Polikistik Ovarium.doc

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan kompleks endokrin dan metabolik yang ditandai dengan adanya anovulasi kronik dan atau hiperandrogenisme yang diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium dan bukan oleh sebab lain. Pertama kali diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal (1935) dalam bentuk penyakit ovarium polikistik (polycyctic ovary disease/PCO/Stein-Leventhal Syndrome), dimana gambaran dari sindroma ini terdiri dari polikistik ovarium bilateral dan terdapat gejala ketidakteraturan menstruasi sampai amenorea, riwayat infertil, hirsutisme, retardasi pertumbuhan payudara dan kegemukan. Sindroma ini dicirikan dengan sekresi gonadotropin yang tidak sesuai, hiperandrogenemia, peningkatan konversi perifer dari androgen menjadi estrogen, anovulasi kronik, dan ovarium yang skerokistik dengan demikian sindroma ini merupakan 1 dari penyebab paling umum dari infertilitas.

Dalam perkembangannya manifestasi dari sindroma ini menjadi lebih kompleks. Sindroma ini dapat disertai atau tanpa adanya kelainan morfologi di ovarium. Stephen dkk mendapatkan sebanyak 75% wanita dengan ovarium polikistik mengalami menstruasi yang tidak teratur. Peneliti lain mendapatkan dari 350 wanita dengan hirsutisme hanya 50% memiliki ovarium polikistik dengan siklus tidak teratur. Sebaliknya Fox mendapatkan 14% wanita dengan hirsutisme dan oligomenorea tidak dijumpai adanya peningkatan jumlah folikel pada pemeriksaan USG. Sementara dengan Pache dkk mendapatkan 50% wanita dengan SOPK secara klinis mempunyai ovarium yang normal. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang tetap antara gambaran klinis dan perubahan histologis ovarium. Dengan demikian maka sindroma Stein-Leventhal hanya merupakan bagian dari spektrum yang luas dengan kondisi klinik berbeda yang berhubungan dengan kista ovarium, yang mempunyai konotasi sedikit terbatas.

Penelitian Burghen dkk (1980) menunjukkan korelasi linear positif antara hiperandrogenisme dan hiperinsulinemia pada wanita obese dengan SOPK dan jangka panjang wanita dengan SOPK mempunyai resiko yang meningkat menderita hipertensi, diabetes maupun penyakit kardiovaskuler. Kenyataan ini menunjukkan bahwa saat ini spektrum klinik dari OPK lebih luas dari pada saat pertama kali diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935. Kelainan dari patofisiologi yang mendasari hingga saat ini masih belum diketahui, akan tetapi sindroma ini berhubungan dengan keadaan resistensi insulin, hiperandrogenisme dan perubahan dinamis dari hormon gonadotropin.

Oleh karena SOPK sering menunjukkan beragam manifestasi klinis maka pemahaman gejala klinis sangat penting sehingga diagnosis dapat ditegakkan seakurat mungkin, dengan demikian penatalaksanaan yang diberikan dapat serasional mungkin dan bermanfaat baik secara medikamentosa ataupun operatif.

.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Sindroma ovarium polikistik merupakan serangkaian gejala yang dihubungkan dengan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan dengan kelainan endokrin dan metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit primer pada kelenjar hipofise atau adrenal yang mendasari. Anovulasi kronik terjadi akibat kelainan sekresi gonadotropin sebagai akibat dari kelainan sentral dimana terjadi peningkatan frekuensi dan amplitudo pulsasi GnRH dengan akibat terjadi peningkatan kadar LH serum dan peningkatan rasio LH/ FSH serta androgen. Hiperandrogenisme secara klinis dapat ditandai dengan hirsutisme, timbulnya jerawat (akne), alopesia akibat androgen dan naiknya konsentrasi serum androgen khususnya testosteron dan androstenedion. Sedangkan kelainan metabolik berhubungan dengan timbulnya keadaan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik. Setiap keadaan yang menyebabkan anovulasi persisten dapat menyebabkan perubahan bentuk polikistik pada ovarium. Pada keadaan anovulasi yang terus menerus, terjadi perubahan kadar hormon yang sebelumnya fluktuaktif menjadi relatif menetap atau steady sate.

B. EPIDEMIOLOGI Prevalensi sindroma ovarium polikistik diperkirakan sebanyak 5-10%. Pada suatu penelitian terhadap 175 wanita yang mengalami anovulasi yang datang ke klinik reproduksi, 30% wanita amenore dan 75% wanita dengan oligomenorea menunjukkan gambaran ovarium polikistik. Lebih dari 60% dari wanita-wanita ini hirsutisme dan 90% mempunyai konsentrasi LH atau androgen yang meningkat.4

Data epidemiologis SOPK sangat variabel karena kriteria diagnosis yang dapat diterima bervariasi. Studi berdasarkan ultrasonografi untuk mengidentifikasi adanya ovarium polikistik melaporkan bahwa SOPK mempunyai prevalensi 21-22% diantara wanita yang dipilih secara acak. Dua buah studi mendapatkan prevalen SOPK dengan berdasarkan oligomenore dan hiperandrogen sebesar 4,6% dengan rentang sekitar 3,4-11,2%. Penelitian oleh Knochenhauer dkk yang mendasarkan pada etnisitas menemukan tidak adanya perbedaan yang bermakna pada ras kulit hitam dan putih di Amerika Serikat, dengan prevalensi sekitar 4%. 5 Demikian pula Diamanti-Kandarkis menemukan prevalensi 6,8% dan 6,5% di pulau Greek Lesbos dan diantara wanita kaukasian di Madrid Spanyol.6 Gejala klinis, frekuensi obesitas, resistensi insulin dan insiden diabetes mellitus pada SOPK juga terbukti bervariasi secara bermakna di antara kelompok etnis.7,8,9Data-data yang terbaru menunjukkan SOPK berakibat risiko penyakit jangka panjang. Kondisikondisi yang dihubungkan dengan SOPK termasuk diabetes mellitus tipe 2, hiperkolesterolemia, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus gestasional, hipertensi yang ditimbulkan oleh kehamilan, dan kanker endometrial. Data penelitian terbaru menunjukkan adanya hubungan antara SOPK dengan kanker payudara dan kanker ovarium.2,10 Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan endokrin yang paling sering terjadi pada wanita usia reproduktif. Definisi klinis dari SOPK yang paling banyak disetujui adalah terdapatnya hiperandrogenisme yang berhubungan dengan anovulasi kronik pada wanita tanpa adanya kelainan dasar spesifik pada adrenal atau kelenjar hipofisa. Gejala klinis yang terdapat pada syndroma ini adalah siklus menstruasi yang iregular (oligomenore dan amenore) dan gejala kelebihan androgen (hirsutisme, jerawat dan alopesia).1,2Beberapa gejala lain yang timbul dengan berbagai frekuensi adalah obesitas, akantosis nigrikan dan ovarium polikistik. Lebih dari 65% wanita dengan SOPK mempunyai indek masa tubuh lebih dari 27. Distribusi lemak sama dengan kelainan metabolik seperti hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin, atau intoleransi glukosa. Hampir seluruh wanita tersebut menyatakan pertambahan berat badan yang bermakna muncul pada pertengahan belasan tahun dan awal usia 20 tahun. Obesitas nampaknya mengakibatkan kelainan metabolik lain, hal ini dibuktikan dengan terjadinya penurunan resistensi insulin dan penyembuhan siklus menstruasi setelah pengurangan berat badan. Sebuah studi lain membuktikan pengurangan berat badan 10-15 % akan menyebabkan konsepsi spontan pada 75% kasus SOPK. Akantosis nigrikan timbul oleh karenan stimulasi insulin pada lapisan basal epidermis, dan terjadi 2-5 % wanita dengan hirsutisme. Ovarium polikistik, adalah ovariumBGY6a5 dengan folikular kista yang multipel dan kecil (< 10mm), mengelilingi stroma. Terdapat pada 16-25% wanita normal dan pada wanita amenora dengan etiologi yang lain. Hampir 80% wanita dengan hiperandrogenemia mempunyai ovarium polikistik, namun hal ini bisa tidak muncul pada wanita yang menggunakan obat kontrasepsi oral, agen sensisitasi insulin, atau bentuk lain supresi ovarium.1,2,3 C. ETIOLOGI1.Resistensi insulin2. Hiperandrogenemia3. Kelainan produksi hormon gonadotropin4. Disregulasi P450 c 17Defek gen pembentuk P450 c 17, yang mengkode aktivitas 17-hidroksilase dan 17,20-lyase.5. GenetikAda kecenderungan penurunan sifat secara autosomal dominanD. KONSEP PATOFISIOLOGI5

Patofisiologi dari SOPK sangat komplek, dan walaupun faktor-faktor yang menginisiasinya belumlah sepenuhnya dimengerti, karakteristik gangguan endokrin dari SOPK sekali terjadi maka akan berlangsung terus menerus. Temuan utama adalah peningkatan tonik dari kadar LH serum dan FSH yang rendah atau normal. Selain itu dijumpai pula peningkatan kadar androgen. Kelainan metabolik berupa hiperinsulinemia dan resistensi insulin ikut berperan dalam timbulnya SOPK.

1. Kelainan neuro endokrinUntuk mengetahui patofisiologi terjadinya anovulasi, perlu telebih dahulu mengetahui mekanisme terjadinya ovulasi normal. Ovulasi normal merupakan suatu proses kejadian yang sangat kompleks, menyangkut interaksi berbagai organ neuroimunoendokrin yang akhirnya secara teratur menghasilkan ovum yang dapat dibuahi. Secara garis besar, proses terjadinya ovulasi melibatkan susunan saraf pusat suprahipotalamus, hipofisis, dan ovarium sebagai organ target.

LH menstimulasi sel-sel teka interna folikel untuk memproduksi androstenedion, yang dikonversi di perifer, utamanya di dalam jaringan lemak, menjadi estron (E1), dan testoteron dalam jumlah yang lebih sedikit meningkat; berlawanan dengan pasien-pasien dengan hipertekosis. Kadar estradiol (E2) tetap normal atau sedikit dibawah normal, yang menyebabkan peningkatan rasio E1/E2. Peningkatan kadar E1, dan pada beberapa pasien akan meningkatkan sekresi dari inhibinm-F suatu peptida nonsterois yang dihasilkan oleh sel-sel granulosa, akan menghambat sekresi FSH. Peningkatan rasio LH/FSH merupakan temuan yang khas pada PCO. Peningkatan estrogen yang bersirkulasi tampaknya akan meningkatkan sekresi dari Luteinizing hormone relasing factor (LHRF) dan mempertinggi sensitifitas sel-sel pituitari yang memproduksi LH terhadap LHRF. Produksi estrogen ovarium pada pasien PCO secara nyata berkurang seperti dari jaringan ovarium, mungkin karena inaktivasi dari sistem aromatese FSH dependent pada sel-sel granulosa. Sintesis estrogen intrafolikel, dan peningkatan rasio LH/FSH akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan folikel pada stadium midantral, terjadi anovulasi, dan ovarium yang sklerokistik. Sejumlah kelainan akan menyebabkan hiperestronemia dan perubahan sekresi gonadotropin secara potensial berperan dalam inisiasi atau terjadinya PCO yang rerus menerus. 2. Hiperandrogenisme

Kelebihan androgen adrenal Kontribusi adrenal pada pool androgen meningkat pada banyak pasien PCO, sebagaimana dimanifestasikan dengan peningkatan kadar dehydroepiandrosterone sulphate (DHES) adrenal androgen dan respons androgen adrenal yang abnormal terhadap adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan metapion. Pengaruh androgen yang berlebihan serta mekanisme kerjanya sebagai berikut :

Sentral Peningkatan kadar androgen dalam darah terutama akan mengganggu gonadostat di hipotalamus dan akan menekan GnRH. Akibatnya adalah terganggunya perkembangan seksual, dan terjadinya penekanan langsung terhadap gonadotropin baik pada tingkat hipotalamus maupun hipofisis. Dalam hal ini LH lebih jelas dipengaruhi daripada FSH. Ini berarti bahwa peningkatan androgen yang beredar dalam darah mengganggu keserasian poros hipotalamus-hipofisis-ovarium.

Perifer Terjadi gangguan pada tingkat ovarium dan folikel. Terjadi pemutusan androgen dalam sel-sel perifolikuler, sehingga folikel ovarium menjadi resistem terhadap rangsangan gonadotropin. Belum jelas adanya hambatan pada reseptor gonadotropin maunpun penjenuhan dengan androgen. Tetapi yang jelas ialah kadar androgen lokal yang tinggi akan menyebabkan perkembangan folikel ovarium yang resisten. Peningkatan androgen adrenal dapat menyebabkan hiperestronomeia karena akan memanjangkan fase folikuler dan memendekkan fase luteal dan konsekuensinya terjadi peningkatan rasio LH/FSH. Peristiwa ini yang menerangkan kerapnya infertilitas dan ketidakteraturan haid pada wanita dengan hiperandrogen. Terapi deksametason dapat mengoreksi rasio LH/FSH yang abnormal pada beberapa pasien dengan PCO, yang dapat menyebabkan terjadinya ovulasi lagi. Walaupun beberapa penelitian percaya bahwa pada pasien-pasien PCO, abnormalitas adrenal adalah gangguan yang primer, penelitian lain telah menyimpulkan bahwa itu adalah sekunder dari kelainan hormonal

Pada pihak lain, hiperandrogen endogen akan menebalkan tunika albuginea ovarium. Juga ternyata bahwa pemberian androgen eksogen yang berlebihan dapat menebalkan kapsul ovarium. Selanjutnya keadaan tersebut akan mengganggu pelepasan folikel dan pecahannya bintik ovulasi. Ini merupakan bentuk lain dari androgen dalam mengganggu mekanisme ovulasi. Secara klinis dengan menekan kadar androgen yang tinggi akan menyebabkan folikel ovarium menjadi lebih peka terhadap gonadotropin endogen dan eksogen.

3. Hiperinsulinemia dan resistensi insulin

Peranan resistensi insulin dan hiperinsulinemia pada SOPK merupakan penyebab utama belum dapat ditegakkan. Bagaimanapun, bukti yang jelas memperlihatkan bahwa hiperinsulinemia mungkin berperan dalam perubahan metabolik dan reproduksi pada sindrom ini. Pada penelitian in vitro telah memperlihatkan bahwa insulin meningkatkan produksi androgen yang diinduksi oleh LH dari sel teka yang normal. Lebih lanjut, peningkatan pada sensitivitas insulin melalaui pemebrian obat-obatan penurun insulin telah diikuti dengan penurunana kadar androgen serum tanpa berpengaruh pada konsentrasi LH di sirkulasi.

Gambar 2. Aksis Hipotalamus Hipofisis Ovarium dan peranan Insulin

4. Gangguan yang diturunkan secara familialBeberapa laporan menekankan bahwa SOPK adalah gangguan familial dan diturunkan herediter. Meskipun demikian dasar genetis dari sindroma ini masih kontroversial. Cara penurunan dari gangguan ini masih sulit ditentukan karena gejala klinis sindroma yang bermacam-macam, belum adanya kriteria diagnosis yang diterima semua pihak, tidak ada gejala yang sama pada fenotip pria, dan SOPK terutama hanya mengenai umur reproduktif. Satu studi pada 150 orang menunjukkan bahwa modus penurunannya berupa autosomal dominan dengan mempertimbangkan kebotakan awal pada pria sebagai fenotip pria utama. Pada penelitian lain yang meneliti keluarga-keluarga dengan prevalensi SOPK tinggi modus herediter tidak dapat dijelaskan dengan hukum Mendel. Oleh karena itu cara penurunan masih belum jelas dan menunjukkan tidak hanya 1 kelainan gen yang berpartisipasi dalam patogenesis sindroma ini.

SOPK nampaknya merupakan kelainan yang melibatkan beberapa gen, dan gejala klinis maupun biokemisnya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti diet dan olah raga. Gen-gen yang diduga adalah gen yang ada pada reproduksi, gen yang berhubungan dengan sekresi dan aksi insulin, dan yang beruhubungan dengan obesitas dan pengaturan energi. Akhirakhir ini perhatian lebih ditujukan kepada gen-gen yang berhubungan dengan sekresi dan aksi insulin, serta gen yang mengkode enzim-enzim steroidogenik pada jalur biosentesis androgen. 10,14,15 Wanita yang menderita SOPK baik obesitas maupun tidak mempunyai resistensi insulin dengan berbagai tingkat (resistensi insulin pada otok skelet dan hati), dan kompensasi terhadap hiperinsulinemia. Keadaan tersebut membentuk asumsi bahwa gen yang berhubungan dengan sekresi dan aksi insulin juga mempunyai peran terhadap patogenesis SOPK.10 5. GEN YANG MENGKODE ENZIM STEROIDOGENIK Gen 17-hidroksilase / 17,20-liase (CYP17) Beberapa studi terakhir menunjukkan SOPK terjadi akibat fungsi yang berlebihan dari enzim yang mengkatalisa produksi androgen (Sitokrom P450c17). Sitokrom P450c17 merupakan enzim dengan 2 fungsi karena memiliki aktivitas 17-hidroksiprogesteron hidroksilase dan 17,20-liase.

gambar 4. Jalur biosentitis steroid pada kortek adrenal dan sel teka. P450scc, cholesterol side chain cleavage; 3-HSD, 3-hidroksisteroid dehidrogenase and 5-isomerase; 17b-HSD, 17b-hidrokssteroid dehidrogenase. Aktivitas 17-hidrokslase and 17,20 lyase dimediasi oleh P450c17.

Di dalam sel teka, P450c17 mengubah progesteron menjadi 17-hidroksiprogesteron melalui aktivitas 17-hidroksilase dan mengubah 17-hidroksiprogesteron menjadi androstenedione melalui aktivitas 17,20 liase. Studi klinis menunjukkan pada SOPK terdapat abnormalitas dari regulasi dua enzim ini. Terjadi banyak peningkatan aktivitas 17-hidroksiprogesteron hidroksilase dan sedikit pada aktivitas 17,20-liase. Hasil ini menyebabkan perhatian terfokus pada CYP17, yaitu gen yang mengkode sitokrom P450c17, yang terdapat pada kromosom 10q24,3. Namun pada studi kasus-kontrol lain dengan melibatkan lebih banyak sampel, tampak tidak ada hubungan bermakna pada frekuensi polimorfisme CYP17 pada SOPK dan kontrol, dan juga tidak ada hubungan antara kejadian polimorfisme dengan level testosteron. Hal ini menyimpulkan bahwa gen tersebut tidak berperan nyata dalam etiologi SOPK. Telah diketahui bahwa serin fosforilase juga terlibat dalam regulasi post-translasi dari aktivitas 17,20-liase yang juga berarti sekresi androgen, hal ini diduga menjadi satu etiologi yang sama pada SOPK yang menimbulkan resistensi insulin dan hiperandrogenemia. (gambar 5).20,21

Gambar 5. Diagram hipotesis keterlibatan serin fosforilase pada patofisiologi SOPK.

.E. GEJALA KLINIS

Gejala dan keluhan PCOS disebabkan oleh adanya perubahan hormonal. Satu hormon merupakan pemicu bagi hormon lainnya. Hal ini akan menimbulkan lingkaran setan dari suatu gangguan keseimbangan hormonal dalam sistem endokrin. Gangguan tersebut antara lain adalah :

Hormon ovarium. Bila kadar hormon pemicu ovulasi tidak normal maka ovarium tidak akan melepaskan sel telur setiap bulan. Pada beberapa penderita, dalam ovarium terbentuk kista-kista kecil yang menghasilkan androgen.

Kadar androgen yang tinggi. Kadar androgen yang tinggi pada wanita menyebabkan timbulnya jerawat dan pola pertumbuhan rambut seperti pria serta terhentinya ovulasi.

Kadar insulin dan gula darah yang meningkat. Sekitar 50% tubuh penderita PCOS bermasalah dalam penggunaan insulin yaitu mengalami resistensi insulin. Bila tubuh tidak dapat menggunakan insulin dengan baik maka kadar gula darah akan meningkat. Bila keadaan ini tidak segera diatasi, maka dapat terjadi diabetes kelak dikemudian hari.

Gejala klinis sindrom ovarium polikistik :4 Gangguan haid

Pada penelitian yang luas tentang wanita dengan SOPK, Balen dkk melaporkan bahwa 1871 wanita dengan minimal 1 gejala dari SOPK hampir 30% mempunyai siklus haid yang teratur, 50% dengan oligomenorea dan 20% amenorea. Akibatnya, mayoritas wanita dengan SOPK mempunyai siklus haid yang abnormal dan paling sering polanya adalah haid yang jarang yang dihubungkan dengan anovulasi. Goldzieher dan Green melaporkan kurang lebih 85-90% wanita dengan oligomenorea dan lebih dari 30-40% dengan amenorea, akan mempunyai SOPK

Obesitas

Pada penelitian yang luas 35-50% wanita dengan SOPK adalah kelebigan berat badan (BMI > 25) atau obesitas (BMI > 27). Lemak abdominal adalah sering, dengan peningkatan rasio pinggang-pinggul (waist hip ratio). Obesitas meningkatkan risiko untuk mendapat diabetes tipe 2 dan lebih dari 30% wanita dgn SOPK yang obesitas mempunyai toleransi glukosa terganggu dan selanjutnya 7,5% akan berkembang menjadi diabetes yang menetap setelah usia 40 tahun. Obesitas sentral dipikirkan merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi peningkatan risiko 7 kali untuk infark miokard pada pasien SOPK. Keuntungan dari penurunan berat badan secara konsisten diperlihatkan, dengan memperbaiki frekuensi siklus haid, mengembalikan ovulasi dan menormalkan indeks biokimiawi, khususnya resistensi insulin.

Hubungan antara obesitas dengan SOPK tidak secara jelas dimengerti, meskipun hal ini diketahui bahwa meningkatkan kadar insulin serum, LH dan androgen, endorfin hipotalamik dan leptin meningkat pada wanita obesitas yang anovulasi.

Hirsutisme

Hirsutisme pada wanita digambarkan dengan pertumbuhan rambut yang terjadi pada pria. Gambaran yang umum adalah kelebihan rambut pada wajah, rambut pada dada diantara payudara dan rambut pada abdomen. Pada pasien dengan SOPK insidens terjadinya hirsutisme sebesar 70%. Hirsutisme pada SOPK mengambarkan kelebihan produksi androgen, umumnya akibat dihidrotestosteron lokal. Papila kulit mengekspresikan reseptor androgen yang secara langsung mempengaruhi ukuran dari folikel rambut dan juga produksi rambut. Penurunan berat badan telah memperlihatkan perbaikan pada hirsutisme. Estrogen eksogen ( seperti pada pil kontrasepsi kombinasi oral) akan menekan produksi androgen ovarium dan menstimulasi sex-hormone binding globulin (SHBG), yang akan menurunkan testosteron yang bebas di sirkulasi.

Aloplesia androgenik.

Digambarkan dengan pola kehilangan rambut kepala yang progresif yang sering pada pria dan jarang terjadi pada wanita. Untuk menampakkan aloplesia membutuhkan faktor predisposisi keluarga dan dihubungkan juga dengan peningkatan androgen di sirkulasi, akibatnya tidak semua wanita dengan kelebihan androgen akan menjadi aloplesia. Pada wanita dengan aloplesia androgenik, 21% juga hirsutisme, dibandingkan dengan 4% pada kontrol. Wanita dengan aloplesia mempunyai kadar testosteron, androstenedion dan androgen bebas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.

Jerawat (Acne)

Jerawat adalah penyakit inflamasi dari folikel rambut dan dihubungkan dengan kelenjar sebaseus dan apokrin. Terdapat pada lebih dari sepertiga wanita dengan SOPK. Masalah utama pada wanita dengan jerawat adalah peningkatan sekresi sel sebaseus dan kadar androgen serum yang sering tidak meningkat, tidak seperti pada hirsutisme dan aloplesia.

Acanthosis nigricans

Adalah suatu erupsi mukokutaneus yang terjadi lebih sering pada axilla, lipatan kulit, dan leher. Bermanifestasi dengan peningkatan pigmen dan piplomatosis. Ini merupakan tanda resistensi insulin dan kompensasi dari peningkatan sekresi insulin. Dapat ditemukan pada wanita dengan SOPK antara 1-3% kasus dan lebih sering terjadi pada orang dewasaF. DIAGNOSIS

Heterogenitas tampilan klinis pasien SOPK menyebabkan belum adanya satupun kriteria yang disepakati untuk meneggakkan diagnosis SOPK sampai saat ini. Meskipun demikian, secara umum diagnostik SOPK dapat digolongkan menjadi kriteria klinis, ultrasonografis, dan laboratoris.

Kriteria klinis meliputi gangguan haid berupa oligomenorhea hingga ammenorhea sekunder, obesitas, hirsutism, acne, alopesia androgenik, achantosis nigricansKriteria Ultrasonografis

Kriteria diagnostik jika memakai USG transabdominal:1. Penebalan stroma2. Lebih dari 10 folikel berdiameter 2-8 mm di subkorteks dalam satu bidang.

Kriteria diagnostik jika memakai USG transvaginal:1. Penebalan stroma 50%2. Volume ovarium lebih dari 8 cm33. Lebih dari 15 folikel dengan diameter 2-10 mm dalam satu bidangKriteria Laboratoris

Pemeriksaan kadar hormon androgen, insulin, dan LH/FSH (Luteinizing Hormone/Follicle-Stimulating Hormone)

Kadar androgen yang dapat diperiksa adalah: testosteron, androstenedion, testosteron bebas, dehidroepiandrosteron (DHEA) atau dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS), dan dehidrotestosteron (DHT).

Konsensus Diagnostik menurut konferensi National Institute of Health (NIH) di Amerika Serikat:

a. gambaran ovarium polikistik tidak harus ada.b. Kriteria mayor: anovulasi kronis dan hiperandrogenemia.c. Kriteria minor: adanya resistensi insulin, hirsutisme, obesitas, rasio LH/FSH lebih dari 2,5 dan gmbaran ovrium polikistik pada USG.

Diagnosis SOPK ditegakkan jika memenuhi SATU kriteria mayor dan sekurngnya DUA kriteria minor, dengan menyingkirkan penyebab lain hiperandrogenemi

Disisi lain Negara Eropa menetapkan Konsesus Diagnostik lain

Konsensus Diagnostik menurut negara di Eropa:a. Harus didapatkan gambaran ovarium polikistik dengan USGb. Gangguan menstruasi (oligomenore atau amenore), dan atauc. Gambaran klinis hiperandrogenemia (hirsutisme, akne)d. Tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis SOPK.

Untuk mencapai kesepakatan antara kedua pendapat besar itu, Homburg mengajukan proposal yang bersifat praktis dan menyatukan kedua pendapat tersebut.

Kriteria praktis dari Homburg (2002):

1. Kriteria awal yang harus ada:a. Gangguan menstruasib. Hirsutismec. Akned. Infertilitas anovulasi

2. Diagnosis ditegakkan cukup dengan memperoleh gambaran ovarium polikistik pada USG.

3. Jika tidak ditemukan gambaran ovarium polikistik pada USG, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis SOPK dapat ditegakkan jika ditemukan satu/lebih abnormalitas: peningkatan testosteron serum, peningkatan LH (luteinizing hormone), peningkatan testosteron bebas (dengan menyingkirkan hiperplasi adrenal), perbandingan glukosa puasa:insulin puasa kurang dari 4,5.

G. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding termasuk variasi yang luas dari sejumlah gangguan lain yang berakibat pada abnormalitas pelepasan gonadotropin, anovulasi kronik, dan ovarium yang sklerokistik. Ovarium yang sklerokistik merupakan ekspresi morfologi yang nonspesifik dari anovulasi kronik pada pasien-pasie premenopause, dan dapat disertai :

a. Lesi adrenal, misalnya sindroma Cushing, hiperplasia adrenal kongenital, dan tumor-tumor adrenal virilisasi.

b. Gangguan hipotalamus-pituitari primer

c. Lesi-lesi ovarium yang memproduksi jumlah yang berlebihan dari estrogen atau androgen, termasuk tumor-tumor sex-cord stromal, tumor-tumor sel steroid dan beberapa lesi nonneoplastik seperti hiperplasia sel Leydig dan hipertekosis troma.

Ovarium sklerokistik juga terjadi pada pasien-pasien dengan ooforitis autoimun, setelah penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang, berhubungan dengan adhesi periovarium, setelah terapi androgen jangka panjang pada wanita agar menjadi pria transeksual dan ditemukan normal pada individu-indivudi prespubertas.

H. PENATALAKSANAANManajemen1. Medisinialis

2. Pembedahan

Tujuan utama pengobatan meliputi penurunan kadar androgen untuk memperbaiki hirsutisme, melindungi endometrium, mengoptimalkan fungsi reproduksi mereka yang ingin kesuburan, dan mengurangi sequelae jangka panjang resistensi insulin.. Strategi terapi awal dalam pengelolaan PCOS diarahkan pada pengelolaan dengan medikamentosa.Obesitas

.Jika pasien kelebihan berat badan atau obesitas (BMI 26 kg / m 2), khususnya dengan obesitas perut (yakni, lingkar pinggang> 35 inci), modifikasi gaya hidup dalam bentuk moderat pembatasan kalori dan olahraga sangat penting tidak peduli apa intervensi lain dipilih. Satu studi menunjukkan bahwa pembatasan kalori moderat yang menghasilkan 2% sampai 5% berat badan menghasilkan 21% penurunan testosteron bebas; 9 dari 18 wanita dengan siklus yang tidak teratur kembali ovulasi teratur dan 2 dari 18 perempuan menjadi hamil. Telah menunjukkan bahwa metformin (glucophage), sebuah biguanide antihyperglycemic, bersama-sama dengan diet rendah kalori, terkait dengan penurunan berat badan lebih rendah daripada kalori makanan saja.

Hirsutisme

Pilihan pengobatan untuk pasien dengan hirsutisme mencakup langkah-langkah lokal, seperti bercukur, pemutih, depilatories, elektrolisis, dan terapi laser serta terapi farmakologi.. Berat badan harus didorong pada perempuan datang dengan hirsutisme karena penurunan berat badan akan mengakibatkan peningkatan tingkat hormon seks pengikat globulin, sehingga mengurangi kadar testosteron bebas.. Pengobatan farmakologi ditujukan untuk menghalangi tindakan androgen pada folikel rambut atau menekan produksi androgen. Penting untuk dicatat bahwa respons terhadap agen farmakologi lambat, terjadi selama berbulan-bulan, dan bahwa terapi medis membatasi pertumbuhan rambut baru tapi tidak mempengaruhi rambut yang ada..Eflornithine (vaniqa) krim topikal disetujui untuk digunakan dalam perawatan wajah hirsutisme. Harus diterapkan dua kali sehari minimal 8 jam. Daerah yang dirawat tidak boleh dicuci setidaknya selama 4 jam setelah aplikasi obat. Tindakan utamanya adalah bahwa hambatan pertumbuhan rambut, tetapi bukan merupakan obat menghilangkan rambut. Vaniqa dapat digunakan bersama dengan metode lain hair removal (misalnya, mencabut, waxing, elektrolisis, atau laser). Setelah Eflornithine (vaniqa) tersebut akan terhenti, pertumbuhan rambut biasanya kembali ke tingkat perlakuan pendahuluan dalam waktu sekitar 8 minggu.Kontrasepsi oral (OCS), meskipun tidak disetujui oleh US Food and Drug Administration untuk pengobatan hirsutisme, telah terbukti juga meningkatkan hormon seks pengikat globulin produksi dalam hati, sehingga mengurangi gratis, atau terikat, tingkat testosteron yang beredar. Meskipun tidak ada OC tertentu telah terbukti menjadi perlakuan yang lebih baik untuk hirsutisme, Yasmin, sebuah pil Monophasic ethinyl mengandung 30 mcg estradiol dan 3 mg drospirenone (analog dari spironolactone) telah ditunjukkan untuk menekan kedua ovarium dan androgen adrenal produksi. antiandrogen dapat dikombinasikan dengan OCS, meskipun data belum menunjukkan bahwa terapi kombinasi secara signifikan lebih baik untuk pengobatan hirsutisme dari agen tunggal saja. Pasien yang menggunakan antiandrogen sendiri cenderung mengalami pendarahan rahim yang tidak teratur dan dapat manfaat dari penggunaan OCS karena alasan ini.

Yang paling umum digunakan antiandrogen adalah spironolactone (aldactone) dan flutamide (Eulexin). Seperti dengan OCS, obat-obat ini belum disetujui untuk pengobatan hirsutisme. Spironolactone yang paling sering digunakan karena aman, tersedia, dan lebih murah daripada antiandrogen lain. Flutamide telah terbukti seefektif spironolactone tetapi, obat ini dapat hepatotoxic, dan fungsi hati harus dimonitor secara teratur. Dianjurkan agar Spironolakton dihentikan 3 bulan sebelum konsepsi karena hubungannya dengan menstruasi dan mungkin efek teratogenic.

Untuk wanita dengan PCOS yang hirsutisme tidak berkurang secara signifikan dengan antiandrogen terapi, pengobatan dengan agen kepekaan insulin, seperti metformin (glucophage) atau thiazolidinedione (Actos) dapat digunakan.

Terapi farmakologi yang tidak ditunjukkan dalam pengobatan hirsutisme meliputi panjang bertindak gonadotropin-releasing hormone terapi agonis (Lupron) karena hypoestrogenic menginduksi sebuah negara bagian, dan Glukokortikoid, seperti deksametason, karena hiperandrogenisme PCOS adalah hasil dari tidak ovarium dan androgen adrenal produksi. Di samping itu, Glukokortikoid cenderung meningkatkan resistensi insulin, yang akan efek samping yang tidak diinginkan pada populasi pasien ini.

Irreguler Menstruasi Kontrasepsi oral memiliki manfaat yang jelas dalam pengobatan disfungsi menstruasi berhubungan dengan PCOS. Ini termasuk 1) induksi penarikan reguler pendarahan, 2) perlindungan endometrium dari dilawan estrogen, 3) penurunan sekresi LH dan konsekuensinya pengurangan sekresi androgen ovarium, 4) peningkatan tingkat hormon seks pengikat globulin dan karenanya bebas pengurangan testosteron, dan 5) peningkatan dalam hirsutisme dan jerawat. Sebuah uji klinis acak membandingkan OCS dan metformin (glucophage) pada wanita gemuk dengan PCOS menemukan bahwa menstruasi teratur terjadi lebih sering dengan penggunaan OCS daripada dengan metformin (glucophage). [Sebuah alternatif lain OCS untuk melindungi siklik endometrium adalah administrasi dari progestin, seperti medroksiprogesteron asetat (Provera) 5-10 mg PO setiap hari selama 5 sampai 10 hari atau micronized progesteron (prometrium) 400 mg PO setiap hari selama 10 hari untuk mempromosikan penarikan pendarahan.

Infertility

Sebuah alasan umum bahwa wanita dengan PCOS mencari perawatan ketidaksuburan. Setelah anovulasi telah didiagnosis dan masalah lain seperti oklusi tuba telah dikecualikan, pengobatan induksi ovulasi. Pendekatan terapi awal pada infertilitas pada wanita dengan PCOS adalah penurunan berat badan melalui diet dan olahraga. Huber-Buchholz et al. [21] mengamati bahwa modifikasi gaya hidup adalah manajemen awal terbaik untuk wanita gemuk ingin meningkatkan fungsi reproduksi mereka. Jika pasien terus menjadi anovulatoir, langkah berikutnya adalah Pharmacotherapy. Clomiphene citrate (Clomid) adalah obat pilihan untuk merangsang ovulasi induksi untuk wanita dengan PCOS. Strategi adalah menggunakan dosis terendah mungkin untuk memulai ovulasi. Dosis awal adalah 50 mg / hari, selama 5 hari (biasanya hari 5-9). Jika tidak ada perkembangan folikel dengan dosis ini, dosis dan / atau durasi pengobatan dapat ditingkatkan. Secara keseluruhan, sekitar 80% dari wanita yang diobati dengan clomiphene sitrat akan ovulasi. Jika pasien terus menjadi anovulatoir, metformin (glucophage) dapat ditambahkan ke rejimen pengobatan. [5,11,18] Dalam sebuah kelompok kecil wanita dengan PCOS yang gagal berovulasi sebagai jawaban atas 150 mg / hari clomiphene sitrat, 8 dari 11 perempuan berovulasi memakai rejimen clomiphene citrate plus metformin (glucophage) yang diberikan 500 mg TID, dibandingkan dengan hanya 3 dari 14 wanita yang berovulasi memakai rejimen ditambah plasebo clomiphene sitrat.

Jangka panjang Risiko Kesehatan

Beberapa wanita dengan PCOS dapat mencari perawatan kesehatan karena kekhawatiran tentang kesehatan jangka panjang risiko. Sebagaimana dicatat di atas, jika pasien kelebihan berat badan, konseling tentang nutrisi dan olahraga harus ditekankan, dan penyaringan untuk diabetes, dislipidemia, dan hipertensi harus dilakukan. Tergantung pada hasil tes ini, pengobatan farmakologi spesifik untuk kondisi ini harus dimulai dalam hubungannya dengan dokter perawatan utama mereka Karena dampak baik pada tingkat insulin dan lipid, metformin mungkin berguna dalam keseluruhan manajemen dari wanita ini, walaupun jangka panjang data mengenai penggunaan metformin pada PCOS tidak tersedia.

Sensitivitas insulin juga telah ditunjukkan untuk memperbaiki dengan modifikasi diet seperti diet glisemik rendah. The glisemik indeks dari karbohidrat adalah ukuran tertentu postprandial item makanan berpengaruh pada kadar glukosa darah. Semakin rendah indeks glisemik, semakin sedikit mempengaruhi karbohidrat telah di postprandial glukosa dan insulin. Diet serat, minyak ikan, D-chiro-inositol, dan kromium semua telah ditunjukkan untuk meningkatkan sensitivitas insulin, meskipun data terbatas.

Latihan fisik tambahan yang penting dalam perbaikan sensitivitas insulin dan keseluruhan homeostasis glukosa. Latihan nyata dapat meningkatkan sensitivitas insulin-stimulasi pengambilan glukosa di otot rangka, meskipun beberapa penelitian telah dievaluasi link ini pada pasien dengan PCOSII. Pembedahan (surgery)Tindakan surgical merupakan alternative pengobatan SOPK apabila pengobatan medikamentosa belum dapat menyelesaikan masalah pasien.a. EBOB (Eksisi Baji Ovarium Bilateral)b. TEKO (Tusukan ElektroKauter pada Ovarium)

Terapi TEKO dengan laparoskopi lebih baik dibandingkan dengan EBOB karena angka perlekatan pascoperasi yang lebih rendah.

BAB III

IKHTISAR KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama

: Nn. RJenis kelamin: Perempuan

Umur

: 23 tahun

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: swasta

Agama

: Islam

Suku/bangsa

: Sunda/Indonesia

Alamat

: Pondok Labu Rt 05/ Rw 08 Jakarta SelatanDatang ke RSF: 23 Desember 2013II. ANAMNESA

Autoanamnesis tangal 23 Desember 2013Keluhan Utama :

Tidak menstruasi semenjak 2 bulan SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poli kandungan dan kebidanan RSUP Fatamawati dengan keluhan tidak menstruasi sejak 2 bulan SMRS. Semenjak dua bulan ini pasien mengeluhkan tidak haid. Haid terakhir berlangsung selama 5-7 hari dengan darah berwarna merah segar pada hari pertama sampai hari keempat, hari kelima dan selanjutnya hanya flek-flek coklat. Pasien mempunyai riwayat menstruasi tak teratur. Nyeri haid saat hari pertama dan merasa nyeri pinggang saat hari pertama dialami pasien. Pusing, lemas hingga tidak bisa melakukan aktifitas,mual, muntah, kenaikan berat badan disangkal oleh pasien.

Riwayat haid sebelumnya (HPHT) tanggal 08 November 2013. Pasien mengeluh siklus menstruasi tidak lancar semenjak SMA, pasien mengaku siklus menstruasi berlangsung tidak teratur atau setiap 1 sampai 2 bulan sekali selama 5-8 hari dengan darah merah , bergumpal dihari pertama, + 2 pembalut/ hari. Tidak ada perubahan pola makan, maupun kenaikan berat badan. Tidak ada rambut yang tumbuh disekitar wajah. Pasien mengaku mempunyai wajah yang berjerawat hanya saat SMP .

Riwayat Penyakit Dahulu :

Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), Penyakit tiroid (-)Riwayat Penyakit Keluarga :

Hipertensi (+), Diabetes Mellitus (+), Penyakit Jantung (-), Penyakit Tiroid (-) Riwayat Menstruasi :

Menarche usia 13 tahun, siklus teratur hingga SMA, mengaku setiap 1 atau 2 bulan sekali menstruasi lalu sebanyak 2-3 pembalut/hari, selama 5-7 hari. Nyeri saat menstruasi (+).

Riwayat Perkawinan :

Belum menikahRiwayat KB:

(-)III. PEMERIKSAAN FISIK (18 Januari 2010)

Status Generalis

Keadaan umum : Baik Kesadaran : Compos Mentis

Tanda vital :Tekanan Darah: 110/70 mmHg

Frekuensi Nadi: 84x/menit

Frekuensi Pernapasan : 18x/menit

Suhu : 36.5C

Tinggi Badan : 163 cm

Berat Badan : 62 Kg

BMI : 21 Kepala : Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut, distribusi merata, alopesia (-), acne (+) wajah. Mata : Pupil bulat isokhor, conjunctiva anemis -/-,sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+

THT: Mukosa tidak hiperemis, sekret (-)

Leher : KGB tidak tampak membesar, tiroid tidak teraba massa Thorax :

- Cor : S1-S2 normal regular, mur-mur (-), gallop (-)

- Pulmo : Suara napas vesikuler, ronchi (-), wheezing (-)

- Mammae : Simetris, besar normal, retraksi putting (-), hiperpigmentasi areola (-)

Abdomen : Lihat status ginekologi

Anogenital : Lihat status ginekologi

Extremitas : Akral hangat, edema tungkai -/-, deformitas (-)

Status Ginekologi

AbdomenInspeksi: Datar

Palpasi: Supel, NT (-), tidak teraba massa.

Perkusi: Nyeri ketok(-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

AnogenitalI: V/U tenang

Io: Portio licin, ostium tertutup, Flour (-), Fluksus (-)

VT: CUT kesan normal, massa pada adneksa (-), nyeri tekan (-)

RT: masa adnexa -/-, cavum uteri dalam batas normal, cavum douglas tidak menonjol

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Urine : BHCG (-)

USG

Uterus anteflexi

Tebal endometrium 56 mm

Ovarium kanan tampak beberapa folikel kecil-kecil tersebar dan struma dominan

Ovarium yang kiri dengan gambaran yang sama

Tak tampak massa adneksa

Kesimpulan : Polikistik ovarium bilateral

LABORATORIUM

Gula darah puasa : 85 mg/dlInsulin puasa : 7,2

RI : GP/InP

: 85/7,2

: 11,8

Kesimpulan : RI (-)

V. RESUME

Anamnesis

Ny. 27 tahun dengan keluhan utama tidak menstruasi sejak 2 bulan SMRS. Semenjak dua bulan ini pasien mengeluhkan tidak haid. Haid terakhir berlangsung selama 5-7 hari dengan darah berwarna merah segar pada hari pertama dan kedua kemudian hari ketiga hanya flek-flek berwarna hitam. Pasien mempunyai riwayat menstruasi tak teratur. sering mengalami pusing dan lemas hingga tidak bisa melakukan aktifitas. Nyeri perut, mual muntah, kenaikan berat badan disangkal oleh pasien.

Riwayat haid sebelumnya (HPHT) tanggal 10 November 2009. Pasien mengeluh siklus menstruasi tidak lancar semenjak haid pertama kali, pasien mengaku siklus menstruasi berlangsung tidak teratur atau setiap 2 sampai 3 bulan sekali selama 5-8 hari dengan darah merah kehitaman, tidak bergumpal, + 2 pembalut/ hari. Sudah melakukan test kehamilan sebanyak 3 kali dan hasilnya selalu negative terakhir dilakukan pada tanggal 16 Januari 2010. Tidak ada perubahan pola makan, maupun kenaikan berat badan. Tidak ada rambut yang tumbuh disekitar wajah. Pasien mengaku mempunyai wajah yang berjerawat sejak remaja hingga saat ini. Riwayat abortus pada tahun 2007 sudah dilakukan kuretase oleh dokter di RSUP Fatmawati.

Pasien mengatakan bahwa dirinya ingin memiliki anak karena sudah menikah

Pemeriksaan Fisik

Tanda Vital : Tekanan Darah: 110/70 mmHg

Frekuensi Nadi: 84x/menit

Frekuensi Pernapasan : 18x/menit

Suhu : 36.6C

BMI : 23

Status Generalisata : Dalam Batas Normal

Status Ginekologi :

I: V/U tenang

Io: Portio licin, ostium tertutup, Flour (-), Fluksus (-)

VT: CUT kesan normal, massa pada adneksa (-), nyeri tekan (-)

RT: masa adnexa -/-, cavum uteri dalam batas normal, cavum douglas tidak menonjol

Pemeriksaan Penunjang:

BHCG (-)

RI :-

USG : Kesan : Polikistik ovarium bilateral

VI. DIAGNOSIS

Sindroma polikistik ovariumVIII. PENATALAKSANAAN

R Dx/ USG transvaginal R Th/ Profertil

Kontrol ke poli endokrin

Rencana program untuk kehamilan

IX. PROGNOSIS

Ad vitam

: bonam

Ad fungsionam: bonam

Ad sanationam: bonam

BAB VI

ANALISIS KASUS

Analisis kasus ini dapat ditinjau dari segi

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

Diagnosa

Tata Laksana

1. Anamnesis meliputi keluhan utama, keluhan tambahan, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan obat sebelumnya, riwayat penyakit dalam keluarga, riwayat psikososial.

Pada kasus ini keluhan utama berupa tidak menstruasi selama 2 bulan SMRS dengan siklus yang tidak teratur selama 2 atau 3 bulan sekali dengan jumlah menstruasi 2-3 pembalut setiap harinya dan lama menstruasi 5-7 hari dikatakan sesuai untuk kriteria oligomenorhea yang merupakan salah satu gejala dari sindroma polikistik ovarium

Keluhan tambahan berupa infertilitas sekunder selama 3 tahun, keluhan hiperandrogenisme berupa jerawat yang tumbuh sejak remaja, tanda-tanda hiper androgenisme lainnya seperti adanya rambut pada wajah/telinga (hirsutisme), adanya kebotakan, hiperpigmentasi disangkal oleh pasien

Sedangkan keluhan adanya gangguan metabolik seperti kenaikan berat badan, gejala endokrin diabetes mellitus berupa polidipsi-polyphagia-poliuri, gangguan pada sistem kardiovaskular dan dislipidemia disangkal oleh pasien.

Pasien juga mengeluhkan adanya gangguan pola menstruasi atau siklus menstruasi yang tidak teratur sejak pertama kali haid, menarche pada umur 11 tahun. Adanya riwayat abortus pada tahun 2007. Hal ini dapat memperkuat diagnosis sindroma polikistik ovarium

Pada riwayat keluarga, penyakit dalam keluarga berupa polikistik ovarii, diabetes mellitus, obesitas ataupun dislipidemia disangkal oleh pasien. Tetapi hal belum dapat menyingkirkan sepenuhnya kemungkinan penyebab genetik polikistik ovarium pada kasus ini.

2. Pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital (tekanan darah):110/70 atau dapat dikatakan normal, menurut American Association of Clinical ahli endokrin Sindrom Ovarium polikistik Komite Menulis [PCOSWC], 2005)Pada ovarium polikistik insidens lebih tinggi pada penderita hipertensi .

Body massa indeks (BMI) berkisar 23 tidak sesuai dengan kriteria polikistik ovarium dengan BMI sekitar >25 . Pada pasien ini tidak dilakukan pengukuran rasio pinggang dan pinggul untuk menentukan distrubusi lemak tubuh. Sedangkan

Pada pasien ini ditemukan acne pada wajah memenuhi salah satu tanda dari hiperandogenisme, sedangkan adanya rambut pada wajah dan telinga (hirsutism), kebotakan gtidak ditemukan

Tanda-tanda resistensi insulin pada pasien ini berupa achantosis nigrikans di axilla, tengkuk leher, dibawah payudara dan kulit tidak dilakukan pemeriksaan

3. Pemeriksaan penunjang

USG : pada pemeriksaan USG Transvaginal ditemukan Ovarium kanan tampak beberapa folikel kecil-kecil tersebar dan struma dominan, dengan ovarium yang kiri dengan gambaran yang sama sesuai dengan kesan polikistik ovarium bilateral

Laboratorium:

Pemeriksaan B-HCG pada kasus ini ditemukan negative sesuai dengan kriteria polikistik ovarium dimana B-HCG akan negative dan hal ini untuk mengevaluasi adanya kehamilan intrauterine mengingat keluhan utamanya berupa tidak menstruasi selama 2 bulan. Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan kadar insulin puasa pada pasien ini dilakukan untuk mengetahui rasio antara kadar gula puasa dengan kadar insulin puasa yang menujukkan adanya resistensi insulin jika nilai rasio kurang dari 4,5, sedangkan pada pasien ini didapatkan rasio 11 yang berarti tidak menunjukkan adanya resistensi insulin

Pemeriksaan peningkatan testosteron serum, peningkatan LH (luteinizing hormone), peningkatan testosteron bebas (dengan menyingkirkan hiperplasi adrenal tidak dikerjakan pada pasien mengingat pertimbangan biaya.

4. Berdasarkan kriteria praktis dari Homburg (2002)dengan kriteria awal yang harus ada berupa gangguan menstruasi, hirsutisme (acne), infertilitas anoovulasi serta adanya kriteria USG yang memberi kesan atau gambaran adanya suatu polikistik ovarium maka pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis berupa Sindroma polikistik ovarium.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

PCOS merupakan salah satu gangguan yang paling umum yang mempengaruhi wanita usia subur. Sebagai sindrom, ia memiliki beberapa komponen, termasuk reproduksi, metabolik, dan kardiovaskular, dengan jangka panjang masalah kesehatan yang melintasi hidup. Walaupun tidak dipahami dengan baik, resistensi insulin tampaknya mendasari banyak manifestasi klinis PCOS. Resistensi insulin juga tampaknya meningkatkan risiko intoleransi glukosa, diabetes tipe 2, dan abnormalitas lipid. Pengobatan gangguan ini harus fokus pada pengurangan gejala-gejala terkait androgen, perlindungan endometrium, dan pengurangan risiko jangka panjang dari diabetes dan komplikasi kardiovaskular.. Bagi banyak wanita dengan sindrom ini, memperbaiki kemandulan adalah tujuan utama terapi Tujuh puluh lima persen penderita PCOS akan mengalami anovulasi dan bisa menyebabkan infertilitas. Mekanisme anovulasi ini sangat kompleks. Hal-hal yang terlibat adalah modulator intraovarium dan hormon baik hormon gonadotropin dan hormon steroid.

SARAN

Disarankan menjalankan prosedur penegakkan diagnosis lebih lanjutDAFTAR PUSTAKA1. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Anovulation and the Polycystic Ovary, in: Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility fifth edition 1994; 13: 457-82.

2. Richardson MR. Current perspectives in polycystic ovary syndrome. Am Fam Physician 2003; 68:697-704.

3. Lord JM, Flight IHK, Norman RJ. Metformin in polycystic ovary syndrome: systematic review and meta-analysis. BMJ 2003; 327: 951.

4. Frank S. Polycystic ovary syndrome. N Engl J Med 1995; 333(13):853-861.

5. Chang RJ. Polycystic ovary syndrome and hiperandrogenic states, in: Yen and Javes Reproductive Endrocrinology fifth edition 2004; 19: 597-632.

6. Diamanti-Kandarakis E, Kouli CR, Bergiele AT, Filandra FA,Tsianateli C, Spina GG et al. A survey of the polycystic ovary syndrome in the Greek island of Lesbos: hormonal and metabolic profile. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 1999; 84: 40064011.

7. Asuncion M, Calvo RM, San Millan JL, Sancho J, Avila S &Escobar-Morreale HF. A prospective study of the prevalence of the polycystic ovary syndrome in unselected Caucasian women from Spain. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 2000; 85: 4342438.

8. Carmina E, Koyama T, Chang L, Stanczyk FZ & Lobo RA. Doesethnicity influence the prevalence of adrenal hyperandrogenism and insulin resistance in polycystic ovary syndrome? American Journal of Obstetrics and Gynecology 1992; 167: 18071812.

9. Dunaif A, Sorbara L, Delson R & Green G. Ethnicity and polycystic ovary syndrome are associated with independent and additive decreases in insulin action in Caribbean-Hispanic women. Diabetes 1993; 42: 14621468.

10. Xita N, Georgiou I, Tsatsoulis. The genetic basis of polycystic ovary syndrome. European Journal of Endocrinology 2002; 147: 717-25.

11. Hadisaputra W, Situmorang H. Sindrom ovarium polikistik. Puspa Swara. Jakarta. 2003

12. Hopkinson ZEC, Sattar N, Fleming R, Greer IA. Polycystic ovarian syndrome: the metabolic syndrome comes to gynaecology. BMJ 1998;317:329-332.

13. Schroeder BM. ACOG releases guidelines on diagnosis and management of polycystic ovary syndrome. Am Fam Physician 2002;67(7):1619-1620,1622.

14. Abbott DH, Dumesic DA, Franks S. Developmental origin of polycystic ovary syndrome a hypothesis. Journal of endocrinology 2002;174:1-5.

15. Govind A, Obhrai MS, Clayton RN. Polycystic Ovaries Are Inherited as an Autosomal Dominant Trait: Analysis of 29 Polycystic Ovary Syndrome and 10 Control Families. J Clin Endocrinol Metab 1999;84:38-43.

16. Strauss JF, Dunaif A. Molecular mysteries of polycystic ovary syndrome. Mol Endo 1999; 13(6): 800-05

17. Waterworth DM, Bennett ST, Gharani N, McCarthy MI, Hague S, Batty S et al. Linkage and association of insulin gene VNTR regulatory polymorphism with polycystic ovary syndrome. Lancet 1997 349 986990.

18. Goodarzi MO, Korenman SG. The importance of insulin resistance in polycystic ovary syndrome. Fertility and sterility 2003; 80(2):255-8.

19. Taylor AE. Understanding the underlying metabolic abnormalities of polycystic ovary syndrome and their implications. Am J Obstet Gynecol 1998;179:S94-100.

20. Gharani N, et al. Association of the steroid synthesis gene CYP11a with polycystic ovary syndrome and hyperandrogenism. Human molecular genetics 1997;6(3):397-402.

21. Nestler JE, Jakubowicz DJ. Decreases in ovarian cytochrome p450c17a activity and serum free testosterone after reduction of insulin secretion in polycystic ovary syndrome. N Engl J Med 1996;335:617-23.

22. Urbanek M, et al. Thirty-seven candidate genes for polycystic ovary syndrome: Strongest evidence for linkage is with follistatin. Proc Natl Acad Sci USA 1999;96:8573-8.

23. Tapanainen JS, Koivunen R, Fauser BC, Taylor AE, Clayton RN, Rajkowa M et al. A new contributing factor to polycystic ovary syndrome: the genetic variant of luteinizing hormone. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 1999; 84: 171115.

24. Misfud A, Ramirez S & Yong EL. Androgen receptor gene CAG trinucleotide repeats in anovulatory infertility and polycystic ovaries. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 2000; 85: 34843488.

SHAPE \* MERGEFORMAT

15