41
V. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN SEKITAR TAHURA DJUANDA Abstrak Potensi dan keindahan alam sekitar Kawasan Tahura Djuanda selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif bagi pemanfaatan ruang di sekitar Tahura. Akibatnya perubahan l ahan yang terjadi di kawasan sekitar akan berdampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kerusakan lingkungan. Hal yang nyata terlihat adalah pada beberapa fungsi kawasan yang sudah tidak sesuai dengan peruntukan daya dukung akibatnya terjadi ketimpangan pemanfaatan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda. Penelitian merupakan analisis spasial urban sprawl melalui interpretasi citra satelit Landsat TM menggunakan data tahun 1992 dan tahun 2006. Hasil analisis menunjukkan di sekitar kawasan Tahura Djuanda memiliki tingkat perubahan penggunaan lahan yang cukup tinggi sebagai akibat dari meningkatnya kegiatan pemukiman dan aktifitas ekonomi serta tingginya nilai keindahan (scenic beauty value) tahura serta terjadi perubahan luasan penggunaan lahan dari hutan menjadi ladang yang kemudian ladang menjadi permukiman pada pengamatan tahun 2002 – 2007. Munculnya konflik pemanfaatan lahan sebagai akibat dari tingginya tingkat urban sprawl dimana aktivitasnya dapat meningkatkan tekanan terhadap lingkungan sehingga kualitas ekosistem sekitar kawasan menjadi menurun akibatnya terjadi penurunan luas ruang terbuka hijau dan tutupan kawasan lainnya seperti tutupan vegetasi. Untuk mengatasi hal tersebut, maka konsistensi pemerintah dalam penerapan tata ruang wilayah sekitar tahura Djuanda sangat diperlukan sehingga tumpang tindih dan pelanggaran pemanfaatan lahan oleh para stakeholder pada setiap perubahan penggunaan lahan dapat dihindari. Key word: lahan, scenic beauty, urban sprawl, tata ruang , stakeholder. 5.1. Pendahuluan Tahura Djuanda memiliki arti penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat sekitar baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial mengingat besarnya potensi yang dimiliki seperti keragaman spesies flora dan fauna, keindahan pemandangan alamnya, udara yang sejuk dan alami, adanya gua-gua peninggalan sejarah seperti gua Jepang dan gua Belanda memberikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar maupun wisatawan untuk berkunjung dan berwisata ke tahura. Kondisi ini mampu memberikan konstribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar dan pemerintah daerah setempat. Sedangkan dari segi ekologi keberadaan tahura merupakan kawasan konservasi air dan pelestarian flora dan fauna.

Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

V. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN SEKITAR TAHURA DJUANDA

Abstrak

Potensi dan keindahan alam sekitar Kawasan Tahura Djuanda selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif bagi pemanfaatan ruang di sekitar Tahura. Akibatnya perubahan lahan yang terjadi di kawasan sekitar akan berdampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kerusakan lingkungan. Hal yang nyata terlihat adalah pada beberapa fungsi kawasan yang sudah tidak sesuai dengan peruntukan daya dukung akibatnya terjadi ketimpangan pemanfaatan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda. Penelitian merupakan analisis spasial urban sprawl melalui interpretasi citra satelit Landsat TM menggunakan data tahun 1992 dan tahun 2006. Hasil analisis menunjukkan di sekitar kawasan Tahura Djuanda memiliki tingkat perubahan penggunaan lahan yang cukup tinggi sebagai akibat dari meningkatnya kegiatan pemukiman dan aktifitas ekonomi serta tingginya nilai keindahan (scenic beauty value) tahura serta terjadi perubahan luasan penggunaan lahan dari hutan menjadi ladang yang kemudian ladang menjadi permukiman pada pengamatan tahun 2002 – 2007. Munculnya konflik pemanfaatan lahan sebagai akibat dari tingginya tingkat urban sprawl dimana aktivitasnya dapat meningkatkan tekanan terhadap lingkungan sehingga kualitas ekosistem sekitar kawasan menjadi menurun akibatnya terjadi penurunan luas ruang terbuka hijau dan tutupan kawasan lainnya seperti tutupan vegetasi. Untuk mengatasi hal tersebut, maka konsistensi pemerintah dalam penerapan tata ruang wilayah sekitar tahura Djuanda sangat diperlukan sehingga tumpang tindih dan pelanggaran pemanfaatan lahan oleh para stakeholder pada setiap perubahan penggunaan lahan dapat dihindari.

Key word: lahan, scenic beauty, urban sprawl, tata ruang, stakeholder.

5.1. Pendahuluan

Tahura Djuanda memiliki arti penting bagi keberlangsungan hidup

masyarakat sekitar baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial mengingat

besarnya potensi yang dimiliki seperti keragaman spesies flora dan fauna,

keindahan pemandangan alamnya, udara yang sejuk dan alami, adanya gua-gua

peninggalan sejarah seperti gua Jepang dan gua Belanda memberikan daya tarik

tersendiri bagi masyarakat sekitar maupun wisatawan untuk berkunjung dan

berwisata ke tahura. Kondisi ini mampu memberikan konstribusi positif bagi

pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar dan pemerintah daerah setempat.

Sedangkan dari segi ekologi keberadaan tahura merupakan kawasan konservasi

air dan pelestarian flora dan fauna.

Page 2: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

73

Secara visual penggunaan lahan di sekitar kawasan Tahura Djuanda

sebagian besar saat ini masih merupakan lahan pertanian (48%), selebihnya

terdiri dari perkampungan (40%), hutan (2%) dan penggunaan lainnya (2%).

Sekitar 48% dari wilayah perkampungan yang ada kini didominasi oleh villa dan

rumah-rumah mewah yang sebagian besar lahan yang saat ini digunakan untuk

kegiatan pertanian, sebagian besar telah dimiliki oleh orang luar, lahan-lahan

tersebut direncanakan untuk pembangunan villa, namun untuk sementara

sebelum villa tersebut dibangun, masyarakat setempat masih diperkenankan

untuk menggarap. Kegiatan pertanian yang berkembang di wilayah ini

merupakan pertanian intensif berbiaya tinggi, seperti kentang, bawang merah,

kembang kol, kubis dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan modal,

sebagian besar petani melakukan bagi hasil dengan pemilik lahan maupun

pemasok modal dari luar.

Potensi dan keindahan alam sekitar Kawasan Tahura Djuanda selain

memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif bagi pemanfaatan

ruang di sekitar tahura misalnya berdirinya bangunan villa, permukiman dan

meningkatnya aktivitas masyarakat dalam mengakses dan memanfaatkan

sumberdaya sekitar kawasan secara tidak bertanggung jawab. Akibatnya

perubahan lahan yang terjadi di kawasan sekitar konservasi akan berdampak

negatif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kerusakan

lingkungan. Hal yang nyata terlihat adalah pada beberapa fungsi kawasan yang

sudah tidak sesuai dengan peruntukan daya dukung akibatnya terjadi

ketimpangan pemanfaatan lahan.

Kecenderungan perubahan lahan tersebut selain disebabkan oleh faktor

kebutuhan perluasan lahan kota, juga diduga disebabkan oleh posisi kawasan

sekitar Tahura Djuanda yang memiliki keindahan pemandangan (scenic beauty)

dan lingkungan alami yang cukup asri sehingga dirasakan nyaman sebagai

wilayah permukiman. Dalam hal ini scenic beauty dari kawasan yang berbatasan

dengan pusat kota dapat memicu terjadinya urban sprawl.

Gejala urban sprawl dapat digambarkan oleh beberapa karakteristik

seperti yang dkemukakan oleh Downs (1998) urban sprawl dikenali dari

perkembangan pembangunan baru ke luar batas yang tidak terbatas, kepadatan

rendah (low density development), leapfrog development dan pembangunan

kawasan komersial yang dibangun secara memanjang (strip development).

Sementara itu Reid Ewing (1994 dan 1997) menggambarkan bahwa karakter

Page 3: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

74

utama urban sprawl adalah low density, pengembangan secara memanjang atau

pita (strip atau ribbon), pembangunan tersebar (scattered or leapfrog

development).

Perubahan lahan yang semula agraris menjadi non agraris di sekitar

kawasan Tahura Djuanda terkait pula dengan apresiasi masyarakat terhadap

nilai lindung atau konservasi dari kawasan tersebut. Pengabaian terhadap nilai

tersebut telah mendorong perubahan lahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan

kepentingannya tanpa mempertimbangkan nilai strategis kawasan tersebut yang

menyediakan sejumlah jasa lingkungan yang sangat penting sebagai penyangga

kebutuhan masyarakat Kota Bandung khususnya dalam penyediaan jasa

lingkungan hidrologis.

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, penelitian ini dimaksudkan

untuk mengkaji permasalahan perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi

Tahura Djuanda.

5.2. Metode Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Data penelitian di analisis menggunakan spasial urban sprawl dengan

menganalisis pola perubahan penggunaan lahan perkotaan dan faktor-faktor

yang mempengaruhinya untuk mengetahui karakteristik spasial dari gejala urban

sprawl di wilayah studi. Hal ini sesuai dengan pendapat Winoto (1995) bahwa

proses urban sprawl adalah merupakan suatu fenomena dinamik di sekitar

kawasan konservasi Tahura Djuanda yang menyangkut aspek fisik berupa

perubahan penggunaan lahan serta aspek kehidupan.

Analisis pola perubahan penggunaan lahan oleh perembetan kegiatan

perkotaan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda dapat dilakukan melaui

proses-proses di bawah ini :

1. Proses Analisis Citra

Analisis pola perubahan penutupan lahan dilakukan melalui interpretasi

citra satelit Landsat TM (tahun 1993, 1998, 2003 dan 2006) dengan

menggunakan software Arcview 3.3. Tahapan pengolahan citra tersebut meliputi

koreksi geometri, subset lokasi studi, komposisi warna dan teknik klasifikasi citra.

a. Koreksi geometri

Koreksi geometri bertujuan untuk mendapatkan citra dengan letak

geometri yang persis seperti letaknya di permukaan bumi. Pada perangkat lunak

Page 4: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

75

pengolahan citra koreksi geometri dilakukan dengan cara mengaitkan titik-titik

kontrol pada citra dan pada peta master yang telah memiliki aspek geometri yang

lebih baik. Penentuan titik-titik kontrol geometrik dapat ditandai pada objek-objek

permanen seperti persimpangan jalan, perpotongan jalan dengan sungai, cabang

sungai dan lain-lain.

b. Proses Subset Lokasi Studi

Proses subset lokasi studi dilakukan untuk mendapatkan wilayah studi

yang sesuai dengan batasan wilayah studi yang diinginkan. Image dipotong

sesuai dengan batasan wilayah studi yang didapatkan dari peta administrasi

yang sudah didigitasi.

c. Proses Komposisi Warna

Proses komposisi warna digunakan untuk mengkombinasikan band-band

dari citra satelit Landsat TM sehingga menghasilkan citra komposit yang dapat

menggambarkan keadaan penutup lahan secara lebih mudah. Kombinasi band-

band ini didasarkan pada ciri spektral gelombang elektromagnetik yang

digunakan pada masing-masing band citra satelit Landsat.

d. Klasifikasi Citra (Image Classification)

Teknik klasifikasi citra merupakan serangkaian tugas merubah data digital

menjadi kelas tertentu yang khas dan memberikan informasi dengan metode

unsupervised classification. Analisis awal dilakukan sebelum dilakukan klasifikasi

yang bertujuan untuk memperbaiki penampakan pada citra. Analisis awal terdiri

dari bagian pemulihan (image restoration) yang bertujuan untuk memperbaiki

data citra yang mengalami distorsi terutama geometri; dan bagian penajaman

(enhancement) yang bertujuan untuk memperbaiki penampakan visual citra.

Setelah analisis awal selesai, maka tahap akhir adalah membuat klasifikasi citra

untuk menentukan kelas-kelas penutupan lahan.

Dari hasil pengolahan data citra tersebut didapatkan klasifikasi penutupan lahan

urban dan non urban (hijau, lahan kosong dan air). Pada proses klasifikasi,

penentuan klasifikasi penutupan lahan dilakukan berdasarkan kemudahan dalam

membandingkan citra-citra yang ada dan memakai kombinasi band 2; 4; 2.

Page 5: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

76

2. Analisis Perembetan Kegiatan Perkotaan

Pada gejala urban sprawl di wilayah Bandung dapat dianalisis dengan

melihat kecenderungan pola dan luasan tutupan lahan terbangun. Tahapan

analisis yang digunakan dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Melakukan Identifikasi tutupan lahan terbangun tahun 1992 dan 2006 pada

citra satelit Landsat

2. Menghitung luas perubahan tutupan lahan tahun 1992 dan 2006

3. Membagi wilayah studi menjadi empat (4) kuadran, dengan mengasumsikan

pusat kota menjadi titik 0,0.

4. Menghitung perubahan luas tutupan lahan terbangun tahun 1992 dan 2006

per kuadran

5. Meng-overlay tutupan lahan dengan jaringan jalan eksisting (Jalan Tol, Jalan

arteri primer)

6. Mengasumsikan posisi lahan terbangun berada 500 m kanan – kiri jaringan

jalan

7. Meng-overlay tutupan lahan dengan pusat kegiatan Kabupaten Bandung.

Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta

meningkatnya tuntutan kebutuhan kehidupan dalam berbagai aspek telah

mengakibatkan meningkatnya kegiatan penduduk perkotaan. Bila meningkatnya

jumlah perkotaan maupun kegiatan penduduk perkotaan telah mengakibatkan

meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan yang besar. Karena ketersediaan

ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang

untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi perkotaan akan mengambil

ruang di daerah pinggiran kota. Gejala pengambil-alihan lahan non-urban oleh

penggunaan lahan urban secara tidak terencana dan tidak beraturan di daerah

perkotaan disebut urban sprawl.

Indeks sprawl merupakan perbandingan antara prosentase pertumbuhan

wilayah urban dibandingkan dengan prosentase pertumbuhan penduduk kota.

Sehingga untuk perhitungan indeks sprawl kota Bandung antara tahun 1996-

2002.

PenduduknPertumbuhaUrbanWilayahnPertumbuha

SprawlIndeks%

%=

= % pertumbuhan wilayah Urban Kota Bandung (1996-2002)

% pertumbuhan penduduk kota Bandung (1996-2002)

Page 6: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

77

5.3 Hasil Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Sekitar Tahura Djuanda

1. Luasan Lahan Terbangun

Secara geografis Tahura Djuanda berada 107° 30’ BT dan 6° 52’ LS,

terletak di sebelah Utara kota Bandung berjarak ± 7 km dari pusat kota dengan

luas 526,98 ha. Bentuk kawasan Tahura Djuanda memanjang di sebelah kiri dan

kanan Sungai Cikapundung. Tahura Djuanda memiliki tingkat aksesibilitas tinggi

yang dapat dicapai dari Barat Daya/Selatan melalui Pakar-Dago dan dari Timur

Laut/Utara melalui Maribaya/Lembang.

Secara administratif, sebagian besar Kawasan Tahura Djuanda (kawasan

Pakar – Maribaya) masuk dalam wilayah Kabupaten Bandung yaitu Desa Ciburial

dan Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan dan sebagian lagi termasuk wilayah

Desa Mekarwangi, Desa Langensari, Desa Wangunharja dan Desa Cibodas,

Kecamatan Lembang sedangkan sebagian kecil (Curug Dago) masuk dalam

wilayah Kelurahan Dago Kecamatan Coblong dan Kelurahan Ciumbuleuit

Kecamatan Cidadap Kota Bandung. Batas kawasan Tahura Djuanda dengan

daerah sekitarnya adalah:

(1) Sebelah Barat: Berbatasan dengan tanah milik (pertanian dan pemukiman)

Desa Mekarwangi.

(2) Sebelah Timur: Berbatasan dengan Hutan Lindung yang dikelola oleh

Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten (KPH Bandung Utara) dan

tanah milik (pertanian dan pemukiman) Desa Ciburial.

(3) Sebelah Utara: Berbatasan dengan tanah milik penduduk berupa lahan

pertanian desa Cibodas, Desa Wangunharja Kecamatan Lembang dan

Hutan Lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan

Banten (KPH Bandung Utara).

(4) Sebelah Selatan: Berbatasan dengan tanah penduduk berupa lahan

pertanian dan pemukiman Desa Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten

Bandung dan Kelurahan Dago Kecamatan Coblong, Kelurahan Ciumbuleuit

Kecamatan Cidadap Kota Bandung.

Dari perhitungan luas tutupan lahan terbangun dengan menggunakan

sumber data citra satelit Landsat, diperoleh hasil bahwa pada tahun 1992 luas

lahan terbangun sebesar 18744.08 ha sedangkan pada tahun 2006 sebesar

Page 7: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

78

24387.17 ha, penambahan luasan lahan terbangun dari tahun 1992 sampai

tahun 2006 sebesar 5643.10 Ha.

Penambahan luasan lahan terbangun pada wilayah studi ini dapat dibagi

menjadi empat (4) kuadran, hal ini digunakan untuk mengetahui pada wilayah

mana penambahan lahan terbangun paling dominan. Berdasarkan perhitungan

luas tutupan lahan dari citra satelit Landsat 7 Tahun 1992 dan 2006, diperoleh

penambahan luas lahan terbangun sebesar 5643.092 Ha.

Gambar 11. Pembagian lahan terbangun per kuadran

Penambahan luas tersebut dapat dijabarkan dengan mengikuti pola

kuadran. Persentase penambahan luas lahan terbangun pada tahun 2006

terhadap total area dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Penambahan Luas Per Kuadran Dari Tahun 1992-2006

1992 2006 Luas (Ha) Luas (%)1 135.937 172.98 37.043 27.25%2 192.934 1013.466 820.532 425.29%3 380.086 1170.435 790.349 207.94%4 328.968 1172.472 843.504 256.41%

Total 1037.925 3529.353 2491.428 240.04%

Lahan Terbangun Tahun (Ha) PerubahanKuadran

Page 8: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

79

Persentase penambahan luas lahan terbangun pada tahun 2006 terhadap

total area menunjukkan bahwa penambahan luas lahan terbangun terbesar

berada di kuadran 2 sebesar 425%, kemudian diikuti oleh kuadran 4 sebesar

256% dan kuadran 4 sebesar 204%. Kondisi ini menunjukkan bahwa

penambahan luas lahan terbangun banyak terjadi di selatan Kota Bandung pada

kuadran 3 dan 4 sebesar 464,35%, dan di sebelah utara Kota Bandung

penambahan luas lahan terbangun sebesar 27 %. pada kuadran 1.

Perkembangan pada kuadran 2 menunjukkan terjadinya perubahan lahan yang

sangat besar selama 14 tahun.

Gambar 12. Peta Urban Sprawl tahun 1992

Page 9: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

80

Gambar 13. Perkembangan Perembetan Kegiatan Perkotaan Tahun 2006

2. Indeks sprawl

Indeks sprawl merupakan perbandingan antara prosentase pertumbuhan

wilayah urban dibandingkan dengan prosentase pertumbuhan penduduk kota.

Sehingga untuk perhitungan indeks sprawl kota Bandung antara tahun 1996-

2002.

Indeks Sprawl = % pertumbuhan wilayah Urban Kota Bandung (1996-2002) % pertumbuhan penduduk Kota Bandung (1996-2002)

Indeks Sprawl = 240,04 / 26.45

= 9,1

Indeks sprawl atau perembetan ke dareah sub-urban sebesar 9,1

menunjukkan bahwa laju konversi perubahan lahan jauh melebihi pertambahan

penduduk. Indeks ini menunjukkan bahwa banyak penduduk yang bergerak

kearah pedesaan untuk membangun perumahan atau aktifitas perkotaan selama

14 tahun berlangsung.

Page 10: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

81

Penghitungan indeks sprawl menurut Staley (1999) diatas juga

dikemukakan oleh Landis (2000) dalam Wassmer (2002) mengemukakan bahwa

nilai indeks sprawl yang lebih besar dari 1 (satu) memberikan indikasi bahwa

antara tahun 1980 dan 1990 daerah batas kota (fringe area) tumbuh lebih besar

dari pertumbuhan penduduk pada seluruh area urban pada kasus perkotaan di

Amerika Serikat. Sehingga indeks sprawl kota Bandung dengan 9,1

menunjukkan pertumbuhan penutupan lahan perkotaan yang pada kawasan

batas kota atau pedesaan jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan

penduduk dalam rentang waktu tahun 1996 sampai dengan tahun 2002.

Sebagai perbandingan dapat dilihat beberapa indeks sprawl dari kota-

kota di bagian barat Amerika Serikat pada 1980-1990. Dimana secara nasional

rata-rata indeks kota di AS tidak lebih besar dari 1 (satu), menunjukkan

penduduk pada seluruh kawasan urban di AS tumbuh lebih lambat dari pada

pertumbuhan lahan di luar kawasan sentral perkotaan (Wassmer,2002).

Tabel 6 Perubahan Penduduk Daerah Urban, Daerah Urban Fringe Area, dan

Indeks Sprawl dari tahun 1980 - 1990 Untuk Bagian Barat Amerika Serikat

Urbanized Area Name 1990 % Change in

Urban Population 1980 to 1990

% Change in Urban Fringe Land 1980 to 1990

Measure of Sprawl Index 1980 to 1990

United States average 13.7 12.5 0.91 Arizona average 33.63 13.25 0.52 California average 47.04 103.44 2.01 Colorado average 46.40 8.58 0.04 Nevada average 19.30 36.88 2.17 Oregon average 15.31 3.14 -2.91 Washington average 22.21 61.40 3.59 Phoenix-Mesa, AZ 42.4 -15.1 -0.36 Antioch-Pittsburg, CA 77.9 520.0 6.68 Fresno, CA 36.7 -6.7 -0.18 Salinas, CA 48.0 705.0 14.70 Simi Valley, CA 60.2 1290.0 21.42 San Diego, CA 37.8 8.5 0.23 San Francisco-Oakland, CA 13.8 2.2 0.16 Salt Lake City, UT 17.1 -5.7 -0.33 Denver, CO 12.3 6.0 0.49 Las Vegas, NV & AZ 61.1 30.1 0.49 Eugene-Springfield, OR 3.7 -51.7 -14.09 Seattle, WA 25.3 43.3 1.71

Page 11: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

82

3. Pola Penyebaran Lahan Terbangun

Pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi pola penyebaran

lahan terbangun adalah menganalisa luasan penambahan lahan terbangun

dengan pola jaringan jalan yang ada. Jaringan jalan kolektor primer tersebut

menghubungkan Kota Bandung dengan wilayah sekitarnya. Kedudukan pusat

wilayah tersebut alam arahan struktur tata ruang pengembangan Metropolitan

Bandung adalah kota satelit, yaitu : Padalarang, Soreang, Banjaran, Majalaya

dan Lembang. Kota satelit ini berfungsi juga sebagai sub pusat pengembangan

yang mendukung perkembangan kota Bandung dimana banyak penduduk kota

yang melakukan perjalanan pergi pulang (commuter) setiap harinya untuk

bekerja, bersekolah dan lain sebagainya.

Cipeundeuy

Cililin

Ciwidey

Pangalengan

Banjaran

Lembang

Cicalengka

Padalarang-Ngamprah

Soreang

Jatinangor

Majalaya

JalanArteri PrimerJalanKolektor Primer

Jalan Lingkungan(Jalan Desa)

Kota Inti

Kota Satelit

Fungsi Khusus

PembatasanPerkembangan(Lembang)

Majalaya

Ket : Pembatasan perkembangan juga diarahkan pada kawasan penyangga(Margaasih-Margahayu-DayeuhKolot-Baleendah-BojongSoang)

Sumber : Dinas Tata Ruang Permukiman, Prop Jabar Th 2005 Gambar 14. Struktur Metropolitan Bandung

Page 12: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

83

Dari identifikasi pola jaringan jalan serta pusat wilayah dan lahan

terbangun yang telah terbagi dalam kuadran diperoleh gambaran bahwa:

1. Pola penambahan lahan terbangun mengikuti jaringan jalan kolektor primer

yang menghubungkan antar sub pusat kegiatan seperti kota satelit yang

berada di sekitar Bandung.

2. Lahan terbangun dominan bergerak menuju ke arah Soreang, Majalaya, dan

Banjaran yang berada di selatan Kota Bandung. Sedangkan untuk wilayah

utara Kota Bandung, dominan berada di Kota Cimahi yang berada di akses

jaringan jalan kolektor primer Bandung – Padalarang. Perkembangan

kawasan terbangun mengikuti jalan Setiabudi yang menghubungkan antara

Bandung dan Lembang.

3. Dari hasil dan pembahasan di atas tampak bahwa fenomena urban sprawl

pada wilayah studi menunjukkan bahwa ketidakmerataan perembetan areal

kekotaan di semua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama.

Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada,

khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota terdapat pada

kuadran 3 dan 4 yaitu Perembetan Memanjang (Ribbon Development).

4. Perembetan kegiatan perkotaan pada kuadran 2 adalah jenis perembetan

yang tidak dipengaruhi dengan adanya jalan utama yang menghubungkan

dengan sentra kegiatan, sehingga perembetan tersebut tersebar pada

beberapa tempat dan disebut pola perembetan leapfrog sprawl.

5. Perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan

Untuk mengidentifikasi penetrasi lahan permukiman ke jenis tutupan lahan

lain di sekitar kawasan Tahura, misal hutan, kebun campuran, dan ladang dapat

dijelaskan dengan menggunakan beberapa parameter yaitu: (1) luas perubahan

tutupan lahan permukiman dari tahun 1992 dan 2006; dan (2) pola sebaran

perubahan tutupan lahan per kecamatan. Pertambahan kawasan terbangun di

sekitar kawasan Tahura berdasarkan data dari citra satelit tahun 1992 - 2006,

dapat ditunjukkan pada Tabel 7.

Page 13: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

84

Tabel 7 Luas Penggunaan Lahan di Kawasan Sekitar Tahura Djuanda Tahun 1992, 1997, 2002 dan 2006

Penggunaan

Lahan

1992

1997

2002

2006

Ha

%

Ha

%

Ha

%

Ha

%

Hutan

5.331

33

5.065

32

4.825

30

4.813

30

Ladang

2.466

15

2.656

17

2.960

18

2.959

18

Permukiman

4.413

28

4.486

28

4.604

29

4.713

29

Kebun

Campuran

3.238

20

3.241

20

3.056

19

2.963

19

Tahura

555

3

555

3

555

3

555

3

Lap Golf

14

0

14

0

14

0

14

0

Jumlah

16.017

100

16.017

100

16.013

100

16.017

100

Selama periode 1992-2006 penggunaan lahan hutan mengalami

pengurangan areal yang cukup besar seluas 517,75 ha, penggunaan lahan

ladang mengalami penambahan luas 493 ha dan penggunaan lahan untuk

pemukiman naik sebesar 300 ha dan penggunaan lahan kebun campuran

mengalami penurunan sebesar 275 ha. Sehingga selama 14 tahun telah terjadi

perubahan lahan hutan menjadi penggunaan non hutan sebesar 793 ha.

Page 14: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

85

Kecenderungan perubahan ini berawal dari kebutuhan akan ketersediaan

lahan untuk melakukan kegiatan pertanian yang terdiri dari ladang dan kebun

campuran yang sesuai dengan tekstur tanah, topografi, fisik lingkungan serta

persyaratan penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman.

Terlihat pola yang jelas bahwa penggunaan lahan yang bertambah

dengan pesat selama jangka waktu 14 tahun adalah lahan hutan berkurang

menjadi kebun campuran dan ladang yang berkarakteristik lahan terbuka

sehingga perubahan fungsi lahan menjadi pemukiman sangat mudah. Jumlah

luasan hutan dan kebun campuran yang berkurang luasnya hampir sama dengan

pertambahan penggunaan untuk pemukiman dan ladang sebesar 793 ha.

Penggunaan lahan di daerah Kota Bandung didominasi oleh peggunaan

untuk perumahan sebesar 52.6 % memberikan gambaran bahwa kebutuhan

lahan untuk permukiman sangat tinggi. Ketersediaan lahan untuk pemukiman

yang tersedia didalam kota sudah terbatas baik secara kualitas dan kuantitas,

sehingga untuk pembangunan atau pengembangan perumahan baru alternatif

lokasi bergeser ke daerah pinggiran kota. Untuk masyarakat kelas menengah

keatas dengan daya beli yang cukup dan mempunyai preferensi lokasi yang baik,

memilih lokasi perumahan yang mempunyai nilai tinggi. Bandung utara

mempunyai banyak kelebihan seperti lokasi yang berbukit dengan keindahan

pemandangan, udara yang nyaman lebih disukai daripada lokasi di Bandung

selatan atau Bandung Timur yang daerah yang cenderung datar.

Pembangunan perumahan di kawasan sekitar Tahura banyak dibangun

oleh perorangan sehingga lokasinya terpencar-pencar (scaterred). Kondisi

sangat tidak menguntungkan bagi penataan ruang kawasan dikarenakan

pemanfaat uang yang tidak teratur akan sulit dalam penyediaan fasilitas umum,

dan pola pergerakan sangat bergantung pada kepemilikan kendaraan bermotor.

Sehingga bila tidak dikendalikan akan memberikan dampak negatif bagi kawasan

seperti dengan bertambahnya lahan terbangun akan mengurangi kemampuan

tanah untuk infiltrasi air hujan dan meningkatkan air larian (run off), yang dapat

menyebabkan berkurangnya air tanah dan banjir pada daerah dibawahnya.

Perubahan penggunaan lahan di wilayah KBU sebagai akibat adanya

pemanfaatan lahan untuk pemukiman serta kegiatan perkotaan lainnya, secara

jangka panjang dapat merubah lingkungan geografis. Hal ini, jika tidak

dikendalikan dapat merusak lingkungan dan wilayah konservasi (Kozlowski,1997)

Page 15: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

86

Gambar 15. Penggunaan tanah di Kota Bandung tahun 2006

Menurut hasil kajian Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa

Barat tahun 2004, tingginya perubahan lahan di Bandung Utara utamanya terjadi

karena pemberian Ijin lokasi di Kawasan Bandung Utara baik di Kota Bandung

maupun di Kabupaten Bandung dapat dibagi dalam dua kelompok, sebelum

Pakto 1993 dan sesuadah Pakto 1993. Pakto 1993 ini menandai semakin

besarnya kewenangan yang diberikan kepada kabupaten maupun kota dalam

memberikan perijinan pertanahan. Akibat dari dikelurakannya Pakto 1993 ini

adalah, pemerintah propinsi kehilangan kendali dalam mengawasi penerbitan ijin

lokasi di Kawasan Bandung Utara. Pertambahan ijin lokasi meningkat tajam

setelah dikeluarkannya Pakto 1993, yaitu berkisar Tahun 1994-1995 (Dinas Tata

Ruang dan Permukiman Privinsi Jawa Barat, 2004)

Perubahan lahan hutan pada periode 1992-1997 berkurang sebesar

256,6 ha, dan pada tahun 1997-2002 berkurang sebesar 240,9 ha. Selama masa

peralihan dari pakto 1993 dan masa runtuhnya orde baru pada tahun 1998 dan

mulainya reformasi dan otonomi daerah, konversi lahan hutan yang terjadi

mencapai 500 ha. Konversi hutan menjadi penggunaan non hutan selama

periode tersebut sangat besar dibandingkan pada periode tahun 2002-2006 yaitu

pada masa reformasi konversi lahan hutan hanya berkurang 11, ha. Sedangkan

Page 16: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

87

pada periode 1992-1997 dan 1007-2002 pertambahan penggunaan untuk

permukiman sebesar 200 ha dan pada masa awal reformasi antara tahun 2002-

2006 pertambahan permukiman sebesar 109 ha (Tabel 8). Sehingga dalam

kondisi negara yang sedang dalam peralihan ke reformasi dalam hal ini otonomi

daerah terjadi perubahan penggunaan lahan yang besar dimana setiap

pemerintah daerah otonom mengeluarkan ijin pembangunan tersendiri.

Tabel 8. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan di Sekitar Tahura pada periode

1992 – 1997; 1997 - 2002; 2002 – 2006 dan 1992 – 2006 Tipe

Penggunaan Lahan

1992 - 1997 1997 - 2002 2002 -2006 1992 - 2006

Ha % Ha % Ha % Ha %

Hutan (265,56) (1,66) (240,90) (1,50) (11,30) (0,07) (517,76) (3,23) Ladang 189,75 1,18 303,88 1,90 (0,55) 0,00 493,08 3,08 Permukiman 72,86 0,45 118,25 0,74 108,99 0,68 300,09 1,87 Kebun Campuran 2,95 0,02 (185,23) (1,16) (93,14) (0,58) (275,41) (1,72) Tahura - - - - - - - -

Lap Golf - - - - - - - -

5. Sebaran pemukiman

Pola sebaran perubahan tutupan lahan menjadi pemukiman pada tahun

2006 di beberapa kecamatan yang berada di sekitar kawasan Tahura paling

besar terjadi perubahan pada kecamatan Lembang (72%), pada kecamamatan

Cimenyan (27%) dan kecamatan Coblong (2%) lihat Gambar 17.

.

Gambar 16. Pola Sebaran Perubahan Tutupan Lahan Pemukiman Tahun 2006

Page 17: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

88

Kecamatan Lembang letaknya yang sangat strategis pada poros Kota

Bandung dan Kota Lembang berkembang dengan pesat dengan pola

pembangunan pita (ribbon development), pembangunan dipicu dengan adanya

akses jalan yang baik yang merupakan jalan alternatif untuk ke Jakarta.

Sedangkan kecamatan Cimenyan yang mempunyai akses dan kedekatan

dengan pusat kota Bandung serta mempunyai keindahan kawasan dan arah view

atau pemandangan yang baik ke arah Kota Bandung dan ke arah Tahura

merupakan tujuan pengembangan bagi perumahan-perumahan real estate

ataupun pribadi. Pola sebaran perubahan tutupan lahan dapat dijelaskan dengan

menggunakan peta pada Gambar 18.

Gambar 17. Peta Urban Sprawl Di Sekitar Kawasan Tahura 2006

Dampak yang diakibatkan dengan menurunnya kawasan hutan secara

sosial ekonomis, dimungkinkan untuk ada peningkatan pendapatan masyarakat

dengan beralih fungsinya hutan menjadi areal pertanian. Namun demikian secara

ekologis sangat merugikan karena akan menurunkan biodiversitas. Secara

hidrologis, berkurangnya kawasan hutan akan menurunkan kawasan resapan air

tanah. Selain itu, penurunan kawasan hutan akan berpengaruh terdapat debit

sungai di daerah aliran sungai. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang

Page 18: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

89

dilakukan oleh Farida dan van Noordwijk (2004) yang menemukan bahwa

penurunan luas hutan akan meningkatkan debit sungai pada DAS Way Besai,

Sumberjaya, Lampung.

Aspek penduduk dengan perubahan penggunaan lahan menjadi

penelitian di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp & Bouma 1999). Akibat tekanan

penduduk ini diperkirakan akan mengakibatkan penuruan areal persawahan di

pantai utara. Kepadatan penduduk menjadi faktor kunci, hal ini dibuktikan pula

dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Hasil pemodelan memberikan

peluang yang meningkat untuk terdapatnya kawasan terbangun bila kepadatan

penduduk meningkat.

Pola pemanfaatan ruang selalu berkitan dengan aspek-aspek sebaran

sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap aktifitas

menyebar dengan luas yang berbeda-beda dan tingkat penyebarannya yang

berbeda-beda pula. Secara ebih tegas, penataan ruang dilakukan sebagai

upaya: (1) optimalisasi pemanfaatan seumberdaya (mobilisasi dan alokasi

pemanfaatan sumberdaya): (prinsip efisiensi dan produktivitas); (2) alat dan

wujud distribusi sumberdaya): azaz pemerataan, keberimbangan dan keadilan;

dan (3) keberlanjutan (Rustiadi et al, Nugroho dan Dahuri, 2004; Tariga, 2005).

Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai kemampuan analisis

keruangan (spatial analysis) maupun waktu (temporal analysis ). Dengan

kemampuan tersebut SIG dapat dimanfaatkan dalam perencanaan apapun

karena pada dasarnya semua perencanaan akan trkait dengan dimensi ruang

dan waktu. Dengan demikian setiap perubahan, baik sumberdaya, kondisi

maupun jasa-jasa yang ada di wilayah perencaanaan akan terpadu dan

terkontrol secara baik (Rais et al, 2004).

Menurut Sugandhy (1999), permasalahan dalam pemanfaatan ruang

wilayah di Indonesia dicirikan dengan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan

serta permasalahan kependudukan lainnya yang semakin besar karena tanah

kehutanan dan tanah pertaian dikonversi untuk pemukiman, industri dan

pemanfaatan lainnya. Oleh karena itu kcenderungan merosotnya sumberdaya

alam dan lingkungan hidup selain diakibatkan oleh menurunnya kualitas

pemanfaatan ruang, juga dipacu oleh kualitas wujud structural dan pola

pemanfaatan ruang. Wujud struktural peemanfaatan ruang merupakan unsur-

unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan social, dan lingkungan

buatan yang secara hierarki dan struktural pemanfaatan ruang tersusun antara

Page 19: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

90

lain meliputi pusat-pusat pelayanan (kota, lingkungan, pemerintahan), prasarana,

jalan, rancangan bangun kota sepert ketinggian bangunan, jaran antar bangunan

dan sebagainya. Pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang

yang menggambarkan ukuran, fungsi dan karakter kegiatan atau kegiatan alam.

Pola pemanfaatan ini ditandai dengan pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat

kerja, industri, pertanian serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan.

Lahan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Sedemikian pentingnya

nilai lahan, hingga seringkali muncul konflik di antara berbagai stakeholder yang

disebabkan oleh perbedaan kepentingan dalam pemenfaatan lahan. Potensi

penggunaan lahan sangat beragam, mulai dari pertanian, pertambngan,

kehutanan dan perlindungan alam serta industri dan perkotaan. Pengambilan

keputusan yang tepat dalam pemanfaatan lahan seringkali menjadi persoalan

penting dalam masyarakat modern (Verheye, 1997).

Perencaan penggunaan lahan ( land-use planning) merupakan proses

penilaian secara sistematis terhadap potensi lain, alternative penggunaan lahan

dan kondisi social ekonomi masyarakat dalam rangka menetapkan opsi

penggunaan lahan terbaik. Perencanaan penggunaan lahan selalu berhubungan

dengan beberapa aktifitas seperti penetapan penggunaan lahan untuk masa

yang akan datang (physical planning), peningkatan kondisi fisik (land

management) (Van Lier, 1998). Aktivitas ini menurut Jhonsons dan Cramb (1996)

membutuhkan informasi yang tepat terkait dengan aspek biofisik, ekonomi dan

social. Tanpa dukungan data yang akurat, perencanaan tidak akan berhasil

mencapai tujuan (society goals) yang diinginkan.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, perencanaan penggunaan

lahan menempati posisi yang sangat sentral. Perencanaan penggunaan lahan

selalu dihadapka pada dua dimensi yang saling bertentangan, yaitu konservasi

ekologi dan pertumbuhan ekonomi. Keberlanjutan (sustainability) sebagai tujuan

utama perencanaan penggunaan lahan seringkali menjadi dilema manakala

kedua kepentingan saling bertentangan ini harus disatukan. Menanggapi hal

tersebut, Van Lier (1998) optimis akan tetap bisa dilaksanakan apabila para

pelaku ekonomi merasa diri sebagai bagian dari lingkungan kesejahteraan

ekonomi tidak akan pernah bisa dicapai tanpa langkah-langkah nyata

perlindungan terhadap lingkungan dan basis sumberdaya yang ada. Demikian

juga perlunya penanaman kesadaran bahwa keuntungan ekonomi yang

Page 20: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

91

berkelanjutan juga diperlukan sebagai prasyarat bagi tercipatanya keseimbangan

lingkungan dan sumberdaya.

Van Lier (1998) mengusulkan konsep spasial untuk menjembatani

kesenjangan antara kepentingan konservasi dengan pertumbuhan ekonomi

dalam rangka mencapai tujuan keberlanjutan. Konsep ini didekati dari 3

subkonsep, yaitu konsep integrasi vs segregasi (integration vs segregation

concept); konsep kerangka kerja (ecological network concept). Konsep integrasi

berbasis landscape ecology. Beberapa tipe penggunaan lahan (misalnya

pertanian, infrastruktur, outdoor recreation dan lalu lintas) direncanakan dan

dikembangkan dengan tetap menjaga fungsi ekologi wilayah.

Konsep kerangka kerja didasarkan pada pemahaman tentang adanya

perbedaan antar bagian wilayah yang berdinamika tinggi (misalnya pertanian,

rekreasi, permukiman, dan transportasi) dengan bagian wilayah yang

berdinamika rendah (misalnya ekosisten alami). Konsep ini melakukan koreksi

melalui segregasi spasial terhadap lahan dengan penggunaan intensif

(intensively-used lands) yang memerlukan lay-out dan pemanfaatan yang

fleksibel pada satu sisi, dan ahan dengan penggunaan ekstensif yang

memerlukan stabilitas pada sisi lain. Konsep jaringan ekologi merupakan sebuah

konstelasi elemen-elemen landscape yang bersifat fungsional dalam konteks

disperse species di dalam unit landscape yang bersangkutan. Jaringan ekologi

membuat hubungan antar wilayah inti (core regions), wilayah pengembangan

(nature development regions), dan wilayah-wilayah penghubung (connecting

areas).

5.4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa

selama periode 1992-2006 lahan hutan mengalami pengurangan areal yang

cukup besar seluas 517,75 ha, penggunaan lahan ladang mengalami

penambahan luas 493 ha dan penggunaan lahan untuk pemukiman naik sebesar

300 ha dan penggunaan lahan kebun campuran mengalami penurunan sebesar

275 ha. Sehingga selama 14 tahun telah terjadi perubahan lahan hutan menjadi

penggunaan non hutan sebesar 793 ha.

Perkembangan kawasan terbangun di wilayah Bandung membentuk

konfigurasi spasial yang menyebar ke segala arah walaupun struktur jaringan

jalan utamanya pada saat ini mengarah pada pola ribbon development kecuali di

Page 21: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

92

bagian selatan yang berbentuk radial. Fenomena urban sprawl pada wilayah

studi menunjukkan bahwa ketidakmerataan perembetan areal perkotaan di

semua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama. Perembetan paling

cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat

menjari (radial) dari pusat kota yaitu perembetan memanjang (ribbon

development).

Perkembangan perubahan penggunaan lahan dari kebun campuran dan

ladang yang berubah menjadi penggunaan lahan pemukiman menunjukkan

bahwa adanya penetrasi kegiatan perkotaan kedalam kawasan konservasi.

Penggunaan lahan pemukiman ini lokasinya tersebar (scaterred atau leap frog

development).

Page 22: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

VI. POTENSI KEINDAHAN KAWASAN

Abstrak

Pengembangan pembangunan perumahan dan kegiatan perkotaan ke arah KBU yang terjadi saat ini lebih banyak disebabkan oleh permintaan pasar dan kualitas visual estetika lanskap. Hal ini dapat dilihat secara nyata bahwa keberadaan kawasan konservasi Tahura Ir. H. Juanda merupakan kawasan yang kaya akan pesona estetika lanskap yang dapat dilihat dari berbagai arah mata angin dan didukung dengan lokasinya yang lebih tinggi (pegunungan) dari lanskap kota Bandung. Analisa keindahan estetika kawasan yang digunakan dalam kajian ini didukung menggunakan metode Scenic Beauty Estimation (SBE) dengan maksud untuk mengetahui sejauhmana pengaruh estetika visual dari lanskap kawasan sekitar Tahura Ir. H. Juanda terhadap kegiatan pembukaan lahan sebagai areal permukiman di sekitar Tahura Ir. H. Juanda yang merupakan penetrasi kegiatan perkotaan (urban sprawl) ke dalam kawasansekitar Tahura. Metode SBE ini melibatkan 70 orang reponden yang diminta untuk menilai 120 buah foto pemandangan dari lanskap Tahura Ir. H. Juanda. Hasil analisa keindahan estetika menunjukkan bahwa lanskap kawasan disekitar Tahura Ir. H. Juanda memiliki nilai visual tinggi sebesar 38,3 % dan nilai visual sedang sebesar 48,33 %. Sedangkan 13,33 % memiliki nilai visual rendah.

Keywords: KBU, estetika lanskap, konservasi, SBE.

6.1. Pendahuluan

Lokasi Tahura Ir. H. Juanda berada tepat di bagian utara kota Bandung

dan didukung dengan kualitas visual estetika lanskapnya yang menjanjkan,

menjadi sasaran utama koridor suburbanisasi dari kota Bandung. Di sisi lain,

lokasi Tahura Ir. H. Juanda sangat srategis mengingat kawasan ini merupakan

bagian dari KBU yang diperuntukkan sebagai kawasan konservasi dan zona

lindung dari bahaya geologi.

Pembentukan dan perubahan penggunaan lahan di kawasan pinggiran

kota diakibatkan oleh adanya proses suburbanisasi dimana kecenderungannya

menunjukkan terjadinya pertumbuhan gejala urban sprawl. Suburbanisasi

kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai

akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat-tempat bermukim

untuk kegiatan industri (Rustiadi dan Panuju, 1999).

Estetika lanskap dan evaluasi pemandangan merupakan bagian yang

penting dalam memahami lanskap secara luas. Estetika secara umum

didefinisikan sebagai suatu pengetahuan tentang keindahan atau pembelajaran

keselarasan terhadap alam atau seni (Ewald, 2001). Kualitas visual estetika

Page 23: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

94

merupakan hasil pertemuan antara fitur fisik dan lanskap dan proses psikologis

dari pengamat (Daniel, 2001).

Keindahan pemandangan (scenic beauty) merupakan hasil dari

tanggapan atau respon seseorang terhadap lanskap di sekitarnya. Scenic beauty

ini dipengaruhi oleh bentukan fisik (seperti topografi, pola vegetasi, kemiringan

lahan, penutupan bangunan, rasio area berlantai) dan karakteristik pengamat

(seperti pergerakan, latar belakang personal, lokasi dan sudut pandang).

Bentukan fisik dapat dijadikan dengan bentukan fisik lanskap tersebut (Don-

Gwong Sung, et al. 2001).

6.2. Metode Analisis

Sumberdaya estetika dalam hal ini visual lanskap di wilayah studi

mengalami penurunan kualitas sebigai akibat terjadinya gejala urban sprawl.

Diperlukan suatu pengelolaan lanskap guna mengatasi penurunan kualitas ini.

Melalui pemetaan nilai sumber daya estetika di wilayah studi berupa peta sumber

daya estetika visual dapat digunakan untuk tujuan pengelolaan lanskap yang

berorientasi pada pelestarian karakter lanskap wilayah bagi pengembangan kota

(Munandar, 1990).

Data yang dibutuhkan dalam analisis estetika yaitu data spasial (peta)

dasar topografi dan peta tema tutupan lahan yang sudah dikoreksi dan data non-

spasial berupa rekaman foto-foto. Analisis estetika menggunakan prosedur SBE

yang dikemukakan oleh Daniel dan Boster (1976). Adapun tahapan-tahapan

dalam prosedur ini adalah:

1. Penentuan titik pengamatan dan pengambilan foto

Titik pengamatan ditentukan dengan terlebih dahulu menentukan karakter

lanskap di wilayah penelitian. Karakter lanskap wilayah penelitian

diidentifikasi dengan berpedoman pada peta topografi dan diverifkasi ke

lapangan (ground truthing). Proses identifikasi karakter lanskap diikuti

dengan pengambilan foto lokasi untuk selanjutnya menjadi titik pengamatan.

2. Seleksi foto

Hasil pengambilan foto pada masing–masing lokasi selanjutnya dilakukan

penyeleksian dengan cara memilih foto dengan keterwakilan dan

keragaman yang tinggi dan kualitas gambar yang cukup baik. Jumlah foto

yang dipilih sebagai bahan penilaian dalam penelitian ini berjumlah 120

Page 24: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

95

buah foto yang mewakili hampir menyeluruh lokasi kajian Tahura Ir. H.

Juanda.

3. Penilaian oleh responden

Penentuan responden dilakukan dengan metode purposive sampling

sejumlah 70 orang yang mempunyai latar belakang keilmuan lanskap dan

pemahaman yang memadai mengenai estetika visual lanskap. Responden

berasal dari mahasiswa tingkat akhir dan dosen dengan pendidikan S1 dan

S2 perguruan tinggi terkemuka. Sistem penilaian dilakukan dengan cara

mempresentasikan silde foto berjumlah 120 buah foto dimana setiap foto

ditampilkan selama 10 detik dan langsung dinilai oleh para responden.

Penilaian foto dilakukan dengan cara memberikan skor untuk setiap foto

dengan kisaran skor 1 sampai dengan 10, dimana skor 1 menunjukkan skor

dengan penilaian foto yang paling tidak disukai dan skor 10 merupakan

skor untuk penilaian foto yang paling disukai.

4. Perhitungan SBE

Setelah proses penilaian foto selesai, dilanjutkan dengan melakukan

perhitungan terhadap skor dengan metode SBE. Tahapan ini dimulai

dengan tabulasi data, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan frekuensi

setiap skor (f), perhitungan frekuensi kumulatif (cf) dan probabilitas

kumulatif (cp). Selanjutnya dengan menggunakan tabel faktor “Z” untuk

menentukan nilai “Z” untuk setiap cp. Khusus untuk foto dengan “cp”

bernilai “1” atau cp = 0 (nilai “Z” tak terdefinisi) digunakan formulasi “cp=1-

1/(2n)” atau “cp=1/(2n) (Bock and Jones, 1968 dalam Daniel dan Boster,

1976). Rata-rata nilai “Z” yang diperoleh untuk setiap foto kemudian

dimasukkan ke dalam formulasi SBE :

keterangan :

SBEx = nilai penduga keindahan pemandangan lanskap ke-x

Zx = nilai rata-rata Z untuk lanskap ke-x

Zo = nilai rata-rata suatu lanskap tertentu sebagai standar

SBEx = (Zx – Zo) x 100

Page 25: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

96

5. Penentuan kualitas visual

Penentuan kualitas estetika visual wilayah penelitian diawali dengan

membuat kelas-kelas pada nilai SBE dengan membagi rentang data

menjadi 3 kelas keindahan, yaitu tinggi, sedang dan rendah, dengan cara

menjumlahkan nilai terbesar dan terkecil lalu dibagi menjadi tiga kelas

keindahan yang sama besar proporsinya.

6. Menghitung variabel berpengaruh pada kualitas keindahan pada nilai SBE

kawasan.Variabel berpengaruh pada penilaian keindahan

Y= a+ bX1+cX2+dX3+ eX4+ fX5 +gX6 +hX7 + iX8 … Y = nilai SBE X1 = hard material (ordered/finished) X2 = hard material (unstructured) X3 = covered land (trees) X4 = covered land (bush, ground cover) X5 = abandoned land (tanah bera) X6 = paved land/ path (path, steppig stonr) X7 = water covered (water front) X8 = others (sky, void)

6.3. Hasil Analisis dan Pembahasan

Dalam perhitungan estetika visual gambar lokasi Tahura Ir. H. yaitu

dengan menghitung nilai SBE, terlebih dahulu memerlukan penentuan nilai

rataan lanskap tertentu yang dipakai sebagai standar (trigger) atau sering dikenal

dalam formulasi SBE sebagai “Zo”. Nilai Zo yang dipakai sebagai standar jika

suatu foto memiliki nilai Zo terkecil. Zo terkecil mengandung makna keragaman

dari semua unsur visual estetika dari foto tersebut. Berdasarkan hasil

perhitungan menunjukkan nilai Zo terkecil sebesar 0,07 yang berasal dari

gambar nomor 116, dengan nilai SBE (0.0). Penilaian Zo ini merupakan

perhitungan hasil skoring yang dilakukan oleh responden.

Page 26: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

97

Gambar 18. Foto nomor 116 dengan nilai Zo terkecil, SBE (0.0)

Berdasarkan hasil perhitungan visual estetika menggunakan formula SBE

diperoleh sebaran nilai SBE untuk masing-masing foto, nilai terendah -41,71 nilai

tertinggi 128,57. Pada tampilan visual dengan SBE tertinggi memperlihatkan

kualitas sumber daya estetika yang tinggi, dimana perpaduan unsur alam dan

buatan yang harmonis (yaitu antara pepohonan, asritektur taman, rerumputan,

jalan, perumahan, kreasi batuan dan air) meskipun hampir keseluruhan struktur

merupakan gambar artifisial atau buatan manusia dan bukan tumbuh secara

alami, lokasi ini berada didalam kawasan perumahan yang berada dalam

kawasan sekitar Tahura Ir. H. . Kondisi ini sesuai dengan pendapat Yacobs

(1995) bahwa variable dan pola tata letak dan pola bangunan sangat

berpengaruh terhadap kuallitas visual lanskap perkotaan

Sedangkan tampilan pada nilai SBE terendah tampak didominasi oleh

unsur tanah yang terbuka. Adapun sebaran nilai SBE dari 120 buah foto dapat

dilihat pada Gambar 19.

Page 27: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

98

Foto Dengan Nilai SBE Tertinggi Foto Dengan Nilai SBE Terendah

Gambar 19 Grafik sebaran nilai SBE untuk 120 buah foto

Gambar 20. Foto dengan nilai SBE tertinggi dan terendah

Grafik sebaran nilai SBE memperlihatkan sebaran nilai SBE untuk

masing-masing foto, sebanyak 11 buah foto yang memiliki nilai SBE diatas 100.

Sedangkan hanya 6 buah foto dengan nilai SBE dibawah 0.

Dengan membagi tiga sebaran data, diperoleh batas nilai SBE rendah;

SBE sedang dan SBE tinggi. Masing-masing nilai SBE dari foto-foto kemudian

dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu standar nilai visual tinggi jika nilai SBE >

87,11; standar nilai visual sedang jika berada diantara 29,01 dan 78,79; standar

nilai visual rendah jika nilai SBE < 29,01.

Page 28: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

99

Gambar 21. Foto dengan nilai SBE tinggi

Page 29: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

100

Gambar 22. Foto dengan nilai SBE sedang

Page 30: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

101

Gambar 23. Foto dengan nilai SBE rendah

Page 31: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

102

Berdasarkan kelas keindahan yang terbentuk, sebanyak 13.33% dari

kawasan Tahura Juanda memiliki nilai visual rendah, 48.33% dari kawasan

Tahuran Juanda memiliki nilai visual sedang dan sisanya 38.33% dari kawasan

Tahura Ir. H. Juanda memiliki nilai visual tinggi.

Penilaian SBE

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

140

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116

Nomor Urut

Nil

ai S

BE

NILAI SBE

< 29,01 rendah

> 78,79 tinggi

Gambar 24. Pengelompokan nilai SBE

Tabel 9 Persentase Jumlah Daerah Berdasarkan Nilai SBE

Daerah Jumlah Daerah Persentase Interval Rendah 16 13,33 % < 29,01 Sedang 58 48,33 % 29,01 s/d 78,79 Tinggi 46 38,33 % > 78,79

Hasil pengelompokan sebaran nilai SBE diatas menunjukkan

kecenderungan standar visual estetika Tahura mengarah pada kualitas sedang

sampai tinggi. Foto-foto pemandangan yang memiliki nilai preferensi visual

sedang sampai tinggi diwakili oleh foto pemandangan alami, semi alami dan

terbangun dengan dominasi sebaran pohon-pohon besar, perbukitan dengan

keragaman lanskap yang tinggi.

Foto-foto pemandangan yang memiliki nilai preferensi visual tinggi diwakili

oleh foto pemandangan alami dengan kondisi pohon yang masih baik dan terjaga.

Adapun perpaduan unsur alami dan buatan dilengkapi dengan unsur terbangun

seperti bebatuan dan pancuran/aliran air yang terdapat pada perumahan mewah

dalam kondisi rapi, teratur dan terawat juga memberikan nilai yang tinggi.

Page 32: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

103

Gam

bar 2

5. P

eta

Kei

ndah

an K

awas

an S

ekita

r Tah

ura

Dju

anda

Page 33: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

104

Foto-foto pemandangan secara alami yang cenderung seragam seperti sebaran

tajuk dan pohon-pohon besar memiliki nilai preferensi visual yang sedang.

Sedangkan foto-foto yang didominasi oleh kondisi areal terbuka dan terbangun

yang tidak teratur dengan kondisi yang tidak baik cenderung memiliki nilai

preferensi rendah. Area kawasan perumahan padat yang tidak teratur

memberikan pengaruh yang rendah dalam keindahan visualnya.

Kawasan sekitar Tahura didominasi dengan nilai SBE sedang sampai

tinggi. Untuk nilai SBE tinggi dihasilkan dari kondisi alami dengan hutan yang

kondisinya masih baik dan kawasan kontur perbukitan yang diduga memberi

konstribusi terhadap keindahan. Brush, 1981 dalam penelitiannya menemukan

bahwa lanskap yang mengandung relatif banyak relief (seperti bukit yang curam

dan pegunungan) memberikan pengaruh besar terhadap keindahan kawasan.

Nilai SBE sedang kebawah dipengaruhi oleh lahan terbuka dan kawasan

terbangun, seperti pemukiman. Perubahan pergerakan lahan pemukiman yang

mengarah ke sekitar Tahura, dimana dengan semakin tingginya konversi lahan

untuk pemukiman akan mempengaruhi kondisi keindahan kawasan dan iklim

mikro kawasan tersebut.

Kawasan berupa lahan kosong yang ditumbuhi ilalang, tanah rusak dan

ladang yangtidak terawat juga memberikan nilai preferensi visual yang rendah.

Penelitian Schroeder dan Connor (1987) atas peran keberadaan pohon jalan

(street trees) pada suatu ruas jalan di Ohio menunjukkan menunjukkan bahwa

jalan yang berpohon memiliki dampak yang kuat bagi masyarakat dalam menilai

kualitas keindahan jalan-jalan perumahan bahwa keberadaaan pohon pada

halaman rumah (yard trees ) dimana tidak adanya pohon di jalan akan

memberikan kontribusi yang tinggi bagi kualitas visual jalan tersebut. Dijelaskan

lebih lanjut bahwa penanaman pohon di sepanjang jalan harus mendapat

prioritas utama dalam perencanaan perpohonan di kota selain memberikan

keindahan estetika juga memberikan keuntungan ekologis lainnya.

Kawasan sekitar Tahura yang berubah menjadi kawasan perumahan

terutama yang kembangkan oleh pengembang untuk perumahan kelas atas dan

menengah banyak menanam kembali kawasan dengan pohon-pohon dengan

komposisi yang baik sehingga memberikan kualitas visual yang baik.

Page 34: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

105

Adapun model yang berpengaruh pada keindahan kawasan didapat

dengan melakukan regresi berganda variabel-variabel berpengaruh tersebut

dengan menggunakan minitab14 (Lampiran 15).

Model estetika kawasan

Y = 79,2 – 128 X1* + 9,2 X2 + 2,6 X3 – 2,7 X4 – 267 X5* + 126 X6* + 66,9 X7 - 65,7 X8

* = nyata pada taraf = 20 %

Hipotesis uji untuk kasus ini adalah:

H0 : b1 = b2 = b3 = b4 = b5 = b6 = b7 = b8 = 0

H1 : Sedikitnya ada bi ? 0 (dengan i = 1, 2,..., 8)

Analisis keragaman (analysis of Variance) digunakan untuk mengecek apakah

ada pengaruh nyata antara peubah respon dengan peubah-peubah penjelasnya.

Apabila hasil analisis menunjukkan Ho ditolak, maka ada pengaruh yang nyata

antara peubah-peubah (X1-X8) dengan nilai SBE (Y).

Hasil Analysis of Variance ( ANOVA)

S = 21,7281 R-Sq = 59,9% R-Sq(adj) = 57,0%

Dari output Minitab tersebut, dapat dilihat bahwa nilai F hitung untuk model ini

adalah 20.70 dan nilai p bernilai 0.000. Sehingga apabila a sebesar 5%

F tabel = F a (df regresi, df residual error)

= F 0,05 (8,111)

= 2.204

Sehingga, dapat ditentukan nilai F hitung > F tabel, sehingga kesimpulannya

tolak Ho, yaitu setidaknya ada satu peubah-peubah (X1-X8) yang memiliki

pengaruh terhadap nilai SBE (Y). Sehingga model ini dapat digunakan untuk

menduga nilai SBE.

Source DF SS MS F P Regression 8 78163,7 9770,5 20,70 0,000 Residual Error

111 52404,1 472,1

Total 119 130567,7

Page 35: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

106

Dari model regresi berganda yang dihasilkan program minitab di atas, dapat

disimpulkan bahwa nilai keindahan SBE (Y) dipengaruhi nilai konstan sebesar

79.2. dan beberapa peubah penjelas :

Model yang didapat menunjukkan nilai SBE dan peubah penjelasnya

- Perubahan satu satuan hard material (ordered, finished) ‘X1’ akan

menurunkan nilai SBE sebesar 128

- Perubahan satu satuan hard material (unstructurred) ‘X2’ akan

meningkatkan nilai SBE sebesar 9.2

- Perubahan satu satuan covered land (trees) ‘X3’ akan meningkatkan nilai

SBE sebesar 2.6

- Perubahan satu satuan covered land (bushes, ground cover,etc) ‘X4’

akan menurunkan nilai SBE sebesar 2.7

- Perubahan satu satuan abandoned land (tanah bera) ‘X5’ akan

menurunkan nilai SBE sebesar 267

- Perubahan satu satuan paved land/path (path, steping stone, dll) ‘X6’

akan meningkatkan nilai SBE sebesar 126

- Perubahan satu satuan water cover (water font) ‘X7’ akan meningkatkan

nilai SBE sebesar 66.9

- Perubahan satu satuan void akan menurunkan nilai SBE sebesar 65.7

Dengan toleransi nilai p sebesar 20% hal ini dipakai karena persepsi

responden yang sangat beragam sehingga ketelitiannya tidak perlu tinggi, maka

dari keseluruh peubah yang diuji, faktor yang berpengaruh terhadap nilai kualitas

estetika visual adalah variabel X1, X5 dan X6. Dari model tersebut diatas dapat

diamati bahwa hard material (ordered, finished) ‘X1’, abandoned land (tanah

bera) ‘X5’ dan paved land/path (path, steping stone, dll) ‘X6’ merupakan peubah

penentu nilai SBE kawasan sekitar Tahura. Kondisi ini berkaitan dengan

kondisi lanskap dan penataan ruang di kawasan penelitian tersebut. Variabel

hard material (ordered, finished) ‘X1’ berpengaruh dalam nilai kualitas visual di

kawasan sekitar Tahura utamanya didominasi oleh kawasan perumahan

terutama yang berkepadatan tinggi. Kerapatan bangunan dan komposisi yang

tidak teratur berpengaruh pada keindahan visual kawasan ini. Hal ini terjadi

karena banyak pembangunan perumahan yang dilakukan oleh individu dengan

tidak memperhatikan tata ruang yang ada. Sehingga masing-masing mendirikan

pemukiman secara terpisah-pisah, tidak terpadu dan terencana dengan baik.

Page 36: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

107

VarIabel lain yang berpengaruh adalah X5 (abandoned land), yang

merupakan lahan yang tidak terurus dan belum terbangun. Disekitar kawasan ini

banyak lahan yang dimilikii oleh orang 'kota' dan dibiarkan saja dalam bentuk

ladang atau kebun dengan tanaman semak. Sehingga banyaknya tanah yang

tidak terurus ini memberikan kualitas visual yang rendah bagi kawasan.

Keberadaan variabel jalan setapak yang baik dengan proporsi yang

rendah serta berinteraksi baik dengan pohon sekitarnya memberikan nilai SBE

menjadi tinggi. Dengan kombinasi yang baik antara unsur alami dan unsur

buatan dapat memberikan kualitas visual yang baik pada foto pemandangan

kawasan. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Iverson, et al (1993) menyatakan

bahwa tingkat kualitas estetika suatu wilayah sangat bergantung pada variasi

elemen-elemen pembentuk lanskap dan keutuhan serta harmonisasi antara

lanskap alami dan buatan.

Berdasarkan kesesuaian yang diperoleh terlihat bahwa di sepanjang

beberapa sisi jalan lokal dan jalan setapak mempunyai pemandangan keindahan

yang cukup baik. Komposisi struktur lanskap alami akan memberikan nilai

spiritual dan emosional tersendiri pada setiap manusia untuk mendapatkan

pengalaman yang baru (Higuchi, 1983). Lingkungan alami dengan kualitas

pemandangan yang baik dan adanya jalan setapak sebagai aksesibilitas dapat

memberikan nilai pengalaman selama perjalanan.

Page 37: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

108

Gam

bar 2

6. P

eta

Kei

ndah

an d

an K

elas

Ket

ingg

ian

Kaw

asan

Sek

itar T

ahur

a D

juan

da

Page 38: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

109

Kusumoarto (2006) menyatakan bahwa penilaian kesesuaian lahan

berdasarkan potensi sumberdaya estetika visual, menghasilkan kawasan-

kawasan yang sangat sesuai, sesuai dan tidak sesuai untuk pengembangan

aktivitas rekreasi. Berdasarkan penilaian pakar, subkriteria kualitas estetika

visual lanskap mempunyai nilai pembobot yang sangat penting dipertimbangkan

untuk mendukung pengembangan aktivitas rekreasi dibandingkan lainnya.

Subkriteria tutupan dan penggunaan lahan, sarana aksesibilitas dan Iingkup

wilayah pengembangan merupakan subkriteria yang lebih penting.

Keberadaan kawasan semi alamiah, lahan terbangun, lahan yang

terbengkalai (tidak digunakan), lahan yang timbul semak belukar akibat

pembukaan lahan mengakibatkan banyak tersebar kawasan yang sesuai. Tidak

adanya jalan lokal dan jalan setapak yang dapat mencapai kawasan yang

mempunyai keindahan sangat baik mengakibatkan kawasan-kawasan tersebut

juga berada pada kawasan yang sesuai. Beberapa hal yang mempengaruhi

kawasan yang sesuai untuk pengembangan aktivitas rekreasi adalah kondisi dan

keberadaan lahan-Iahan sawah irigasi dengan luasan yang cukup besar dan

mendominasi serta kebun-kebun yang melatarbelakangi sawah-sawah irigasi

tersebut. Keberadaan kawasan ini didukung oleh komposisi elemen pembentuk

ruang terbuka hijau namun telah ada campur tangan manusia serta adanya jalan

lokal dan jalan setapak yang dapat mencapai dan melalui kawasan-kawasan

tersebut dengan baik. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah

mempertahankan keberadaan ruang terbuka hijau, perlindungan sempadan jalan,

serta sisi sepanjang jalan .yang memberikan nuansa, karakter dan ciri khas

kawasan hutan.

Dari gambar yang sama juga tampak bahwa preferensi terhadap kualitas

penutupan lahan terutama terhadap kontras tinggi dan kompabilitas tataguna

lahan kedua kelompok masyarakat ini tidak sama. Namun tampak bahwa

preferensi terhadap gambar kealamian dan kualitas internal meningkat dengan

semakin alamiah dan semak koheren seuatu pemandangan. Diperkirakan

karakter-karakter kontras tinggi dan kompabilitas relative sulit diindera atau

dipersepsi. Pengamatan secara sepintas menunjukkan bahwa responden terlibat

memasukan kepentingannya dalam memilih kesukaan. Terhadap gambar

kompabilitas tataguna lahan responden cenderung mengandaikan dirinya

Page 39: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

110

berkepentingan untuk menetap atau berada dalam suatu tapak (sebagaimana

disajikan oleh foto).

Studi yang dilakukan oleh Daniel, Brown, King, Richard dan Steward

1989, melakukan studi mengenai keindahan kawasan hutan Ponderosa dengan

metoda SBE dan willingness to pay oleh para pecinta alam menunjukkan bahwa

terdapat kesamaan antara mean SBE dengan mean adisional wtp (CV). Kondisi

ini menunjukkan bahwa responden scenic beauty dan CV sensitif terhadap

perubahan atas karakteristik hutan. Dengan kata lain karakteristik hutan

mempengaruhi perceived scenic beauty juga mempengaruhi perceived value dari

perkemahan.

Daniel dan Boster 1976 menggunakan metoda SBE untuk

membandingkan penilaian lapangan dengan menggunakan penilaian

berdasarkan slide berwarna yang mewakili kondisi lanskap. Menilai keindahan

dengan keputusan visual dari sekelompok pengamat dan ditanya mengenai

kepurtusan mereka atas beberapa tingkatan kualitas lanskap berbeda.

Elwood Shafer, 1969, mengembangkan pendekatan untuk mengukur

preferensi lanskap dengan mengukur luas area variable pada foto. Shafer

mengukur varibel dari foto seperti langit, vegetasi didepan, pada jarak menengah

dan jauh, non vegetasi seperti tanah terbuka, gunung, salju, lapangan rumput;

arus air, air terjun dan danau.

Munandar (1990) meneliti preferensi masyarakat dengan nilai

sumberdaya pemandangan. Hasil pengujian korelasi menunjukkan adanya

hubungan yang positif antara pangkat (urutan) kontras relief, bentuk ruang,

kealamiahan dan variasi internal suatu lanskap dengan pangkat (orde) preferensi,

yang menggambarkan potensi pemandangan, oleh perencana maupun

masyarakat umum. Besarnya koefisien korelasi Kendal keempat hubungan

tersebut berturut-turut yaitu 0.54 dan 0.222, 0.408 dan 0.194, 0.312 dan 0.234

serta 0.584 dan 0.349. Terhadap beberapa karakter lanskap yang lain yaitu

lereng dan kontras tinggi vegetasi, hubungan linear tersebut tidak konsisten

antara perencana dan masyarakat umum. Oleh karena itu untuk keperluan

praktikan karakter kemiringan lereng dan kompabilitas tataguna lahan tidak dapat

digunakan untuk meramalkan potensi pemandangan, karena tidak ada hubungan

linear antara pangkat kedua karakter ini dengan preferensi perencana maupun

masyrakat umum.

Page 40: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

111

Lebih lanjut dijelaskan secara praktikal informasi geografi atau lanskap

kontras relief dan pelambahan yang mewakili bentuk lahan serta kelamiahan dan

variasi internal yang mewakili penutupan lahan (tataguna lahan), sebagaimana

criteria peta sumberdaya pemandangan. Ini akan berguna terutama untuk

proteksi (pencegahan) perambahan pengembangan kota menuju wilayah

berpotensi pemandangan alami yang baik, disamping tujuan pengelolaan lainnya.

Dengan demikian warga kota atau warga luar kota selain secara visual dapat

manikmati pemandangan, secara mental menikmati kekompleksan dan misteri

alam sebagaimana dipostulatkan Brown et al. (1986) dan Kaplan (1984).

Pembangunan fisik kearah wilayah berpotensi pemandangan alami baik perlu

dicegah.

Semakin kontras suatu relief, semakin dalam suatu

cekungan/perlembahan semakin alami suatu tataguna lahan dan semakin kaya

variasi atau semakin tinggi koherensi suatu pola pemandangan maka

pemandangan tertentu semakin indah baik menurut konsepsi perencana maupun

masyarakat awam. Oleh karena itu selanjutnya dikaji hubungan faktor ini dengan

berbagai tingkat sosial ekonomi masyarakat. Hasil penelitian terhadap sebagian

(50 orang yang dipilih secara acak) masyrakat umum menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan anatara latar belakang sosial ekonomi dengan penilaian

keindahan kotras relief, ruang, kealamiahan dan kekayaan variasi internal.

Secara teori Porteous (1977) bahwa persepsi dan tingkah laku (behaviour)

terhadap alam fenomenal (alam nyata) dipengaruhi oleh alam personal dan

kontekstual (siklus hidup, status sosial dan gaya hidup) mendukung pernyataan

ini

Lanskap yang semakin kontras reliefnya, semakin dalam cekungan

(pelembahan) lainnya, semakin alamiah tataguna lahannya dan semakin kaya

variasi internalnya atau semakin kohren pola pemandangannya semakin tinggi.

Secara tidak langsung lanskap demikian disepakati oleh kedua kelompok

masyarakat mempunyai nilai sumberdaya pemandangan yang semakin tinggi.

Kawasan-kawasan yang tidak sesuai secara umum juga dipengaruhi oleh

pemandangan lahan-Iahan yang kering akibat adanya kegiatan pembukaan

lahan dan penebangan pohon secara liar serta keberadaan ruang-ruang

terbangun. Berdasarkan persepsi yang diperoleh lokasi-Iokasi ini mempunyai

komposisi keindahan yang kurang baik akibat sudah tidak alaminya lokasi

tersebut.

Page 41: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan ... · dan lingkungan alami yang cukup asri ... menjadi kelas tertentu yang khas ... meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan

112

Penurunan kualitas visual akibat pembukaan lahan, eksploitasi terhadap

habitat alami, dan pembangunan struktur bangunan merupakan kendala dalam

pengembangan kawasan permukiman. Upaya yang dapat dilakukan adalah

penghijauan kembali pada kawasan alami dan semi alami serta meniadakan

penghalang struktur yang menutupi pemandangan yang indah untuk mendukung

keberadaan dan keberlanjutan nilai kualitas estetika visual lanskap secara

berkesinambungan. Upaya ini juga bermanfaat untuk mengatasi kerusakan

ekosistem lebih lanjut.

6.4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa

keindahan kawasan sekitar Tahura sebagian besar mempunyai tingkat

keindahan rendah sebesar 13,33%, tingkat keindahan sedang sebesar 48,33%

dan tingkat keindahan tinggi sebesr 38,33%. Dominasi kawasan oleh kondisi

alami seperti pohon yang masih baik kondisinya dan bentang alam yang berbukit,

ada beberapa area dengan nilai tinggi walaupun merupakan kombinasi antara

unsur alami dengan unsur buatan (artifisial).

Model yang dihasilkan menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh

negatif pada keindahan estetika kawasan adalah hard material (ordered,

finished) ‘X1’, dan abandoned land (tanah bera) ‘X5’ . Sedangkan paved

land/path (path, steping stone, dll) ‘X6’ memberikan pengaruh positif pada

keindahan kawasan sekitar Tahura. Perubahan pergerakan lahan pemukiman

yang mengarah ke sekitar Tahura, dimana dengan semakin tingginya konversi

lahan untuk pemukiman akan mempengaruhi kondisi keindahan kawasan dan

iklim mikro kawasan tersebut.

Dalam rangka menjaga kelestarian dan keindahan kawasan Tahura

sehingga fungsinya terhadap kawasan sekitar dapat optimal maka perlu

kebijakan pengendalian ruang kawasan sekitar Tahura agar tidak mengalami

perubahan penggunaan lahan yang mendorong konversi lahan menuju kawasan

Tahura .