21
PROSPEK DAN POTENSI HIDROGEN SEBAGAI ENERGI TERBARUKAN UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Oleh: Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng.

Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

Embed Size (px)

DESCRIPTION

biohidrogen

Citation preview

Page 1: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

PROSPEK DAN POTENSI HIDROGEN SEBAGAI ENERGI TERBARUKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

Oleh: Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng.

Page 2: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

2

PROSPEK DAN POTENSI HIDROGEN SEBAGAI ENERGI TERBARUKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di Depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada

pada Tanggal 11 Agustus 2009 di Yogyakarta

Oleh: Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng.

Page 3: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

3

PROSPEK DAN POTENSI HIDROGEN SEBAGAI ENERGI TERBARUKAN

Saya memilih judul ini, selain energi merupakan salah satu bidang yang saya tekuni, pencarian dan usaha peningkatan penggunaan sumber-sumber energi terbarukan giat dilakukan karena makin berkurangnya sumber energi fosil, yaitu minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Karena kekhawatiran manusia terhadap berkurangnya sumber energi fosil tersebut, kegiatan pencarian sumber-sumber energi alternatif sempat membuat bingung masyarakat, yaitu dengan munculnya kontroversi blue energy dan banyugeni pada bulan Mei, Juni, dan Juli tahun 2008.

Blue energy menggunakan konsep pembuatan bahan bakar cair dari gas hidrogen dan senyawa karbon (C, CO2, dll.). Gas hidrogen yang diperlukan diperoleh dari elektrolisis air menggunakan listrik yang dibangkitkan dari sumber energi terbarukan atau dari energi nuklir, dan senyawa karbonnya diambil dari udara, gas buang industri, dll. Konsep ini, saat ini masih relatif sulit untuk dilaksanakan dan belum layak secara ekonomi. Selain itu, menurut tinjauan termodinamis, sistem ini secara neto tidak menghasilkan energi, tetapi memerlukan energi. Jadi, diperlukan energi dari sumber lain. Dengan perkataan lain, sistem ini hanya memproduksi energi carrier (pembawa energi) yang lebih fleksibel untuk digunakan. Merupakan suatu kenyataan bahwa air tidak dapat dibakar, kecuali air tersebut diuraikan menjadi hidrogen dan oksigen, atau uap air pada suhu dan tekanan tinggi direaksikan dengan bahan yang mengandung karbon untuk menghasilkan hidrogen dan karbon monoksida. Hidrogen yang diperolehnya dapat digunakan sebagai bahan bakar.

Seperti telah kita ketahui bersama, kebutuhan energi di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya penduduk, meningkatnya aktivitas dan mobilitas manusia, dan berkembangnya industri. Kebutuhan energi di Indonesia pada tahun 2030 diperkirakan sebesar 3 x 109 SBM (setara barel minyak) atau 1,9 x 1019 Joule/tahun (Sediawan, 2008). Saat ini, pemenuhan kebutuhan energi, sebagian besar masih disuplai dari bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil selalu menghasilkan CO dan/atau CO2. CO2 merupakan komponen utama gas rumah kaca sebagai perangkap panas matahari di dekat permukaan bumi, sehingga menyebabkan

Page 4: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

4

terjadinya pemanasan global. Sebaliknya, penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar tidak dihasilkan zat pencemar udara, tetapi justru menghasilkan air, suatu zat yang sangat dibutuhkan umat manusia.

Energi dan Hukum Termodinamika

Kita semua tidak asing dengan kata energi. Tetapi tidak banyak di antara kita yang memahami secara tepat arti yang sesungguhnya dari kata tersebut. Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja. Untuk memberi penjelasan tentang arti energi, dapat digambarkan sebagai berikut. Misalnya 1 (satu) kg benda dinaikkan elevasinya setinggi 1 (satu) m di atas ketinggian mula-mula benda itu berada. Untuk menaikkan benda tersebut, maka seseorang atau suatu alat harus melakukan kerja. Dengan kata lain, kerja telah diberikan kepada benda untuk mengangkatnya dari suatu level ke level yang lebih tinggi. Kerja ini merupakan jumlah energi yang telah diberikan kepada benda tersebut. Satuan energi menurut Sistem Internasional (SI) adalah Joule (J). Satuan lain yang biasa digunakan adalah Kilowatt-jam (kWh), British thermal unit (Btu), Tonne of oil equivalent (toe), Barrel, dan Calorie. Satu J adalah kerja yang dilakukan jika gaya sebesar 1 (satu) Newton bekerja pada sebuah benda sehingga benda tersebut bergeser sejauh 1 (satu) m searah dengan gaya. Satu N adalah gaya yang diperlukan untuk meningkatkan atau menurunkan kecepatan 1 (satu) kg benda sebesar 1 (satu) m/detik setiap detik (Beggs, 2005). Jenis-jenis energi adalah energi potensial (karena elevasinya), energi kinetik (karena geraknya), internal energy/energi dakhil (karena gerakan molekul dan atom), dan energi yang timbul karena proses yang terjadi di dalam sistem, yaitu panas dan kerja (Daubert, 1987). Energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan. Energi hanya dapat diubah dari bentuk yang satu ke bentuk lainnya. Pernyataan ini dikenal sebagai Hukum Termodinamika Pertama. Sebagai contoh, dalam PLTN energi inti atom dari uranium diubah menjadi panas. Panas digunakan untuk membangkitkan uap air. Uap air lalu digunakan untuk memutar turbin (energi mekanik). Turbin kemudian menggerakkan dinamo yang hasil akhirnya adalah listrik. Hukum Termodinamika Kedua menjelaskan konsep bahwa setiap kejadian di alam semesta memiliki arah dan cenderung berlangsung menurun dari tingkat energi tinggi ke tingkat energi yang lebih rendah

Page 5: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

5

(Manurung, 2008). Sebagai contoh, besi selalu cenderung berubah menjadi karat, dan karat tidak mungkin kembali menjadi besi secara spontan. Besi dibuat dari bijih besi dengan memasukkan jumlah energi yang besar, dan bila besi berubah menjadi karat maka ia kembali pada tingkat energi yang lebih rendah. Semua proses di alam semesta cenderung menuju ke arah ketidakteraturan/keacakan yang diukur sebagai entropi.

Sumber Energi dan Ketersediaannya Di alam semesta terdapat dua jenis sumber energi, yaitu sumber

energi tidak terbarukan dan sumber energi terbarukan. Sumber energi tidak terbarukan adalah sumber energi yang keberadaannya di alam terbatas dan akan habis dalam kurun waktu tertentu, yaitu minyak bumi, gas alam, dan batubara, yang lebih dikenal dengan istilah bahan bakar fosil. Sumber energi terbarukan merupakan bahan yang dapat menghasilkan energi dan bahan tersebut dapat diperbaharui secara terus menerus sehingga keberadaannya di alam ini tidak akan habis. Misalnya sumber energi yang berasal dari tanaman dan hewan, panas matahari/surya, angin, air, panas bumi, dan gelombang laut.

Cadangan minyak bumi di Indonesia sebesar 9 miliar barel, atau sebesar 0,4% dari cadangan minyak bumi dunia, dan produksi reratanya sejak tahun 2000 s.d. 2008 sebesar 414,6 juta barel per tahun. Jika kondisi ini tetap berlangsung, maka cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam waktu 22 tahun ke depan. Cadangan gas alam Indonesia sebesar 182 triliun kaki kubik, atau sebesar 1,7% dari cadangan gas alam dunia, dan produksinya sebesar 3,0 triliun kaki kubik per tahun, sehingga cadangan gas alam Indonesia masih cukup untuk 61 tahun lagi. Cadangan batubara nasional sebesar 19,3 miliar ton atau 0,4% dari cadangan batubara dunia. Produksi batubara di Indonesia sebesar 130 juta ton per tahun. Dengan demikian, cadangan batubara Indonesia diperkirakan masih cukup untuk kebutuhan 147 tahun ke depan (Putrohari, 2009). Saat ini, sekitar 80% dari konsumsi energi dunia masih bergantung pada bahan bakar fosil (Goldemberg, 2006). Dan diperkirakan bahwa cadangan minyak dunia akan habis pada tahun 2050 (Saxena dkk., 2009).

Page 6: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

6

Sumber energi terbarukan di Indonesia cukup melimpah. Areal pertanian di Indonesia dengan 2,4 juta ha tanaman padi, 4,28 juta ha tanaman jagung, 6,9 juta ha kebun kelapa sawit dengan 35% di antaranya milik rakyat, 344,4 ribu ha tanaman tebu, dan tanaman-tanaman lainnya dengan total biomassa dari tanaman-tanaman tersebut setara dengan energi sebesar 49,81 GW. Potensi pembangkit listrik tenaga air sebesar 75,67 GW, mini/mikro hidro sebesar 458,75 MW, panas bumi 27 GW, tenaga angin 9,29 GW, dan tenaga surya rerata sebesar 4,8 kWh/m2/hari (Putrohari, 2009). Di samping sumber-sumber energi terbarukan tersebut di atas, energi terbarukan dapat diperoleh dari laut. Di balik ganasnya gelombang samudra, di situ tersimpan energi terbarukan yang sangat besar. Kecuali dari gelombang laut, energi terbarukan juga dapat dihasilkan dari pasang surut air laut, energi yang timbul akibat perbedaan suhu permukaan air dengan suhu dasar laut, dan energi arus laut. Dengan luas lautan mencapai 5,8 juta km2 berdasarkan perhitungan secara kartografis, Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan berbasis gelombang laut yang melimpah. Berdasarkan survei yang telah dilakukan, daerah yang berpotensi untuk dikembangkan sumber energi lautnya adalah sepanjang Pesisir Barat Sumatera, Selatan Jawa, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat (Anonim, 2009a).

Komposisi Jenis Energi

Konsumsi energi di Indonesia meningkat rata-rata sebesar 7% per tahun dengan adanya pertambahan penduduk, meningkatnya kegiatan ekonomi dan perkembangan industri. Komposisi pemakaian jenis energi di Indonesia saat ini adalah minyak bumi 51,66%, gas alam 28,57%, batubara 15,34%, tenaga air 3,11%, dan panas bumi 1,32% (Anonim, 2009b). Data tersebut menunjukkan bahwa minyak bumi masih mendominasi pemakaian jenis energi di Indonesia. Mengingat cadangan minyak bumi, gas alam, dan batubara di Indonesia yang terus menyusut karena laju penggunaannya cukup tinggi, maka harus dilakukan diversifikasi penggunaan energi untuk menghemat pemakaian energi fosil dan untuk memenuhi kebutuhan

Page 7: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

7

energi di masa yang akan datang. Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional mengamanatkan bahwa pada tahun 2025, komposisi jenis energi di Indonesia adalah batubara 33%, gas alam 30%, minyak bumi 20%, dan energi terbarukan sebesar 17%. Ternasuk dalam 17% ini adalah bahan bakar nabati sebesar 5%, panas bumi 5%, biomassa, nuklir, air, surya, dan angin sebesar 5%, serta batubara yang dicairkan sebesar 2%. Di sini dapat dilihat bahwa hidrogen belum menjadi prioritas Pemerintah Indonesia dalam pengembangan energi terbarukan.

Hidrogen dan Penggunaannya Hidrogen, dengan lambang kimia H, merupakan unsur paling

sederhana dilihat dari segi susunan proton dan elektronnya. Satu atom hidrogen hanya memiliki satu proton dan satu elektron. Gas hidrogen merupakan molekul diatomik, di mana tiap molekul tersusun atas 2 atom hidrogen, yang secara kimia dirumuskan dengan H2. Hidrogen merupakan gas paling banyak terdapat di alam semesta dan keberadaannya di Matahari diperkirakan mencapai 75% dari total massa Matahari (Yanti, 2009). Gas hidrogen tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak beracun. Hidrogen merupakan unsur teringan, dengan berat jenis 0,08988 g/L pada kondisi standar. Keadaan ini kurang menguntungkan untuk penyimpanan dan transportasi hidrogen karena membutuhkan volume bejana yang besar, yaitu sekitar 5 kali volume penyimpanan bensin dengan kandungan energi yang sama pada tekanan yang layak. Sifat lain dari hidrogen yang kurang menguntungkan adalah mudah terbakar dan mudah meledak. Nyala pembakaran hidrogen murni dengan oksigen murni berwarna ultraviolet yang hampir tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Oleh karena itu, perlu penekanan aspek keselamatan pada proses-proses yang melibatkan hidrogen.

Hidrogen mempunyai kandungan energi tertinggi per satuan berat dibandingkan dengan semua jenis bahan bakar, yaitu sebesar 120 MJ/kg. Sebagai pembanding, kandungan energi gas alam adalah 54,4 MJ/kg, LPG 48,8 MJ/kg, bensin 45,6 MJ/kg, solar 45,3 MJ/kg, arang

Page 8: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

8

30,0 MJ/kg, dan kayu kering 15,5 MJ/kg (Kelly-Yong dkk., 2007). Seperti halnya listrik, hidrogen disebut sebagai pembawa energi bukan sebagai sumber energi, karena energi yang terkandung dalam hidrogen dapat dengan mudah untuk dimanfaatkan.

Hidrogen dapat digunakan baik langsung sebagai bahan bakar untuk mesin (termasuk kendaraan bermotor dan mobil) maupun sebagai bahan bakar untuk fuel cell (sel bahan bakar) penghasil listrik. Sel bahan bakar adalah alat yang bekerja secara elektrokimia, menggunakan hidrogen dan oksigen untuk menghasilkan listrik, air dan sejumlah panas, sehingga sama sekali tidak dihasilkan zat pencemar lingkungan. Di sini, energi kimia hidrogen diubah langsung menjadi listrik dan panas menggunakan proses yang terjadi pada suhu rendah dengan efisiensi 2 atau 3 kali lebih besar dari teknologi pembakaran lainnya. Pembangkitan listrik pada pembangkit konvensional menggunakan bahan bakar fosil, mempunyai efisiensi 33 s.d. 35%, tetapi pembangkitan listrik dengan sel bahan bakar mempunyai efisiensi 60% atau lebih jika dilengkapi dengan sistem pemanfaatan energi terbuang. Pada mesin kendaraan yang dijalankan secara normal, konversi energi kimia pada bensin menjadi tenaga penggerak kendaraan kurang dari 20% (Anonim, 2009c).

Selain sebagai bahan bakar mesin dan sel bahan bakar, hidrogen banyak digunakan sebagai bahan bakar roket, tenaga pendorong pesawat ruang angkasa, dan industri kimia (Anonim, 2009d). Industri kimia yang banyak menggunakan hidrogen adalah industri pengilangan minyak dan industri pupuk, yang masing-masing mencapai 37 dan 50%. Penggunaan hidrogen di industri kimia di antaranya adalah untuk hydrocracking, hidrogenasi lemak tak jenuh dalam minyak tumbuhan, pembuatan amoniak, pembuatan metanol, dan pembuatan silikon (Ribeiro dkk., 2008). Hidrogen juga digunakan di industri semikonduktor.

Hidrogen diperkirakan akan menjadi pemasok energi utama untuk pembangkitan listrik dengan sel bahan bakar, sebagai bahan bakar mesin kendaraan, dan untuk penggunaan-penggunaan lainnya di abad ke-21 karena ramah lingkungan dan kemudahannya dikonversi menjadi energi (Iwasaki dkk., 2006). Penggunaan hidrogen sebagai

Page 9: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

9

bahan bakar sama sekali tidak memberi kontribusi terhadap efek rumah kaca, hujan asam, dan kerusakan lapisan ozon. Jadi, penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar tidak mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar sangat mendukung Protokol Kyoto, yang mengamanatkan agar industri mengurangi emisi gas rumah kaca dengan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil (Nath dan Das, 2003).

Penggunaan hidrogen dalam sel bahan bakar merupakan teknologi yang menjanjikan untuk pemenuhan listrik dan panas dalam berbagai keperluan. Kendaraan dengan teknologi sel bahan bakar hidrogen mempunyai efisiensi 3 (tiga) kali lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan bermesin menggunakan bahan bakar bensin. Teknologi ini sudah digunakan oleh beberapa produsen mobil utama, yaitu BMW, American Honda Company, dan Toyota Motors. Tenaga untuk kendaraan-kendaraan tersebut disuplai dengan sel bahan bakar yang dikombinasikan dengan baterai hibrida logam nikel (Momirlan dan Veziroglu, 2005).

Produksi Hidrogen Hidrogen merupakan zat yang melimpah di alam semesta ini.

Namun, keberadaannya di alam selalu bersenyawa dengan zat lain seperti oksigen dan karbon. Untuk keperluan komersial, hidrogen harus dibuat dari zat-zat yang mengandung atom hidrogen dalam struktur molekulnya, seperti bahan bakar fosil, biomassa, alkohol, atau air. Semua metode pembuatan hidrogen memerlukan energi yang berupa listrik, panas, atau cahaya.

Elektrolisis Air Elektrolisis air pertama kali dilakukan oleh William Nicholson

dan Anthony Carlisle kira-kira pada tahun 1800. Elektrolisis air adalah penguraian air (H2O) menjadi oksigen (O2) dan hidrogen (H2) dengan cara pengaliran arus listrik melalui katoda dan anoda yang tercelup di dalam air. Hidrogen akan muncul di katoda, yaitu elektroda yang terhubung ke arus negatif, dan oksigen di anoda, yaitu elektroda yang

Page 10: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

10

terhubung ke arus positip. Jumlah gas hidrogen yang diperoleh sebanyak 2 kali gas oksigennya, dan jumlah keduanya proporsional dengan energi listrik yang digunakan. Elektrolisis air murni berlangsung sangat lambat. Hal ini karena konduktivitas listrik air murni sangat rendah, yaitu sekitar 1/1.000.000 dari konduktivitas listrik air laut. Kecepatan elektrolisis air menjadi hidrogen dan oksigen dapat ditingkatkan secara nyata dengan penambahan zat-zat elektrolit yang berupa garam, asam, atau basa. Jika zat elektrolit ditambahkan ke dalam air, maka konduktivitas listrik larutan elektrolit tersebut meningkat dengan tajam. Garam natrium dan lithium sering digunakan dalam proses elektrolisis air karena harganya relatif murah dan mudah larut dalam air. Asam yang biasa digunakan sebagai elektrolit adalah asam kuat misalnya H2SO4, sedangkan basanya adalah basa kuat seperti KOH dan NaOH (Anonim, 2009d). Pada elektrolisis air banyak energi yang hilang sebagai panas, sehingga tidak dapat mengubah 100% energi listrik menjadi energi kimia hidrogen. Pada proses ini, efisiensi konversi energi listrik menjadi energi kimia hidrogen tanpa memperhitungkan kehilangan energi pada pembangkitan listrik adalah 50 s.d. 70%. Jika hidrogen diproduksi dengan cara elektrolisis air menggunakan listrik dari pembangkit listrik tenaga nuklir, maka efisiensi totalnya 30 s.d. 45% (Anonim, 2009e). Termokimia

Cara lain untuk memproduksi hidrogen dari air dapat dilakukan dengan menguraikan air langsung menggunakan panas pada suhu sekitar 4.000 K (3.727oC). Suhu peruraian air dengan panas dapat diperendah dengan proses termokimia, yaitu proses peruraian air dengan panas menggunakan bantuan zat kimia. Dalam proses ini, bahan baku yang diperlukan secara kontinyu hanyalah air, karena bahan kimia yang digunakan dalam reaksi didaur ulang ke dalam proses. Dari banyak jenis proses termokimia untuk memproduksi hidrogen, proses iodine-sulfur (proses IS) merupakan proses yang menjanjikan (Kasahara dkk., 2006). Proses ini terdiri atas 3 (tiga) reaksi, yaitu: (1) Reaksi Bunsen: 42222 22 SOHHIOHSOI , berlangsung pada suhu 130oC, (2) reaksi dekomposisi H2SO4 menjadi

Page 11: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

11

H2O, SO2, dan O2: 221

2242 OSOOHSOH ), dan (3) reaksi

dekomposisi HI menjadi H2 dan I2: 222 IHHI . SO2 yang diperoleh dari reaksi 2 dan I2 yang diperoleh dari reaksi 3 didaur ulang ke reaksi Bunsen. Jadi dalam siklus ini, air diuraikan menjadi H2 dan O2. Efisiensi termal maksimum untuk produksi hidrogen dengan proses IS adalah 56,8% (Kasahara dkk., 2006).

Steam Reforming Uap air pada suhu yang tinggi (200oC atau lebih) dapat

direaksikan dengan zat yang mengandung karbon, misalnya gas metan, alkohol, dan biomassa dengan bantuan katalisator menjadi H2

dan CO. Proses ini disebut steam reforming (Hao dkk., 2003). Selanjutnya reaksi tersebut diteruskan dengan reaksi water-gas shift, yaitu reaksi antara CO dengan uap air (H2O) menjadi CO2 dan H2. Sampai saat ini, produksi hidrogen yang paling ekonomis adalah steam reforming berkatalis dari gas alam yang diikuti reaksi water-gas shift (Ribeiro dkk., 2008). Steam reforming gas alam di beberapa pabrik pupuk dijalankan pada suhu 447 s.d. 800oC dan tekanan 35 atm pada reaktor unggun tetap dengan katalis nikel. Hidrogen yang dihasilkan dari proses ini masih bercampur dengan uap air, karbon monoksida, karbon dioksida, dan nitrogen (Mulyono dkk., 1995). Pemurnian hidrogen dari pengotornya dapat dilakukan dengan menyerap gas CO2 menggunakan larutan Benfield atau dengan pressure swing adsorption (PSA) (Mulyono dkk., 1997; Ribeiro dkk., 2008).

Biohidrogen sebagai Energi Terbarukan Syarat agar hidrogen menjadi energi terbarukan, maka ia harus

diproduksi dari sumber-sumber terbarukan, misalkan biomassa limbah pertanian dan kehutanan, hasil samping pertanian dan kehutanan, limbah industri pengolahan makanan, tanaman laut dan ganggang. Keadaan ini akan lebih menguntungkan jika energi yang digunakan untuk memproduksi hidrogen dari sumber terbarukan tersebut juga berasal dari sumber-sumber energi terbarukan, misalnya energi hidro,

Page 12: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

12

panas matahari, atau angin. Hidrogen yang diproduksi dari biomassa dan hidrogen yang diproduksi dengan bantuan mikroorganisme disebut biohidrogen.

Produksi gas hidrogen dari biomassa dapat dilakukan dengan pirolisis, gasifikasi, dan gasifikasi dengan penambahan uap air super kritis. Pirolisis adalah peruraian (lysis) suatu zat menggunakan panas (pyro). Jika biomassa dipanasi sampai suhu sekitar 350oC tanpa adanya oksigen, maka ia akan terurai menjadi arang dengan penyusun atom C, gas yang terdiri atas CO, CO2, H2, H2O, dan CH4, dan uap tir dengan perkiraan rumus molekul CH1,2O0,5. Uap tir ini berfasa gas pada suhu pirolisis tetapi akan mengembun menjadi butiran halus tir jika didinginkan (Reed dan Das, 1988). Gasifikasi adalah reaksi oksidasi biomassa dengan jumlah oksigen terbatas dan hasilnya merupakan bahan bakar gas. Dalam kondisi tertentu, jumlah oksigen dibatasi kurang dari 40% jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pembakaran sempurna, dan hasil utamanya adalah CO dan H2 (Evans dan Milne, 1987). Kecuali CO dan H2, pada gas hasil gasifikasi biomassa terdapat pula CO2, CH4, dan senyawa lainnya. Reaksi yang terjadi pada proses gasifikasi biomassa dengan penambahan uap air super kritis sangat kompleks karena terjadi reaksi berantai yang menghasilkan campuran gas dan cairan. Tiga reaksi utama yang terjadi adalah (Kelly-Yong dkk., 2007):

(1) Steam reforming: COHOHBiomassa 22

(2) Reaksi water-gas shift: 222 HCOOHCO

(3) Reaksi metanasi: OHCHHCO 2423 Reaksi metanasi dapat dihambat dengan cara menggunakan air fasa cair sebagai pengganti uap air dan menggunakan katalis nikel. Penggunaan media air super kritis pada gasifikasi biomassa mempunyai banyak keuntungan. Proses ini dapat dilakukan untuk biomassa dengan kadar air tinggi (>50%), sehingga tidak perlu dilakukan pengeringan untuk biomassa yang akan diproses. Dengan demikian dapat dilakukan penghematan biaya. Fleksibilitas ini memungkinkan penggunaan bahan baku biomassa dengan kadar air tinggi. Pada tahun 1993-2000, eksperimen yang seksama untuk proses ini telah dilakukan oleh Hawaii Natural Energy Institue (HNEI). Eksperimen dijalankan pada suhu gasifikasi 650oC dan tekanan di atas

Page 13: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

13

tekanan kritis air (22 MPa) menggunakan beberapa macam jenis biomassa, diantaranya adalah serbuk gergaji. Hasil eksperimen tersebut sangat baik, dengan efisiensi gasifikasi mendekati 100% dan kandungan gas hidrogennya mencapai 57% mol (Antal dkk., 2000). Minowa dan Ogi (1998) dari National Institute for Resources and Environment (NIRE) of Japan telah melakukan studi mengenai proses ini dengan seksama menggunakan selulosa dan kayu Oak Jepang pada suhu gasifikasi 350oC dan tekanan dalam reaktor 17 MPa. Produknya merupakan campuran gas hidrogen dan karbon dioksida. Dalam percobaan tersebut diperoleh hasil bahwa prosentase arang dan tir yang terbentuk berkurang dengan tajam dan hasil gasnya mencapai 94% berat jika menggunakan selulosa sebagai bahan baku. Jika kayu digunakan sebagai bahan baku, maka hasil gas yang diperoleh mencapai 55% berat. Penambahan garam seperti KOH dalam proses ini dapat memperkecil arang dan tir yang terbentuk. Pada suatu percobaan menggunakan limbah biomassa yang dioperasikan pada suhu 600oC dan tekanan 25,3 MPa dengan penambahan garam KOH, diperoleh hasil bahwa 100% bahan baku terkonversi menjadi gas tanpa pembentukan arang dan tir (Kelly-Yong dkk., 2007).

Efisiensi Energi pada Gasifikasi Efisiensi energi didefinisikan sebagai jumlah energi yang dapat

diperoleh dari produk yang dihasilkan dibagi dengan total energi yang digunakan dalam proses. Untuk proses gasifikasi dengan penambahan uap air super kritis, efisiensi energi didefinisikan sebagai perbandingan antara energi kimia yang dimiliki produk, yaitu H2, CO, CO2, dan CH4 ditambah dengan panas yang dibawa produk dan panas reaksi, dengan keseluruhan energi kimia yang terkandung dalam umpan ditambah dengan energi yang dibutuhkan untuk pemanasan biomassa. Gasifikasi limbah kelapa sawit yang merupakan selulosa dengan penambahan uap air super kritis, secara stoikiometri menghasilkan H2 61,29% mol, CO 3,23% mol, CO2 32,25% mol, dan CH4 3,23% mol (Kelly-Yong dkk., 2007). Jika gasifikasi ini dilakukan pada suhu 727oC dan tekanan 30 MPa, dan panas yang digunakan diperoleh dari pembakaran kayu dengan efisiensi panas terpakai 75%, dan jika alat gasifikasinya dilengkapi dengan fasilitas penggunaan kembali panas terbuang, maka efisiensi energi teoritisnya mencapai

Page 14: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

14

72,91%. Jika alat gasifikasinya tidak dilengkapi dengan fasilitas penggunaan kembali panas terbuang, maka efisiensinya turun menjadi 46,54%. Dengan demikian, penggunaan kembali panas terbuang mempunyai peran yang sangat penting pada proses gasifikasi (Kelly-Yong dkk., 2007).

Produksi Hidrogen Secara Biologis Kecuali diproduksi dari biomassa, seperti yang telah diuraikan

di atas, hidrogen terbarukan dapat pula diproduksi dari karbohidrat dengan bantuan enzim. Tiga jenis enzim yang dapat digunakan dalam proses ini adalah nitrogenase, Fe-hydrogenase, dan NiFe hydrogenase (Saxena dkk., 2009).

Produksi hidrogen secara biologis dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) golongan. Golongan pertama, yaitu proses yang memerlukan sinar dan golongan ke dua merupakan proses yang tidak memerlukan sinar atau harus terjadi pada kondisi gelap. Proses yang membutuhkan sinar meliputi biophotolysis langsung atau tidak langsung dan photo fermentation, sedangkan proses yang tidak memerlukan sinar terutama adalah dark fermentation.

Biophotolysis merupakan dekomposisi air menjadi hidrogen pada ganggang mikro atau cyanobacteria dengan bantuan sinar matahari (Tanisho dkk., 1998). Produski hidrogen oleh ganggang, bakteri sulfur ungu, dan bakteri non-sulfur juga dapat terjadi dengan reaksi fotosintesis antara air dan karbon dioksida dengan bantuan sinar matahari menghasilkan karbohidrat, hidrogen, dan oksigen. Pada photo fermentation, bakteri Rhodobacter spheroides memproduksi hidrogen dari limbah organik dengan bantuan sinar pada berbagai spektrum. Pada dark fermentation, bakteri Enterobacter cloacae atau Clostridium sp. dapat menghasilkan hidrogen sepanjang hari dari substrat sumber karbon dan memberikan produk samping berupa asam butirat, asam laktat, dan asam asetat. Proses ini berjalan secara anaerobik (Hussy dkk., 2003).

Keuntungan cara fermentasi dalam produksi hidrogen adalah degradasi padatan dan zat organik kompleks yang terdapat pada limbah dan produk-produk pertanian dapat terjadi dengan cepat. Namun demikian, fermentasi hanya mengkonversi kira-kira 15% dari energi yang terkandung pada bahan baku tersebut menjadi hidrogen

Page 15: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

15

(Das dan Verziroglu, 2001). Kombinasi antara dark fermentation dan photo fermentation dalam sistem hibrid dua tahap dapat meningkatkan produk hidrogen yang diperolehnya (Nat dan Das, 2004). Pada tahap pertama, biomassa difermentasi menjadi asam asetat, karbon dioksida, dan hidrogen dalam thermophilic dark fermentation. Selanjutnya pada tahap ke dua, asam asetat dikonversi menjadi hidrogen dan karbon dioksida (Nath dan Das, 2006). Dengan proses kombinasi ini, hidrogen yang dihasilkan diperkirakan mendekati hasil teoritisnya, yaitu 12 mol hidrogen per mol glukosa atau 24 g hidrogen per 180 g glukosa. Proses produksi hidrogen secara biologis terjadi pada suhu lingkungan dan tekanan atmosferis. Dengan demikian, proses ini lebih hemat energi jika dibandingkan dengan produksi hidrogen dengan cara lain.

Penyimpanan Hidrogen Dalam usaha penggunaan hidrogen sebagai energi untuk

berbagai keperluan, cara penyimpanan hidrogen merupakan tantangan tersendiri. Hidrogen dapat disimpan dalam bentuk gas bertekanan, cairan kriogenik, atau padatan, misalnya dalam bentuk hidrida logam, hidrida kompleks atau material karbon. Walaupun hidrogen dapat disimpan dalam bentuk cair, tetapi proses pencairannya cukup sulit, karena harus dilakukan pendinginan sampai suhu -252,87oC. Penyimpanan hidrogen pada suhu ini memerlukan sistem refrigerasi menggunakan energi yang setara dengan 25-30% dari kandungan energi hidrogen itu sendiri. Kecuali itu, material yang digunakan sebagai bejana penyimpan dan cara penanganannya harus khusus. Untuk mencairkan 0,45 kg hidrogen diperlukan energi listrik sebesar 5 kWh (Anonim, 2009d). Penyimpanan hidrogen dalam bentuk gas bertekanan lebih murah dari pada penyimpanan pada fasa cair. Untuk penggunaan dalam skala besar, hidrogen bertekanan dapat disimpan pada bejana terpendam dan tangki-tangki gas. Dari tempat penyimpanan tersebut, hidrogen dapat dialirkan menggunakan pipa ke para pengguna seperti halnya pengaliran gas alam. Penggunaan bejana bertekanan sebagai menampung hidrogen untuk kendaraan bermotor masih belum layak, karena harganya mahal dan kurang aman.

Page 16: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

16

Cara penyimpanan hidrogen yang lebih aman adalah dengan diserap dalam suatu zat kimia sehingga membentuk senyawa kimia atau dijerap dalam material karbon, misalnya karbon aktif, karbon nanotube, dan karbon nanofiber. Kapasitas penyimpanan hidrogen pada material karbon berkisar antara 0,2% sampai dengan 10% (Sakintuna dkk., 2007). Pada cara penyimpanan ini, untuk mengeluarkan hidrogen dari zat penyimpannya dibutuhkan energi. Usaha-usaha penyimpanan hidrogen dengan cara baru yang jauh lebih aman dari penyimpanan dalam fasa gas dan fasa cair telah banyak diteliti, misalnya dalam bentuk hidrida logam. Hidrida logam adalah padatan senyawa kimia yang terbentuk dari ikatan antara hidrogen dengan logam atau hidrogen dengan campuran logam, misalnya Mg, Mg-Ni, Mg-Cu, dan Fe-Ti. Penyimpanan hidrogen dengan hidrida logam mempunyai kapasitas penyimpanan lebih besar dibandingkan dengan penyimpanan dalam fasa cair atau gas. Hidrida logam MgH2 mempunyai kapasitas penyimpanan 6,5 atom H/cm3 sedangkan penyimpanan pada fasa gas 0,99 atom H/cm3 dan penyimpanan pada fasa cair 4,2 atom H/cm3 (Sakintuna dkk., 2007). Hidrogen dapat juga diproduksi langsung di kendaraan dengan cara steam reforming metanol (Ogden, 1999). Biaya Produksi Hidrogen

Elektrolisis air untuk memproduksi hidrogen merupakan cara yang paling mahal. Biaya produksi hidrogen dengan sistem elektrolisis photovoltaic mencapai US$ 42/GJ. Jika listrik yang digunakan untuk melakukan elektrolisis berasal dari pembangkit hidro dengan tarif listrik termurah (off peak), maka biaya produksinya turun menjadi US$ 10 s.d. $ 20/GJ. Biaya produksi hidrogen dengan steam reforming gas alam rata-rata adalah US$ 5-8/GJ (Kelly-Yong dkk., 2007). Sampai saat ini, steam reforming gas alam merupakan cara produksi hidrogen yang paling banyak digunakan secara komersial. Kelly-Yong dkk. (2007) melaporkan bahwa biaya produksi hidrogen dari biomassa kelapa sawit menggunakan cara gasifikasi dengan penambahan uap air super kritis lebih murah dari steam reforming gas alam, yaitu US$ 3-7/GJ atau US$ 0,35/kg. Biaya produksi hidrogen dengan cara pirolisis biomassa adalah US$ 12,5/GJ (Kelly-Yong dkk. 2007).

Page 17: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

17

Prospek, Potensi, dan Tantangan Hidrogen Terbarukan Seperti telah kita ketahui bersama bahwa kebutuhan energi

dunia meningkat dari waktu ke waktu. Saat ini, sekitar 80% dari kebutuhan energi dunia masih bergantung pada bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi menghasilkan zat pencemar lingkungan, yaitu SO2 sebagai penyebab utama terjadinya hujam asam dan CO2 yang merupakan komponen utama gas rumah kaca di samping CH4 dan N2O sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Suatu perkiraan yang dilakukan pada tahun 2000 menyatakan bahwa lebih dari 20 juta ton CO2 dilepaskan ke udara setiap tahunnya (Saxena dkk., 2009). Jika keadaan seperti ini berjalan terus-menerus, maka akan terjadi perubahan iklim global yang ekstrim, dengan akibat curah hujan yang berlebih, banjir, kemarau panjang, dan terganggunya keseimbangan lokal. Pemanasan global akibat gas rumah kaca dapat melelehkan es di kutub bumi dan di puncak-puncak gunung yang akibatnya dapat menaikkan permukaan air laut yang pada akhirnya dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil. Menurut perkiraan dari Intergovernmental Panel on Climate Change, suatu organisasi internasional yang beranggotakan lebih dari 1.500 ilmuwan, suhu rerata permukaan bumi akan naik 1,4 s.d. 5,8oC pada tahun 2100 (Anonim, 2009f). Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Emil Salim mengatakan bahwa saat ini sudah 29 pulau kecil di Indonesia tenggelam karena naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global (Anonim 2009g). Pada tahun 2050, ketika suhu udara global naik 1,6 s.d. 4,2oC, diperkirakan sebanyak 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam (Ikawati, 2009). Melihat kondisi ini, maka diperlukan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan H2 memenuhi persyaratan tersebut, sehingga H2 mempunyai prospek yang cerah sebagai energi masa depan.

Hidrogen terbarukan dapat diproduksi langsung dari biomassa, bioethanol, atau diproduksi secara biologis dengan bantuan enzim. Biomassa merupakan sumber energi yang telah digunakan oleh umat manusia sejak jaman purba. Saat ini biomassa menyumbang 10-14% kebutuhan energi dunia (Saxena dkk., 2009). Indonesia yang merupakan negara tropis dengan berbagai jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan subur, mempunyai potensi besar untuk memproduksi H2 dari biomassa atau dari bioethanol.

Page 18: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

18

Tantangan yang dihadapi pada pengembangan hidrogen terbarukan hingga dapat digunakan secara ekonomis meliputi usaha penurunan biaya produksi, cara pengiriman hidrogen ke pengguna, penyimpanan, dan penggunaan akhir untuk mesin, sel bahan bakar, dan penggunaan lainnya. Di bagian produksi, harus dicari cara-cara produksi hidrogen dari biomassa atau dari bioethanol yang efektif dan efisien melalui kegiatan riset dan pengembangan. Kegiatan riset untuk bagian ini terbuka lebar pada kinetika, katalis, jenis reaktor, dan cara pemisahan hidrogen dari gas-gas pengotornya hingga mencapai kemurnian 99,99% lebih yang dibutuhkan untuk keperluan sel bahan bakar. Pada produksi hidrogen secara biologis, riset dan pengembangan sangat diperlukan terkait dengan mikroorganisme, enzim, bahan baku, dan prosesnya. Di bagian pendistribusian dan penyimpanan H2, masih diperlukan riset dan pengembangan mengenai cara penyimpanan dan bahan yang digunakan. Pendek kata, masih terdapat banyak permasalahan yang memerlukan kajian secara teoritis, teknis, dan ekonomis pada produksi dan penggunaan hidrogen terbarukan. Oleh karena itu perlu disusun road map pengembangan hidrogen sebagai energi terbarukan. Kecuali harus melakukan riset dan pengembangan secara mandiri di bidang hidrogen, Pemerintah Indonesia dan para peneliti Indonesia sebaiknya menjalin kerja sama riset internasional dengan negara-negara lain yang telah lebih awal mengembangkan produksi hidrogen sebagai energi terbarukan.

Jika pengembangan hidrogen sebagai energi terbarukan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sistematis, maka target Pemerintah Indonesia untuk pemenuhan suplai energi 17% dari sumber energi non fosil pada tahun 2025 insyaAllah dapat terpenuhi. Keberhasilan pengembangan potensi hidrogen sebagai energi terbarukan akan berkontribusi terhadap pertumbuhan berkelanjutan ekonomi Indonesia, karena hidrogen akan berkontribusi terhadap terjaminnya kebutuhan energi dan membantu pengurangan emisi gas rumah kaca di masa mendatang.

Page 19: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

19

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009a, “Energi Gelombang Laut: Selama Ada Ombak, Energi Akan Didapat,” http://www.esdm.go.id/news-archives/ 56-artikel/2585-energi-gelombang-laut-, 17 Juni 2009.

Anonim, 2009b, “National Energy Policy and Recent Development in Indonesia,” http://www.esdm.go.id/berita/umum/, 18 Juni 2009.

Anonim, 2009c, “Hydrogen and Our Energy Future,” http://www. hydrogen.energy.gov, 15 Juni 2009.

Anonim, 2009d, “Fuel From Water,” http://www.fuelfromwater.com, 15 Juni 2009.

Anonim, 2009e, “Electrolysis of Water,” http://en.wikipedia.org/wiki/ electrolysis_ of_water, 15 Juni 2009.

Anonim, 2009f, “Global Temperature Rise Acceleration,” http:// www. earth-policy.org/Indicators/Temp/, 25 Juni 2009.

Anonim, 2009g, “Konferensi Internasional Milenium Agenda Riset 2009,” Koran Jakarta, 20 Juni 2009, hal. 2.

Antal Jr., Allen, S.G., Schulman, D., and Xu, X., 2000, “Biomass Gasification in Supercritical Water,” Ind. & Eng. Chem. Res., 39, 4040-4053.

Beggs, C., 2005, “Energy: Management, Supply and Conservation,” Elsevier Butterworth-Heinemann, Oxford, 4-7.

Das, D. and Verziroglu, T.N., 2001, “Hydrogen Production by Biological Processes: A Survey of Literature,” Int. J. Hydrogen Energy, 26, 13-28.

Daubert, T.E., 1987, “Chemical Engineering Thermodynamics,” McGraw-Hill Book Company, New York, 44-48.

Evans, R.J. and Milne, T.A., 1987, “Molecular Characterization of the Pyrolysis of Biomass Fundamentals,” Energy & Fuel, 1(2), 123-138.

Goldemberg, J., 2006, “The Promise of Clean Energy,” Energy Policy, 34, 2185-2190.

Hao, X.H., Guo, L.J., Mao, X., Zhang, X.M., and Chen, J.X., 2003, “Hydrogen Production from Glucose Used as a Model Compound of Biomass Gasified in Supercritical Water,” Int. J. Hydrogen Energy, 28, 55-64.

Page 20: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

20

Hussy, I., Hawkes, F.R., Dinsdale, R., Hawkes, D.L., 2003, “Continueous Fermentative Hydrogen Production from a Wheat Starch Co-product by Mixed Microflora,” Biotech Bioeng, 84(6), 619-616.

Ikawati, Y., 2009, “Mandiri Memantau CO2,” Kompas, 22 Mei 2009, hal. 14.

Iwasaki, Y., Suzuki, Y, Kitajima, T., Sakurai, M., and Kameyama, H., 2006, “Hydrogen Production from Ethanol Using a CO2 Absorption Ceramic and Base Metal Catalysts,” J. Chem. Eng. Japan, 39(5), 513-524.

Kasahara, S., Onuki, K., Nomura, M., and Nakao, S., 2006, “Static Analysis Thermochemical Hydrogen Production IS Process for Assessment of the Operation Parameters and the Chemical Properties,” J. Chem. Eng. Japan, 39(5), 559-568.

Kelly-Yong, T.L., Lee., K.T., Mohamed, A.R., and Bhatia, S., 2007, “Potential of Hydrogen from Oil Palm Biomass as a Source of Renewable Energy Worldwide,” Energy Policy, 35, 5692-5701.

Manurung, R., 2008, “Bahan Bakar Air Menyalahi Hukum Alam,” Kompas 31 Mei 2008, hal. 6.

Minowa, T. and Ogi, T., 1998, “Hydrogen Production from Cellulose Using a Reduced Nickel Catalist,” Catalyst Today, 45, 411-416.

Momirlan, M. and Veziroglu, T.N., 2005, “The Properties of Hydrogen as Fuel Tomorrow in Sustaiable Energy System for a Cleaner Planet,” Int. J. of Hydrogen Energy, 30, 795-802.

Mulyono, P., Sutijan, dan Budhijanto, 1995, “Analisis Data Kinetika Primary Reformer,” Kumpulan Makalah Pelatihan: Analisis Kinetika Reaksi dan Deaktivasi Katalisator pada Primary Reformer, Jurusan Teknik Kimia UGM, Yogyakarta.

Mulyono, P., Sutijan, Sediawan, W.B., dan Budhijanto, 1997, “Pemodelan Matematis Penyerapan CO2 dengan Larutan Benfield dalam Menara Bahan Isian,” Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia FT UGM 1997, Yogyakarta, 211-218.

Nath, K. and Das, D., 2003, “Hydrogen from Biomass,” Current Science, 85, 265-275.

Nath, K. and Das, D., 2004, “Improvement of Fermentative Hydrogen Production: Various Approaches,” Appl. Microbiol Biotechnol, 65, 520-529.

Page 21: Pidato Pengukuhan Prof. Ir. Panut Mulyono m.eng. d.eng

21

Nath, K. and Das, D., 2006, “Amelioration of Biohydrogen Production by a Two-Stage Fermentation Process,” Ind. Biotechnol, 2, 44-47.

Ogden, J.M., 1999, “Developing an Infrastructure for Hydrogen Vehicles: A Southern California Case Study,” Int. J. Hydrogen Energy, 24(8), 709-730.

Putrohari, R.D., 2009, “Potensi Geothermal vs Minyak Bumi,” http://rovicky.blogspot.com, 17 Juni 2009.

Reed, T.B. and Das, A., 1988, “Handbook of Biomass Downdraft Gasifier Engine Systems,” The Biomass Energy Foundation Press, Colorado, 21-29.

Ribeiro, A.M., Grande, C.A., Lopes, F.V.S., Loureiro, J.M., and Rodrigues, A.E., 2008, “A Parametric Study of Layered Bed PSA for Hydrogen Purification,” Chem. Eng. Science, 63, 5258-5273.

Sakintuna, B., Lamari-Darkrim, F., and Hirscher, M., 2007, “Metal Hydride Materials for Solid Hydrogen Storage: Review,” Int. J. of Hydrogen Energy, 32, 1121-1140.

Saxena, R.C., Adhikari, D.K., and Goyal, H.B., 2009, “Biomass-based Energy Fuel Through Biochemical Routes: A Review,” Renewable & Sustainable Energy Reviews, 13(1), 167-178.

Sediawan, W.B., 2008, “Energi Alternatif dan Bahan Kimia Berbasis Biomassa dengan Teknologi Bersih,” Prosiding Seminar Nasional Teknologi Oleo dan Petrokimia Indonesia, Fakultas Teknik Universitas Riau, 1-14.

Tanisho, S., Kurumoto, M., and Kadokura, N., 1998, “Effect of CO2

Removal on Hydrogen Production by Fermentation,” Int. J. Hydrogen Energy, 23, 559-563.

Yanti, M., 2009, “Bom Hidrogen dan Reaksinya,” http://www.google. co. id, 3 April 2009.