Upload
erny-setyawati
View
80
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seluruh siswa sebenarnya sudah mempunyai pengalaman dan pengetahuan
yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa fisika dalam kehidupan sehari-hari
sebelum mereka mempelajarinya di bangku sekolah. Dengan pengalaman itu,
maka dibenak para siswa sudah terbentuk suatu intuisi dan teori siswa mengenai
peristiwa-peristiwa fisika sebelum mereka mempelajarinya. Intuisi dan teori ini
belum tentu kebenarrannya. Misalnya melalui pengalaman dan peristiwa sehari-
hari siswa memperoleh engetahuan tentang gaya, gerak, cahaya, gerak jatuh
bebas, listrik, energi dan peristiwa alam yang kasat mata lainnya. Sebagai contoh
yaitu pada gambar 1.1, ketika terdapat dua buah benda memiliki massa berbeda,
kemudian dijatuhkan secara bersamaan dari suatu ketinggian yang sama.
Kebanyakan dari kita akan berpikir bahwa benda yang bermassa lebih besar akan
lebih cepat sampai ke tanah.
Gambar 1.1. Dua benda bermassa berbeda dijatuhkan
Benda yang lebih berat akan jatuh lebih cepat daripada benda yang lebih
ringan, ini merupakan salah satu miskonsepsi yang dimiliki oleh siswa. Faktanya,
dalam keadaan ideal benda dengan berat yang berbeda akan jatuh bersamaan.
Konsep yang selama ini diyakini adalah bahwa pada gerak jatuh bebas sebuah
1
2
benda yang memiliki berat lebih besar akan dipercepat sebanding dengan
beratnya. Pernyataan ini tampaknya cukup masuk akal. Jika kita menjatuhkan
selembar kertas dan batu dalam waktu yang bersamaan, batu akan lebih cepat
jatuh dibanding kertas. Namun pada kenyataanya konsep yang benar adalah setiap
benda yang jatuh ke bawah akan mengalami percepatan yang sama besar. Jika
kedua benda tersebut dijatuhkan pada saat yang bersamaan, keduanya akan
sampai di tanah dalam waktu yang bersamaan. Bila tidak ada gesekan udara,
ternyata bahwa setiap benda bagaimanapun ukuran dan berapapun beratnya,
jatuhnya di titik yang sama di permukaan bumi maka akan terjadi dengan
kecepatan yang tidak berbeda, dan apabila jarak jatuhnya tidak terlalu besar,
percepatannya akan tetap konstan selama jatuh. Efek gesekan udara dan
berkurangnya percepatan akibat tinggi letak diabaikan. Jika tidak ada
pengahalang lain, juga tidak ada gesekan udara, maka percepatan akibat gaya
berat dan diberi simbol huruf g. Pada atau dekat permukaan bumi besar
percepatan ini kira-kira 9,8 ms-2 (Zemansky, 1999 : 77). Hal ini menunjukkan
bahwa waktu tempuh selama benda jatuh tidak dipengaruhi oleh massa benda,
melainkan hanya dipengaruhi oleh besarnya percepatan gravitasi.
Tidak semua siswa mempunyai pemahaman dan penafsiran yang sama
tentang konsep IPA. Tafsiran perorangan terhadap banyak konsep sangat mungkin
berbeda-beda. Van den Berg menyatakan bahwa tafsiran konsep oleh seseorang
ini disebut konsepsi (Pujayanto, 2007 : 4). Siswa membangun konsepsi tersendiri,
sehingga tafsiran seseorang terhadap suatu realita bersifat individu. Siswa
seringkali mengalami konflik dalam dirinya ketika berhadapan dengan informasi
baru dengan konsep awal yang telah dibawa sebelumnya. Pada umumnya,
informasi baru tersebut bertentangan dengan prakonsepsi yang dimiliki siswa.
Apabila siswa mempunyai konsepsi yang berbeda dengan konsep ilmiah yang
benar maka hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya miskonsepsi.
Miskonsepsi terjadi karena penyimpangan antara kenyataan gejala alam
secara nyata dengan yang terdapat dalam pikiran siswa. Penyimpangan ini terjadi
karena hasil pemikiran mereka dalam pengalaman hidupnya akibat menyerap
konsep salah atau kurang lengkap. Serta umumnya mereka lebih percaya pada
3
konsep yang diperoleh dari pengamatan yang merupakan hasil interaksi dengan
alam sekitar dan sifatnya lebih mantap dibanding dengan hasil pengajaran formal.
Melalui pengamatan diri sendiri, seolah-olah telah ditemukan konsep yang benar
tanpa berprasangka akan salah.
Van Den Berg dalam jurnal yang berjudul “Identifikasi Miskonsepsi IPA
(Fisika) pada Siswa SD” oleh Pujayanto (2007 : 4) berpendapat bahwa
miskonsepsi adalah konsepsi siswa yang berbeda atau bertentangan dengan
konsepsi para ahli. Sedangkan Paul Suparno (2005 : 4) menyebutkan bahwa
miskonsepsi menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian
ilmiah atau pengertian yang diterima pakar dalam bidang itu.
Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dalam dua dasawarsa terakhir
ini menunjukkan bahwa salah satu sumber kesulitan utama dalam pelajaran fisika
adalah miskonsepsi (Berg, dalam Tayubi, 2005 : 4). Miskonsepsi yang muncul
secara terus menerus akan mengganggu dalam pembentukan konsepsi ilmiah
siswa. Akibatnya, siswa akan mengalami kecenderungan memahami dan
menerapkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip fisika dengan salah. Klammer
(Tayubi, 2005 : 4) mengemukakan bahwa miskonsepsi juga akan menghambat
pada proses penerimaan dan asimilasi pengetahuan-pengetahuan baru dalam diri
siswa, sehingga akan menghalangi keberhasilan siswa dalam proses belajar lebih
lanjut. Ini merupakan masalah besar dalam pengajaran fisika yang tidak dapat
dibiarkan. Seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan hal tersebut, maka perlu
diadakan penelitian berkaitan dengan pengidentifikasian miskonsepsi siswa
sehingga nantinya dapat ditentukan upaya penanggulangannya secara tepat.
Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan penelitian dengan tema
“Deskripsi kualitatif miskonsepsi pada pelajaran IPA Fisika pokok bahasan gaya
dan hukum Newton pada siswa kelas XI IPA MAN 2 Kudus”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, permasalahan pada penelitian ini
dapat diidentifikasi sebagai berikut :
4
1. Pembelajaran fisika masih kurang memperhatikan prakonsepsi yang dimiliki
oleh siswa
2. Perbedaan informasi baru dengan prakonsepsi siswa dapat menyebabkan
terjadinya miskonsepsi
3. Miskonsepsi merupakan salah satu faktor kesulitan utama dalam pelajaran
fisika
4. Perlunya diadakan penelitian tentang besarnya miskonsepsi yang terjadi pada
diri siswa serta profil materi-materi yang mengalami miskonsepsi sehingga
diharapkan dapat memperbaiki kesalahpahaman konsep yang dipelajari siswa
C. Fokus Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai ruang lingkup
penelitian, maka perlu diberi batasan-batasan yang menyangkut kawasan dan
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi fokus dalam
penelitian ini adalah ada besarnya tingkat miskonsepsi yang dialami oleh siswa
dan deskripsi mengenai profil materi yang menjadi miskonsepsi oleh siswa.
D. Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang masalah dan fokus penelitian yang telah
diuraikan sebelumnya, maka dirumuskan suatu permasalahan, yaitu:
1. Berapa besarkah tingkat miskonsepsi yang dialami siswa pada pelajaran IPA
Fisika di MAN 2 Kudus pada pokok bahasan gaya dan hukum Newton?
2. Bagaimanakah deskripsi mengenai profil materi yang mengalami miskonsepsi
oleh siswa?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Besarnya tingkat miskonsepsi siswa pada pelajaran IPA Fisika di MAN 2
Kudus pada pokok bahasan gaya dan hukum Newton.
5
2. Profil materi yang mengalami miskonsepsi IPA (Fisika) pada pokok bahasan
gaya dan hukum Newton pada siswa MAN 2 Kudus.
F. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu manfaat
teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini adalah teridentifikasinya miskonsepsi
siswa sehingga dapat memberikan profil atau gambaran berupa informasi tentang
miskonsepsi yang dialami oleh siswa pada pokok bahasan gaya dan hukum
Newton agar selanjutnya dapat ditentukan upaya untuk mengatasi miskonsepsi
dengan cara yang tepat akurat.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat yang
berkepentingan dengan pendidikan. Mereka yang dapat memanfaatkan hasil
penelitian ini adalah penentu kebijakan, pengajar, dan mereka yang terkait dengan
pendidikan. Manfaat tersebut antara lain :
a. Bagi penentu kebijakan baik kepala sekolah maupun lembaga diatasnya, hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi untuk peningkatan mutu
proses pembelajaran fisika selanjutnya
b. Bagi pengajar, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan oleh
guru agar dapat mengakomodasikan miskonsepsi siswa sehingga dapat
mengadakan pembenahan miskonsepsi pada pokok bahasan gaya dan Hukum
Newon yang terjadi pada siswa
c. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sarana evaluasi
terhadap hasil belajarnya dan dapat dijadikan motivasi untuk mengadakan
perbaikan dalam pembelajaran selanjutnya
d. Bagi pihak-pihak yang terkait dalam bidang pendidikan, hasil penelitian ini
diharapkan memberikan wawasan tentang miskonsepsi dalam pelajaran fisika
serta dapat menjadi motivasi dilakukannya kajian-kajian lanjutan mengenai
hasil dan proses penelitian yang sama
6
G. Definisi Istilah
Untuk memperjelas permasalahan dan pencapaian hasil sesuai dengan apa
yang diharapkan dalam penelitian ini, maka penulis perlu memberikan penjelasan
tentang arti beberapa kata atau istilah yang tercantum dalam judul skripsi. Dengan
penjelasan ini di harapkan dapat menghindari adanya perbedaan atas istilah-istilah
yang digunakan dalam skripsi ini. Beberapa istilah yang perlu mendapatkan
penjelasan antara lain :
1. Deskriptif kualitatif
Deskriptif kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yaitu meliputi
menganalisis, menggambarkan dan meringkas berbagai kondisi, situasi dari
berbagai data yang dikumpulkan berupa hasil wawancara atau pengamatan
mengenai masalah yang diteliti yang terjadi di lapangan (Winartha, 2006 : 155).
2. Miskonsepsi
Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak
sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar bidang
itu (Suparno, 2005:4).
3. IPA Fisika
Fisika adalah ilmu pengetahuan yang paling fundamental karena
merupakan dasar dari semua bidang sains yang lain (Tipler, 2001 : 1).
4. Hukum Newton
Merupakan teori analisis Newton tentang gerak yang dirangkum dalam
“tiga hukum gerak”nya yang terkenal. Gaya digambarkan sebagai semacam
tarikan atau dorongan yang memiliki besar dan arah sehingga merupakan besaran
vektor (Giancoli, 2001 : 90). Gaya dan gerak yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah gaya yang dipelajari dalam mekanika dan dinamika. Pada mekanika hanya
dibatasi pada pembahasan gerak lurus. Sedangkan pada bidang dinamika meliputi
gaya gesek, gaya berat, gaya normal dan hukum Newton.
7
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Konsep dan Konsepsi
Ausubel dalam Van den Berg (Tayubi, 2005 : 5) menyatakan bahwa
konsep merupakan benda-benda, kejadian-kejadian, situasi-situasi, atau ciri-ciri
yang memiliki ciri-ciri khas dan yang terwakili dalam setiap budaya oleh suatu
tanda atau simbol. Jadi konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang
mempermudah komunikasi antara sesama manusia dan yang memungkinkan
manusia berpikir.
Sampai saat ini belum ada definisi yang tepat tentang konsep. Sedangkan
menurut Rosser (Dahar, 2011 : 63) konsep merupakan suatu abstraksi yang
mewakili suatu kelas obbjek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau
hubungan-hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Dahar (2011 : 62)
menyatakan bahwa konsep-konsep merupakan batu pem-bangun berpikir. Artinya
suatu konsep tidak akan memiliki arti apabila konsep tersebut tidak dihubungkan
dengan konsep yang lain. Arti suatu konsep kemudian disepakati oleh para ahli
dan akan tampak pada cabang ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
Kemampuan membentuk konsep terjadi ketika seseorang mempunyai
kemampuan memberikan respon terhadap stimulus yang berbeda dalam suatu
keadaan. Ausubel dalam Dahar (2011 : 64) menyatakan bahwa konsep-konsep
diperoleh dengan dua cara, yaitu pembentukan konsep yang merupakan benttuk
perolehan konsep-konsep sebelum anak-anak masuk sekolah (prakonsepsi), dan
asimilasi konsep yang merupakan perolehan konsep selama dan sesudah sekolah,
asimilasi konsep ini dengan cara mengaitkan konsep yang sudah ada dengan
konsep yang baru diterima kemudian mengalami penyesuaian konsep. Berikut
adalah ciri-ciri konsep yang dikemukakan oleh Dahar (1989):
7
8
a. Konsep timbul dari hasil pengalaman manusia dengan lebih dari satu benda,
peristiwa atau fakta, konsep merupakan suatu generalisasi dari fakta-fakta
tersebut
b. Hasil berpikir abstrak manusia dari fakta-fakta tersebut
c. Suatu konsep dapat dianggap kurang tepat disebabkan timbulnya fakta-fakta
baru, sehingga konsep dapat mengalami suatu perubahan (bersifat tentatif)
Tafsiran perorangan terhadap suatu konsep sangat mungkin berbeda-beda.
Hal ini bergantung pada pengalaman dan pengetahuan yang telah mereka miliki.
Van den Berg menyatakan bahwa tafsiran perorangan terhadap suatu konsep
disebut dengan konsepsi (Pujayanto, 2007 : 4). Setiap siswa membangun konsepsi
tersendiri, sehingga tafsiran seseorang terhadap suatu realita bersifat individu.
Walaupun dalam fisika kebanyakan konsep telah mempunyai arti yang jelas yang
sudah disepakati oleh para tokoh fisika, namun konsepsi siswa masih berbeda-
beda. Van den Berg (Purba, 2008 : 3) menyatakan bahwa konsepsi perorangan
terhadap banyak konsep sangat mungkin berbeda-beda. Perbedaan itu antara lain
disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a. Pengetahuan dan pengalaman berhubungan yang telah dimiliki
b. Struktur pengetahuan yang telah terbentuk pada pikirannya
c. Perbedaan kemampuan individu dalam menginterpretasi pada saat belajar, hal
ini akan menentukan apa yang masuk ke otak dan menafsirkan apa yang
masuk ke otak
2. Miskonsepsi
Suatu konsep dalam fisika telah mempunyai arti yang jelas dan disepakati
oleh tokoh fisika. Akan tetapi setiap siswa memungkinkan memiliki konsepsi
yang berbeda sesuai dengan cara pandangannya masing-masing. Ketika siswa
mengikuti proses pembelajaran secara formal di sekolah, mereka sudah
mempunyai konsep awal tentang fisika. Biasanya konsepsi yang dimiliki siswa
tidak terlalu persis sama dengan konsepsi fisikawan, karena pada umumnya
konsepsi fisikawan akan lebih canggih, lebih kompleks, lebih rumit dan banyak
9
melibatkan hubungan antar konsep. Suatu konsepsi dibentuk oleh masing-masing
individu siswa. Dan adalah wajar bila mereka memiliki konsepsi yang berbeda,
dan konsepsi itu layak untuk dihargai. Jika konsepsi siswa sama dengan konsepsi
fisikawan yang disederhanakan, maka konsepsi siswa tersebut tidak dapat
dikatakan salah. Tetapi apabila konsepsi siswa benar-benar tidak sesuai atau
bertentangan dengan konsepsi fisikawan, maka siswa tersebut dikatakan
mengalami miskonsepsi (Berg, dalam Tayubi, 2005 : 5).
Van Den Berg (Pujayanto, 2007 : 4) berpendapat bahwa miskonsepsi
adalah konsepsi siswa yang berbeda atau bertentangan dengan konsepsi para ahli.
Kemudian Paul Suparno (2005 : 4) menyebutkan bahwa miskonsepsi menunjuk
pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian
yang diterima pakar dalam bidang itu. Sedangkan Sugata Pikatan (1999) dalam
artikelnya yang berjudul “Memahami Gagal Konsepsi dalam Fisika”
menyebutkan bahwa gagal konsepsi adalah fenomena dimana seseorang gagal
menerapkan teori di lapangan karena pemahaman konsep yang tidak lengkap atau
keliru dalam intepretasinya.
a. Ciri-ciri miskonsepsi
Menurut Van Den Berg (Maharta, 2011) beberapa ciri miskonsepsi
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Miskonsepsi sangat tahan terhadap perubahan
2) Seringkali sisa miskonsepsi terus-menerus mengganggu walaupun dalam soal-
soal yang sederhana
3) Seringkali terjadi regresi, yaitu siswa yang sudah pernah mengatasi
miskonsepsi, kemudian salah lagi
4) Miskonsepsi tidak dapat dihilangkan dengan metode ceramah
5) Siswa, mahasiswa, guru, dosen, maupun peneliti dapat mengalami miskonsepsi
10
b. Jenis-jenis miskonsepsi
Sugata Pikatan (1999) dalam artikelnya yang berjudul “Memahami Gagal
Konsepsi dalam Fisika” mengungkapkan jenis-jenis miskonsepsi secara umum,
yaitu:
1) Gagal kondisi : kegagalan aplikasi akibat tidak dikuasainya kondisi-kondisi
yang melatarbelakangi sebuah teori.
2) Gagal intuisi : kegagalan aplikasi akibat tidak dimilikinya intuisi atau konteks
fisis sebagai pengalaman yang terintegrasi dengan teori.
Dua jenis kegagalan di atas dapat saling mempengaruhi. Gagal kondisi
yang berlarut-larut dapat menjadi gagal intuisi yang lebih parah, dan sebaliknya
gagal intuisi dapat menyebabkan kecenderungan terjadinya gagal kondisi.
c. Penyebab Miskonsepsi
Driver (1985) dalam Dahar (2006 : 154-155) mengungkapkan penyebab
terbentuknya miskonsepsi dalam pembelajaran yaitu sebagai berikut :
1) Terbentuknya miskonsepsi disebabkan karena anak cenderung mendasarkan
berpikirnya berdasarkan pada hal-hal yang tampak dalam suatu situasi
masalah
2) Dalam banyak kasus, anak itu hanya memperhatikan aspek-aspek tertentu
dalam suatu situasi
3) Anak lebih cenderung memperhatikan perubahan daripada situasi diam.
4) Bila anak-anak menerangkan perubahan, cara mereka berpikir cenderung
mengikuti urutan kausal linier
5) Gagasan yang dimiliki anak mempunyai berbagai konotasi, gagasan anak
lebih inklusif dan global
6) Anak kerap kali menggunakan gagasan yang berbeda untuk
menginterpretasikan situasi-situasi yang oleh para ilmuwan digunakan cara
yang sama
11
Miskonsepsi disebabkan oleh bermacam-macam hal. Secara umum dapat
disebabkan oleh siswa sendiri, guru yang mengajar, konteks pembelajaran, cara
mengajar dan buku teks. Paul Suparno (2005 : 53) mengidentifikasi ada 6 sebab
utama miskonsepsi dan masing-masing ditimbulkan oleh sebab khusus. Secara
skematis penyebab miskonsepsi pada siswa dapat diuraikan dalam tabel (2.1).
Tabel 2.1. Penyebab Miskonsepsi Siswa
Sebab Utama Sebab KhususSiswa Prakonsepsi
Pemikiran asosiatifPemikiran humanistikReasoning yang tidak lengkap/salahIntuisi yang salahTahap perkembangan kognitif siswaKemampuan siswaMinat belajar siswa
Guru/pengajar Tidak menguasai bahan, tidak kompetenBukan lulusan dari bidang ilmu fisikaTidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ideRelasi guru-siswa tidak baik
Buku Teks Penjelasan keliruSalah tulis, terutama dalam rumusTingkat kesulitan penulisan buku terlalu tinggi bagi siswaSiswa tidak tahu membaca buku teksBuku fiksi sains kadang-kadang konsepnya menyimpang demi menarik pembacaKartun sering memuat miskonsepsi
Konteks Pengalaman siswaBahasa sehari-hari berbedaTeman diskusi yang salahKeyakinan dari agamaPenjelasan dari orang tua/orang lain yang keliruKonteks hidup siswa (TV, radio, film yang keliru)Perasaan senang/tidak senang; bebas atau tertekan
Cara mengajar Hanya berisi ceramah dan menulisLangsung ke dalam bentuk matematikaTidak mengungkapkan miskonsepsi siswaTidak mengkoreksi PR yang salahModel analogiModel praktikumModel diskusiModel demonstrasi yang sempitNon- multiple intelligences
Sumber : Suparno (2005 : 53)
12
d. Cara mengatasi miskonsepsi
Ada banyak cara untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi. Tetapi
tidak setiap cara sesuai bagi siswa yang mengalami miskonsepsi, karena kesalahan
siswa beraneka ragam. Van den Berg (Maharta, 2011 : 7) merumuskan beberapa
tahapan untuk mengatasi miskonsepsi sebagai berikut:
1) Pertama adalah mendeteksi prakonsepsi siswa.
2) Kedua adalah merancang pengalaman belajar yang bertolak dari prakonsepsi
tersebut dan kemudian menghaluskan bagian yang sudah baik dan mengoreksi
bagian konsepsi yang salah
3) Ketiga adalah latihan pertanyaan dan soal untuk melatih konsep baru dan
menghaluskannya. Pertanyaan yang dipakai harus dipilih sedemikian rupa
sehingga perbedaan antara konsepsi yang benar dan yang salah akan muncul
dengan jelas
3. Miskonsepsi Tentang Gaya
Miskonsepsi terdapat pada semua bidang sains, tidak ada bidang sains
yang dikecualikan dalan hal miskonsepsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
miskonsepsi terjadi secara universal di seluruh dunia bagaimanapun lingkungan
soaial budaya, bahasa, maupun etniknya. Konsepsi dan miskonsepsi siswa diduga
kuat terbentuk pada masa anak dalam interaksi otak dengan alam. Sejak kecil anak
berpengalaman dengan alam sekitarnya, maka di dalam otaknya sudah terbentuk
konsepsi atau miskonsepsi yang berhubungan dengan konsep-konsep tersebut
(Berg, dalam Tayubi, 2005 : 5).
Miskonsepsi banyak terjadi dalam bidang fisika. Dari 700 studi mengenai
konsep alternatif bidang fisika, ada 300 yang meneliti tentang miskonsepsi dalam
mekanika, 159 tentang listrik, 70 tentang panas, optika dan sifat-sifat materi, 35
tentang bumi dan antariksa, serta 10 studi mengenai fisika modern. Dapat terlihat
bahwa bidang mekanika berada di urutan teratas dari bidang-bidang fisika yang
mengalami miskonsepsi. Masih banyak siswa yang mengalami miskonsepsi
13
mengenai perpindahan, jarak, kecepatan dan kecepatan. Beberapa siswa masih
bingung tentang kecepatan dan percepatan benda.
Mikonsepsi mengenai prinsip-prinsip dasar gaya dan gerak bahkan masih
sering dijumpai. Miskonsepsi mengenai hukum I Newton diantaranya adalah
siswa masih percaya dengan konsep impetus, apabila resultan gaya nol maka
kelajuan berkurang dan kecepatan benda konstan jika resultan gaya konstan.
Pada saat siswa melihat benda yang mula-mula bergerak menjadi berhenti
ketika tidak ada gaya eksternal yang mempengaruhi. Terkadang siswa berfikir
bahwa benda yang bergerak akan terhenti jika resultan gaya yang bekerja adalah
nol. Padahal Newton sudah memberikan penjelasan bahwa yang membuat benda
tersebut berhenti adalah gaya gesek.
4. Kajian Teori Tentang Gaya dan Gerak
a. Gaya
Apabila kita mendorong atau menarik sebuah benda, maka dapat dikatakan
kalau kita memberikan gaya pada benda itu. Giancoli dalam edisi kelimanya
(2001 : 90) menjelaskan tentang pengertian gaya. Gaya digambarkan berupa
tarikan atau dorongan. Dalam pengertian lain, gaya ialah suatu tarikan atau
dorongan yang dapat menimbulkan perubahan gerak. Dengan demikian, jika
benda ditarik atau didorong dan sebagainya maka pada benda bekerja gaya dan
keadaan gerak benda dapat dirubah.
Gaya dapat juga dilakukan oleh benda-benda mati, misalnya suatu pegas
yang regang akan melakukan gaya kepada benda-benda yang diikatkan pada
ujung-ujung pegas tersebut, udara yang dmampatkan akan melakukan gaya
kepada dinding-dinding wadah udara itu, sebuah lokomotif akan melakukan gaya
pada deretan gerbong-gerbong yang sedang ditariknya (Zemansky, 1999 : 6).
Gaya adalah penyebab gerak. Satuan gaya dalam SI adalah newton (N),
dimana 1 N = 1 kgm/s2. Gaya termasuk besaran vektor, karena gaya ditentukan
oleh besar dan arah, besarnya dapat dilukiskan dengan diagram vektor yang
berupa anak panah. Panjang anak panah menyatakan nilai atau besar gaya,
14
sedangkan arah anak panah menyatakan arah gaya. Besarnya vektor ditulis dengan
huruf tebal. Huruf yang sama tetapi bentuknya biasa (tidak tebal) menyatakan
besar dari besaran yang bersangkutan. Jadi, besar dari vektor gaya F dinyatakan
dengan F (Zemansky, 1999 : 8).
Pen
Gambar 2.1 Vektor gaya
Dua vektor (matematis) dianggap sama berdasarkan definisi apabila
keduanya memiliki besar dan arah yang sama. Jadi, vektor A dan B dalam gambar
2.2 (a) memiliki besar dan arah yang sama. Sebuah vektor dapat digerakkan sesuai
dengan kehendak kita, asal panjang dan arahnya tidak diubah.
Gambar 2.2 Resultan oleh dua buah vektor
Hasil penjumlahan vektor dari dua buah vektor secara matematis dapat
ditentukan dengan cara sebagai berikut: andaikan A dan B pada gambar 2.2(a)
merupakan dua vektor yang diketahui. Lalu kedua vektor dilukis seperti gambar
(b), dengan titik pangkal A diletakkan di titik ujung B. Besar dan arah vektor C
sama. Maka besar C yang merupakan vektor hasil penjumlahan A dan B
dituliskan dalam Zemansky (1999 : 9):
C = A+ B
A + B = B + A (2.1)
15
Terkadang kita diharuskan mengurangkan besar sebuah vektor dengan
besar sebuah vektor lainnya. Proses pengurangan satu besaran vektor dengan yang
lainnya sama dengan menambah (secara vektoral) dengan negatif vektor
pengurang itu. Dalam hal ini, negatif suatu vektor didefinisikan sebagai vektor
yang besarnya sama tetapi arahnya berlawanan. Gambar 2.2(c) vektor -B
berlawanan dengan vektor B, oleh karena itu penjumlahan gayanya merupakan
selisih antara vektor A dan vektor B.
Dua gaya yang dinyatakan oleh vektor F1 dan F2 pada gambar 2.3(a)
serentak bekerja di sebuah titik A pada sebuah benda. Maka gaya yang bekerja
pada benda itu merupakan suatu gaya tunggal, yang besar, arah dan garis kerjanya
dinyatakan oleh vektor jumlahan R dari gaya-gaya asal, yang ekuivalen dengan
kedua vektor tersebut. Gaya tunggal ini disebut dengan resultan dari gaya-gaya
asal tadi. Oleh sebab itu penjumlahan dua vektor gaya sama dengan operasi fisis
mencari resultan dari dua gaya yang serentak bekerja pada sebuah titik yang
tertentu. Gambar resultan dari dua buah gaya yang bekerja serentak pada sebuah
benda dapat dilihat pada gambar (b). Resulan gaya FR besarnya dapat dinyatakan
dalam persamaan 2.2 (Zemansky, 1999 : 14), yaitu:
FR=√F12+F2
2 (2.2)
Gambar 2.3 (a) Dua buah gaya yang bekerja pada benda; (b) Resultan gaya
b. Massa dan Berat
Berat suatu benda berbeda dengan massanya. Berat (w) adalah besarnya
gaya tarik bumi terhadap benda tersebut dan arahnya menuju pusat bumi. Arah
gaya berat benda yang selalu menuju ke pusat bumi dapat dilihat dalam gambar
2.4. Sedangkan massa merupakan ukuran inersia suatu benda. Artinya, massa
16
suatu benda menunjukkan seberapa besar kecenderungan benda itu untuk
mempertahankan keadaannya. Semakin besar massa suatu benda, semakin besar
gaya yang diperlukan untuk untuk mengubah keadaan geraknya. Massa diukur
dengan menggunakan timbangan atau neraca. Satuan massa dalam SI adalah kg.
Gambar 2.4 Arah gaya berat bumi menuju ke pusat bumi
Perbedaan massa dan berat yaitu, massa (m) merupakan besaran skalar di
mana besarnya di sembarang tempat untuk suatu benda yang sama selalu tetap.
Sedangkan berat (w) merupakan besaran vektor di mana besarnya tergantung pada
tempatnya (tergantung pada percepatan gravitasi tempat benda berada).
Berat benda merupakan suatu gaya. Sebuah benda yang mengalami gerak
jatuh bebas dari suatu tempat yang cukup tinggi relatif terhadap tanah bila
gesekan udara dapat diabaikan, maka pada benda hanya bekerja gaya gravitasi
bumi. Hal itu berarti bahwa percepatan benda sama dengan percepatan gravitasi
bumi yang besarnya rata-rata 9,8 m/s2. Jadi, apabila suatu benda dibiarkan jatuh
bebas, gaya yang mempengaruhi adalah beratnya (w), dan percepatan yang
disebabkan oleh gaya ini merupakan percepatan akibat gravitasi g. Berdasarkan
persamaan umum F=ma, maka khusus dalam kasus jatuh bebas menjadi
persamaan 5.6 (Zemansky, 1999 : 100) yaitu:
w=mg (2.3)
berat benda merupakan suatu gaya, dan harus dinyatakan dalam satuan gaya
menurut sistem satuan yang digunakan. Jadi, dalam sistem mks, satuan berat ialah
1N, dalam sistem cgs ialah I dyne, dan dalam sistem Inggris ialah 1 lb.
17
c. Macam-macam gaya
1) Gaya sentuh dan gaya tak sentuh
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering berinteraksi dengan gaya kontak
(gaya sentuh) maupun gaya tak sentuh. Gaya sentuh adalah gaya yang bekerja
pada suatu benda dengan melalui sentuhan pada permukaan benda tersebut.
Contoh gaya sentuh antara lain, seorang anak yang mendorong meja, seorang anak
yang mengayuh sepeda, dan pemain basket yang melempar bola basket (gambar
2.5(a)).
Jika benda dapat bergerak tanpa dibantu oleh dorongan atau tarikan gaya
otot, berarti benda itu bergerak oleh gaya tak sentuh. Gaya tak sentuh dapat
didefinisikan sebagai gaya yang bekerja pada benda tanpa menyentuh benda
tersebut. Contoh gaya tak sentuh antara lain gaya gravitasi bumi (gambar 2.5 (b)),
gaya listrik, dan gaya magnet. Gaya tersebut timbul walaupun kedua benda tidak
bersentuhan secara langsung.
(a) (b)
Gambar 2.5 (a) Gaya sentuh, (b) Gaya gravitasi bumi
2) Gaya gravitasi dan gaya normal
Gaya gravitasi bekerja pada sebuah benda ketika benda tersebut jatuh.
Ketika benda berada dalam keadaan diam di bumi gaya gravitasi padanya tidak
hilang. Pasti ada gaya lain pada benda tersebut untuk mengimbangi gaya gravitasi.
Contohnya pada saat sebuah benda diletakkan di atas sebuah bidang, maka bidang
18
itu memberi gaya dorong ke atas. Gaya yang diberikan oleh meja ini disebut gaya
kontak, kaena terjadi ketika dua benda bersentuhan. Ketika gaya kontak tegak
lurus terhadap permukaan kontak, gaya itu biasa disebut gaya normal (Giancoli,
1998 : 102).
Gaya normal didefinisikan sebagai gaya yang bekerja pada bidang sentuh
antara dua permukaan benda yang saling bersentuhan dan arahnya selalu tegak
lurus pada bidang sentuh. Gambar 2.6 menunjukkan bahwa arah vektor gaya
normal selalu tegak lurus terhadap permukaan sentuh bidang bagaimana pun
posisi benda diletakkan.
N N
N
N
Gambar 2.6 Gaya normal yang bekerja pada suatu benda
3) Gaya gesek
Apabila permukaan sebuah benda meluncur di sebuah permukaan benda
lain, masing-masing benda akan melakukan gaya gesekan. Gaya gesekan terhadap
tiap benda berlawanan arahnya dengan arah geraknya, relatif terhadap benda
lawannya. Gesekan biasanya terjadi di antara dua permukaan benda yang
bersentuhan, baik terhadap udara, air atau benda padat. Ketika sebuah benda
bergerak di udara, permukaan benda tersebut akan bersentuhan dengan udara
sehingga terjadi gesekan antara benda tersebut dengan udara, demikian juga ketika
bergerak di dalam air. Gaya gesekan juga selalu terjadi antara permukaan benda
padat yang bersentuhan, sekalipun benda tersebut sangat licin.
Dalam gambar 2.7 (a) sebuah balok terletak diam di atas permukaan
horisontal dalam keadaan setimbang dibawah pengaruh beratnya W dan gaya P
yang dilakukan permukaan terhadapnya. Kemudian seutas tali diikatkan pada
balok dan gaya tegangan tali T dalam tali ditambahkan sedikit demi sedikit,
19
seperti pada gambar 2.7 (b). Bila gaya tegangan itu tidak terlampau besar, balok
akan tetap diam. Gaya P yang dilakukan oleh permukaan terhadap balok akan
miring ke kiri karena ketiga gaya P, w dan T harus kongruen. Komponen P yang
sejajar dengan permukaan disebut gaya gesek statis fs. Komponen lainnya, N
adalah gaya normal yang dilakukan permukaan terhadap balok. Berdasarkan
syarat-syarat kesetimbangan, gaya gesek statis sama dengan gaya T dan gaya
normal sama dengan gaya berat w.
Gambar 2.7. Gaya gesek pada bidang
Gaya gesek statis (fs) bekerja ketika pada saat benda diam (berhenti) atau
benda tepat akan bergerak. Pada balok 2.7 (c) jika gaya T terus diperbesar, maka
akan tercapailah suatu harga limit, pada harga dimana balok akan terlepas dari
permukaan lalu mulai akan bergerak. Dengan kata lain, gaya gesek statis fs itu ada
harga maksimumnya. Bila gaya T tepat dibawah harga maksimumnya gerak akan
mulai. Jika T melebihi harga maksimum ini, balok akan bergerak dan tidak lagi
dalam keadaan setimbang.
Untuk sepasang permukaan tertentu harga maksimum fs hampir
berbanding lurus dengan gaya normal N. Jadi, gaya gesek statis dapat mempunyai
harga nol (jika tidak ada gaya sejajar terhadap permukaan yang bekerja padanya)
dan suatu harga maksimu yang berbanding lurus dengan N atau sama dengan f s =
20
sN. Faktor s disebut koefisien gesek statis. Jadi besarnya gaya gesek statis dapat
dinyatakan sesuai dengan persamaan (2-6) Zemansky (1999 : 36) yaitu:
f s ≤ μs N (2.4)
Begitu gerakan dimulai, ternyata bahwa gaya gesekan itu berkurang. Gaya
gesekan baru ini dinamakan gaya gesek kinetik fk, yaitu gaya gesek yang terjadi
pada saat benda bergerak. Untuk sepasang permukaan tertentu, besar gaya gesek
kinetik juga hampir berbanding lurus dengan gaya normal. Faktor perbandingan
k disebut koefisien gesekan kinetik. Jadi kalau balok bergerak, beasr gaya gesek
kinetik ditentukan berdasarkan persamaan (2-7) dalam Zemansky (1991 : 36):
f s ≤ μs N (2.5)
d. Hukum Newton tentang Gerak
1) Hukum I Newton
Hukum I Newton berbunyi : “ sebuah benda tetap pada keadaan awalnya
yang diam atau bergerak dengan kecepatan yang sama kecuali ia dipengaruhi oleh
suatu gaya yang tak seimbang, atau gaya eksternal” (Tipler, 1998 : 87-88).
Jika resultan dari gaya-gaya yang bekerja pada sebuah benda sama dengan
nol, maka benda tersebut :
a) Jika dalam keadaan diam akan tetap diam
b) Jika dalam keadaan bergerak lurus beraturan akan tetap bergerak lurus
beraturan
Keadaan tersebut di atas disebut juga dengan hukum kelembaman.
Kecenderungan benda untuk untuk mempertahankan keadaan diam atau gerak
tetapnya disebut dengan inersia atau kelembaman. Dengan demikian, hukum
Newton pertama sering disebut dengan hukum inersia.
2) Hukum II Newton
Hukum Newton pertama menyatakan bahwa jika tidak ada gaya total yang
bekerja pada sebuah benda, benda tersebut akan tetap diam, atau jika sedang
bergerak, akan tetap bergerak dengan laju konstan dalam garis lurus. Jika sebuah
21
gaya total F diberikan pada sebuah benda bermassa m akan menyebabkan
perubahan lajunya yang menimbulkan adanya percepatan a (lihat gambar 2.8).
Sehingga dapat dikatakan bahwa gaya total menyebabkan percepatan.
Gambar 2.8 Percepatan a oleh gaya F pada benda bermassa m
Percepatan yang ditimbulkan oleh gaya yang bekerja pada suatu benda
berbanding lurus dan searah dengan gaya itu dan berbanding terbalik dengan
massa benda. Semakin besar massa, semakin kecil pula percepatannya. Newton
menyatakan hukum II Newton secara matematis dalam persamaan (4-1) dalam
Giancoli (2001 : 95) sebagai berikut:
a ∞∑ F
m atau ∑ F ∞ ma
∑ F=ma (2.4)
dimana a adalah percepatan, m adalah massa dan ΣF merupakan gaya total.
Simbol Σ berarti jumlah dari. F adalah gaya, sehingga ΣF berarti jumlah vektor
dari semua gaya yang bekerja pada benda tersebut, yang didefinisikan sebagai
gaya total. Hukum Newton kedua menghubungkan antara deskripsi gerak dengan
penyebabnya, yaitu gaya. Hukum ini merupakan hubungan paling dasar pada
fisika. Dari hukum Newton kedua kita bisa membuat definisi yang lebih tepat
mengenai sebuah gaya sebgai sebuah aksi yang bisa mempercepat sebuah benda.
Tabel 2.2 Dibawah ini merupakan tabel yang menyatakan satuan-satuan gaya,
massa dan percepatan dalam ketiga sistem satuan.
Tabel 2.2. Satuan Gaya, Massa dan Percepatan
Sistem satuan Gaya Massa Percepatan
Mks newton (N) kilogram (kg) m sek -2
Cgs dyne (dyn) gram (g) cm sek -2
Inggris pound (lb) Slug ft sek -2
F
22
(Sumber : Zemansky, 1999 : 96)
3) Hukum III Newton
Gaya yang diberikan kepada sebuah benda selalu diberikan oleh benda
lain. Hukum III Newton disebut juga hukum aksi-reaksi. Zemansky dalam
bukunya yang berjudul “Fisika untuk Universitas 1” (1994 : 24) menyatakan
bahwa ketika suatu benda melakukan gaya ke benda lain, maka benda yang kedua
itu selalu akan melakukan gaya pula kepada benda yang pertama, yang sama
besarnya, berlawanan arahnya (atau tandanya) dan mempunyai garis kerja yang
sama.
Gambar 2.9 Gaya aksi – reaksi
Pada gambar 2.9 dapat dilihat sebuah gambar seseorang yang sedang
mendorong almari. Gaya aksi bekerja pada seorang yang sedang mendorong
almari, gaya reaksi yang sama besar akan diberikan oleh almari kepada seorang
yang mendorongnya dengan arah yang berlawanan dengan arah gaya aksi. Dapat
disimpulkan bahwa gaya aksi dan reaksi bekerja pada dua buah benda yang
berbeda dengan besar yang sama dan memiliki arah yang berlawanan.
Secara matematis, Hukum III Newton dapat dinyatakan dalam persamaan
(4-2) dalam Zemansky (1999 : 100) yaitu:
Faksi = - Freaksi (2.5)
Faksi = - Freaksi memiliki besar yang sama dan tanda minus menunjukkan
bahwa kedua gaya tersebut berlawanan arah. Hukum III Newton menunjukkan
bahwa gaya-gaya di alam semesta ini selalu muncul berpasangan, tidak pernah
23
ada gaya yang muncul sendirian. Tidak ada gaya reaksi tanpa didahului oleh gaya
aksi, dan tidak ada gaya aksi yang tidak diikuti gaya reaksi.
e. Gerak dalam bidang
1) Komponen utama dalam gerak
Jika kita memperhatikan keadaan di sekeliling kita, ternyata semua benda
di alam ini selalu bergerak. Benda dikatakan bergerak kedudukannya selalu
berubah terhadap titik acuan tertentu. Gerak bersifat relatif, artinya bergantung
padda titik acuan yang digunakan. Ada beberapa besaran yang merupakan
komponen utama dalam gerak, yaitu :
a) Jarak dan perpindahan
Jarak adalah panjang lintasan yang di tempuh oleh suatu benda dalam
selang waktu tertentu. Jarak merupakan besaran skalar. Sedangkan perpindahan
adalah perubahan suatu benda karena adanya selang waktu tertentu. Perpindahan
hanya bergantung pada posisi sehingga perpindahan merupakan besaran vektor
b) Kecepatan dan kelajuan
Kelajuan adalah besaran yang tidak bergantung pada arah dan hanya
bernilai positif saja (merupakan besaran skalar). Istilah laju menyatakan seberapa
jauh sebuah benda berjalan dalam suatu selang waktu tertentu. Jika sebuah mobil
menempuh 240 kilometer dalam 3 kam, kita katakan bahwa laju rata-ratanya
adalah 80 km/jam. Secara umum laju rata-rata sebuah benda didefinisikan sebagai
jarak yang ditempuh sepanjang lintasannya dibagi waktu yang diperlukan untuk
menempuh jarak tersebut, besarnya kelajuan secara matematis dirumuskan dalam
persamaan (2-1) dalam Giancoli (2001 : 25) yaitu
laju rata−rata= jarak tempuhwaktu tempuh yangdiperlukan
(2.6)
Istilah laju dan kecepatan sering dipertukarkan. Laju adalah sebuah
bilangan positif dengan satuan. Kecepatan digunakan untuk menyatakan baik
besar (nilai numerik) mengenai seberapa cepat sebuah benda bergerak maupun
arah geraknya (Giancoli, 2001 : 25). Kecepatan adalah besaran yang bergantung
24
pada arah, serta memiliki nilai positif atau negatif (merupakan besaran vektor).
Kecepatan rata-rata didefinisikan dalam hubungannya dengan perpindahan secara
matematis dirumuskan dalam persamaan (2-1) dalam Giancoli (2001 : 25) yaitu:
kec epatan rata−rata= perpindahanwaktu yang ditempuh
(2.7)
c) Percepatan
Benda yang kecepatannya berubah dikatakan mengalami percepatan.
Percepatan adalah perbandingan kecepatan dengan waktu tertentu dan arahnya
sesuai dengan arah gerakan benda. Percepatan menyatakan seberapa cepat
kecepatan sebuah benda berubah. Percepatan rata-rata didefinisikan sebagai
perubahan kecepatan dibagi waktu yang secara matematis dirumuskan dalam
persamaan (2-4) dalam Zemansky (1999 : 28) sebagai berikut:
a=v2−v1
t 2−t 1
=∆ v∆ t
(2.8)
Percepatan juga merupakan vektor, tetapi untuk gerak satu dimensi hanya
perlu digunakan tanda plus atau minus untuk menunjukkan arah relatif terhadap
sistem koordinat yang dipakai.
2) Gerak melingkar
Gambar 2.10. Vektor kecepatan gerak melingkar
Gerak melingkar adalah gerak suatu benda yang lintasannya berupa
lingkaran. Arah gerak melingkar sama dengan arah busur lingkaran. Sebuah
partikel yang bergerak melingkar dengan radius r dan laju konstan v mempunyai
25
percepatan selalu menuju pusat lingkaran. Percepatan itu disebut dengan
percepatan sentripetal (asp) yang besarnya dirumuskan dalam persamaan (5-1)
dalam Giancoli (2001 : 134) yaitu:
asp=v2
r(2.8)
Percepatan ini bergantung pada v dan r. Untuk laju v yang lebih besar,
semakin cepat pula kecepatan berubah arah dan semakin besar radius, makin
lambat kecepaan berubah arah.
Vektor percepatan menuju ke arah pusat lingkaran. Tetapi vektor kecepatan
selalu menuju ke arah gerak. Dengan demikian vektor kecepatan dan percepatan
tegak lurus satu sama lain di setiap titik jalurnya untuk gerak melingkar, lihat
gambar 2.10. Ini sekaligus membenarkankan anggapan yang selama ini salah
yaitu percepatan dan kecepatan selalu dalam arah yang sama. Untuk sebuah benda
yang jatuh vertikal, percepatan dan kecepatan memang paralel. Tetapi, pada gerak
melingkar, keduanya tidak paralel, dimana a = g selalu berarah ke pusat bumi
tetapi vektor kecepatan bisa memiliki berbagai arah.
Arah gerak melingkar tidak searah dengan lintasan lingkaran. Arah gerak
melingkar di suatu titik pada lintasan adalah arah garis singgung. Jika arah gerak
sesuai dengan arah lintasan lingkaran, maka arah resultan antara arah kecepatan
itu dengan kecepatan yang ditimbulkan oleh gaya sentripetal masuk ke dalam.
Karena ini terjadi pada setiap titik, maka arah lintasan akan mengarah ke dalam.
Kalau ini terjadi maka tidak terbentuk lintasan lingkaran, Tetapi berbentuk seperti
spiral tiga roda, makin lama makin pendek jari-jarinya. Ternyata bukan seperti
spiral. Maka, arah gerak memang tidak searah dengan lintasan lingkaran. Yang
betul arah gerak melingkar di suatu titik pada lintasan adalah arah garis singgung.
Resultannya menghasilkan gerak melingkaran beraturan.
3) Gaya sentripetal dan gaya sentrifugal
Menurut hukum II Newton (∑ F=ma), sebuah benda yang memiliki
percepatan harus memiliki gaya total yang bekerja padanya. Benda yang bergerak
membentuk lingkaran, seperti sebuah bola di ujung tali, dengan demikinan harus
26
memiliki gaya yang bekerja padanya untuk mempertahankan geraknya dalam
lingkaran itu. Dengan demikian, diperlukan gaya total untuk memberinya
percepatan sentripetal. Besarnya gaya sentripetal dirumuskan dalam persamaan
(5-3) dalam Giancoli (2001 : 136) yaitu:
FR=m aR=mv2
r(2.9)
Percepatan sentripetal aR diarahkan menuju pusat lingkaran pada setiap
waktu, gaya total juga harus diarahkan ke pusat lingkaran. Gaya total jelas perlu,
karena jika tidak ada gaya total yang diberikan, benda tersebut tidak akan
beregerak membentuk lingkaran melainkn bergerak pada garis lurus, sebagaimana
dikatakan oleh Newton.
Gambar 2.11. Gaya sentripetal
Untuk gerak melingkar, arah gaya total ini harus bekerja menuju ke pusat
lingkaran (lihat gambar 2.11). Arah gaya total dengan demikian terus berubah
sehingga selalu diarahkan ke pusat lingkaran. Gaya ini disebut dengan gaya
sentripetal. Gaya sentripetal bukan jenis gaya baru, istilah ini hanya digunakan
untuk mendefinisikan arah gaya total yang diarahkan menuju pusat lingkaran.
Ada kesalahpahaman umum bahwa benda yang bergerak melingkar
mempunyai gaya keluar yang bekerja padanya yang berguna untuk menjaga
kesetimbangannya, yang kemudian disebut dengan gaya sentrifugal (menjauhi
pusat). Hal ini tidak benar, tidak ada gaya keluar (Giancoli, 2001 : 136). Konsepsi
bahwa perlu suatu gaya agar benda tetap dalam keadaan setimbang adalah hasil
pengamatan yang salah, karena benda itu bukan tetap ada disana, tetapi akan terus
27
bergerak. Sesaat demi sesaat akan berubah posisinya pada lintasannya yang
berbentuk lingkaran itu (Zemansky, 1999 : 138). Benda bergerak dalam vektor
kecepatan v dan menurut hukum I Newton, akan terus bergerak dalam arah ini
kecuali kalau ada suatu resultan yang bekerja terhadapnya. Apabila ada gaya yang
mengarah keluar bekerja terhadapnya, yang sama besar dan berlawanan arah
dengan komponen gaya sentripetal yang mengarah ke dalam, maka tidak akan ada
gaya resultan arah ke dalam yang akan menyimpangkan arahnya dari arah gerak
yang sedang dilangsungkannya. Kesetimbangan hanya dipakai untuk keadaan
diam atau untuk gerak lurus dengan kelajuan konstan. Dalam gerak melingkar,
gerak mempunyai percepatan ke arah pusat lingkaran dan harus ada gaya resultan
atau gaya yang tidak diimbangi bekerja terhadapnya untuk menghasilkan
percepatan tersebut (Zemansky, 1999 : 138).
4) Gerak jatuh bebas
Gambar 2.12 merupakan contoh peristiwa gerak jatuh bebas yang terjadi
pada sebuah buku dan selembar kertas. Benda-benda itu berada di satu tempat
yang sama tinggi dari tanah. Pada suatu saat, benda-benda itu dilepaskan dari
tempatnya, dan langsung bergerak ke bawah. Jika tidak ada pengahalang lain, juga
tidak ada gesekan udara, maka percepatan akibat gaya berat dan diberi simbol
huruf g. Pada atau dekat permukaan bumi besar percepatan ini kira-kira 9,8 ms -2
(Zemansky, 1999 : 77). Hal ini menunjukkan bahwa waktu tempuh selama benda
jatuh tidak dipengaruhi oleh massa benda.
Gambar 2.12. Gerak jatuh bebas
28
5. Identifikasi Miskonsepsi dengan Certainty of Response Index (CRI)
Sampai saat ini usaha dalam pengidentifikasian miskonsepsi masih
menemui kesulitan dalam hal membedakan antara siswa yang mengalami
miskonsepsi dengan siswa yang tidak tahu konsep. Kesalahan dalam
pengidentifikasian menyebabkan kekeliruan dalam upaya penanggulangannya.
Oleh karena itu, perlu adanya pengetahuan dan kemampuan untuk
mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami siswa secara tepat.
Hasan et al (1999 : 294-299) mengajukan suatu metode untuk
mengidentifikasi sekaligus membedakannya dengan siwa yang tidak tahu konsep.
Metode tersebut dikenal dengan istilah CRI (Certainty of Response Index). CRI
merupakan ukuran tingkat keyakinan/kepastian responden dalam menjawab setiap
pertanyaan (soal) yang diberikan. CRI (Certainty of Response Index) biasanya
didasarkan pada suatu skala dan diberikan bersamaan dengan setiap jawaban suatu
soal. Sebagai contoh dapat dilihat dalam tabel skala dan kriteria CRI skala enam
(0-5) pada tabel 2.3 dalam Hasan, et al (1999 : 297) berikut ini:
Tabel 2.3. Skala dan Kriteria CRI
CRI Kriteria0 (Totally guesed answer)1 (Almost guess)2 (Not sure)3 (Sure)4 (Almost certain)5 (Certain)
Sumber : Hasan (1999 : 297)
Tingkat kepastian jawaban tercermin dalam skala CRI yang diberikan,
dalam hal ini berdasarkan dengan tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban
(CRI) yang diberikannya untuk soal tersebut. CRI yang rendah menandakan
ketidakyakinan konsep pada diri responden dalam menjawab sesuatu pertanyaan,
dalam hal ini jawaban biasanya ditentukan atas dasar tebakan semata. Sebaliknya
CRI yang tinggi mencerminkan keyakinan dan kepastian konsep yang tinggi pada
diri responden dalam menjawab pertanyaan.
Tayubi (2005 : 6) menyatakan bahwa angka 0 menandakan tidak tahu
konsep sama sekali tentang metode-metode atau hukum-hukum yang diperlukan
29
untuk menjawab suatu pertanyaan (jawaban ditebak secara total), sementara angka
5 menandakan kepercayaan diri yang penuh atas kebenaran pengetahuan tentang
prinsip-prinsip, hukum-hukum dan aturan-aturan yang dipergunakan untuk
menjawab suatu pertanyaan (soal), tidak ada unsur tebakan sama sekali. Dengan
kata lain, ketika seorang responden diminta untuk memberikan CRI bersamaan
dengan setiap jawaban suatu pertanyaan (soal), sebenarnya dia diminta untuk
memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri akan kepastian yang dia miliki
dalam memilih aturan-aturan, prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang telah
tertanam dibenaknya hingga dia dapat menentukan jawaban dari suatu pertanyaan.
Tayubi (2005 : 6) menyatakan bahwa responden yang memberikan derajat
kepastian yang rendah (CRI 0-2) maka hal ini menggambarkan bahwa proses
penebakan memainkan peranan dalam menentukan jawaban, secara tidak
langsung mencerminkan ketidaktahuan konsep yang mendasari penentuan
jawaban. Jika CRI tinggi (CRI 3-5), maka responden memiliki kepercayaan diri
yang tinggi dalam memilih jawaban. Jika responden memperoleh jawaban yang
benar ini dapat menunjukkan bahwa terdapat tingkat keyakinan yang tinggi
terhadap kebenaran konsepsi. Akan tetapi jika jawaban yang diperoleh salah
menunjukkan kekeliruan konsepsi dalam pengetahuan tentang suatu materi subjek
yang dimilikinya dan dapat menjadi suatu indikator terjadinya miskonsepsi. Dari
ketentuan-ketentuan seperti itu, menunjukkan bahwa dengan CRI yang diminta,
ketika digunakan bersamaan dengan jawaban untuk suatu pertanyaan,
memungkinkan kita untuk dapat membedakan antara tahu konsep, miskonsepsi
dan tidak tahu konsep.
B. Kerangka Berfikir
Sebelum mempelajari fisika, semua siswa sudah mempunyai pengalaman
dengan peristiwa-peristiwa fisika. Dengan pengalaman itu, maka dibenak para
siswa sudah terbentuk suatu intuisi dan teori siswa yang belum tentu benar
mengenai peristiwa-peristiwa fisika sebelum mereka mempelajarinya. Banyak hal
30
yang diperoleh melalui pengalaman dan hal tersebut menjadi sebuah pengetahuan
yang berhubungan dengan IPA.
Tidak semua siswa mempunyai pemahaman dan penafsiran yang sama
tentang konsep IPA. Siswa membangun konsepsi tersendiri, sehingga tafsiran
seseorang terhadap suatu realita bersifat individu. Siswa seringkali mengalami
konflik dalam dirinya ketika berhadapan dengan informasi baru dengan konsep
awal yang telah dibawa sebelumnya. Pada umumnya, informasi baru tersebut
bertentangan dengan prakonsepsi yang dimiliki siswa. Apabila siswa mempunyai
konsepsi yang berbeda dengan konsep ilmiah yang benar maka hal inilah yang
akan menyebabkan terjadinya miskonsepsi.
Miskonsepsi terjadi karena penyimpangan antara kenyataan gejala alam
secara nyata dengan yang terdapat dalam pikiran siswa. Penyimpangan ini terjadi
karena hasil pemikiran mereka dalam pengalaman hidupnya menyerap konsep
salah atau kurang lengkap. Serta umumnya mereka lebih percaya pada konsep
yang diperoleh dari pengamatan yang merupakan hasil interaksi dengan alam
sekitar dan sifatnya lebih mantap dibanding dengan hasil pengajaran formal.
Melalui pengamatan diri sendiri, seolah-olah telah ditemukan konsep yang benar
tanpa berprasangka akan salah.
Menurut Clement, jenis miskonsepsi yang paling banyak terjadi adalah
bukan pengertian yang salah selama proses belajar mengajar, tetapi suatu konsep
awal (prakonsepsi) yang dibawa siswa ke kelas formal (Suparno, 2005 : 7).
Adanya miskonsepsi itu umumnya tidak disadari siswa dan terus berkembang.
Siswa secara konsisten akan mengembangkan konsep fisika yang salah, sehingga
terjadi miskonsepsi dan secara tidak sengaja terus menerus mengganggu pelajaran
fisika yang didapat dari sekolah. Miskonsepsi pada siswa yang muncul secara
terus menerus dapat mengganggu pembentukan konsepsi ilmiah. Miskonsepsi
juga akan menghambat pada proses penerimaan dan asimilasi pengetahuan-
pengetahuan baru dalam diri siswa, sehingga akan menghalangi keberhasilan
siswa. Pembelajaran yang tidak memperhatikan miskonsepsi akan menyebabkan
kesulitan belajar dan akhirnya akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar
siswa.
Konsep teori Konsep real
miskonsepi
Identifikasi miskonsepsi
Akomodasi miskonsepsi
Peningkatan mutu pembelajaran IPA Fisika
31
Oleh karena itu penelitian ini sangat penting untuk dilakukan guna
memperoleh informasi mengenai miskonsepsi yang terjadi pada diri siswa.
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan rujukan oleh guru agar dapat
mengakomodasikan miskonsepsi yang terjadi pada diri siswa yang dapat
berpengaruh dalam peningkatan mutu pembelajaran fisika dengan melakukan
pembenahan miskonsepsi pada pokok bahasan gaya dan hukum Newton melalui
upaya yang tepat.
Gambar 2.13. Bagan kerangka berfikir
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian kualitatif, yaitu
penelitian yang bertujuan untuk menguraikan tentang sifat dari suatu keadaan,
yang dilakukan hanya sampai taraf melukiskan objek yang diselidiki.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di MAN 2 Kudus. Waktu peneltiaian dimulai
pada bulan Agustus – September 2012.
C. Subjek penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa MAN 2 Kudus kelas XI IA 1 dan
XI IA 2, seluruhnya berjumlah 67 siswa.
D. Sumber data
Dalam penelitian ini dibagi sumber data seperti di bawah ini, yaitu :
a. Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung dari subjek
penelitian. Dalam penelitian ini, yang termasuk sumber primer adalah
responden.
33
b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak
langsung diperoleh peneliti dari subjek penelitiannya. Data sekunder dalam
penelitian ini adalah data-data atau informasi yang diperoleh dari pengamatan
atau observasi yang dilakukan pada saat pembelajaran berlangsung.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian ini, langkah-langkah yang
dilakukan untuk pengumpulan data adalah :
1. Dokumentasi
Data yang diperoleh melalui studi dokumentasi digunakan untuk
memperoleh data-data diri responden yang mendukung penelitian, seperti data
nama responden.
2. Tes konsep
Tes konsep yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi dari tes
diagnostik yang dikembangkan oleh David Hestenes yaitu FCI (Force Concept
Inventory) versi revisi tahun 1995 yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Syuhendri. Force Concept Inventory (FCI) merupakan tes pilihan
ganda yang dirancang untuk mengkaji pemahaman pelajar terhadap konsep-
konsep yang paling mendasar dalam konsep gaya. Soal test berjumlah 30 item
yang dirancang untuk mendeteksi miskonsepsi pada konsep gaya di dalam fisika.
Versi original FCI dipublikasikan tahun 1992 oleh Hestenes, et al. FCI
didesain untuk enam dimensi konseptual dalam bidang gaya dan kinematik yang
terkait. Enam dimensi tersebut yaitu :
a. Kinematika
b. Hukum I Newton
c. Hukum II Newton
d. Hukum II Newton
32
34
e. Prinsip superposisi
f. Macam-macam gaya (gaya kontak dan gaya gravitasi)
Instrumen berupa tes konseptual dengan bentuk pilihan ganda, dimana
terdapat alternatif pilihan jawaban salah yang bertidak sebagai pengecoh, pada
opsi-opsi pilihan jawaban tersebut diperkirakan merupakan jawaban miskonsepsi
yang terjadi pada diri siswa. As a rule, “errors” on the Inventory are more
informative than “correct” choices. The commonsense alternatives to the
Newtonian concepts are commonly labeled as miscoceptions (Hestenes, 1992 : 2).
F. Teknik Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari responden dalam penelitian ini di analisis
dengan metode analisis data kualitatif, yang digunakan untuk mengolah data yang
sifatnya tidak dapat diukur, monografis atau berwujud kasus yang memerlukan
penjabaran melalui uraian-uraian.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dimulai sejak sebelum memasuki
lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Nasution dalam
Sugiyono (2010 : 336) menyatakan bahwa analisis telah mulai sejak merumuskan
dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus
sampai penulisan hasil penelitian. Namun, dalam penelitian kualitatif analisis
data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan
data.
Alur yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini untuk menganalisis
data adalah dengan menggunakan teknik analisis kualitatif yang dikemukakan
oleh Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman dalam Sugiyono (2010 : 337),
yaitu :
1. Pengumpulan data
Dalam tahap pengumpulan data, semua informasi yang berasal dari
responden dikumpulkan sebagai bahan dalam proses berikutnya.
35
2. Tahap reduksi data
a. Tahap I
Memeriksa jawaban tes FCI untuk subjek setiap kategori dan
mengelompokkan hasil jawaban setiap tesberdasarkan tes FCI.
b. Tahap II
Peneliti melakukan kegiatan pengelompokan data dalam tahap ini, yaitu
mengkategorikan jawaban siswa berdasarkan kriteria M, T atau Mi. Dengan
demikian data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan
mencarinya bila diperlukan. Jawaban siswa dikelompokkan berdasarkan beberapa
kategori, yaitu :
1) Kategori M (mengetahui konsep)
2) Kategori Mi (miskonsepsi)
3) Kategori T (tidak tahu konsep)
Tabel 3.1 merupakan matrik sederhana yang merupakan kombinasi antara
jawaban benar-salah yang diberikan oleh responden dengan tinggi-rendahnya
tingkat keyakinan (CRI) yang dimiliki oleh responden. Tabel ini digunakan
sebagai pedoman dalam pengelompokan siswa dalam kategori mengetahui konsep
(M), siswa yang mengalami miskonsepsi (Mi) dan siswa yang tidak tahu konsep
dapat terungkap (T).
Tabel 3.1. Ketentuan untuk membedakan antara tahu konsep, miskonsepsi dan
tidak tahu konsep untuk responden secara individu
Kriteria jawaban CRI rendah (<2,5) CRI tinggi (>2,5)Jawaban benar Tidak tahu konsep
(lucky guess)Menguasai konsep dengan baik
Jawaban salah Tidak tahu konsep(lucky guess)
Miskonsepsi
Sumber : Hasan (1999 : 296)
Tabel 3.2. Ketentuan untuk membedakan antara tahu konsep, miskonsepsi dan
tidak tahu konsep untuk kelompok responden
36
Kriteria jawaban Rata-rataCRI rendah (<2,5)
Rata-rataCRI tinggi (>2,5)
Jawaban benar Tidak tahu konsep(lucky guess)
Menguasai konsep dengan baik
Jawaban salah Tidak tahu konsep(lucky guess)
Miskonsepsi
Sumber : Hasan (1999 : 296)
Pengidentifikasian miskonsepsi untuk kelompok responden dapat
dilakukan dengan cara yang sama seperti untuk kasus tiap responden secara
individu, kecuali harga CRI merupakan rata-rata CRI tiap responden. Karena
dalam kasus kelompok responden jawaban yang diperoleh beragam antara benar
dan salah.
Hasil jawaban responden ditabulasi, setiap jawaban pertanyaan salah
ditandai dengan 0, dan 1 jika benar dan harga CRI (0 sampai 5). Pembagian
jumlah total responden yang menjawab pertanyaan dengan benar (diperoleh
dengan cara menjumlahkan tanda jawaban benar) dengan total jumlah responden
akan menghasilkan jumlah jawaban benar sebagai suatu fraksi dari total jumlah
siswa. Untuk suatu pertanyaaan yang diberikan, total CRI untuk jawaban salah
diperoleh dengan cara menjumlahkan CRI dari semua responden dengan jawaban
salah untuk pertanyaan tersebut. Rata-rata CRI untuk jawaban salah untuk suatu
pertanyaan yang diberikan diperoleh dengan cara membagi jumlah tersebut di atas
dengan jumlah responden yang menjawab salah. Rata-rata CRI untuk jawaban
benar dapat diperoleh melalui cara yang sama dengan perhitungan rata-rata CRI
untuk jawaban salah.
3. Tahap penyajian data
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data.
Dalam penelitian ini bentuk data yang dihasilkan adalah dalam bentuk teks
naratif, diagram yang dilengkapi dengan data hasil analisis deskriptif dalam
bentuk presentase untuk menggambarkan tingkat miskonsepsi siswa untuk tiap-
tiap sub konsep beserta penyebabnya. Untuk mendiskripsikan karakteristik setiap
tingkat miskonsepsi siswa untuk tiap-tiap sub konsep dengan cara membuat tabel
37
distribusi frekuensi dan dilengkapi dengan persentase yang dirumuskan dalam Ali
(Pradita, 2009 : 40) sebagai berikut:
P= fn
x100 %
Keterangan : P = Presentase (jumlah presentase yang dicari)
n = Jumlah responden
f = Frekuensi jawaban responden
100 % = Bilangan tetap
Rumusan tersebut diatas digunakan untuk mendapatkan angka presentase
jawaban responden pada angket, setelah data dipresentasekan kemudian dianalisis
dengan menggunakan kriteria sebagaimana dikemukakan oleh Ali (Pradita, 2009 :
40) yaitu:
100 % = Seluruhnya
76% - 99 % = Sebagian besar
51% - 75 % = Lebih dari setengahnya
50% = Setengahnya
0% = Tidak seorangpun
4. Tahap penarikan kesimpulan
Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu mengidentifikasi profil
miskonsepsi siswa, maka kesimpulan ditarik berdasarkan data yang dalam hal ini
sudah diolah, maka penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara mengolah data.
G. Uji Keabsahan Data
38
Keabsahan data ialah kegiatan yang dilakukan agar hasil dalam penelitan
dapat dipertanggungjawakan dari segala sisi. Keabsahan data dalam penelitian ini
menggunakan keabsahan konstruk (construct validity) dengan triangulasi data
sebagai pemerikasaan untuk mencapai keabsahan data.
Keabsahan konstruk (construct validity) dalam penelitian kuantitatif
merupakan ukuran tentang kebenaran data yang diperoleh dengan instrumen,
yakni apakah instrumen itu sungguh-sungguh mengukur variabel yang
sebenarnya. Bila ternyata instrumen tidak mengukur apa yang sebenarnya diukur,
maka data yang diperoleh tidak sesuai dengan kebenaran seperti yang diharuskan
dalam penelitian, dan dengan sendirinya hasil penelitian tidak dapat dipercaya,
jadi tidak memenuhi syarat kredibilitas (Nasution, 2002 : 105). Uji kredibilitas
dalam penelitian ini dilakukan dengan triangulasi.
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan
data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu atau teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu
untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu Teknik
triangulasi data dilakukan dengan memandingkan berbagai sumber data seperti
dokumen, arsip, juga dengan data yang diperoleh dari subjek-subjek penelitian
serta tim ahli yang dianggap meimliki sudut pandang yang berbeda (Sugiyono,
2010 : 374). Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan
hasil penelitian dengan hasil penelitian lain yang terkait dengan miskonsepsi IPA
Fisika pokok bahasan gaya dan hukum Newton.