60
Case Report Oleh : Amriansyah Pranowo ( 1102006027 ) Andari Rahmani Putri ( 1102006029 ) Pembimbing : dr. M. Syafei Hamzah, Sp. KK 1

Morbus Hansen Case KULKEL

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Morbus Hansen Case KULKEL

Case Report

Oleh :Amriansyah Pranowo ( 1102006027 )Andari Rahmani Putri ( 1102006029 )

Pembimbing : dr. M. Syafei Hamzah, Sp. KK

SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RSUD Dr. H. ABDOEL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

SEPTEMBER 2011

1

Page 2: Morbus Hansen Case KULKEL

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. J

Umur : 75 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Purwosari, Lampung

Pekerjaan :

Suku Bangsa : Jawa

Agama : Islam

Status : Menikah

II. AUTOANAMNESIS

Keluhan Utama : Bercak merah kehitaman pada muka, badan dan kaki

Keluhan Tambahan : kaki sering kesemutan

Riwayat penyakit sekarang :

Sejak ± 4 bulan yang lalu timbul bercak kemerahan pada kaki sebesar uang logam

100 – 500 rupiah, tidak terasa gatal, maupun panas dan nyeri. ± 2 bulan kemudian

pasien merasakan keluhan bertambah luas ke bagian dada dan punggung. Dirasakan

bercak kemerahan bertambah besar dan lebih besar dari uang logam.

± 2 bulan kemudian keluhan bertambah luas kewajah dan kaki disertai dengan

seringnya pasien merasakan kesemutan dan rasa baal di tangan dan kaki, oleh karna

keluhan ini pasien berobat ke puskesmas terdekat, oleh dokter di puskesmas tersebut

pasien diberi 3 macam obat minum dan 1 macam obat oles yang pasien lupa nama

obatnya.

2

Page 3: Morbus Hansen Case KULKEL

± 1 bulan kemudian keluhan dirasakan pasien tidak ada perubahan malahan keluhan

baal dan kesemutan dirasakan semakin bertambah disertai benjolan benjolan pada

bercak . Setelah obat habis pasien berinisiatif untuk berobat ke RSAM.

Pasien mengatakan dilingkungannya tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.

Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

Pengobatan yang pernah didapat :

Puskesmas : 2 macam obat makan dan 1 macam obat salep

Penyakit yang pernah diderita : ( - )

III. STATUS GENERALIS

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan Gizi : Cukup

TD : - Nadi : 86 x/menit

Respirasi : 21 x/menit

Suhu : -

Thoraks : Dalam Batas Normal

Abdomen : Dalam Batas Normal

KGB : Dalam Batas Normal

Extermitas : Tidak ditemukan deformitas

Saraf perifer : Tidak ditemukan penebalan

3

Page 4: Morbus Hansen Case KULKEL

IV. STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi : Regio generalisata

Inspeksi : Makula eritema berukuran numular – plakat, lesinya multiple Diskret sirkumskrip

Papul berukuran milier – lentikular lesinya multiple sirkumskrip

Tes manipulasi :

Pemeriksaan saraf tepi dengan jarum dan kapas.

A. Pemeriksaan Saraf Tepi

1. N. Ulnaris

- Pembesaran saraf (-)

- Anestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis (+)

- Clawing kelingking dan jari manis (+)

- Atrofi hipotenar dan otot interosseous dorsalis pertama (-)

2. N. Medianus

- Pembesaran saraf (-)

- Anestesi ujung jari bagian anterior ibu jari telunjuk dan jari tengah (-)

- Aduksi ibu jari (-)

- Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah (-)

- Kontraktur ibu jari (-)

3. N. Radialis

- Anestesi dorsum manus (-)

- Tangan gantung (-)

- Ekstensi jari jari atau pergelangan tangan (-)

4. N. Poplitea lateralis

- kaki gantung atau foot drop (-)

4

Page 5: Morbus Hansen Case KULKEL

5. N. Tibialis posterior

- Anestesi pada telapak kaki (-)

- Anestesi pada region cruris 1/3 distal bagian anterior (+)

- Clow toes (-)

6. N. Facialis

- Lagoftalmus (-)

B. Pemeriksaan gangguan sensibilitas kulit

- tes raba halus dengan ujung jari kapas halus yang sudah dilancipkan

Hipoanestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis

Hipoanestesi pada region cruris 1/3 distal bagian anterior

- Tes nyeri

Nyeri (-) pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis

Nyeri (-) pada pada region cruris 1/3 distal bagian anterior

C. Pemeriksaan motorik

Dalam Batas Normal

D. Pemeriksaan komplikasi dan deformitas

Tidak terdapat tanda tanda komplikasi dan deformitas pada seluruh tubuh

V. LABORATORIUM Tidak dilakukan

VI. RESUME Pasien wanita , Ny. J, 75 tahun, sudah menikah, seorang petani Sejak ± 4 bulan

yang lalu timbul bercak kemerahan pada kaki sebesar uang logam 100 – 500 rupiah, tidak

terasa gatal, maupun panas dan nyeri. ± 2 bulan kemudian pasien merasakan keluhan

5

Page 6: Morbus Hansen Case KULKEL

bertambah luas ke bagian dada dan punggung. Dirasakan bercak kemerahan bertambah

besar dan lebih besar dari uang logam.

± 2 bulan kemudian keluhan bertambah luas kewajah dan kaki disertai dengan

seringnya pasien merasakan kesemutan dan rasa baal di tangan dan kaki, oleh karna

keluhan ini pasien berobat ke puskesmas terdekat, oleh dokter di puskesmas tersebut

pasien diberi 3 macam obat minum dan 1 macam obat oles yang pasien lupa nama

obatnya.

± 1 bulan kemudian keluhan dirasakan pasien tidak ada perubahan malahan

keluhan baal dan kesemutan dirasakan semakin bertambah disertai benjolan benjolan

pada bercak . Setelah obat habis pasien berinisiatif untuk berobat ke RSAM.

Status generalis dalam batas normal, status dermatologis, pada regio generalisata

makula eritema berukuran nummular sampai plakat multiple diskret generalisata

sirkumskrip, papaula berukuran milier sampai lentikular multiple sirkumskrip.

VII. DIAGNOSIS BANDING - Morbus Hansen

- Tinea versikolor

- Pitiriasis rosea

- Psoriasis

VIII. DIAGNOSIS KERJA

Morbus Hansen tipe MB

6

Page 7: Morbus Hansen Case KULKEL

IX. PENATALAKSANAAN

- Umum :

Meningkatkan kebersihan

Diet TKTP

Merawat kesehatan kulitny- Khusus

Multipel Drug Treatment (MDT)

Rifampisin 600 mg/bulan

Klofazimin (lamprene) 50 mg/hari

DDS 100 mg/hari

X. PEMERIKSAAN ANJURAN

- Pemeriksaan Bakteriologis

- Pemeriksaan Histopatologis

XI. PROGNOSIS

Dubia ad bonam

7

Page 8: Morbus Hansen Case KULKEL

DISKUSI

Pada kasus ini di diagnosis Susp. Morbus Hansen berdasarkan anamnesis dan gambaran

klinis. Dari anamnesis ditemukan bercak merah kehitaman tidak gatal yang pada awalnya

dikedua lengan kemudian menyebar keseluruh tubuh disertai dengan rasa baal atau

kesemutan pada kaki dan tangan. Gejala klinis morbus Hansen ditemukan pada kasus ini.

Pada gambaran klinis ditemukan macula eritema berukuran nummular sampai plakat

Multiple diskret generalisata sirkumskrip, papula berukuran milier sampai lentikular

Multiple generalisata sirkumskrip.

Pada test manipulasi ditemukan :

Rangsang nyeri (+), sensasi raba (+) dan belum ditemukannya deformitas, kekakuan otot

Dan penebalan saraf.

Pengobatan yang diberikan pada pasien ini menurut penulis sudah tepat dengan

Diberikannya Multi Drug Treatment (MDT) yaitu :

1. Rifampisin

2. Klofazimin (lamprene)

3. DDS (diaminodifenil sulfon)

8

Page 9: Morbus Hansen Case KULKEL

TINJAUAN PUSTAKA

KUSTA

Pendahuluan

Kusta merupakan penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kushta, dikenal

sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra ada disebut – disebut dalam Kitab Injil,

terjemahan dari bahasa Herbrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit

kulit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur,

apalagi jika dibandingkan dengan kusta yang kita kenal sekarang ini.

Definisi

Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebanya ialah Mycobacterium leprae yang

intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus

respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

Sinonim

Lepra, morbus Hansen.

Epidemiologi

Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum

diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung

antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae

masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.

Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada yang mengatakan antara

40 hari – 40 tahun.

9

Page 10: Morbus Hansen Case KULKEL

Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua, negeri dan tempat, ke benua, negeri dan

tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan

orang – orang Cina. Tetapi, mengapa distribusinya antar negara dan dalam suatu negara

itu sendiri berbeda – beda dan mengapa kusta itu menurun atau menghilang, belum jelas

benar.

Faktor – faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab, cara

penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan

dengan kerentanan, perubahan – perubahan imunitas, dan kemungkinan – kemungkinan

adanya reservoir di luar manusia. Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo

dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal – hal yang belum jelas diketahui,

sehingga masih merupakan tantang yang luas bagi para ilmuwan untuk pemecahannya.

Belum ditemukannya medium artifisial, mempersukar untuk mempelajari sifat – sifat M.

leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan danya

kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak

(sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 107,

daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar.

Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,

kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak

mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratoris atas. Tempat implantasi

tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak – anak

lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak – anak di bawah umur

14 tahun 13 %, tetapiu anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Sekarang ada usaha

mencatat penderita yang di bawah umur 1 tahun untuk dicari kemungkinan ada tidaknya

kusta kongenital.

Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25 – 35 tahun. Faktor sosial ekonomi

kiranya memegang peranan, makin rendah sosial ekonominya makin subur penyakit

kusta. Sebaliknya, faktor sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan

dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyak terdapat di daerah tropis dan subtropis yang

panas dan lembab. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. leprae yang mengakibatkan

10

Page 11: Morbus Hansen Case KULKEL

variasi gambaran klinis (spektrum dan lain – lain) di pelbagai suku bangsa, rupanya

disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda.

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena adanya ulserasi

mutilasi, dan deformita yang disebabkannya, sehingga menimbulkan masalah sosial,

psikologis dan ekonomis. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja,

tetapi juga karena masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena kerusakan syaraf besar

yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya

kerusakan yang berulang – ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot.

Kusta terdapat dimana – mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis

dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonomua rendah. Pada tahun 1990 World

Helath Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai problem kesehatan

masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1

kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta Tahun

2000 (EKT 2000).

Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85 % di

sebagian negara atau wilayah yang endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun

1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan problem

kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91 % dari jumlah kasus berda di 16

negara, dan 82 % di 5 negara (Brazil, India, Indonesia, Myanmar dan Nigeria). Di

Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang,

distribusi juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan

Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1,57.

Etiologi

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN

pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam

media artifisial. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam

dan alkohol, serta positif – Gram.

11

Page 12: Morbus Hansen Case KULKEL

Patogenesis

Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae ke dalam kaki mencir,

yang berkembang biak di sekita tempat suntikan. Ternyata tidak ada perbedaan spesies,

dari manapun bahan yang didapat, dari negeri manapun, dan dari macam lesi apapun.

Untuk tumbuhnya diperlukan jumlah minuman M. leprae yang disuntikkan dan kalau

melampaui jumlah maksimum tidak akan meningkatkan perkembang biakan.

Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iridiasi (900 r),

sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma –

granuloma penuh basil yang menyeluruh, terutama di daerah yang dingin, yaitu hidung,

kuping telinga, kaki dan ekor. Basil tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi,

berarti memenusi salah satu postulat Koch, meskipun belum sepenuhnya dapat dipenuhi.

M. leprae berpredileksi di daerah – daerah tubuh yang relatif lebih dingin. Sebenarnya

M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasif yang rendah, sebab penderita yang

mengandung kuman yang lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat,

bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat

penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda yang menggugah

timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau

progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.

Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas

infeksinya.

Gejala Klinis

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, baketrioskopis, dan histopatologis.

Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana.

Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15 – 30 menit, sedang

histapotologis memerlukan 3 – 7 hari. Kalau masih memungkinkan, baik juga dilakukan

tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat

diketahui setelah 3 – 4 minggu. tidak cukup hanya sampai diagnosis kusta saja, tetapi

perlu ditentukan tipenya, sebab penting untuk terapinya.

12

Page 13: Morbus Hansen Case KULKEL

Setelah basil M. leprae masuk ke dalam tubuh, bergantung pada kerentanan orang

tersebut, kalau tidak rentan tidak akan sakit dan sebaliknya jika rentan setelah masa

tunasnya dilampaui akan timbul gejala penyakitnya. Untuk selanjutnya tipa apa saja

yang akan terjadi bergantung pada derajat C.M.I (Cell Mediated Immunity) penderita

terhadap M. leprae yang intraseluler obligat itu. Kalau C.M.I tinggi, ke arah tuberkuloid

dan sebaliknya kalau rendah, ke arah lepromatosa.

Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar,

yakni tuberkuloid 100 %, merupakan tipe yang stabil jadi berarti tidak mungkin berubah

tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100 %, juga

merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedang tipe antara Ti dan

Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkulid dan

lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50%

lepromatosa. BB dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak

lepromatosanya. Tipe – tipe campuran ini adalah tipe yang stabil, berarti dapat bebas

beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.

Zone spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Zone Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasinya

KLASIFIKASI ZONE SPEKTRUM KUSTARidley & Jopling TT BT BB BL LLMadrid Tuberkuloid Borderline LepromatosaW.H.O Pausibasiler

(PB)Multibasiler

(MB)Puskesma PB MB

Multibasiler berarti mengandung banyak basil ialah tipe LL, BL dan BB. Sedangkan

pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT dan I. Diagnosis

banding berbagai tipe tersebut tercantum pada tabel 2 dan 3.

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler.

Yang termasuk dalam multibasiler adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley –

13

Page 14: Morbus Hansen Case KULKEL

Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan pausibaler adalah tipe I, TT

dan BT dengan IB kurang dari 2+.

Untuk kepentingan progran pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang

dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan

kulit, yaitu tipe – tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley dan Jopling. Bila pada

tipe – tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB.

Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun

klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT – MB. Hal

ini tercantum pada tabel 4.

Antara diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada kemungkinan terdapat

persamaan, mungkin pula berbeda mengenai tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis

seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan kelainan klinisi seluruh tubuh orang

tersebut. Seringkali jangan sampai hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja,

sebab ada kemungkinan diagnosis di muka lain dengan daerah badan, lengan, tungkai,

dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya,

umpamanya di sebelah kiri lain dengan sebelah kanan. Begitu pula sama dasarnya dalam

membuat diagnosis histopatologik, bergantung pada beberapa tempat dan dari tempat

mana biopsinya diambil. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai

dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana,

yaitu : jarum, kapas, tabung reaksi masing – masing dengan air panas dan es, pensil tinta,

dan sebagainya.

14

Page 15: Morbus Hansen Case KULKEL

Tabel 2 Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Kusta Multibasiler (MB)

SifatLepromatosa

(LL)Borderline

Lepromatous (BL)Mid borderline

(BB)Lesi Bentuk Makula

infiltrat difus Papul Nosud

MakulaPlakatPapul

PlakatDome-shaped (kubah)Punched-out

Jumlah Tak TerhitungPraktis tidak ada Kulit sehat

Sukar dihitungMasih ada kulit sehat

Dapat dihitung kulit sehat jelas ada

Distribusi Simetris Hampir simetris AsimetrisPermukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasarBatas Tak jelas Agak jelas Agak jelasAnestesia Tak ada sampai tak

jelasTak jelas Lebih jelas

BTALesi kulit Banyak (ada

globus)Banyak Agak banyak

Sekret hidung Banyak (ada globus)

Biasanya negatif Negatif

Tes lepromin Negatif negatif Biasanya negatif

15

Page 16: Morbus Hansen Case KULKEL

Tabel 3 Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)

SifatTuberkulid

(TT)Borderline

Tuberculoid (BT)Indeterminate

(I)Lesi Bentuk Makula saja

Makula dibatasi infiltrat

Makula dibatasi infiltratInfiltrat saja

Hanya makula

Jumlah SatuDapat beberapa

Beberapa atau satu dengan satelit

Satu atau beberapa

Distribusi Asimetris Masih asimetris Masih asimetrisPermukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus agak berkilatBatas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat

tidak jelasAnestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak

jelas

BTALesi kulit Negatif Negatif atau hanya

positif 1Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah, atau negatif

Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat tubuh.

Orang awam pun dengan mudah dapat menduga ke arah penyakit kusta. Yang penting

bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya, bakan barangkali para ahli

kecantikan dapat mendiagnosis, setidak – tidaknya dapat menduga ke arah penyakit

kusta, terutama bagi kelainan kulit yang masih berupa makula yang hipopigmentasi,

hiperpigmentasi dan eritematosa.

Kelainan kulit yang tanpa komplikasi pada penyakt kusta dapat hanya berbentuk makula

saja, infiltrat saja, atau keduanya. Haruslah berhati – hati dan buatlah diagnosis banding

denghan banyak penyakit kulit lainnya yang hampir menyerupainya, sebab penyakit

kusta ini mendapat julukan the greatest immitator dalam Ilmu Penyakit Kusta. Penyakit

kulit yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain ialah dermatofitosis,

tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dermatitis seboroikal, psoriasis,

16

Page 17: Morbus Hansen Case KULKEL

neurofibromatosis, granuloma anulare, xantomatosis, skleroderma, leukimia kutis,

tuberkulosis kutis verukosa, dan birth mark.

Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak

membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dapat

dilakukan dengan menggunakan jarum suntik terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa

raba dan kalau masih belum jelas pula dengan kedua cara tersebut barulah pengujian

terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.

Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula

tidak yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara

menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan

mengenai alopesia di daerah lesi, yang kadang – kadang dapat membantu, tetapi bagi

penderita yang pembawaan kulitnya berambut sedikit, sangat sukar menentukannya.

Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesarannya, konsistensinya,

dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf yang superfisial yang dapat dan perlu

diperiksa, yaitu antara lain N. Fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N.

medianus, N. politea lateralis, dan N. tibialis posterior. Tampaknya mudah, tetapi

memerlukan latihan dan kebiasaan untuk memeriksanya. Bagi tipe – tipe ke arah LL,

biasanya kelainan sarafnya bilateral menyeluruh, sedang bagi tipe – tipe ke arah TT,

kelainan sarafnya itu lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.

Tabel 4. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)

PB MB1. Lesi Kulit

(makula datar, papul yang meninggi, nodus)

- 1 – 5 lesi- hipopigment

asi / eritema- distribusi

tidak simetris- hilangnya

sensasi yang jelas

- > 5 lesi- distribusi lebih

simetris- hilangnya sensasi

2. Kerusakan saraf(menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)

- hanya satu cabang saraf

- banyak cabang saraf

17

Page 18: Morbus Hansen Case KULKEL

Ada pula yang disebut kusta tipe neural murni dengan tanda sebagai berikut :

- Lesi tidak dan tidak pernah ada lesi kulit

- Ada satu atau lebih pembesaran saraf

- Ada anestesia dan atau paralisis, atrofi otot pada daerah yang disarafinya

- Bakterioskopik negatif

- Tes Mistsuda umumnya positif

- Untuk menentukan diagnosisnya sampai ke tipenya, yang biasanya tiope

tuberkulopid, borderline atau nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan secara

histopatologik

Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologisnya, dapat dibagi dalam deformitas

primer dan sekunder. Yang primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang

terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae yang mendesak dan merusak jaringan di

sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratoris atas, tulang – tulang jari dan muka.

Yang sekunder sebagai akibat kerusakan saraf. Umumnya deformitas oleh karena

keduanya, tetapi terutama oleh yang sekunder.

Gejala – gejala kerusakan saraf :

N. fasialis :

- Lagoftalmus

N. ulnaris :

- Anestesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis

- Clawing kelingking dan jari manis

- Atrofi hipotenar dan otot interoseus dorsalis pertama

N. radialis :

- Anestesia dorsum manus

- Tangan gantung (wrist drip)

- Tak mampu ekstensi jari – jari atau pergelangan tangan

N. poplitea lateralis :

- Kaki gantung (foot drop)

18

Page 19: Morbus Hansen Case KULKEL

N. tibialis posterior :

- Anestesia telapak kaki

- Claw toes

Apabila lebih dari satu saraf terkena, kita tinggal menggabungkan gejala – gejala

tersebut.

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan

alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.

Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N.

orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang

selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendiri –

sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar

palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.

Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan

hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.

Untuk dapat membuat diagnosis klinis sampai pada tipe – tipenya perlu diketahui terlebih

dahulu cara membuat diagnosis kedua bentuk pola TT dan LL yang akan diuraikan secara

skematis pada tabel 1.

Bentuk – bentuk campuran mempunyai sifat – sifat antara kedua bentuk polar tersebut.

Kusta Histoid

Kusta macam ini merupakan variasi lesi pada tipe lepromatosa yang pertama

dikemukakan oleh WADE pada tahun 1963. Berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat

juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus

relapse sensitif atau relapse resisten. Dapat juga timbul pada yang belum dan yang

sedang dalam pengobatan.

19

Page 20: Morbus Hansen Case KULKEL

Pembantu Diagnosis

1. Pemeriksaan Bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan

pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang

diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL

NEEL – SEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang

tersebut tidak mengandung M. leprae.

Pertama – tama kita harus memilih tempat – tempat di kulit yang diharapkan paling

padat oleh basil, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempay yang akan

diambil. Soal jumlah ini juga ditentukan oleh tujuannya, untuk riset atau rutin.

Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6

tempat, yaitu kedua kuping telinga bagian bawah dan 2 – 4 tempat lain yang paling

aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua telinga

tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas

dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung basil paling banyak.

Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan

kemudian di tempat yang sama pada pengamatan pengobartan untuk dibandingkan

hasilnya.

Cara pengambilan bahwa dengan menggunakan skalpel steril. Setelah tempat

tersebut didesinfeksikan, lalu diusahakan agar tempat tersebut, dengan jalan dipijit,

menjadi iskemik agar kerokan jaringan mengandung sesedikit mungkin darah yang

akan menggangu gambaran sediaa. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis

melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak

mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M. leprae.

Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai

dengan pewarnaan yang klasik, yaitu Ziehl Neelsen. Untuk pewaraan ini dapat

digunakan modifikasi Ziehl Neelsen dan cara – cara lain dengan segala kelebihan dan

kekurangannya disesuaikan dengan keadaan setempat.

20

Page 21: Morbus Hansen Case KULKEL

Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan paling

pagi yang ditampung pada sehelai plastik. Perhatikan sifat duh tubuh (discharge)

tersebut, apakah cair seours bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah atau

tidal. Sediaan dapat dibuat langsung atau plastik tersebut dilipat dan dikirim ke

laboratorium. Dengan kapas lidi bahan dioleskan merata pada gelas alas, fiksasi

harus pada hari yang sama, pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama.

Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel

kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil dari serah

septumnasi, selanjutnya dikerjakan seperti biasa. Umumnya sediaan kulit lebih rutin

daripada sediaan mukosa hidung oleh karena pada sediaan mukosa hidung :

- Kemungkinan adanya mikrobakteria atipikal

- M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif

M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan.

Dibedakan bentuk batang tubuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran

(granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular bentuk

mati. Secara teori penting untuk membedakan antara bentuk solid dan non solid,

berarti membedakan antara yang hidup dan yang mati, sebab bentuk yang hidup

itulah yang lebih berbahaya, karena dapat berkembangbiak dan dapat menularkan ke

orang lain. Dalam praktek sukar sekali menentukan solid dan non solid oleh karena

dipengaruhi oleh banyak macam faktor.

Sejak pengambilan bahan kerokan jaringan sampai selesai menjadi sediaan,

perlengkapan laboratorium, siapa yang mengerjakannya, yang melihat dan yang

menginterprestasikan sediaan, akan menentukan mutu hasil bakterioskopik.

Meskipun sudah ada ketetuan, patokan – patokan solid dan nonsolid, interpretasi

yang melihat itulah yang dapat menimbulkan perbedaan. Andaikata ada satu sediaan

dilihat oleh dua atau beberapa orang, besar kemungkinan akan memberikan hasil

yang berbeda antara satu dengan yang lain, sampai – sampai ada suatu institut yang

terkenal dan termasuk yang tertua di dunia tidak berani membedakan antara solid dan

non solid. Contoh lain antara dua tokoh dunia lepra yang paling menonjol pada saat

21

Page 22: Morbus Hansen Case KULKEL

ini yaitu SHEPARD dan RESS. Mereka selalu ada perbedaan interprestasi,

perbedaan hasil pengamatan sediaan yang sama antara solid dan nonsolid.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan

dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6 + menurut

RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandangan (LP)

1 + bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2 + bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3 + bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4 + bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5 + bila 101 – 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

6 + bila > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Semuanya dilihat dengan mikroskop cahaya dengan minyak emersi. IB seseorang

adalah IB rata – rata semua emusi yang dibuat sediaan.

Indeks Morfologi (IM) adalah prosentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah

solid dan non solid.

Rumus

Syarat – perhitungan IM :

- Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

- IB 1 + tidak usah dibuat IM nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari

dalam 1000 sampai 10.000 lapangan.

- Mulai dari IB 3 + ke atas harus dicari IM nya, sebab dengan IB 3 + hanya

maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.

22

Page 23: Morbus Hansen Case KULKEL

Contoh perhitungan IB dan IM

Tempat Pengambilan

IB Solid Nonsolid IM

Telinga kiri 4 + 9 91 9 %Telinga kanan

3 + 8 92 8 %

Ujung jari tangan kiri

1 + - 5 -

Ujung jari tangan kanan

2 + 1 22 1/23

Lesi I 3 + 7 93 7 %Lesi II 5 + 8 92 8 %

18 33 395

Ada pendapat, bahwa jika semua BTA kurang dari 100, dapat pula dibuat IM nya,

tetapi tidak dinyatakan dalam % tetap dalam pecahan yang tidak boleh diperkecil

atau diperbesar. Sebagai contoh umpanya solid ada 4, nonsolid ada 44, maka IM 4 :

48.

Sebaiknya diadakan standarisasi pembuatan sediaan dan pengamatan sediaan antara

orang – orang selaboratorium, antar laboratorium, nasional maupun internasional.

Pada tindak lanjut penderita secara bakterioskopik sebaiknya dilakukan oleh

laboratorium dan orang – orang yang sama pula, agar keobyektifannya dapat

dipertahankan. Standarisasi IB masih dapat dilaksanakan, tetapi untuk IM sangat

sulit, bahkan ada yang berpendapat tidak mungkin.

2. Pemeriksaan Histopatolok

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang

mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel

23

Page 24: Morbus Hansen Case KULKEL

glia dari otak, dan yang dari kulit yang disebut histiosit. Salah satu tugas makrofas

adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M. leprae) masuk, akibatnya akan

bergantung pada Sistem Imunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila SIS nya tinggi

makrofag akan mampu memfagositosis M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat

kuman itu oleh karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau

datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus di pagositosis, makrofag itu akan

berubah bentuk menjadi sel epitoloid yang tidak dapat bergerak lagi dan akan dapat

berubah lagi menjadi sel datia Langhans. Adanya masa epitoloid yang berlebihan

dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama

kerusakan jaringan dan cacat. Bagi yang SIS nya rendah atau lumpuh, histiosit

bukannya menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan

tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan

sebagai alat pengangkut penyebar luasan.

Granduloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat – derivatnya. Gambaran

histopatologik bagi tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan sarag yang lebih

nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Bagi lempromatosa terdapat

kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), ialah suatu daerah langsung

dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik, ada sel virchow dengan banyak

basil. Bagi tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut. Agar lebih jelas

lihat tabel 5 di bawah ini.

Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang

sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi, dan

klasifikasi masih bermacam – macam. Mengenai pstofidiologinya yang belum jelas itu

akan diterangkan secara imunologik.

Reaksi imun itu dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reasksi

imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya. Dalam klarifikasi yang

beramacam-macam itu, kita mengambil yang tampaknya paling banyak dianut pada akhir

akhir ini, yaitu :

24

Page 25: Morbus Hansen Case KULKEL

- E.N.L. (eriterma nodususm leprosum)

- Reaksi reserval atau reaksi upgrading

E.N.L. terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti

makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L.

Tabel 5. Karakteristik Berbagai Tipe Kusta Menurut Klasifikasi Ridley-Jopoling

TipeTT

BT BB BLLL

TT Ti Li LLReaksi lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -Stabilitas imunologik ++ + - + ++Reaksi Borderline - + ++ + -E.N.L - - - - - + +Basil dalam hidung - - - - + ++ ++Basil dalam granuloma 0 0-1+ 1+-3+ 3-4+ 4-5+ 5-6+ 5-6+Sel epiteloid + + + + - - -Sel datia Langhans +++ ++ + - - - -Globi - - - - - + +Sel busa (sel Virchow) - - - - + ++ +++Limfosit +++ +++ ++ + + +/ Infiltrasi zone sub epidermal + + +/- - - - -Kerusakan saraf ++ +++ ++ + + -

Imunopatologis E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa fenomen kompleks imun

akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibodi (IgM, IgG) + komplemen kompleks

imun, tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi Arthus, tetapi sebenarnya E.N.L tetap

merupakan fenomen unik, tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan penyakit lain.

Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka E.N.L termasuk di dalam golongan

penyakit kompleks imun. Oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik,

maka dapat dibentuk antibodinya. Ternyata bahwa kadar imunoglobulin penderita kusta

lebih tinggi daripada orang sehat dan kadar pada tipe lepromatosa jumlah basilnya jauh

lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan

tahun kedua.

Pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang

dilepaskan dan bereaksi dengan antibodinya serta mengaktifkan sistem komplemen

25

Page 26: Morbus Hansen Case KULKEL

membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut harus beredar dalam sirkulasi darah

yang akhirnya dapat menyangkut dalam berbagai organ.

Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus, eritema dan nyeri dengan tempat

predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai mata akan menimbulkan gejala

iridoksiklitis, pada saraf perifer gejala neuritis akut, pada kalenjar getah bening gejala

limfadenitis, pada sendi gejala artritis, pada testis gejala orkitis dan pada ginjal

menimbulkan gejala nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. E.N.L dapat disertai

gejala kosntitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.

Perlu ditegaskan bahwa pada E.N.L tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan

reaksi revversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti)

sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam halini

adalah SIS, yaitu oleh karena peningkatan mendadak SiS. Meskipun faktor pencetusnya

belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi

hipersensitivitas tipe lambat. Adanya reaksi peradangan pada tempat – tempat yang

ada M. leprae, yaitu pada saraf (neuritis) dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6

bulan pertama. Neuritis akut tersebut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara

mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Seperti pernah

diterangkan terdahulu, bahwa yang menentukan tipe penyakitnya adalah SIS. Tipe – tipe

yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT dan LL dengan mengikuti

naik turunnya SIS sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu

pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS,

hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.

Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi lepra, akhir – akhir ini sudah hampir tidak

terdengar lagi, tetapi pemakaiannya hanya untuk menunjukkan pergeseran ke arah LL

masih tetap berlaku, berarti bergerak tidak secara reaksi, tidak secara cepat, tetapi lambat

saja.

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagaian atau seluruh lesi yang telah ada

bertambah aktif dan atau timbul lesi bari dalam waktu yang relatif singkat, artinya lesi

26

Page 27: Morbus Hansen Case KULKEL

hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula

menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.

Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut

penting diperhatikan, oleh karena sangat menentukan pada pemberian pengobatan dengan

kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pengobatan dengan kortikosteroid adalah

fakultatif.

Kalau kita perhatikan kembali kedua macam reaksi E.N.L dan reversal itu dari segi lesi,

E.N.L dengan lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, barangkali tidak ada

salahnya kalau E.N.L disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah

reaksi non-nodular. Hal ini barangkali penting membantu menegakkan diagnosa reaksi

atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus, kalau ada berarti nodular atau E.N.L, jika

tidak ada berarti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline.

Pengobatan

Obat anti kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil

sulfon) lalu Klofazimin dan Rifampisin. DDS mulai dipakai sejak 1948 dan pada tahun

1952 di Indonesia. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh BROWN dan HOGERZEIL dan

Rifampisin sejak tahun 1970. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotika

lain untuk pengobatan alternatif, yaitu Okfloksasin, Minosiklin dan Klaritromisin.

Berbeda dengan pengobatan tuberkulosis, yang sudah lebih dahulu dan telah

melaksanakan tindakan untuk mencegah kemungkinan timbulnya resistensi dengan jalan

pengobatan kombinasi atau Multi Drug Treatment (MDT), yaitu sejak 1951. MDT

pada kusta baru dimulai pada tahun 1971 yang berarti MDT kusta telah tertinggal 20

tahun dari MDT tuberkulosis.

Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang kita laksanakan di Indonesia

sesuai dengan rekomendasi WHO dengan alternatifnya sejalan dengan kebutuhan dan

kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, oleh karena DDS ini

adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai

dengan para penderita yang ada di negara berkembang yang sosial ekonominya rendah.

27

Page 28: Morbus Hansen Case KULKEL

DDS

Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan secara monoterapi.

Pada tahun 1960 SHEPARD berhasil melakukan inokulasi M. leprae ke dalam telapak

kaki mencit. Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan inokulasi adanya

resistensi terhadap DDS oleh PETTIT dan REES, disusul secara beruntun pembuktian

adanya resistensi yang meningkat di berbagai negara. Dengan adanya pembuktian –

pembuktian resistensi tersebut berubahlah pola berpikir dan tindakan kemoterapi kusta

ialah dari monoterapi ke MDT.

Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan,yaitu relaps sensitif

(persistent) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif secara klinis, bakterioskopik,

histopatologik dapat dinyatakan, penyakit sekonyong – konyong aktif kembali dengan

timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi, ternyata bahwa M. leprae

masih sensitif terhadap DDS dengan pembuktian secara pengobatan dan inokulasi

mencit. M. leprae yang tadinya dorman, sleeping atau persistent bangun dan aktif

kembali. Pada pengobatan sebelumnya, basil yang dorman itu sukar dihancurkan dengan

obat atau MDT apapun.

Pada relaps resisten dengan gejala klinis, bakterioskopik dan histopatologik yang khas,

dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan inokulasi mencit, bahwa M. leprae

resisten terhadap DDS. Cara pembuktiannya ialah dengan percobaan pengobatan dengan

DDS 100 mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis,

bakterioskopik dan histapatologik. Apabila fasilitas mengizinkan, pembuktian yang

paling menentukan adalah inokulasi mencit, sekaligus menentukan gradasi resistensinya

dari yang rendah, sedang sampai yang tinggi. Inokulasi mencit di Indonesia, baru dapat

dilaksanakan pada tahun 1980 di Bagian Mikrobiologi FKUI Jakarta.

Resistensi terhadap DDS ada yang sekunder dan ada yang primer. Resistensi sekunder

terjadi oleh karena :

Monoterapi DDS

Dosis terlalu rendah

Memakan obat tidak teratur

28

Page 29: Morbus Hansen Case KULKEL

Pengobatan terlalu lama,setelah 4 – 24 tahun

Hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar, oleh karena SIS

penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat.

Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten yang

manifestasinya dapat dalam segala tipe (TT, BT, BB, BL, LL) bergantung pada SIS

penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang

lebih tinggi, sedang pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.

Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk :

Mencegah dan mengobati resistensi

Memperpendek masa pengobatan

Mempercepat pemutusan mata rantai penularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain :

Efek terapeutik obat

Efek samping obat

Harga obat

Kemungkinan penerapannya

Kalau kombinasinya terlalu kompleks, terlalu mahal, tidak dapat dilaksanakan dan

sebaliknya jika kombinasinya terlalu sederhana dan terlalu murah, akan mengundang

resistensi baru. Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah

dengan obat - obat lain. Dosis DDS ialah 1 – 2 mg/kg berat badan setiap hari.

Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia

hermolitik, leukopenia, insomnia, neoripatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal

toksik, hepatitis, hipoalbuminemia dan methemoglobinemia.

Rifampisin

Rifampisin adalah obat yang menjadi salag satu komponen kombinasi dengan DDS

dengan dosis 10 mg/kg berat badan ; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin

tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan

29

Page 30: Morbus Hansen Case KULKEL

terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh

diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.

Ditemukan dan dipakai sebagai obat antituberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai obat

kusta pada tahun 1970 oleh REES dkk., LEIKER dan KAM. Resistensi pertama terhadap

M. leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh JACOBSON dan HASTINGS.

Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala

gastrointestinal, flu-like syndrom dan erupsi kulit.

Klofazimin (Lamprene)

Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh BROWN dan

HOOGERZEIL. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang

sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat

dipakai pada penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi. Resistensi pertama pada

satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.

Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera,

sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin ialah at warna dan

tertimbun di tempat tersebut. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering

merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek sampingnya hanya terjadi

dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, nausea, diare,

anoreksi dan vomitus). Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. Dapat juga

tertimbun di hati. Perubahan warna tersebut akan menghilang setelah obat dihentikan.

Protionamid / Etionamid

Dosisnya 5 – 10 mg/kg berat badan setiap hari, untuk Indonesia obat ini tidak atau jarang

dipakai.

Mengenai beberapa sifat lebih lanjut obat – obat tersebut dapat dilihat pada Tabel 10-6.

Oleh karena distribusi klofazimin dalam jaringan tidak merata MIC nya sukar dicari.

Tabel 10-6. MIC Berbagai Obat Antilepra

30

Page 31: Morbus Hansen Case KULKEL

ObatMIC

Ug/mlDosisMg

Rasio Serum Puncak MIC

Lamanya Konsentrasi Serum

Lampaui MIC (Hari)

Aktivitas Bakterisidal

Rifampisin 0.3 600 30 1 +++DDS 0.003 100 500 10 +Acedapson 0.003 225 15 200 -Etionamid 0.05 375 60 1 ++Protionamid 0.05 375 460 1 ++Klofazimin - 50/100 - - +

Obat Alternatif

Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium

leprae in viro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam

22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek

sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan

susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizzines, nervousness dan

halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak

membutuhkan penghentian pemakaian obat.

Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus secara hati-hati, karena

pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati.

Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tertrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada

klaritomisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. Efek

sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang mengenai kulit

dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk

dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama

kehamilan.

31

Page 32: Morbus Hansen Case KULKEL

Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotika makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal

terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta

lepromatosa dosis harian 500 mg membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari, lebih dari

99,99% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti

sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.

MDT dengan beberapa alternatifnya telah ditetapkan pada Rapat Konsultasi Kusta

Nasional (RKKN) yang kiranya sesuai dan dapat diterapkan di Indonesia.

1. MBT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) adalah

:

- Rifampisin 600 mg setiap bulan

- DDS 100 mg setiap hari

- Klofazimin : 300 mg setiap bulan, diteruskan 50 mg sehari atau 3 x 100

setiap Minggu

Kombianasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopis

harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan

sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara

klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Jadi besar

kemungkinan pengobatan kusta multibasilar ini hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal

ini adalah waktu yang relatif sangat singkat dan dengan batasan waktu yang tegas,

jika dibandingkan dengan cara sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10

tahun sampai seumur hidup.

Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Trearment (RFT). Setelah

RFT dilakukan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan

bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau bakterioskopis

tetap negatif dan klinis tidak ada keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari

pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).

32

Page 33: Morbus Hansen Case KULKEL

2. MDT untuk pausibasiliar (I, TT, BT) adalah rifampisin 600 mg setiap bulan dan DDS

100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT

setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan klinis setiap bulan dan

bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan

minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak

ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan

RFC.

Pada tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksanaan RFT dan RFC, tetapi

penderita dinyatakan sembuh, apabila kasus MB telah mendapat 24 dosis dalam 24 –

36 bulan dan kasus PB telah mendapat 6 dosis dalam 6 – 9 bulan.

Karena fasilitas pemeriksaan bakterioskopik tidak selalu tersedia dan hasilnya

seringkali meragukan, klasifikasi penderita dilakukan berdasarkan gambaran

klinisnya. Kriteria ini berbeda dari program ke program, tetapi pada umumnya

berdasarkan jumlah lesi, terutama lesi kulit, dan jumlah daerah tubuh yang terkena.

Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta

dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasiler dengan lesi tunggal, pausibasiler dengan

lesi 2-5 buah, dan penderita multibasiler dengan lesi lebih dari 5 buah (lihat tabel 10-

4).

Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah

memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12 – 18

bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2 – 5 buah tetap 6

dosis dalam 6 – 9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah

Rifampisin 600 mg ditambah dengan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.

Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena pelbagai alasan, WHO

Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.

Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan

DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu pengobatannya dengan

klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg / 500 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari

33

Page 34: Morbus Hansen Case KULKEL

selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau

minosiklin 100 mg setiap hari selama 18 bulan.

Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg ditambah

dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama

24 bulan.

Pengobatan E.N.L

Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison.

Dosinya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,

kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila

reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya

diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Perhatikan kontraindikasi

pemakaian kortikosteroid. Kalau perlu dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan

sedativa atau penderita dirawat inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap

kortikosteroid, yang artinya bahwa E.N.L. akan timbul kalau obat tersebut dihentikan

atau diturunkan pada dosis tertentu, jadi penderita ini harus makan kortikosteroid terus-

menerus.

Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus

berhati-hati oleh karena obat ini teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada orang

hamil atau masa subur. Sayang di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak

diproduksi lagi.

Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-E.N.L., tetapi

dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat

makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat

daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan

perbaikan E.N.L. keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk

melepaskan dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak

dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah

kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi, untung masih bersifat reversibel, meskipun

34

Page 35: Morbus Hansen Case KULKEL

menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak

begitu lazim dipakai. Selama penaggulangan E.N.L. ini, obat-obat antikusta yang sedang

diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.

Pengobatan Reaksi Reversal

Perlu diperhatikan, apabila reaksi ini disertai neuritis akut atau tidak. Sebab kalau tanpa

neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat

pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat

ringannya neurits, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 15-

30 mg sehari, kemudian diturunkan dosisnya perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-

cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf

secara mendadak. Ketergantungan kortikosteroid tidak terdapat. Anggota gerak yang

terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat

diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau

tidak pernah dipakai, begitu juga thalidomid tidak efektif teradap reaksi reversal.

Pencegahan Cacat

Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT berada dalam

resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta,

terutama reaksi reversal, penderita dengan lesi kulit multipel dan penderita dengan saraf

yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut.

Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas atau kekuatan otot.

Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan

otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak nyeri, lepuh kulit atau hanya

berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan sukarnya

melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen

atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut harus

diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan,

sebab pengobatan ini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan menjadi

berkanjut.

35

Page 36: Morbus Hansen Case KULKEL

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau Prevention of disabilities (POD)

adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dengan pengobatan MDT yang cepat

dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai

gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila

terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai

sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja

dengan benda yang tajam atau hangat, dan memakai kacamata untuk melindungi

matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai

dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki

direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah-pecah.

Who Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical

Report Series No. 607 – 1977 telah membuat kalsifikasi cacat bagi penderita kusta. Hal

ini terlihat pada tabel 7.

36

Page 37: Morbus Hansen Case KULKEL

Rehabilitasi

Usaha rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk cacat tubuhnya ialah antara lain medis,

yaitu dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke

asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.

Jalan lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat

tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa harga dirinya. Jalan

lain lagi ialah melalui kejiwaan.

Tabel 7. Klasifikasi Cacat

Cacat pada tangan dan kaki

Tingkat 0 : Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas

yang terlihat

Tingkat 1 : Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang

terlihat

Tingkat 2 : Terdapat kerusakan atau deformitas

37

Page 38: Morbus Hansen Case KULKEL

Cacat pada mata

Tingkat 0 : Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta : tidak ada gangguan

penglihatan

Tingkat 1 : Ada gangguan pada mata akibat kusta ; tidak ada gangguan yang

berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung

jari pada jarak 6 meter)

Tingkat 2 : Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60 ; tidak dapat

menghitung jari pada jarak 6 meter).

38

Page 39: Morbus Hansen Case KULKEL

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 2003. Sikap Manusia Teori dan pengukurannya. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta

Depkes RI. 1999a. Indonesia Sehat 2010. Depkes RI. Jakarta.

Depkes RI, 2002b. Buku Panduan Pelaksanaan Program P2 Kusta Bagi Unit Pelayanan Kesehata. Dit. Jen PPM & PL. Jakarta.

Depkes RI , 2002c. Buku Pedoman Pemberantasan Program P2 Kusta. Dit. Jen PPM & PLP. Jakarta.

Depkes RI , 2005d. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta..

Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Utara , 2008. Laporan Data Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Utara. Buranga.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2008. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.

Hasibuan. T,W.A. Kadri. Epidemiologi Kusta dan Program Pemberantasan Penyakit Kusta ; Berita Epidemiologi “Buletin Epidemiological” Edisi Mei 1990, Ditjen. Jakarta.

Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya.

Nadesul, H. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit. Puspa Swara. Jakarta.

Nasri, N. 1997a. Dasar Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta.

Nasri, N. 2000b. Dasar Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta.

Ngatimin, Rusli. 2002. Diktat Kuliah Ilmu Perilaku Kesehatan. Yayasan PK3. Makasar.Notoatmodjo,S.a, 1989. Pengantar Pendidikan dan Imu Perilaku Kesehatan. CV.

Rajawali. Jakarta.

Notoatmodjo,S.b, 1993. Pengantar Pendidikan dan Imu Perilaku Kesehatan. Andi Offset. Yogyakarta.

39

Page 40: Morbus Hansen Case KULKEL

40