32
BAB I PENDAHULUAN Sulfonamida merupakan golongan zat antibakteri yang banyak digunakan untuk penanganan infeksi saluran kemih. Namun pada prinsipnya senyawa golongan ini dapat digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif atau gram negatif (Tjay dan Rahardja, 2007). Selain itu, golongan sulfonamida juga dapat digunakan untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh jamur dan protozoa. Golongan ini efektif untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti Actinomycetes sp., Bacillus anthracis, Brucella sp., Corinebacterium diphtheria, Calymmantobacterium granulomatis, Chlamydia trachomatis, Escherichia coli, Haemophylus influenza, Norcadia sp., Proteus mirabilis, Pseudomonas pseudomallei, Streptococcus pneumoniae, S. pyogenes, dan Vibrio cholera (Siswandono dan Soekardjo, 2008). Sulfonamida bersifat amfoter artinya dapat membentuk garam dengan asam ataupun basa. Daya larutnya sangat kecil dalam air, namun bentuk garamnya mudah larut dalam air walaupun sifatnya tidak stabil karena mudah terurai (Tjay dan Rahardja, 2007). Golongan sulfonamida ditemukan pertama kali oleh Domagk pada tahun 1935, yang menemukan bahwa zat berwarna merah prontosil rubrum, bersifat bakterisid secara in vivo tetapi inaktif secara in vitro. Ternyata zat ini dipecah dalam tubuh menjadi sulfanilamida yang juga aktif secara in vitro. Dari penemuan ini kemudian disintesis berbagai senyawa baru turunan sulfonamida untuk

sulfonamid KIMED sippp

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: sulfonamid KIMED sippp

BAB I

PENDAHULUAN

Sulfonamida merupakan golongan zat antibakteri yang banyak digunakan untuk

penanganan infeksi saluran kemih. Namun pada prinsipnya senyawa golongan ini dapat

digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif atau

gram negatif (Tjay dan Rahardja, 2007). Selain itu, golongan sulfonamida juga dapat digunakan

untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh jamur dan protozoa. Golongan ini efektif untuk

mengobati penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti Actinomycetes sp., Bacillus

anthracis, Brucella sp., Corinebacterium diphtheria, Calymmantobacterium granulomatis,

Chlamydia trachomatis, Escherichia coli, Haemophylus influenza, Norcadia sp., Proteus

mirabilis, Pseudomonas pseudomallei, Streptococcus pneumoniae, S. pyogenes, dan Vibrio

cholera (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

Sulfonamida bersifat amfoter artinya dapat membentuk garam dengan asam ataupun

basa. Daya larutnya sangat kecil dalam air, namun bentuk garamnya mudah larut dalam air

walaupun sifatnya tidak stabil karena mudah terurai (Tjay dan Rahardja, 2007).

Golongan sulfonamida ditemukan pertama kali oleh Domagk pada tahun 1935, yang

menemukan bahwa zat berwarna merah prontosil rubrum, bersifat bakterisid secara in vivo tetapi

inaktif secara in vitro. Ternyata zat ini dipecah dalam tubuh menjadi sulfanilamida yang juga

aktif secara in vitro. Dari penemuan ini kemudian disintesis berbagai senyawa baru turunan

sulfonamida untuk mengobati berbagai macam penyakit baik yang bersifat lokal maupun

sistemik (Tjay dan Rahardja, 2007).

Golongan sulfonamida memiliki rumus dasar yang sama yaitu H2N-C6H4-SO2NH-R dan

R dapat berupa berbagai macam konstituen/gugus fungsi (Tjay dan Rahardja, 2007). Atas dasar

inilah para designer obat membuat berbagai turunan sulfonamida dengan mengganti-ganti gugus

R yang akan membentuk senyawa baru dengan sifat fisikokimia dan aktivitas yang berbeda.

Kendala yang dialami para peneliti terdahulu dalam membuat senyawa baru adalah

sintesis dan evaluasi efek biologis yang biasanya membutuhkan banyak waktu dan biaya. Namun

saat ini telah dilakukan penerapan metode komputasi dalam merancang senyawa biologis aktif

untuk penelitian maupun penemuan obat modern (Sabet et al., 2009).

Page 2: sulfonamid KIMED sippp

Metode komputasi dapat mempercepat prosedur analisis hubungan suatu struktur

senyawa dengan potensi, aktivitas, atau sifat fisikokimia senyawa tersebut. Hubungan antara

struktur suatu senyawa dengan aktivitas biologisnya dapat dinyatakan secara matematis sehingga

sering disebut Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitas (HKSA) atau Quantitative Structure-

Activity Relationships (QSAR) (Tahir dkk., 2005).

Melalui analisis QSAR senyawa turunan sulfonamida dapat diprediksi hubungan aktivitas

senyawa tersebut sebagai fungsi dari struktur senyawa berupa struktur hidrofobisitas, struktur

sterik atau struktur elektronik sehingga dapat memberikan gambaran bioavailabilitas senyawa

atau interaksi antara senyawa dan reseptor (Tahir dkk., 2005).

Page 3: sulfonamid KIMED sippp

BAB II

ISI

2.1 Sulfonamida

Agen antimikroba sintetik merupakan antimikroba yang secara luas digunakan untuk

mengobati infeksi. Hanya sedikit antibiotik yang diketahui mekanisme kerjanya sebagai agen

pembunuh mikroba. Sulfonamida merupakan antimikroba secara bakteriostatik apabila

digunakan dalam dosis sesuai (Foye et al., 1995). Sulfonamida aktif bekerja pada fasa

multiplikasi bakteri, sehingga tidak efektif untuk bakteri yang membentuk spora (Siswandono

dan Soekardjo, 2008). Banyak bakteri tidak dapat memanfaatkan asam folat dari lingkungannya,

sehingga harus mensintesisnya terlebih dahulu secara de novo (Foye et al., 1995). Sulfonamida

berupa kristal putih yang umumnya sukar larut dalam air, tetapi garam natriumnya mudah larut.

Rumus dasarnya adalah H2N-C6H4-SO2NH-R dan R dapat berupa berbagai macam

konstituen/gugus fungsi (Tjay dan Rahardja, 2007). Berbagai variasi radikal R pada gugus amida

(-SO2NH-R) dan substitusi gugus amin (NH2) menyebabkan perubahan sifat fisik, kimia dan

daya antibaktreri sulfonamida (Yulio, 2009).

2.2 Mekanisme Kerja

Sulfonamida mempunyai struktur mirip dengan asam p-aminobenzoat (PABA), suatu

asam yang diperlukan untuk biosintesis koenzim asam dihidropteroat dalam tubuh bakteri atau

protozoa untuk kemudian menghasilkan asam folat. Asam folat dibutuhkan oleh banyak jenis

bakteri untuk membangun asam inti DNA atau RNA. Asam ini dibentuk oleh bakteri dengan

memanfaatkan PABA yang terdapat dalam tubuh manusia. Karena kemiripan struktur

sulfonamida dengan PABA, bakteri keliru mengambil sulfonamida sebagai bahan untuk

mensintesis asam folat sehingga DNA/RNA tidak terbentuk dan pertumbuhan bakteri berhenti

(Tjay dan Rahardja, 2007).

Manusia juga memerlukan asam folat sebagai faktor pertumbuhan yang penting. Turunan

asam folat tersebut didapatkan dari luar atau makanan, berbeda dengan bakteri yang harus

mensintesisnya terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan sulfonamida tidak mempengaruhi

metabolisme asam folat dalam tubuh manusia. Sulfonamida hanya aktif pada fase multiplikasi

bakteri sehingga tidak efektif terhadap bakteri yang membentuk spora (Siswandono dan

Page 4: sulfonamid KIMED sippp

Soekardjo, 2008). Sistem enzim bakteri yang mampu mempengaruhi sintesis asam tetrahidrofolat

ada tiga yaitu:

1. Dihidropteroat sintetase yaitu enzim yang mengkatalisis sintesis asam dihidropteroat,

suatu precursor asam dihidrofolat, melalui kondensasi asam p-aminobenzoat dengan

turunan pteridin

2. Dihidrofolat sintetase, yaitu enzim yang mengkatalisis sintesis asam dihidrofolat, suatu

precursor asam tetrahidrofolat melalui interaksi asam dihidropteroat.

3. Dihidrofolat reduptase, yaitu enzim yang mengkatalisis reduksi asam dihidrofolat

menjadi asam tetrahidrofolat.

(Siswandono dan Soekardjo, 2008)

Sulfonamid bekerja secara langsung sebagai antagonis, melalui mekanisme kompetitif

terhadap jalur biosintesis asam dihidrofolat dan secara tidak langsung mempengaruhi

penggabungan asam glutamat dengan asam dihidropteroat. Kemungkinan mekanisme kerja

bakteriostatik sulfonamida yang lain adalah berhubungan langsung dengan reaksi enzimatik

turunan pteridin, yaitu dengan membentuk produk seperti folat yang tidak aktif sehingga turunan

pteridin tidak berfungsi sebagai precursor asam folat (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

2.3 Hubungan Struktur dan Aktivitas

1. Gugus amino-primer aromatik sangat penting untuk aktivitas karena banyak modifikasi

pada gugus tersebut ternyata menghilangkan aktivitas antibakteri, contoh- metabolit N4

asetilasi tidak aktif sebagai antibakteri. Oleh karena itu gugus amino harus tidak

tersubstitusi (R’= H atau mengandung substituent yang mudah dihilangkan pada in vivo)

2. Bentuk yang aktif sebagai antibakteri adalah bentuk garam N1 terionisasi (N1

monosubstitusi, sedangkan N1 disubstitusi tidak aktif sebagai antibakteri).

3. Penggantian cincin benzene dengan system cincin yang lain dan pemasukkan substituent

lain pada cincin benzene akan menurunkan atau menghilangkan aktivitas.

4. Penggantian gugus SO2NH2 dengan SO2-C6H4-(p)NH2 senyawa tetap aktif sebagai

antibakteri. Penggantian dengan CONH- C6H4-(p)NH2 atau CO6H4-(p)NH2 akan

menurunkan aktivitas.

5. Dari studi hubungan nilai pKa, turunan sulfonamida dengan aktivitas antibakterinya

secara in vitro, Bell dan Roblin mendapatkan bahwa aktivitas antibakteri yang cukup

Page 5: sulfonamid KIMED sippp

tinggi ditunjukkan oleh turunan sulfonamida yang mempunyai nilai pKa antara 6-7,4 dan

terlihat bahwa aktivitas maksimal dicapai oleh senyawa yang mempunyai nilai pKa

mendekati pH fisiologis.

6. Dalam studi hubungan kuantitatif struktur dan aktivitas turunan sulfonamida, Hansch dan

Fujita membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara aktivitas antibakteri

turunan sulfonamida dengan sifat lipofil (Log P) dan elektronik (σ dan pKa).

Salah satu efek samping turunan sulfonamida adalah kerusakan ginjal yang disebabkan

karena pembentukan kristal yang sukar larut di ginjal oleh metabolit sulfonamida dan

asetil sulfonamida. Sulfonamida mempunyai nilai pKa 10,4 dan dalam urin mempunyai

pH ± 6 terdapat dalam bentuk tak terionisasi. Bentuk ini sukar larut dalam air sehingga

mudah membentuk kristal di ginjal.

Untuk membuat sulfanilamide lebih mudah larut dalam urin sehingga memperkecil

kemungkinan pembentukkan kristal asetil sulfonamida di ginjal dapat dilakukan hal-hal

sebagai berikut :

1. Meningkatkan volume dan aliran urin, yaitu dengan minum air yang banyak pada

awal pemberian sulfonamida.

2. Meningkatkan pH urin sampai > 10,4 (basa) yaitu dengan pemberian natrium

bikarbonat, ± 1-4 gram. Pada pH basa sulfanilamide akan membentuk garam yang

mudah larut air.

3. Membuat turunan sulfonamida yang mempunyai nilai pKa rendah, sehingga pada pH

urin terdapat dalam bentuk terionisasi yang mudah larut dalam air. Contoh :

sulfametoksasol pKa 6,1 dan sulfisoksasol pKa 5.

Berdasarkan penggunaan terapetik sulfonamida dibagi menjadi enam kelompok yaitu

sulfonamida untuk infeksi sistemik, untuk infeksi usus, untuk infeksi mata, untuk

infeksi saluran seni, untuk pengobatan luka bakar, dan lain-lain.

(Siswandono dan Soekardjo, 2008)

Page 6: sulfonamid KIMED sippp

2.4 Penggolongan Sulfonamida

A. Sulfonamida untuk infeksi sistemik

Berdasarkan masa kerjanya sulfonamida sistemik dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Sulfonamida dengan masa kerja pendek (waktu paro lebih kecil dari 10 jam). Contoh:

sulfaetidol, sulfamerazin, sulfametazin (sulfadimidin), sulfatiazol, sulfasomidin, dan

sulfisoksazol.

2. Sulfonamida dengan masa kerja sedang (waktu paro 10-24 jam), contoh: sulfadiazin,

sulfametaoksazol dan sulfafenazol.

3. Sulfonamida dengan masa kerja panjang (waktu paro lebih besar dari 24 jam), contoh:

sulfadoksin, sulfalen, sulfametoksipiridazin dan sulfametoksidiazin.

(Siswandono dan Soekardjo, 2008)

B. Sulfonamida untuk infeksi usus

Obat golongan ini dirancang agar sedikit diabsorpsi dalam saluran cerna, yaitu dengan

memasukkan gugus yang bersifat hidrofil kuat, seperti ptalil, suksinil atau guanil,

membentuk turunan sulfonamida yang lebih polar. Di usus besar, senyawa dihidrolisis

oleh bakteri usus, melepaskan secara perlahan-lahan sulfonamida induk aktif.

Contoh: ptalilsulfatiazol, suksinilsulfatiazol, sulfaguanidin dan sulfasalazin.

(Siswandono dan Soekardjo, 2008)

C. Sulfonamida untuk infeksi mata

Obat golongan ini digunakan secara setempat untuk pengobatan konjungtivitis, infeksi

matasuperfisial lain, dan trakom (trachoma).

Contoh: sulfasetamid natrium dan sulfisoksazol diolamin.

(Siswandono dan Soekardjo, 2008)

D. Sulfonamida untuk infeksi saluran seni

Golongan ini digunakan untuk pengobatan infeksi saluran seni karena karena cepat

diabsorpsi dalam saluran cerna sedang ekskresi melalui ginjal lambat sehingga kadar obat

diginjal cukup tinggi.

Page 7: sulfonamid KIMED sippp

Contoh: sulfasetamid, sulfadiazin, sulfaetidol, sulfameter, sulfametazin, sulfametoksazol,

sulfasomidin dan sulfisoksazol.

(Siswandono dan Soekardjo, 2008)

E. Sulfonamida untuk pengobatan luka bakar

Golongan ini pada umumnya digunakan pada luka bakar yang terinfeksi oleh

Pseudomonas sp. atau Clostridium welchii.

Contoh: mefenid asetat dan perak sulfadiazin.

1. Mafenid asetat (Sulfanilon), merupakan struktur homolog sulfonamida. Berbeda

dengan turunan sulfonamida lain, senyawa ini tidak menghambat asam p-

aminobenzoat. Mafenid asetat digunakan secara setempat untuk pengobatan infeksi

pada luka yang disebabkan oleh Clostridium welchii.

2. Ag sulfadiazin, garam perak sulfadiazin ini mudah larut dalam air, efektif secara

setempat terutama untuk Pseudomonas sp.

(Siswandono dan Soekardjo, 2008)

F. Sufonamida untuk penggunaan lain-lain

1. Untuk infeksi membran mukosa dan kulit, contoh : sulfabenzamid dan sulfasetamid

Na.

2. Untuk pengobatan dermatitis herpetiformis, contoh : sulfapiridin.

3. Untuk infeksi telinga, contoh : sulfasuksinamid.

4. Untuk infeksi mulut, contoh : sulfatolamid.

5. Untuk infeksi jamur, contoh : sulfadiazin, sulfadimetoksin dan sulfametoksipiridazin.

6. Untuk pengobatan malaria yang disebabkan oleh Plasmadium falciparum yang sudah

kebal terhadap klorokuin, contoh : sulfadoksin dan sulfadiazin.

(Siswandono dan Soekardjo, 2008)

Page 8: sulfonamid KIMED sippp

G. Kombinasi sulfonamida

1. Kombinasi Campuran Sulfonamida

Tujuan kombinasi campuran sulfonamida adalah untuk menurunkan terbentuknya

kristal asetilsulfa di ginjal. Keuntungan lain kombinasi ini adalah dapat digunakan

terhadap bakteri yang sudah kebal terhadap sediaan tunggal sulfonamida.

Contoh :

Trisulfapirimidin (Trisulfa), mengandung 500 mg kombinasi tiga turunan

sulfonamida, yaitu : sulfadiazin 167 mg dan sulfametazin 167 mg. Dosis awal : 3 g,

diikuti 0,5 g 4 dd, sampai infeksi terkendali.

2. Kombinasi Sulfonamida dengan Trimetoprim

Kombinasi sulfonamida dengan trimetoprim menunjukkan aksi sinergis karena dapat

menghambat biosintesis asam dihidrofolat melalui dua jalur. Sulfanamida dapat

mempengaruhi penggabungan asam p-aminobenzoat dalam sintesis asam

dihidropteroat, sedang trimetropim, yang merupakan bagian struktur analog asam

dihidrofolat, menghambat reduksi asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat,

melalui interaksinya dengan enzim dihidrofolat reduktase. Afinitas trimetropim

terhadap enzim dihidrofolat reduktase bakteri 50.000 kali lebih besar dibanding

enzim pada manusia. Keuntungan lain penggunaan kombinasi ini adalah terjadinya

kekebalan kuman tidak secepat seperti pada penggunaan bentuk tunggal dan cukup

efektif terhadap bakteri yang sudah kebal terhadap sulfonamida lain. Kombinasi

sulfonamida dengan trimetroprim digunakan secara luas terutama untuk infeksi pada

saluran seni, saluran napas, saluran genital, infeksi kulit dan septikemi.

(Siswandono dan Soekardjo, 2008)

2.6 Biosintesis Sulfonamida

A. Sulfonamida untuk Infeksi General

Sulfonamida digunakan untuk mengatasi infeksi streptococcal, meningococcal,

gonococcal, staphylococcal, dan pneumococcal. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:

1. Sulfanilamida

Page 9: sulfonamid KIMED sippp

Sulfanilamida dapat disintesis dengan beberapa cara berikut:

Metode I:

Benzene dinitrasi sehingga menghasilkan nitrobenzena, kemudian direduksi

sehingga menghasilkan anilin. Asam p-aminobenzen sulfonat diperoleh dengan

mereaksikan anilin dengan asam sulfat yang diklorinasi dengan pentaklorit fosfor

sehingga dihasilkan p-aminobenzen sulfonil klorida. Kemudian diaminasi dengan amonia

dan diperoleh sulfanilamida.

Metode II:

Page 10: sulfonamid KIMED sippp

Gugus fungsi amino dari asam sulfanilat pertama-tama di asetilasi sehingga

dihasilkan asam p-asetamido-benzen-sulfonat. Selanjutnya diklorinasi dengan asam

klorosulfonat dan dihasilkan para-asetamido-benzen-sulfonil klorida. selanjutnya

diaminasi menggunakan amonia sehingga dihasilkan analog sulfonamida. Analog ini

selanjutnya dihidrolisis sehingga dihasilkan sulfanilamida.

Metode III:

Acetanilida direaksikan dengan asam klorosulfonat sehingga dihasilkan p-

asetamido-benzen-sulfonil klorida. kemudian diaminasi dan dihidrolisis sehingga

dihasilkan sufanilamida.

Sufanilamid jarang digunakan kerena memiliki toksisitas yang tinggi, akan tetapi

masih digunakan sebagai obat veterinary.

2. Sulfapiridin

Sintesis Sulfapiridin dapat dilakukan dengan metode berikut:

Page 11: sulfonamid KIMED sippp

p-asetamido-benzen-sulfonil klorida (ASC) dikondensasi dengan 2-aminopiridin

dengan piridin sebagai pelarut. Selanjutnya dihidrolisis sehingga dihasilkan produk

sulfapiridin.

Sulfapiridin biasanya digunakan untuk terapi dermatitis herpetiformis pasien

intolerance terhadap dapsone.

3. Sulfatiazol

Sulfatiazol dibuat dengan mereaksikan p-asetamido-benzen-sulfonil klorida

(ASC) dengan aminotiazol. Selanjutnya hasil yang diperoleh dikondensasi dengan

menggunakan piridin dan dihidrolisis dengan sodium hidroksida. Sulfatiazol biasanya

digunakan untuk mengatasi infeksi staphylococcal.

4. Sulfadiazin

Sintesis Sulfadiazin:

Sintesis Sulfadiazin dapat dilakukan melalui beberapa tahapan berikut ini:

Asam formil asetat dan guanidin direaksikan dan dikondensasi dengan asam sulfat.

Dari hasil reaksi tersebut akan dihasilkan 4-hidroksi-2-aminopirimidin. Selanjutnya 4-

Page 12: sulfonamid KIMED sippp

hidroksi-2-aminopirimidin diklorinasi dengan phosphorus oxychloride (POCl3) atau asam

klorosulfonat (ClSO2OH). Produk hasil reaksi yang diperoleh selanjutnya direduksi

dengan Zn dan amonium hidroksida sehingga terbentuk 2-amino-pirimidin. Adapun

reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

Tahap selanjutnya adalah kondensasi 2-aminoprimidin dengan ASC. Adapun

reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

Sulfadiazin merupakan antimikroba yang digunakan secara luas untuk terapi

infeksi bakteri coccus. Antimikroba ini lebih dapat ditoleransi oleh tubuh dari pada

sulfanilamida dan sulfatiazol.

Page 13: sulfonamid KIMED sippp

5. Sulfamerazin

Sintesis sulfamerazin dapat dilakukan dengan kondensasi p-aminobenzen sulfonil

klorida (ASC) dengan 2-amino-4-metil pirimidin. Produk yang terbentuk selanjutnya

dihidrolisis alkali sehingga terbentuk hasil akhir sulfamerazin. Sulfamerazin digunakan

secara luas untuk pengobatan konjungtiva. Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai

berikut:

6. Sulfadimidin

Sintesis Sulfadimidin dilakukan dengan kondensasi 2-amino-4,6-dimetil pirimidin

dengan p-aminobenzen sulfonil klorida. Produk yang terbentuk selanjutnya akan

dihidrolisis menggunakan NaOH sehingga terbentuk Sulfadimidin. Adapun reaksi yang

terjadi adalah sebagai berikut:

Page 14: sulfonamid KIMED sippp

Sulfadimidin memiliki efektifitas yang lebih rendah dari pada sulfadiazin dalam

mengatasi infeksi meningeal. Hal ini disebabkan karena sulfadimidin memeliki

kemampuan penetrasi yang lebih rendah ke cairan cerebrospinal. Obat ini mudah

diabsorpsi di saluran Gastro-Intestinal, sehingga kosentrasi obat dalam darah yang

diinginkan akan tercapai dengan pemberian obat secara per oral.

7. Sulfalen

Sintesis sulfalen:

Adapun mekanisme sintesis sulfalen adalah sebagai berikut:

Sulfalen dibentuk dengan kondensasi p-aminobenzen sulfonil klorida dengan 2-

amino-3-metoksi-pirazin dimana akan terjadi pelepasan molekul HCl.

Sulfalen dapat digunakan untuk terapi bronchitis, malaria, serta infeksi saluran

cerna.

Page 15: sulfonamid KIMED sippp

8. Sulfametizol

Sulfametizol digunakan dalam coliform infection pada urinary tract.

Sulfametiazol disintesis dengan kondensasi p-aminobenzen sulfonil klorida dengan 2-

amino-5-metil-1,3,4-tiadiazol. Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

B. Sulfonamida untuk Infeksi Saluran Kemih

Golongan ini digunakan untuk pengobatan infeksi saluran kemih karena karena cepat

diabsorpsi dalam saluran cerna sedang ekskresi melalui ginjal lambat sehingga kadar obat

diginjal cukup tinggi (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

Beberapa sulfonamida telah digunakan dalam pencegahan dan perawatan infeksi saluran

kemih dalam dekade terakhir. Kadang-kadang juga digunakan sebagai profilaksis sebelum atau

setelah manipulasi saluran cerna. Adapun beberapa analog sulfonamida yang digunakan antara

lain:

1. Sulfasetamida

Sintesis:

Sintesis sulfasetamida dilakukan dengan hidrolisis dan dilakukan dengan

hidrolisis atom N1, dan diasetilasi derivatif N4 sulfanilamida. Adapun reaksi yang terjadi

adalah sebagai berikut:

Page 16: sulfonamid KIMED sippp

2. Sulfafurazol atau Sulfisoksazol

Sintesis sulfafurazol dilakukan dengan kondensasi p-asetamidobenzen sulfonil

klorida (ASC) dengan 5-amino-3,4-dimetil isoksazol, selanjutnya dihidrolisis pada

suasana sedikit basa. Berikut ini adalah reaksi sintesis sulfafurazol:

Karakteristik dan aktivitas terapetik sulfafurazol memilki banyak kesamaan

dengan sulfadiazin. Obat ini digunakan untuk treatment infeksi saluran kemih.

Sulfafurazol juga dapat digunakan sebagai sediaan topikal untuk mengobati beberapa

infeksi seperti vaginitis yang disebabkan oleh Hemophilus vaginalis.

Obat ini memiliki penetrasi yang buruk ke dalam sel dan membran bilayer, akan

tetapi pada infeksi spesifik genitourinary tract obat ini akan terpenetrasi kedalam

jaringan dan selanjutnya akan di sekresi bersama dengan prostatic fluid.

Page 17: sulfonamid KIMED sippp

Obat ini mengalami metabolisme dihati dengan asetilasi dan oksidasi.

Menariknya, obat ini diekskresi sama baiknya dengan konjugatnya di ginjal sehingga

konsentrasi menjadi tinggi di urin. Bentuk bebas maupun konjugat dari obat ini memiliki

kelarutan yang baik dalam pH urin yang asam.

3. Sulfisoksazol Asetil

Sintesis:

Sintesis senyawa ini dilakukan dengan merubah sulfisoksazol menjadi garamnya

dengan cara mereaksikan dengan NaOH. Setelah itu dilakukan asetilasi pada N1

menggunakan asetat anhidrat atau asetil klorida. Berikut ini adalah reaksi yang terjadi:

Obat ini memiliki aktivitas dan pengunaan yang lebih sedikit dari pada parent

drug yaitu Sulfisoksazol. Komponen asetil dari obat ini akan lepas pada intestinal tract

dan akan diabsorbsi dalam bentuk prodrug-nya (Sulfisoksazol).

4. Sulfasitin

Page 18: sulfonamid KIMED sippp

Sulfasitin merupakan short-acting sulfonamida seperti halnya sulfafurazol. Obat

ini digunakan untuk pengobatan infeksi akut urinary tract.

C. Sulfonamide untuk infeksi Intestinal

Obat golongan ini dirancang agar sedikit diabsorpsi dalam saluran cerna, yaitu dengan

memasukan gugus yang bersifat hidrofil kuat, seperti ptalil, suksinil atau guanil, membentuk

turunan sulfonamida yang lebih polar. Di usus besar, senyawa dihidrolisis oleh bakteri usus,

melepaskan secara perlahan-lahan sulfonamida induk aktif (Siswandono dan Soekardjo, 2008)..

Kebanyakan dari analog sulfonamida insoluble, misalnya ptalilsulfatiazol dan

suksinilsulfatiazol tidak dapat diabsorbsi dengan baik pada gastrointestinal tract. Sehingga akan

terjadi pelepasan atau pengeluaran sulfonamida dengan kadar yang tinggi, yang diperoleh dari

hidrolisisnya pada usus besar, yang digunakan dalam terapi infeksi intestinal. Adapun beberapa

obat yang digunakan antara lain:

1. Sulfaguanidin

Sintesis:

Sintesis sulfaguanidin diperoleh dengan kondensasi p-aminobenzen sulfonil

klorida dengan guanidin dan produk yang terbentuk dihidrolisis dengan NaOH. Adapun

reaksi yang terjadi adalah:

Senyawa ini digunakan secara luas untuk terapi infeksi intestinal lokal, khususnya

bacillary dysentery.

Page 19: sulfonamid KIMED sippp

2. Ptalilsulfatiazol

Ptalilsulfatiazol diperoleh dengan mereaksikan sulfatiazol dengan ptalat anhidrat

pada jumlah molar yang ekuivalen. Adapun reaksinya adalah:

Obat ini digunakan sebagai agen bakteriostatik pada infeksi gastrointestinal tract.

Obat ini dua kali lebih efektif untuk mengobati gangguan usus. Obat ini juga digunakan

dalam pre-operative treatment pada pasien yang yang mengalami operasi intestinal tract.

3. Suksinilsulfatiazol

Adapun jalur sintesis dari senyawa ini adalah sebagai berikut:

Page 20: sulfonamid KIMED sippp

4. Ptalilsulfasetamida

Ptalilsulfasetamida diperoleh dengan mereaksikan ptalat anhidrat dan

sulfasetamida. Pengunaan terapi obat ini sama dengan ptalilsulfatiazol. Adapun reaksi

sintesis ptalilsulfasetamida adalah sebagai berikut:

5. Salazosulfapiridin

Sintesis Salazosulfapiridin dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama

adalah diazotising N-1-2-piridil-sulfanilamida pada temperatur 0-10°C sehingga

dihasilkan diazonium, dan tahap kedua adalah coupling diazonium dengan asam

salisilat. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut:

Page 21: sulfonamid KIMED sippp

Salazosulfapiridin memiliki efek supresif untuk mengatasi ulcerative colitis. Aksi

terapetik obat ini berkaitan dengan efek immunosuppressive.

D. Sulfonamida untuk Infeksi Lokal

Terdapat beberapa jenis sulfonamida yang digunakan untuk infeksi lokal, antara lain

Sulfanamida sodium dan Mafenamid

1. Sulfanamida sodium

Sintesis:

Sulfanamida sodium diperoleh dengan mereaksikan Sulfanamida dengan NaOH

kemudiann dipanaskan. Obat ini digunakan untuk infeksi lokal misalnya infeksi mata.

Obat ini juga dapat digunakan pada pengobatan konjunctivitis akut.

Page 22: sulfonamid KIMED sippp

2. Mefenamid/ Benzensulfonamida

Sintesis:

Sintesis Mefenamid dapat dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahap pertama

adalah N-Benzylacetamide diperoleh dengan cara asetilasi benzilamin dengan asam

klorosulfonat pada suhu 15-20oC sehingga dihasilkan p-benzilasetamido sulfonil klorida.

Selanjutnya diaminasi sehingga menghasilkan sulfonamida derivatif, yang akan

dihidrolisis dengan NaOH dan hasil yang diperoleh dinetralisasi dengan asam asetat

sehingga dihasilkan produk akhir Mefenamid. Adapun mekanisme reaksinya adalah

sebagai berikut:

Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi terutama untuk infeksi Pseudomonas

aeruginosae.

Page 23: sulfonamid KIMED sippp

BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Sulfonamida bekerja sebagai antagonis kompetitif terhadap asam p-aminobenzoat

(PABA), suatu asam yang diperlukan untuk biosintesis koenzim asam dihidropteroat

dalam tubuh bakteri atau protozoa untuk kemudian menghasilkan asam folat. Karena

kemiripan struktur sulfonamida dengan PABA, bakteri keliru mengambil

sulfonamida sebagai bahan untuk mensintesis asam folat sehingga DNA/RNA tidak

terbentuk dan pertumbuhan bakteri berhenti.

2. Golongan sulfonamida memiliki rumus dasar yang sama yaitu H2N-C6H4-SO2NH-R

dan R dapat berupa berbagai macam konstituen/gugus fungsi. Melalui analisis

Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitas (HKSA) atau Quantitative Structure-

Activity Relationships (QSAR) dapat diketahui bahwa perubahan gugus R akan

mengubah hidrofobisitas, struktur sterik atau struktur elektronik dan menyebabkan

perubahan aktivitas turunan sulfonamida.

3. Golongan sulfonamida untuk pengobatan infeksi general antara lain sulfanilamida,

sulfapiridin, sulfatiazol, sulfadiazin, sulfamerazin, sulfadimidin, sulfalen, dan

sulfametizol; untuk infeksi saluran kemih antara lain sulfasetamida, sulfafurazol,

sulfisoksasol asetil, dan sulfasitin; untuk infeksi intestinal antara lain sulfaguanidin,

ptalilsulfatiazol, suksinilsulfatiazol, ptalilsulfasetamida, dan salazosulfapiridin; untuk

infeksi lokal antara lain sulfanamida sodium dan mefenamid.