kayu pada tahun 2014 dan 2015.
Kejahatan Kehutanan Korporasi
Koalisi Penyelamatan Hutan Papua mendokumentasikan kasus pelanggaran aktifitas kedua perus-
ahaan PT. WKS dan PT. AI, maupun aktifitas bisnis berhubungan dengan Mega Masindo Group,
yang diuraikan dibawah ini.
Koalisi menemukan pada tahun 2013 dan 2014, PT. WKS melakukan penebangan kayu di luar blok
tanpa izin dan persetujuan pejabat instansi terkait, yakni: (1) perusahaan PT. WKS telah mendapat-
kan SK Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat Nomor SK-RKT-14/2/2013, tentang
Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2013 di kawasan hutan wilayah Kabupaten Kaimana (lihat Peta
RKT 2013 dan Peta RKU), tetapi faktanya perusahaan melakukan pembukaan hutan, penebangan
dan pengambilan kayu disepanjang kawasan hutan di Kampung Tanir dan Kampung Rafideso,
Distrik Kuri, Kabupaten Teluk Bintuni, lokasinya jauh dari Blok RKT 2013 yang sesungguhnya; (2)
perusahaan PT. WKS juga telah mendapatkan SK Kepala Dinas Kehutanan Prov. Papua Barat
Nomor 522.2/182/Dishut-PB/SK.RKT-14/2/2014, tanggal 27 Februari 2014, tentang RKT 2014,
faktanya perusahaan melakukan penebangan bukan dalam Blok RKT 2014 yang ditentukan dan
diluar RKUPHHK (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) tahun 2011 - 2020.
Pada kedua areal lokasi tebangan ilegal tersebut, perusahaan PT.WKS juga melakukan pembukaan
wilayah hutan (PWH), pembuatan jalan dan penggunaan jalan tanpa izin dari instansi berwenang.
Perusahaan berdalih aktifitas pembukaan hutan dan pembangunan jalan berdasarkan surat permo-
honan Kepala Kampung Tanir dan Kampung Pigo kepada Bupati Teluk Bintuni. Masyarakat adat
setempat menyangkal tidak mengetahui surat tersebut dan tidak ada permintaan masyarakat untuk
pembuatan jalan baru, karena jalan lama masih memadai dan masih digunakan masyarakat. Pembu-
atan jalan dan memobilisasi tokoh masyarakat tertentu merupakan modus perusahaan untuk mem-
buka hutan dan melakukan penebangan serta mengambil hasil kayu dari hutan sekitar.
Perusahaan PT. WKS juga melakukan penebangan kayu tanpa ada penataan areal kerja (PAK),
tanpa ada inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP), tidak ada pelabelan pohon siap tebang,
penebangan dilakukan semaunya sehingga tidak ada pohon inti yang disisakan, melakukan pene-
bangan pohon dibawah ketentuan (50 up) mengabaikan sistem TPTI, tanpa menanam kembali
kecuali dipinggir jalan. Perusahaan PT. WKS menebang pohon-pohon disekitar daerah aliran sungai
Weperar, Kuri, Nambi, Naramasa dan Wagura. Penebangan kayu dan pembukaan wilayah hutan
secara serampangan mengakibatkan longsor dan sungai-sungai rusak. Tempat-tempat penting
masyarakat rusak dan hilang, seperti tempat keramat di Sungai Yaumina berubah menjadi kubangan
air berlumpur, tanaman sumber pangan mati dan hewan-hewan buruan sulit diperoleh.
Tim Terpadu (TIMDU) dibentuk pada November 2014 dan Ketua oleh Jimmy W. Susanto S.Hhut,
MP (Kepala Bidang Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat),
tugasnya melakukan monitoring aktifitas PT. WKS dan memeriksa administrasi kewajiban perus-
ahaan. Timdu menemukan adanya pembukaan wilayah hutan dan pembuatan jalan tanpa izin, serta
pembalakan kayu diluar Blok RKT tanpa izin (illegal logging). Potensi produksi jenis kayu dari
pembukaan jalan diperkirakan mencapai 618,21 meter kubik dan produksi jenis kayu dari pem-
bukaan kawasan hutan sebesar 17,324,59 meter kubik.
Timdu menyatakan adanya kerugian negara dan menuntut perusahaan membayar sanksi denda
penebangan diluar Blok RKT dan pembukaan wilayah hutan sebesar Rp. 12.742.846,470,00,- dan
denda atas pembuatan jalan sebesar Rp. 844.051.764,00, serta tunggakan iuran PSDH/DR atas
produksi kayu jenis merbau tahun 2014 sebanyak 20.000 meter kubik yang belum dimasukkan da-
lam LHP (Laporan Hasil Produksi), yakni: PSDH senilai Rp. 3.060.000.000,00 dan DR senilai USD
326.400,00. Artinya total kerugian negara atas penyimpangan dan kelalaian disengaja perusahaan
bernilai sebesar Rp. 16.646.898,234,00 dan USD 326.400,00. (Lihat Berita Acara Monitoring dan
Evaluasi Timdu, 26 November 2014). Jumlah kerugian tersebut masih dibawah perkiraan masyara-
kat, karena hanya terbatas pada produksi kayu yang dapat dilihat dipinggiran jalan dan tidak me-
masukkan jumlah kayu yang ditebang dalam kawasan hutan.
Timdu menemukan indikasi pembuatan LHP (Laporan Hasil Produksi) fiktif, karena terdapat
perbedaan pencatatan atas jenis kayu yang diproduksi. Dalam LHP tidak terdapat jenis kayu
merbau, faktanya stock kayu bulat diareal logpond hampir seluruhnya merupakan jenis merbau.
Berdasarkan Laporan Petugas Wasganis dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, Isak Wakum,
diketahui produksi kayu bulat hingga November 2014, keseluruhannya adalah jenis kayu meranti
dan rimba campuran, sebagaimana dilaporkan PT. WKS produksi jenis campuran tanpa kayu
merbau berjumlah sebanyak 20.565,20 m3. Faktanya, setelah dilakukan pemeriksaan Stock
Opname (SO) oleh Timdu, ditemukan adanya kayu log jenis merbau sebanyak 147 batang atau
709,40 m3, sedangkan berdasarkan survei tunggal kayu merbau oleh masyarakat ditemukan ter-
dapat 742 batang kayu jenis merbau. Perbedaan ini dikarenakan perhitungan yang dilakukan oleh
Tim SO hanya berdasarkan perhitungan sisa kayu di tempat pengumpulan kayu dan dipinggir jalan,
yang mana sebagian besar kayu-kayu merbau tersebut sudah dimuat dan diperdagangkan.
Penyimpangan dari aksi kejahatan kehutanan tersebut dimungkinkan karena kurangnya dan atau
ketidakhadiran pengawasan pejabat berwenang ataupun terjadi persekongkolan dengan tujuan
mendapatkan keuntungan bagi kedua belah pihak yang merugikan negara dan masyarakat.
Hak Masyarakat Diabaikan
Masyarakat adat setempat Suku Kuri yang berdiam di kawasan hutan sekitar areal konsesi perus-
ahaan PT. WKS, antara lain: Kampung Refideso, Wagura, Awedgro, Otermta dan Pigo. Sejak awal
perpanjangan izin IUPHHK-HA, perusahaan PT. WKS tidak pernah melakukan sosialisasi dan kon-
sultasi untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat setempat yang merupakan pemilik ka-
wasan hutan setempat. Kebanyakan masyarakat tidak pernah melihat dokumen-dokumen resmi pe-
rusahaan, seperti: izin perusahaan, AMDAL, RKU, RKT dan Sertifikat lainnya.
Pemerintah dan perusahaan tidak pernah memberikan informasi hal-hal yang menjadi hak masyara-
kat, termasuk ketentuan kompensasi atas kerugian dan hilangnya hak masyarakat dikarenakan
kegiatan pemanfaatan kayu. Sehingga perusahaan memberikan nilai kompensasi seenaknya saja.
Perusahaan mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti program pemberdayaan dan pembangunan
yang memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat, masyarakat setempat tidak juga direkrut
menjadi karyawan. Meskipun diperlakukan tidak adil dan hak-haknya diabaikan, masyarakat adat
setempat tidak mampu menyuarakan dan melakukan protes keras, selain meminta perhatian dan
pengertian pemerintah maupun perusahaan.
Pemerintah tidak juga hadir untuk mengupayakan keadilan bagi masyarakat, isunya perusahaan
dilindungi dan bekerjasama dengan pejabat penguasa sehingga kebal hukum. Berkali-kali masyara-
kat menyurati pemerintah daerah dan pemerintah pusat, seperti: Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kemeterian Politik Hukum dan HAM di Jakar-
ta, tetapi tidak ada tanggapan dan penyelesaian berarti.
Masyarakat tidak dapat bersuara keras karena masih trauma dengan peristiwa Mariedi berdarah ta-
hun 2004, masyarakat di Kampung Mariedi, Distrik Pafurwar, Teluk Bintuni, yang protes atas
kesewenang-wenangan perusahaan HPH PT. Djayanti dan pemberian kompensasi yang tidak adil,
mereka diperhadapkan pada aparat keamanan Brimob dan dengan tudingan OPM, warga diberon-
dong peluru sehingga mengakibatkan dua orang meninggal, dua diantaranya perempuan.
Pada Juli dan Agustus 2014, perusahaan PT. WKS membayarkan kompensasi kayu dari hutan adat
setempat yang ditebang dan diangkut secara ilegal pada tahun 2013. Pada tahun ebelumnya, pem-
bayaran kompensasi semaunya perusahaan saja, tidak ada informasi berapa kubikasi kayu yang di-
angkut dan berapa harga kayu perkubik. Padahal pemerintah setempat telah memiliki ketentuan
terkait dengan kompensasi sejak tahun 2007, yakni Surat Keputusan Gubernur Papua Barat Nomor
144 Tahun 2007 Tentang Standar Pemberian Kompensasi Bagi Masyarakat Adat atas Kayu yang
Dipungut Pada Areal Hak Ulayat di Provinsi Papua Barat, yang sudah direvisi melalui Peraturan
Gubernur Papua Barat Nomor 5 Tahun 2014, tertanggal 28 Februari 2014.
Pemberian kompensasi atas kayu yang sudah roboh ditebang secara ilegal dibayarkan secara berka-
la dan tidak sesuai janji, hal ini menimbulkan keresahan masyarakat. Perusahaan juga tidak menghi-
tung pembayaran kompensasi atas kayu-kayu yang sudah roboh dan dibiarkan busuk didalam hutan.
Kekerasan Melibatkan Aparatus Negara di PT. Arfak Indra
Pada Februari 2015, Yeremias Temongmere asal Kampung Mbaham Dandara menemukan hutan
dusun pala miliknya di Dusun Bogoma dirobohkan dan digusur oleh bulldozer perusahaan PT.
Arfak Indra (AI). Bukan hanya Yeremias, perusahaan juga menggusur dusun pala milik Dominggus
Muri, Lukas Muri, Neleton Muri, Pene Wagap, Mikael Muri, Yudas Muri, Wenan Murisan, Musa
Muri, Lukas Muri dan Dominggus Muri, yang terjadi sepanjang Januari hingga Juni 2015. Perus-
ahaan PT. AI tidak pernah bermusyawarah dan meminta persetujuan masyarakat sebelum
menggusur hutan dusun pala. Akibat penggusuran dan pengrusakan kawasan hutan pala, masyara-
kat mengalami kerugian dan kehilangan sumber pendapatan. Menggusur dusun pala berarti mem-
bakar tabungan dan kehidupan masyarakat. Demikian ungkapan masyarakat terkait fungsi dan nilai
dusun pala.
Perusahaan PT. AI menggunakan aparat keamanan Brimob untuk mengamankan bisnis pembalakan
kayu. Yeremias melakukan perlawanan dengan menahan kunci bulldozer dan menuntut ganti rugi
terhadap perusahaan. Operator perusahaan PT. AI bersama aparat Brimob mendatangi rumah
Yeremias dengan menenteng senjata mesin dan mengeluarkan kata-kata intimidatif, membuat
Yeremias tidak berani menuntut haknya. Demikian pula warga korban lainnya.
Pada kali lain, aparat Brimob membongkar palang ‘sasi adat’ yang dipasang Marga Wagab, Amos
Wagab, Agus Wagab dan Ruben Wagab, untuk melarang aktifitas perusahaan melakukan kegiatan
pembalakan kayu tanpa izin dan terjadi pengrusakan kawasan hutan tanaman pala. Aparat Brimob
melakukan patroli dan mendatangi warga yang melakukan penebangan dan pengambilan pohon
kayu di kawasan hutan disekitar kampung. Petugas Brimob mempersoalkan aktifitas warga tanpa
izin dan bekerja diareal PT. Arfak Indra, serta melarang masyarakat untuk mengambil kayu. Petu-
gas Brimob mengancam dengan nada keras bahwa mereka tidak bertanggung jawab, jika terjadi
sesuatu terhadap diri warga yang mengambil kayu diwilayah PT. Arfak Indra. Petugas Brimob juga
pernah menyita kayu olahan milik Amir Temong Mere, warga Kampung Goras, Distrik Mbaham
Dandara. Padahal Amir hanya memanfaatkan kayu buangan di logpond perusahaan.
Kekerasan verbal dan intimidasi terhadap warga berulang-ulang kali dialami warga. Masyarakat
adat Mbaham Matta dari kampung sekitar PT. AI bersama Dewan Adat Papua Mbaham Matta di
Fakfak sudah melaporkan ke DPRD Fakfak dan Bupati Fakfak, terkait praktik kekerasan dan in-
timidasi yang melibatkan aparat keamanan, serta penggusuran dan pembongkaran hutan secara
paksa. Kelompok yang mengatasnamakan Komunitas Kaum Pribumi Mbaham Matta (Komban) ju-
ga sudah melaporkan perkara tersebut melalui surat pengaduan ke MRP Papua Barat, Gubernur,
DPR Papua, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat dan Kapolda Papua Barat, pada Mei
2015, tetapi belum ada tanggapan dari pemerintah selaku pelayan dan pelindung rakyat. Pendekatan
keamanan melibatkan aparat Brimob Polri sebagai alat kekerasan negara untuk mengintimidasi dan
memaksa warga patuh, serta pembiaran oleh pemerintah setempat sangat menguntungkan perus-
ahaan yang dilindungi dalam menjalankan aktifitas meski menyimpang.
Pada Maret 2015, lembaga sertifikasi PT. Ayamaru Sertifikasi (Bogor) mengumumkan hasil audit
penilikan atas kinerja pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) PT. AI dan disebutkan penilaian
sertifikasi PHPL tersebut berlanjut dengan predikat akhir kinerja ‘Baik’ turun menjadi ‘Sedang’.
Beberapa hal yang disoroti adalah perusahaan tidak mempunyai mekanisme penyelesaian konflik
dan tidak mempunyai catatan penanganan konflik, terbatasnya sosialisasi visi misi dan rencana pe-
rusahaan, implementasi PHPL hanya sebagian dilaksanakan, belum ada pesetujuan dari para pihak
dan belum tertuang dalam berita acara, pelaksanaan CSR hanya pada sebagian para pihak, keterse-
diaan jenis dan jumlah sarana prasarana perlindungan dan pengamanan hutan belum memadai.
Dilapangan, ditemukan tidak tampak jelas adanya inventarisasi hutan sebelum penebangan, seperti
label kayu yang siap tebang dan belum. Dilengkapi informasi dari masyarakat diketahui perusahaan
melakukan penebangan tidak sesuai menyimpang dari ketentuan dengan melakukan pembalakan
kayu belum matang, penebangan disekitar daerah aliran sungai dan daerah penting untuk dilin-
dungi. Perusahaan PT. AI juga gagal melindungi dan mengamankan kawasan hutan sehingga men-
imbulkan kebakaran hutan yang hebat di areal konsesi terjadi sepanjang bulan Oktober 2015. Keba-
karan tersebut merembet hingga ke dusun pala masyarakat. Menurut kesaksian masyarakat, perus-
ahaan tidak berupaya mengatasi meluasnya kebakaran hutan dan tidak punya alat untuk menanggu-
langi kebakaran hutan. Asap dari kebakaran hutan ini menimbulkan kabut asap yang mengakibatkan
bandar udara ditutup selama satu minggu.
Indikasi Korupsi
Mantan Menteri Kehutanan M.S. Kaban dan aparat penegak hukum pernah menjadikan Mr. Ting
Hung, sebagai tersangka pelaku illegal logging4, namun pengadilan memutuskan Mr. Ting Hung
bebas. Diberitakan juga jika Mr. Ting Hung dekat dengan sejumlah pejabat di Kementerian Kehu-
tanan dan pejabat di daerah, termasuk petinggi kepolisian daerah di Papua5, yang memperlancar dan
mempermudah perolehan izin investasi dan perlindungan atas kesewenang-wenangan operasi pe-
rusahaan di Papua. Hukum sepertinya tidak berlaku atas penguasa Mr. Hung.
Dalam uraian kasus diatas, terlihat kekuasaan dan kesewenang-wenangan dilakukan oleh perus-
ahaan milik Mr. Ting Hung dengan cara melanggar peraturan perundang-undangan dan hukum
masyarakat adat setempat. Pemerintah tidak berupaya melakukan penegakan hukum sebagaimana
mestinya, tetapi melakukan pengabaian dan menganulir penyimpangan yang terjadi.
Pada pertemuan sosialisasi hasil monitoring dan evaluasi pada areal IUPHHK - HA PT. Wukirasari
di Aula Kantor Bupati Teluk Bintuni, pada 27 Maret 2015, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua
Barat, Ir. Hendrik Runaweri, MM, menolak hasil temuan dan kesimpulan Timdu sebagaimana ter-
tuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), serta seolah-olah terjadi kelalaian dan tidak ada
koordinasi antara staf dan kepala dinas, sebagaimana kutipan pernyataan, berikut:
“… temuan staf saya dilapangan setelah membuat BAP ini tidak berkoordinasi
dengan saya, dalam BAP tadi adanya ilegal logging, perambahan hutan, dan sang-
si pelanggaran UU nomor 41 Tahun 1999 dan UU no 18 Tahun 2014 tentang Ke-
hutanan dan adanya sangsi Pidana dan telah ditemuakan kayu merbau 20 rbu M3
yang tidak dilaporkan dalam LHP, saya mau katakan disini bahwa Perusahaan
Wukirasari memiliki ijin yang sah sehingga tidak bisa dikatakan telah melakukan
ilegal logging. Staf saya juga seharusnya setelah membuat BAP ini harus
berkoordinasi dengan saya sebagai Kepala Dinas bukan langsung memvonis sep-
erti ini”.
Pada bagian lain, Kadishut Prov. Papua Barat, tidak mengakui hasil Timdu, disampaikan:
“BAP yang saya persentasikan tidak diakui kebenarannya karena bersifat dugaan
adanya kayu merbau yang tidak di LHP kan karena tidak cukup bukti"
Pernyataan ini menunjukkan adanya niat untuk menutupi fakta-fakta temuan Timdu atas penyim-
pangan perusahaan PT. WKS, disisi lainnya, tidak mengakui dan mengabaikan fakta temuan
penyimpangan oleh masyarakat setempat. Hal ini menimbulkan dugaan adanya praktik korupsi an-
tara pihak perusahaan dan pejabat pemerintah setempat untuk menutupi atau menganulir dugaan
penyimpangan yang disangkakan kepada perusahaan. Pemerintah dan aparat penegak hukum juga
tidak secara terbuka menyampaikan langkah-langkah dan hasil penegakan hukum yang dilakukan,
sehingga pihak pemilik perusahaan masih bebas melakukan aktifitasnya hingga saat ini.
Pihak pimpinan Kapolda Prov. Papua Barat, Paulus Waterpauw (ketika itu), terlibat menghentikan
permintaan masyarakat untuk melakukan pertemuan membahas temuan hasil Timdu pada Februari
dan Maret 2015. Banyak pihak mengetahui adanya temuan penyimpangan perusahaan, pejabat Di-
nas Kehutanan Provinsi Papua Barat dan Kapolda, diduga sudah mengendus informasi ini, tetapi
karena tidak ada penanganan hukum segera, sehingga memungkinkan kepada pihak-pihak yang tid-
4 Lihat: http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2006/09/30/20124/Si-Aseng-Ditangkap,-Ting-Ting-Hong-Menggugat.
5 Lihat: http://desamerdeka.id/ulah-direktur-pt-mega-masindo-di-timika-papua-diduga-di-back-up-pejabat/
ak bertanggung jawab melakukan upaya tidak wajar dan menyimpang. Disini ada dugaan praktik
korupsi terjadi untuk kepentingan perlindungan atas permasalahan penyimpangan tersebut.
Pada pertengahan April 2015, Tim Pelayanan Penanganan Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(TP2KLHK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Jakarta), dipimpin Irjen Pe-
nanganan Pengaduan, Istanto, secara informal bertemu dengan masyarakat di Coffe Resto dan
melakukan turun lapangan untuk memeriksa keluhan masyarakat atas permasalahan PT. WKS, yang
sudah disampaikan pada awal April 2015. TP2KLHK melakukan pengecekan ke lokasi kejadian
dan ditemukan adanya tindakan illegal logging. Namun, tindakan kejahatan ala teroris ini tidak
pernah diketahui kelanjutannya dan tanpa ada tanggapan. Kuasa modal dapat saja membenamkan
temuan-temuan TP2KLHK dengan saja mendiamkan ataupun mengabaikan kasus tersebut.
Hal lain potensial terjadinya tindak korupsi adalah pengangkutan hasil hutan kayu ke penerima in-
dustri pengolahan kayu dan terjadinya pencucian dokumen diperjalanan menjadi legal dan meng-
gantikan isi muatan. Kami temukan informasi hasil-hasil kayu dengan cara illegal, kayu diangkut
tanpa lunas kewajibannya terhadap negara maupun masyarakat dan merampas hak masyarakat yang
diproduksi oleh PT. Wukirasari dan PT. Arfak Indra, maupun yang dibeli dari masyarakat dari
usaha tanpa ijin, telah dibawah ke industri pengolahan kayu di Sorong (PT. Bagus Jaya Abadi), di
Boven Digoel (PT. Korindo Abadi), ke Jawa Timur (PT. Hasil Kayu Indah, CV. Jati Makmur, PT.
Kastraco Jaya Raya, PT. Hutan Lestari Multi Perkasa, PT. Hasil Sumber Alam Indonesia).
Rekomendasi
Kami koalisi memandang tindakan kejahatan kehutanan dan buruknya tata kelola kehutanan yang
dikendalikan kuasa monopoli pemodal, kelalaian pejabat dan aparatus negara yang melanggar
HAM. Perihal tersebut sangat meresahkan dan jika tidak ada tindakan hukum segera maka hutan di
tanah Papua akan rusak dan terjadi deforestasi. Demikian pula masyarakat adat Papua yang tergan-
tung pada hutan akan semakin dimiskinkan, kehilangan sumber mata pencaharian, kehilangan sum-
ber pangan, kehancuran budaya dan berkonflik dengan pemerintah maupun perusahaan.
Koalisi merekomendasikan hal-hal terkait kebijakan dan penegakan hukum, sebagai berikut:
1. Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk segera memeriksa keberadaan perusahaan ter-
sebut dengan melibatkan masyarakat adat setempat, memberikan sangsi atas penyimpangan ke-
jahatan kehutanan tersebut, serta mendesak membayar kerugian masyarakat dan negara;
2. Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memeriksa pihak-pihak yang diduga terkait kasus keja-
hatan kehutanan yang berbau korupsi dan kolusi, serta memberikan sangsi yang adil;
3. Pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni segera memfasilitasi pemulihan hak masyarakat
adat setempat dan menyelesaikan pergantian atas kerugian masyarakat korban, menerbitkan ke-
bijakan peraturan daerah guna mengakui dan melindungi hak masyarakat adat Papua di wilayah
Kabupaten Teluk Bintuni.
Sumber Dokumen:
1. Berita Acara Monitoring dan Evaluasi Kegiatan IUPHHK Tahun 2014 Pada IUPHHK PT. Wu-
kirasari, diterbitkan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat.
2. Laporan Perjalanan Dinas dalam rangka Monitoring dan Evaluasi IUPHHK Tahun 2014. Pada
IUPHHK PT. Wukirasari, diterbitkan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, Manokwari,
Nopember 2014, Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat.