Upload
sara-fadila-pramadani
View
89
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
komplikasi dari sinusitis
Citation preview
Komplikasi Lokal
1. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di dalam sinus. Kista
ini paling sering ditemukan pada rhinosinusitis maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi
mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini
dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata
ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan
dengan menekan saraf didekatnya.
Mukokel primer (atau disebut kista retensi) berkembang akibat hambatan
duktus kelenjar saliva mayor, terutama pada sinus maksilaris. Mukokel sekunder
disebabkan obstruksi ostium sinus sebagai komplikasi obstruktif dari
rinosinusitis, polip, trauma, pembedahan, dan tumor. Nyeri kepala dan
berkurangnya visus merupakan gejala tersering pada mukokel di sinus frontal,
dimana gejala berlangsung perlahan seiring membesarnya mukokel dalam
beberapa tahun.
Diagnosis ditegakkan bila dijumpai nyeri kepala bagian frontal dan
proptosis, serta bergesernya bola mata ke bawah atau ke atas. Nyeri hidung dan periorbita dalam
dapat ditemukan. Berbeda dengan sinusitis akut atau kronik,
obstruksi nasal dan rinorhea justru jarang didapat. Meskipun diagnosis dapat
diduga berdasarkan temuan klinis, pemeriksaan radiografi perlu dilakukan untuk
memperkuat analisis dan mengetahui letak dari mukokel. Pada pemeriksaan CT
scan, mukokel tampak sebagai massa hipodens. Massa dapat mengisi kavum
sinus. Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
Terapi umum mukokel adalah dengan mengangkat secara total mukokel,
dan umumnya melalui bedah terbuka. Saat ini, teknik endoskopik transnasal
digunakan untuk mengatasi komplikasi ini. Marsupialisasi mukokel, dibanding
mengangkat total, merupakan konsep terapi yang mementingkan kemampuan
mukosa sinus untuk kembali ke kondisi normal atau mendekati normal.
2. Osteomielitis dan Tumor Pott
12,13
Penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke tulang kranium
menyebabkan osteitis yang akan mengakibatkan erosi pada bagian anterior tulang
frontal. Gejala klinis tampak udem yang terbatas pada dahi di bawah kulit dan
penimbunan pus di superiosteum. Berlanjutnya kelainan ini akan menyebabkan
terjadinya suatu kondisi yang disebut Pott’s Tumor.
Tumor Pott merupakan massa tumor bundar yang tidak nyeri, pertama
kali diperkenalkan oleh Percival Pott pada tahun 1760. Infeksi yang masuk ke
sins frontalis dan menyebabkan osteomyelitis progresif di sana, pada akhirnya
akan membentuk abses subperiosteal perikranial anterior, abses periorbita, atau abses epidural.
Penumpukkan pus subperiosteal pada dahi tersebut akan
membentuk struktur berupa benjolan yang fluktuatif dan sembab (tumor Pott).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang yang mendukung adalah CT scan dan MRI. Dapat pula
dilakukan bone scanning untuk melihat osteomyelitis.
Penanganan untuk kasus ini adalah dengan pemberian antibiotik
intravena, drainase abses, dan bila perlu debridement tulang. Pada beberapa
kasus, dapat dilakukan sinusostomi frontaal. Antibiotik intravena diberikan
selama 3 minggu, dilanjutkan dengan pemberian oral 3-5 minggu.
3. Otitis Media
12
Ruang telinga tengah dihubungkan ke faring melalui tuba Eustachii.
Terdapat banyak kesamaan kejadian klinis antara otitis media dan sinusitis. Bila
pada telinga tengah, tuba Eustcahii yang berperan penting sebagai ventilasi dan
drainase ke faring, maka pada sinus, yang berperan adalah ostium sinus.
Kesamaan lainnya adalah tipe mukosa yang sama antara telinga tengah dan sinus,
yaitu epitel pseudostratifikasi kolumnar bersilia. Tiga patogen mayor pada otitis
media dan sinusitis juga sama, yaitu S. Pneumoniae, H. Influenzae, M
catarrhalis.
Sinusitis hampir selalu disertai dengan rinitis, sehingga disebut
rinosinusitis. Pada keadaan inflamasi, akan terjadi edema mukosa dan
hipersekresi mukus, yang menyebabkan penumpukkan sekret di bagian faring.
Seringkali keadaan ini menyebabkan oklusi tuba Eustachii, yang selanjutnya
menyebabkan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah terganggu. Bila keadaan tersebut
menetap, maka akan terjadi efusi telinga tengah yang rentan
terinfeksi. Selanjutnya, akan terjadi otitis media sesuai dengan perjalanan
penyakitnya.
Penanganan awal otitis media adalah dengan membuka sumbatan tuba
Eustachii untuk normalisasi ventilasi dan drainase telinga tengah. Penanganan
lanjutan disesuaikan dengan sejauh mana proses penyakit berlangsung.
Pemberian antibiotik, kortikosteroid, dekongestan, dan antihistamin dapat
dilakukan. Tindakan bedah dilakukan pada kasus kronik, dan dilakukan
bersamaan atau setelah keadaan sinus diperbaiki.
2.6.2. Komplikasi Orbita dan Periorbita
1,13,14
Secara anatomi perbatasan daerah mata dan sinus sangat tipis : batas medial
sinus etmoid dan sfenoid, batas superior sinus frontal, dan batas inferior sinus
maksila. Sinusitis merupakan salah satu penyebab utama infeksi orbita. Pada era pre
antibiotik hampir 50 % terjadi komplikasi ke mata, 17 % berlanjut ke meningen dan
20 % terjadi kebutaan.
Komplikasi dapat melalui 2 jalur :
- Direk / langsung : melalui defisiensi kongenital ataupun adanya erosi pada
tulang barier terutama lamina papirasea.
- Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah yang berhubungan
langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita.
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Etmoiditis sering menimbulkan komplikasi ke orbita, diikuti sinusitis
frontal dan maksila. Komplikasi ke orbita dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada anak-anak
lebih sering. Intervensi tindakan operatif lebih banyak dilakukan pada
anak-anak yang lebih besar dan dewasa. Pembengkakan orbita dapat merupakan
manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak
di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Menurut Chandler et al, terdapat lima klasifikasi komplikasi orbita dan
periorbita pada sinusitis, yaitu:
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan (selulitis preseptal).
Peradangan atau selulitis preseptal menunjukkan infeksi yang terbatas di
kulit dan jaringan subkutan palpebra anterior hingga septum orbita. Kelainan ini
merupakan komplikasi orbita tersering (70% komplikasi sinusitis secara
keseluruhan) dan jarang parah. Kelainan ini dapat menyebabkan sumbatan vena
dan drainase limfatik akibat obstruksi sinus. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang
menunjukkan adanya edem palpebra, eritema, tenderness. Visus, reaksi pupil,
dan gerakan bola mata umumnya tidak terganggu. CT scan tidak dianjurkan pada
kelainan pada tahap ini, kecuali bila terdapat perubahan visus, gangguan refraksi,
ptosis, dan tanda-tanda selulitis post-septal lainnya.
Penatalaksanaan selulitis preseptal adalah dengan pemberian antibiotik
oral spektrum luas, elevasi kepala, kompres hangat, dan penanganan penyebab
yang mendasari. Meskipun antibiotik intravena merupakan terapi standar untuk
anak-anak sebelum adanya vaksinasi H.influenzae, antibiotik oral spektrum luas saat ini lebih
dianjurkan karena kasus yang ringan dan lebih aman. Pemberian
dekongestan hidung, mukolitik, dan irigasi saline dapat membantu drainase sinus.
2. Selulitis orbita
Selulitis orbita ditandai adanya proses infeksi yang meliputi bagian-
bagian di belakang septum orbita, termasuk tulang-tulang yang membentuk
kavum orbita. Isi orbita terlihat edem difus dengan sel-sel peradangan dan
plasma, bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum
terbentuk. Edem orbita disebabkan oleh peningkatan tekanan sinus venosus yang
menyebabkan transudasi cairan melalui dinding pembuluh ke orbita.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya edema palpebra, proptosis
ringan, dan kemosis. Nyeri orbita terjadi pada 85% pasien. Pada kasus berat,
gerak orbita menjadi sangat terbatas, meskipun visus belum terganggu. Apabila
diduga terjadi selulitis orbita, maka konsultasi ke ahli mata dapat dilakukan,
untuk meninjau kembali akuisitas visual, reaksi pupil, gangguan lapang
pandangan, melihat warna, motilitas ekstraokular, proptosis, posisi bola mata,
tekanan intraokular, dan keadaan saraf II. CT scan dengan kontras dapat
memperlihatkan adanya sejumlah jaringan edematous orbita.
Penanganan kasus ini adalah dengan pemberian antibiotik intravena dan
pemeriksaan imaging dilakukan untuk melihat sejauh mana kelainan mata terjadi.
Apabila antibiotik gagal (ditandai dengan hilangnya penglihatan secara progresif,
demam menetap selama 36 jam, keadaan klinis yang memburuk dalam 48 jam,
atau tidak ada perubahan apa pun selama 72 jam paska pemberian antibiotik), maka terapi
drainse bedah dapat dilakukan, yang memenuhi satu dari lima syarat
berikut:
- CT scan membuktikan adanya pembentukan abses
- Visus 20/60 (atau lebih buruk) pada evaluasi awal
- Komplikasi orbita berat (misalnya kebutaan atau hilangnya refleks pupil)
pada evaluasi awal
- Gejala orbita yang semakin berat meskipun mendapat terapi medik
- Tidak ada perbaikan selama 48 jam paska pengobatan medik.
3. Abses subperiosteal
Abses subperiosteal merupakan komplikasi sinusitis yang sering terjadi di
orbita superomedial atau inferomedial, yang berhubungan dengan sinusitis
etmoidalis. Abses berkembang setelah infeksi menembus lamina papirasea atau
melalui foramen etmoidalis anterio/posterior. Terkumpulnya cairan subperiosteal
yang meluas dapat menyebabkan kebutaan, yaitu sebagai akibat langsung
penekanan saraf II, peningkatan tekanan intraorbita, atau proptosis yang
menyebabkan peregangan saraf II. Dengan penanganan medik dan intervensi
bedah agresif sekalipun, sekitar 15-30% pasien akan mengalami sekuele
gangguan visus.
Diagnosis kelainan ini memerlukan evaluasi oftalmologik. Secara klinis
abses subperiosteal dicurigai bila pada pasien dengan selulitis orbita, mengalami
proptosis dan gangguan lapang pandang yang semakin berat, akibat peningkatan
tekanan intraorbita. Kehilangan persepsi warna merah/hijau dapat mendahului
penurunan visus. Penanganan dan penentuan pendekatan pembedahan masih merupakan
kontroversi. Meskipun pemberian antibiotik intravena dapat dimulai pada tahap
awal, beberapa ahli THT tetap menganjurkan drainase sinus secepatnya.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya kasus abses subperiosteal yang
responsif terhadap pengobatan konvensional, terutama pada anak-anak yang lebih
muda, karena virulensi kuman lebih rendah. Kriteria inklusi untuk pengobatan
medikamentosa adalah usia lebih muda dari 9 tahun, tidak terdapat sinusitis
frontalis, lokasi abses di medial, tidak terbentuk gas abses, ukuran abses kecil,
bukan kasus berulang, tidak terdapat gangguan saraf optik dan retina, dan tidak
terdapat infeksi gigi.
Berdasarkan kriteria Oxford, maka tindakan bedah ditunda dan diberikan
penanganan konservatif, bila memenuhi seluruh kriteria:
- Visus, reaksi pupil, dan keadaan retina normal
- Tidak ada oftalmoplegia
- Tekanan intraokular kurang dari 20 mmHg
- Proptosis maksimal 5 mm
- Ukuran abses maksimal 4 mm.
Drainase operatif dilakukan bila terjadi penurunan visus, defek pupil,
demam yang berlangsung selama 36 jam, klinis yang memburuk dalam 48 jam,
atau tidak ada perbaikan setelah pemberian obat-obatan. Pendekatan bedah yang
digunakan pada kasus ini meliputi pendekatan eksternal, endoskopik, dan
kombinasi. Etmoidektomi eksternal dapat dilakukan untuk drainase abses. Pada
anak-anak, sebaiknya dilakukan pendekatan endoskopik untuk menghindari perdarahan dan
inflamasi mukosa akut. Teknik endoskopik meliputi
etmoidektomi, skeletonizing lamina papiracea, drainase orbita. Drainase
transkarankular merupakan salah satu contoh pendekatan kombinasi yang
diperkenalkan oleh Pelton pada tahun 1996. Dengan cara ini, dilakukan insisi di
area antara karankula dan lipatan semilunar. Periosteum orbita diinsisi tajam dan
dibuka untuk mengeluarkan abses. Pendekatan ini dapat diterapkan pada dinding
medial orbita pada sisi lamina papiracea.
4. Abses orbita
Terjadinya komplikasi ini menunjukkan sekuele dari sinus paranasal yang
berkembang progresif akibat keterlambatan diagnosis dan terapi, atau akibat
kondisi imunologi yang buruk. Abses orbita dapat terjadi di dalam atau di luar
otot, ketika selulitis orbita berubah menjadi kumpulan pus. Pada keadaan ini, pus
telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai
dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis
konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin
bertambah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa proptosis, kemosis,
oftalmoplegia total, dan gangguan visus, yang berlangsung progresif menuju
tahap kebutaan irreversibel. Substansi purulen dapat keluar secara spontan
melalui kelopak mata. CT scan menunjukkan gambaran infiltrasi difus intraconal
dan ekstraconal. Gambaran radiologik dapat menunjukkan proptosis masif, dilatasi ekstraokular,
dan pembentukan gas. Pada MRI, didapatkan gambaran
jaringan nekrotik.
Penanganan abses yang berkembang adalah dengan drainase operatif pada
sinus dan abses. Drainase endoskopik abses pada medial orbita dilakukan seperti
pada abses subperiosteal. Insisi periorbita dilakukan untuk penyaliran abses
intraorbita. Etmoidektomi posterior diindikasikan bila terdapat kelainan di etmoid
posterior dan abses yang meluas hingga ke apeks orbita. Tindakan ini dilakukan
dengan kerjasama dengan ahli mata.
5. Trombosis sinus kavernosus
Komplikasi ini merupakan akibat perluasan infeksi dari kavum sinonasal
(sfenoid > ethmoid > frontal), atau dari bagian sepertiga tengah wajah. Sindrom
dapat terjadi sebagai komplikasi dari selulitis orbita. Perluasan ini dipermudah
oleh sinus kavernosus yang bebas anastomosis dan tidak terdapat sistem katup
vena, sehingga infeksi dapat terjadi secara retrograd dari arah superior dan
inferior vena oftalmika.
Diagnosis komplikasi ini relatif sukar, meskipun penting untuk
membedakannya dengan selulitis atau abses orbita, karena dalam perjalanan
penyakitnya akan terjadi keadaan yang mengancam jiwa. Tanda klinis yang
terpenting adalah gangguan orbita bilateral, kemosis dan oftalmoplegia yang
progresif, kelainan retina berat, demam melebihi 40
o
C ,dan protrasi. Tanda klinis
yang sering terlihat pada trombosis sinus kavernosus berkaitan dengan struktur
anatominya, yaitu adanya kerusakan langsung saraf III hingga VI, dan gangguan
aliran vena dari orbita dan mata. Stasis aliran vena akan menyebabkan papiledema, perdarahan
retina, dan kehilangan penglihatan. Perluasan infeksi ke
sinus kavernosus kontralateral (melalui sinus interkavernosus) umumnya terjadi
dalam 24 – 48 jam setelah infeksi pertama terjadi. Trombosis karotid dapat
mengikuti komplikasi ini, dan berakibat serangan stroke, empiema subdural,
abses otak, atau meningitis.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
- Oftalmoplegia.
- Kemosis konjungtiva.
- Gangguan penglihatan yang berat.
- Kelemahan pasien.
- Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan
dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi yang
mampu melewati sawar darah otak dan secara langsung dapat membunuh
sebagian besar kuman patogen. Terapi empiris dapat mencakup pemberian
nafcilin, ceftriaxone, metronidazol, atau vankomisin. Pemberian antibiotik
biasanya selama 3-4 minggu, atau selama 6-8 minggu bila komplikasi
intrakranial terjadi.
Intervensi bedah dilakukan untuk drainase sinus yang terkena. Observasi
dilakukan sehubungan dengan risiko terjadinya sepsis, trombosis, dan perluasan
infeksi. Pemberian antikoagulansia bertujuan untuk mencegah progresivitas
trombosis, mengingat kejadian ini sukar diprediksi. Banyak penelitian
membuktikan efektivitas pemberian antikoagulansia dan jarang sekali pemberian tersebut
menyebabkan komplikasi perdarahan. Pemberian heparin bersama
antibiotik terbukti menurunkan angka morbiditas secara bermakna. Pemberian
kortikosteroid masih belum ditetapkan sebagai terapi tambahan yang efektif.
2.6.3. Komplikasi Intrakranial
1-2,14,15
Sinusitis yang tersering menyebabkan komplikasi intrakranial adalah sinusitis
frontalis, diikuti sinusitis ethmoidalis, sfenoidalis, dan maksilaris. Komplikasi
intrakranial dapat terjadi pada infeksi sinus yang akut, ekaserbasi akut ataupun
kronik. Komplikasi ini lebih sering pada laki-laki dewasa, diduga ada faktor
predileksi yang berhubungan dengan pertumbuhan tulang frontal dan meluasnya
sistem anyaman pembuluh darah yang terbentuk. Beberapa jalur untuk terjadinya
infeksi ini antara lain:
- Secara langsung melalui defek atau erosi tulang.
- Secara hematogen melalui anyaman pembuluh darah.
Beberapa tahap komplikasi intrakranial yang dikenal:
1. Meningitis.
15
Meningitis merupakan komplikasi intrakranial tersering dari sinusitis.
Sinusitis frontal jarang menyebabkan meningitis tetapi seringkali karena infeksi
sekunder dari sinus etmoid dan sfenoid. Lapisan arakhnoid pada dewasa relatif
lebih resisten terhadap invasi langsung bakteri, namun pada anak-anak infeksi
dapat lebih mudah menyebar karena jaringan yang masih immatur. Infeksi dari
sinus paranasalis dapat pula menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang
berdekatan, seperti melalui dinding posterior sinus frontalis atau
melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
Gejala-gejala tampak jelas: adanya demam, sakit kepala, tanda rangsang
meningeal, kejang, diikuti kesadaran menurun sampai koma. Kelemahan saraf
kranial sering pula terjadi, dan yang paling menonjol adalah gangguan
pergerakan bola mata.
Penanganan awal untuk meningitis adalah pemberian antibiotik spektrum
luas secara intravena, yang dapat menembus sawar darah otak. Terapi
pembedahan dilakukan bila terapi konvensional tidak berhasil dalam 48 jam
pengobatan, dengan catatan pasien masih dalam keadaan stabil. Sekuele
neurologik dapat terjadi pada pasien ini, berupa gangguan kejang dan kelemahan
sensorineural. Kehilangan pendengaran terjadi pada 25% pasien dengan
komplikasi meningitis.
2. Epidural abses
Abses epidural merupakan komplikasi kedua tersering dari sinusitis.
Komplikasi ini lebih sering mengikuti sinusitis frontal, yang kemungkinan
disebabkan banyaknya komunikasi vena dan renggangnya duramater. Pada
kelainan ini didapatkan timbunan pus di antara duramater dan ruang kranium
yang sering tampak pada tulang frontal dimana duramater melekat longgar pada
tulang dahi. Mikroorganisme tersering yang membentuk abses adalah
Staphylococcus aureus dan Streptococci. Gejala sangat ringan, tanpa ada gangguan neurologi,
ada nyeri kepala
yang makin lama dirasakan makin berat dan sedikit demam. Diagnosis dapat
diperkuat dengan pemeriksaan CT scan kepala dan MRI.
Penanganan abses epidural adalah dengan pemberian antibiotik intravena
dosis tinggi dan drainase sinus dan abses, meskipun beberapa ahli menyatakan
pembedahan tidak diperlukan bila abses berukuran kecil.
3. Subdural empiema
Abses atau empiema subdural merupakan komplikasi intrakranial
tersering ketiga dari sinusitis. Apabila komplikasi ini terjadi, maka angka
mortalitasnya cukup tinggi, yaitu 25-35%. Sekitar 30% pasien yang sembuh,
menunjukkan adanya gangguan neurologik. Abses ini seringkali merupakan
komplikasi dari sinusitis frontalis, karena barier anatomi yang kurang baik, maka
empiema dapat meluas dengan cepat hingga menyelubungi korteks dan masuk ke
area interhemisfer. Kelainan ini umumnya unilateral. Mikroorganisme penyebab
tersering adalah Streptococci.
Gejala nyeri kepala hebat, ada tanda-tanda iskemik/infark korteks seperti
hemiparesis, hemiplegi, paralisis nervus facialis, kejang, peningkatan tekanan
intrakranial, demam tinggi, lekositosis, dan akhirnya kesadaran menurun. Pada
keadaan yang mengancam, penanganan bersifat emergensi karena deteriorasi
yang begitu cepat. Gejala meningitis dapat terlihat, defisit neurologi fokal dalam
berbagai derajat akan muncul sesuai dengan area abses. CT Scan dan MRI dapat
membantu menegakkan diagnosis. Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis
tinggi dan
drainase operatif dari sinus dan abses. Pemberian steroid dan antikonvulsi secara
rutin disesuaikan dengan keadaan penderita.
4. Abses intraserebral
Abses intraserebral dapat terjadi dan paling sering pada lobus frontal dan
frontoparietal, karena disebabkan sinusitis frontal yang menyebar secara
retrograde, septik emboli dari anyaman pembuluh darah. Namun, dapat pula
infeksi menyebar dari sinus ethmoidalis dan sfenoidalis.
Gejala umum berupa demam, nyeri kepala, mual-muntah, letargi, dan
gejala-gejala lain sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Bila
abses timbul perlahan, gejala neurologi tak jelas tampak, bila edem terjadi di
sekitar otak, tekanan intrakranial akan meningkat, gejala-gejala neurologi jelas
tampak, ancaman kematian segera terjadi bila abses ruptur. Diagnosis diperkuat
dengan pemeriksaan MRI dan CT scan.
Penanganan untuk komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik
dosis tinggi dan drainase operatif dari sinus dan abses. Pemberian kortikosteroid
dan antikonvulsi dapat dibenarkan.
5. Trombosis Sinus Venosus (Sinus Sagitalis Superior dan Sinus Kavernosus)
Infeksi yang meluas ke sinus sagitalis superior dan sinus kavernosus
dapat terjadi secara retrograd dari tromboflebitis sinus frontalis. Trombosis sinus
kavernosus telah dibicarakan pada bahasan sebelumnya. Trombosis sinus
sagitalis superior umumnya berkaitan dengan komplikasi lain seperti abses
subdural, abses epidural, atau abses intraserebral. Derajat keparahan bergantung pada luasnya
trombosis dan sumbatan
pembuluh darah. Oklusi akut sinus dural biasanya berimplikasi buruk dan dapat
memicu edema serebral masif, kongesti vena, dan infark. Pasien dapat merasa
sangat nyeri, demam tinggi yang meningkat tajam, tanda meningeal positif, atau
sejumlah komplikasi neurologik serius lainnya. Seringkali, pasien dengan
trombosis sinus dural menunjukkan gejala yang ringan, karena oklusi yang
inkomplit atau adanya sistem kolateral. Gambaran yang lebih jelas adalah dengan
MRI menggunakan kontras gadolinium, MR angiogram dan venogram yang
menunjukkan sejauh mana proses berlangsung.
Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan
drainses sinus paranasal. Pemberian antikoagulansia sistemik diberikan hingga
pemeriksaan radiologik yang memadai membuktikan bahwa trombus telah
teratasi. Penanganan utama untuk trombosis sinus akut masih kontroversial.
Bedah rekonstruksi dilakukan pada kasus yang berat dan luas. Dapat pula
dilakukan trombektomi terbuka yang dikombinasikan dengan terapi trombolisis
endovaskular, misalnya dengan pemberian urokinase atau streptokinase ke sinus
sagitalis superior melalui kateter yang melewati burr-hole kraniotomi. Teknik
serupa yang terbukti efektif adalah dengan pemberian agen trombolitik
bersamaan dengan venografi melalui vena femoralis.