View
879
Download
15
Category
Preview:
DESCRIPTION
20130131073026.Evaluasi Otsus Papua Dan Papua Barat
Citation preview
1 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
BAB I PENDAHULUAN
ada bagian ini dijelaskan mengenai latar belakang mengapa dilakukan penelitian ini,
tujuan kajian yang ingin dicapai, batasan yang digunakan, metodologi secara singkat
dalam penelitian ini dan kerangka kajian serta sistimatika penulisan.
A. Latar Belakang
Otonomi menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari dengan negeri yang mempunyai
luas, penduduk, pulau terbanyak dan suku yang beraneka ragam seperti Indonesia. Otonomi
sendiri dapat diartikan sebagai pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (LAN, 2007). Pengalaman
Orde Baru dengan pendekatan sentralisasinya ternyata tidak mampu membendung gejolak
daerah-daerah yang menginginkan keadilan antara pusat dengan daerah, dikarenakan melalui
pendekatan top down tersebut setiap daerah di Indonesia hanya bisa memajukan daerahnya
dengan mengikuti segala aturan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Daerah tidak dapat
menggali potensi yang dimilikinya guna memajukan dan mensejahterakan masyarakat
daerahnya.
Selanjutnya berbagai kebijakan yang tersentralisasi juga belum sepenuhnya memenuhi
rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat dan belum
sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum sepenuhnya memungkinkan
tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan
hukum dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM) khususnya di Provinsi Papua.
Tahun 1999, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur
dan mengurus urusan rumah tangga sendiri, namun dalam perjalanannya undang-undang
tersebut dianggap belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat
masyarakat Papua baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah
Papua. Akhirnya pada Tahun 2001 Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan Otonomi Khusus
di Provinsi Papua dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
p
2 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Kebijakan Otonomi Khusus Papua pada dasarnya merupakan pemberian kewenangan
yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan
mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang berarti peran dan tanggung
jawab yang lebih besar dalam mengatur
urusan rumah tangganya, menyelenggarakan
pemerintahan dan mengatur pemanfaatan
kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran
rakyat Papua, diharapkan dengan kebijakan
ini akan dapat mengurangi kesenjangan di
Provinsi Papua dan Papua Barat dengan
provinsi-provinsi lainnya dengan
memberikan ruang lebih bagi masyarakat
lokal Papua dan Papua Barat sebagai subyek
utama dalam pembangunan.
Kebijakan Otonomi Khusus Papua tersebut tidak lepas dari sejarah panjang friksi yang
terjadi antara daerah ini dan Pusat. Sentimen atas ketidakadilan yang diterima daerah ini telah
memunculkan berbagai gejolak dimasa lampau yang mengarah pada proses disintegrasi.
Gejolak yang menjadi respon atas ketidakadilan sosial ekonomi yang dialami rakyat Papua
tersebut merupakan salah satu ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di tingkat
lokal, di Provinsi Papua sendiri hal tersebut menjadi salah satu alasan atas keterbelakangan
pembangunan yang dirasakan masyarakat Papua. Provinsi Papua yang kaya akan hasil alam,
namun ironisnya Provinsi ini merupakan Provinsi yang paling banyak penduduk miskinnya
dan tertinggal pembangunanya. Kondisi tersebut tentu saja mencerminkan kelemahan Negara
dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelemahan inilah
yang memicu tuntutan atas hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar bagi
masyarakat Papua. Latar belakang ini tidak dapat dikesampingkan dalam mengkaji
perkembangan pelaksanaan otonomi khusus Papua sampai saat ini.
Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001diterbitkan dan mulai dilaksanakan sejak
tanggal 1 Januari 2002, segenap Bangsa Indonesia berharap dapat menyaksikan perubahan-
perubahan positif yang terjadi di Papua. Gejolak yang pernah dialami, secara politis diharapkan
mampu diredam melalui kebijakan tersebut. Kebijakan ini pun dianggap dapat menjawab
berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan pembangunan Papua
yang tertinggal. Ketimpangan pembangunan Papua yang menyulut beragam masalah
harapannya juga dapat dikurangi dan masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera. Terlebih
setelah terjadi pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
“Masalah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua berawal dari belum berhasilnya Pemerintah mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Selain itu, persoalan mendasar seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap hak kesejahteraan rakyat Papua masih belum juga diselesaikan secara adil dan bermartabat”.
Tim Asistensi Otsus Papua (dikutip oleh Sumule, 2002: Djohermansyah Djohan, 2005)
3 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
pada tahun 2003 yang sempat mengalami tarik ulur selama beberapa tahun dan baru
diresmikan pada tahun 2008 melalui penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008.
Filosofi pemekaran daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sejalan dengan pelaksanaan otonomi khusus Papua.
Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin dicapai melalui kebijakan
khusus ini. Pertama adalah agenda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui
pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua dan Papua Barat yang
sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan
masyarakat Papua. Paralel dengan agenda tersebut adalah pengurangan kesenjangan antara
Provinsi Papua dan Papua Barat dengan Provinsi lainnya. Kedua adalah agenda mewujudkan
keadilan, dalam konteks kebijakan khusus ini adalah keadilan ekonomi dalam hal penerimaan
hasil-hasil sumber daya alam Papua. Keadilan dalam konteks tersebut diterjemahkan dalam
aspek dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah Papua/Papua Barat, sementara untuk
keadilan dalam konteks pembangunan secara lebih luas akan tampak dari capaian agenda
pertama. Ketiga adalah penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, serta
pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara
strategis dan mendasar. Keempat adalah penerapan tata kelola pemerintahan yang baik
melalui pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan
kelembagaan dan kebijakan yang memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya.
Itikad pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya jumlah dana Otonomi Khusus yang
dialirkan ke kedua Provinsi. Dari sejak dana Otonomi Khusus digulirkan pada tahun 2002
sebesar Rp. 1,38 T, meningkat tajam pada tahun 2010 sebesar Rp. 2,69 T untuk Papua. Adapun
Papua Barat yang mulai mendapatkan dana Otonomi Khusus sejak tahun 2009 setelah secara
resmi dimekarkan dari Provinsi Papua. Peningkatan dana otonomi khusus dari tahun ke tahun
ini seyogyanya mendorong peningkatan pelaksanaan otonomi khusus di kedua Provinsi.
Setidaknya terdapat empat program prioritas yang dilaksanakan untuk memacu
perkembangan pembangunan rakyat dan daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan,
pemberdayaan ekonomi rakyat, serta pembangunan infrastruktur. Namun demikian cerita
tentang Papua masih banyak didominasi atas keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil
pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Namun demikian tidak tertutup
kemungkinan adanya pelajaran positif yang dapat diambil sepanjang pelaksanaan otonomi
khusus yang hampir mencapai satu dekade ini. Bagaimana pencapaian agenda utama dari
4 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
kebijakan khusus ini perlu diketahui secara komprehensif. Di samping itu, penting untuk dikaji,
sejauh mana Provinsi Papua dan Papua Barat mampu mengejar ketertinggalannya dengan
provinsi lainnya sebagaimana diharapkan dengan adanya kebijakan otonomi khusus tersebut.
Kebijakan otonomi khusus tidak serta merta menjamin terselenggaranya pemerintahan
daerah yang lebih baik di Papua. Pelaksanaannya memerlukan kapasitas pemerintahan yang
memadai. Titik berat otonomi khusus Papua dan Papua Barat berada pada level provinsi.
Namun demikian kabupaten/kota dalam provinsi tersebutlah yang secara riil menjadi lokus
utama implementasi program pelaksanaan otonomi khusus tersebut. Di sisi lain, pemerintah
Pusat juga memiliki peran penting dalam kebijakan ini. Kapasitas dan hubungan antara ketiga
level pemerintahan ini perlu ditingkatkan untuk terselenggaranya pemerintahan daerah yang
lebih baik di Papua.
Aspek yang penting dari pelaksanaan otonomi khusus adalah bagaimana kebijakan
tersebut diimplementasikan. Dari segi kebijakan, sejumlah kebijakan pelaksanaan otonomi
khusus Papua dan Papua Barat dan berbagai program pembangunan telah diterapkan.
Kebijakan tersebut pada akhirnya juga berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya,
khususnya finansial. Apakah pilihan-pilihan kebijakan/program dan alokasi sumberdaya telah
berjalan optimal, perlu terus dimonitor dan ditingkatkan. Selain itu, pelaksanaan otonomi
khusus juga berjalan beriringan dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pengganti Undang-
Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Sektoral
dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008
tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Artinya, penerapan
kebijakan otonomi khusus tidak dapat diisolasi dari lingkungan kebijakan lainnya. Perlu ada
koherensi antar berbagai kebijakan yang bersinggungan dengan provinsi tersebut sehingga
terbangun kebijakan yang sinergis.
Dalam perkembangannya, setelah 11 tahun keberlangsungan otonomi khusus di Papua
ternyata belum dapat dikatakan berhasil, bila diukur dari 4 (empat) bidang pokok yang
menjadi sasaran Otonomi Khusus seperti, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi
rakyat dan pembangunan infrastruktur pada kenyataannya masih ditemukan berbagai
permasalahan seperti masih banyak angka siswa putus sekolah, minimnya sarana belajar
mengajar di kampung-kampung, keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang
relatif mahal di sejumlah wilayah akibatnya, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua
masih tetap berada di urutan menengah ke bawah secara nasional, yakni di kisaran 50,0-
65,9(BPS).
5 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Selanjutnya di bidang kesehatan, kondisi pelayanan kesehatan di Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat juga masih jauh dari harapan. Kasus kematian ibu melahirkan dan bayi
baru lahir, angka gizi buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta dan penyakit lainya masih
banyak terjadi .
Di sektor pemberdayaan ekonomi, pribumi Papua di Kota Jayapura dan sebagian besar
kabupaten/kota di Papua masih tetap berjualan di pinggiran jalan berdebu, dibawah terik mata
hari, emperan toko dan terus tergusur dari pasar yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan
pembangunan infrastruktur juga tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat asli Papua.
Selanjutnya, di bidang HAM, penegakan dan rekonsiliasi bagi korban dan keluarga
korban pelanggaran HAM tidak pernah berjalan, karena hingga 11 (sebelas) tahun Otonomi
Khusus berlaku tidak pernah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun
pengadilan HAM.
Kegagalan Otonomi Khusus juga disuarakan oleh berbagai lapisan masyarakat Papua,
ketidakmanfaatan dari otonomi khusus yang awalnya merupakan suatu jalan dimana dapat
menjadi jembatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua sepertinya tidak
berjalan mulus. Seperti dilansir oleh TheJakartaglobe.com, Ferry Ayomi anggota Kongres
Rakyat Papua
“Pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab
atas kegagalan otonomi khusus, karena kami (rakyat Papua) masih tertinggal dalam
situasi kemiskinan,”
Tuntutan untuk menelaah kebijakan otonomi khusus semakin mengemuka, bukan lagi
dalam bentuk telaah namun evaluasi secara menyeluruh dan komprehensif terhadap
pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Pemerintah sebagai penanggung jawab
akhir pelaksanaan otonomi daerah telah menyatakan siap untuk mengevaluasi otonomi khusus
Papua dan Papua Barat. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi
Negara (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah) serta Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata
Pemerintahan Indonesia bekerjasama untuk mempersiapkan dan melaksanakan Evaluasi
Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.
Terdapat beberapa argumen yang mendasari pentingnya evaluasi ini dilakukan,
diantaranya: Pertama, implikasi dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinisi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang, Inpres Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat*) telah memberi ruang kewenangan yang lebih kepada
6 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Provinsi tersebut. Ibarat dua sisi mata uang logam, dibalik kewenangan ini tentu melekat
berbagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Pelaksanaan otonomi khusus tersebut harus menghasilkan kinerja yang signifikan mendorong
percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Berdasarkan hasil temuan berbagai kajian
terdahulu dapat ditarik kesimpulan umum bahwa otonomi khusus belum dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Hal yang paling kasat mata adalah kondisi ketertinggalan Provinsi
Papua dan Papua Barat yang masih sangat mencolok. Kinerja yang dipengaruhi dinamika yang
terjadi di kedua Provinsi ini perlu dipantau perkembangannya seaktual mungkin.
Kedua, konsekuensi logis dari alasan diterapkannya otonomi khusus di atas berimplikasi
pada pengaturan kebijakan, kelembagaan, sumber daya, maupun program pembangunan, yang
tidak hanya memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun bagaimana interaksinya
dengan kebijakan umum lainnya merupakan aspek-aspek yang krusial bagi terselenggaranya
otonomi khusus dengan baik.
Ketiga, penerapan kebijakan tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang
harus dihadapi. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan tantangan
yang dihadapi sepanjang perjalanan pelaksanaan otonomi khusus yang dinamis.
Keempat, otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih perlu
untuk terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi bangsa dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial
budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada upaya yang tepat dan berkelanjutan
untuk perbaikan pelaksanaan Otonomi Khusus dan percepatan pembangunan Papua dan Papua
Barat.
B. Tujuan Kajian
Secara umum, tujuan Kajian Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua
dan Papua Barat adalah:
1. Mengetahui apa saja masalah-masalah pada level kebijakan yang perlu mendapat
perhatian, sebagai bahan pertimbangan perbaikan ke depan;
2. Mengetahui bagaimana implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat
terkait pengaturan dan pelaksanaan pengelolaan keuangan, kewenangan-kewenangan
khusus, lembaga khusus dan kekhususan lainnya;
3. Mengidentifikasi masalah-masalah kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi
khusus Papua dan Papua Barat, khususnya terkait pengelolaan keuangan dan
pelaksanaan kewenangan khusus;
7 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
4. Mengembangkan strategi perbaikan untuk memperkuat operasional kebijakan dan
implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.
C. Batasan Penelitian
Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas sehingga penelitian dapat terarah
dengan baik sesuai tujuan penelitian serta dengan adanya keterbatasan waktu pengerjaan
maka perlu adanya batasan penelitian. Batasan penelitian dalam keterkaitan kekhususan
lainnya hanya terbatas kepada Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
yaitu Perdasi dan Perdasus.
D. Metodologi dan Kerangka Pikir Kajian
1. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah pengumpulan data primer dan
sekunder. Data sekunder digunakan untuk data pendukung yang dibutuhkan untuk melengkapi
data primer, dapat berupa konsep/literatur, kebijakan, berita media massa, hasil kajian-kajian
yang terkait, dan laporan-laporan seperti: Provinsi, Kabupaten/Kota dalam angka yang
biasanya disajikan oleh Bappeda Kabupaten dan Kota/Badan Pusat Statistik, Data/Laporan
Hasil EKPPD, LAKIP, Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Tahunan, APBD Provinsi
Papua dan data-data lainnya yang digunakan untuk menganalisa dan menggambarkan
bagaimana pencapaian pembangunan Papua dan Papua Barat pada masa pelaksanaan otonomi
khusus dan juga bagaimana kebijakan terimplementasikan di daerah tersebut. Data primer
dikumpulkan selain juga melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden-responden yang
mewakili juga melalui wawancara dengan pemerintahan provinsi, pemerintahan
kabupaten/kota, perwakilan masyarakat, akademisi dan LSM. Diskusi kelompok terarah (focus
group discussion) juga dilakukan dengan para politisi, akademisi dan komunitas bisnis serta
seminar dengan para pihak terkait yang hasilnya digunakan dalam rangka mendapatkan
informasi kebutuhan pengembangan kapasitas daerah Papua dan Papua Barat dalam
mewujudkan tujuan otonomi khusus dan diharapkan melalui FGD juga akan didapatkan
berbagai informasi yang terkait dengan persepsi, verifikasi, dan hal-hal lain yang berkenaan
dengan dimensi sosial budaya. Wawancara dan FGD dimaksudkan untuk memastikan
konsistensi data dan menghindari terjadinya salah tafsir (mis-interpretasi).
2. Daerah Penelitian Untuk analisa data pelaksanaan otonomi khusus, daerah penelitian mencakup Provinsi Papua
dan Propinsi Papua Barat, dan untuk studi lapangan digunakan sampel beberapa daerah yaitu
8 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Provinsi Papua Barat meliputi Kabupaten Manokwari, Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan
sedangkan Provinsi Papua meliputi Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Biak
Numfor, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke.
3. Kerangka Pikir Kajian Kerangka pikir kajian yang dikembangkan dalam penelitian ini, dengan mengacu kepada acuan
pokok kebijakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 yaitu Keuangan Khusus, Kewenangan Khusus, dan
Kelembagaan Khusus dan Kekhususan Lainnya yang digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Kajian
KEUANGAN DAN PENGELOLAANNYA
LEMBAGA KHUSUS
KEWENANGAN KHUSUS
KEKHUSUSAN LAINNYA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PAPUA (DPRP) & DPRPB
MAJELIS PERWAKILAN PAPUA (MRP) & MRPB
PEREKONOMIAN PENDIDIKAN KESEHATAN KEPENDUDUKAN &
KETENAGAKERJAAN LINGKUNGAN HIDUP SOSIAL INFRASTRUKTUR
PERDASI & PERDASUS
KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA & PAPUA BARAT
IDEN
TIFI
KASI
M
ASAL
AH
STRATEGI PERBAIKAN PENYELENGGARAAN OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN PAPUA BARAT
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk
menghasilkan strategi perbaikan kebijakan dibutuhkan berbagai masukan–masukan dari
identifikasi permasalahan yang terkait komponen-komponen kebijakan otonomi khusus Papua
dan Papua Barat sendiri yaitu keuangan khusus, kewenangan khusus, kelembagaan khusus dan
kekhususan lainnya yaitu perdasi dan perdasus.
9 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
E. Sistematika Penyajian Laporan Kajian
Adapun Sistematika penyajian laporan kajian ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan latar belakang, tujuan kajian, metode dan kerangka pikir kajian dan
sistematika penyajian.
BAB II KERANGKA KONSEP
Pada bab ini diuraikan teori-teori evaluasi kebijakan, implementasi kebijakan dan assimetris
desentralisasi yang sesuai untuk dijadikan dasar atau landasan untuk membahas tentang
kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.
BAB III KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN PAPUA BARAT
Pada bab ini diuraikan penjelasan kebijakan otonomi khusus dari Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008.
BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
Pada bab ini diuraikan sub pokok bahasan yang pertama tentang gambaran umum kebijakan
otonomi khusus Papua dan Papua Barat, Implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan
Papua Barat, dan terakhir strategi alternatif perbaikan penyelenggaraan otonomi khusus Papua
dan Papua Barat
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil laporan yang dibahas dari bab
sebelumnya dan saran-saran yang dipandang perlu berdasarkan atas kesimpulan yang
dikemukakan.
10 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
BAB II KERANGKA KONSEP
ada bab ini akan dijelaskan mengenai pengkajian konsep atau teori yang berkaitan
dengan desentralisasi asimetris dan implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan
otonomi khusus serta pembahasan penelitian yang relevan
A. Pengkajian Teori
1. Desetralisasi Asimetris
Desentralisasi merupakan suatu cara yang efektif dalam memperbaiki bentuk
pelayanan dengan mendekatkan penyedia layanan publik dengan lebih memberikan rasa
keadilan kepada masyarakat dalam pendistribusian layanan masyarakat. Desentralisasi
juga diakui di negara berkembang sebagai jalan pintas dalam mempercepat pengentasan
kemiskinan (poverty reduction) dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic
growth) melalui penataan manajemen pemerintah yang efektif dan efisien (Osborne dan
Gaebler, 1992).
Cornelis Lay1 yang dikutip Suara Karya Online, Desentralisasi merupakan bentuk
koreksi terhadap praktek sentralisasi Orde Baru dengan tujuan mengakomodasi aspirasi
dari daerah-daerah yang termarjinalkan, penerapan yang paling ideal untuk Indonesia
adalah Desentralisasi asimetri yaitu desentralisasi yang disesuaikan dengan daerah
masing-masing artinya tidak disamaratakan secara seragam penerapannya terhadap
seluruh daerah di Indonesia.
Kebijakan desentralisasi (Otonomi Khusus) yang diterapkan di Papua, menurut
Kausar (2006:2) merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang “asimetris”.
Artinya, kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Papua tidaklah simetris dengan
desentralisasi di provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan asimetris dilakukan untuk
mengakomodasikan perbedaan yang tajam antara Papua dengan daerah lainnya. Dengan
pendekatan kebijakan itu, kekhususan daerah dapat diakomodasikan tanpa harus
menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri dari negara induk. Dengan
demikian, pendekatan desentralisasi di Papua pada hakikatnya tetap dimaksudkan untuk
mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri.
Selain itu berbagai literatur berkaitan dengan devolusi asimetris, juga dapat ditelaah
untuk memahami konsep kekhususan otonomi Papua dan Papua Barat. De facto asymmetry
1 Disampaikan saat penyampaian aspirasi dengan Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR, 19 Februari 2010
P
11 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
merujuk pada adanya perbedaan kondisi antara daerah satu dengan lainnya. Misalnya saja
dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa. Sehingga muncul perbedaan
dalam pemberian otonomi, baik sistem perwakilan atau kewenangan karena adanya
perbedaan karakteristik tadi. De jure asymmetry merupakan produk konstitusi yang
didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi
kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah
kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja dengan alasan yang berbeda.
Asimetri, didefinisikan sebagai perbedaan status dan/atau kekuasaan (power)
diantara unit-unit yang menjadi bagian suatu Negara federal atau Negara yang
terdesentralisasi yang termaktub dalam konstitusi atau ketentuan hukum lainnya
(Hombrado,2001). Adapun desentralisasi asimetris merupakan suatu kondisi dimana tidak
semua unit yang terdesentralisasi, diberikan fungsi, kewajiban-kewajiban, sekaligus
kekuasaan yang sama. Banyak negara di dunia yang menerapkan desentralisasi asimetris,
baik politik maupun administrative (Livack, Jeanni, dkk 1998). Secara teoritis,
desentralisasi asimetris berhubungan dengan sebuah transfer kekuasaan fiskal,
kewenangan, dan tanggung jawab dengan “takaran yang berbeda” diberbagai daerah yang
berbeda dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan suatu negara dan taraf
pembangunannya.
Munculnya konsep desentralisasi asimetris (asymmetric decentralisation) berawal
dari konsep asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton (1965), dan
selanjutnya dikembangkan oleh Andrew Tilin. Menurut Tillin (2006), terdapat dua jenis
asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. De facto asymmetry merujuk
pada adanya perbedaan kondisi antara daerah satu dengan lainnya. Misalnya saja dalam
hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa. Sehingga muncul perbedaan dalam
pemberian otonomi, baik sistem perwakilan atau kewenangan karena adanya perbedaan
karakteristik tadi. De jure asymmetry merupakan produk konstitusi yang didesain secara
sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan
dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu,
kepada daerah tertentu saja dengan alasan yang berbeda.
Disebutkan pula oleh Livack, Jeanni, dkk (1998) bahwa dengan banyaknya perbedaan
yang ada, baik dalam yurisdiksi politik maupun perbedaan karakteristik urusan rumah
tangganya, model “one size fits all” tidak sesuai bagi desentralisasi. Argumennya, instrumen
yang berbeda bisa menghasilkan efek yang berbeda dalam kondisi yang berbeda. Demikian
pula dengan pendekatan yang berbeda, ini pun bisa saja dibutuhkan untuk mencapai tujuan
yang sama. Untuk mengakomodasi kebutuhan pendekatan bagi perbedaan tersebut,
12 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
kebijakan pusat yang asimetris yakni dengan memperlakukan unit yang berbeda secara
berbeda bisa diperlukan untuk mendapatkan hasil (outcome) yang sama.
Desentralisasi asimetris dapat dijumpai dalam berbagai model. Ditinjau dari relasi
antara otoritas pusat dan daerah dapat diidentifikasi berbagai tipe kekhususan/asimetri:
Pertama, kekhususan/asimetri politis (political asymmetry), diterapkan khususnya untuk
alasan non ekonomi dan alasan politis di negara-negara dimana unit pemerintahan
daerahnya memiliki kapasitas yang berbeda, atau dimana terdapat unit pemerintahan
daerah yang memiliki tugas tanggung jawab yang berbeda. Kedua, kekhususan (asimetri)
administratif (administrative asymmetry), kekhususan dicapai dengan adanya kesepakatan
antara otoritas pusat dan otoritas daerah dimana kompetensi disepakati dengan
mempertimbangkan kapasitas administratif otoritas lokal. Ketiga, kekhususan/asimetri
fiskal (fiscal asymmetry). Kekhususan politis maupun administratif pada umumnya diikuti
dengan dimensi finansial yang khusus2.
Selain ditemukan kekhususan/asimetri secara de jure, de facto atau keduanya, dapat
pula dijumpai kekhususan yang diimplementasikan pada keseluruhan wilayah atau hanya
pada wilayah tertentu yang membutuhkan adanya kekhususan. Misalnya ditemukan di
Spanyol dan Kanada. Disamping itu, dimungkinkan pula dilakukan desentralisasi asimetrik
dengan mendesentralisasikan tugas-tugas secara langsung dari pemerintah pusat kepada
swasta daripada pemerintah daerah. Desentralisasi asimetris diberbagai negara diterapkan
secara temporer. Terdapat pula desentralisasi asimetris yang diterapkan secara permanen
atau untuk jangka waktu yang panjang (long term asymmetrical decentralization).
Contoh yang menarik tentang desentralisasi asimetris dijumpai di Republik
Macedonia, dimana desentralisasi fiskal yang asimetris diimplementasikan secara
bersyarat (conditional fiscal decentralization based on asymmetric transfer of grants). Dalam
hal ini masing-masing Municipal mendapatkan hak yang sama dalam hal kompetensi dan
sumber finansial, namun memperhatikan aturan spesifik untuk memasuki langkah
selanjutnya dalam proses desentraslisasi. Selain itu, adanya kenyataan bahwa beberapa
unit bisa saja tidak memenuhi kriteria akan diperhitungkan sehingga konsekuensinya, unit-
unit tersebut akan tetap berada pada tahapan yang lebih rendah. Pendekatan asimetris
dalam proses desentralisasi fiskal asimetris di Republik Macedonia berlandaskan pada
prinsip bahwa transfer kompetensi dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas
2 Lihat pembahasan oleh Aleksandra Maksimovska Veljanovski, The Model of the Asymmetric
Fiscal Decentralisation in the Theory and the Case of Republic of Macedonia, Iustinianus Primus Law Review Vol1.1
13 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
municipal dan alokasi pendapatan (revenue assignment) untuk menjamin kinerja finansial
yang tepat dan efektif. Oleh karena itu aktivitas finansial pada tingkat lokal mengalami
perbaikan dibanding kondisi sebelumnnya.
Model yang berbeda diterapkan di China, dimana mekanisme desentralisasi ekonomi
asimetris diterapkan bersama dengan sentralisasi politik dibawah partai yang berkuasa
dengan control yang ketat dari Chinese Communist Party (CCP). Terminologi assimetris
dalam hal ini juga memerujuk pada konsep bahwa Pemerintah Pusat masih memegang
kendali diatas. Desentralisasi hanya diberlakukan dalam ekonomi .
Terdapat sejumlah tujuan positif tentang manfaat desentralisasi asimetris.
Desentralisasi asimetrik bisa menjadi model yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
politis yaitu tujuan stabilitas, integrasi, dan legitimasi bagi pemerintahan nasional.
Kekhususan yang dimiliki daerah-daerah berdasarkan sejarah, etnis bahasa, agama,
ataupun kombinasinya akan terakomodasikan melalui struktur pemerintahan khusus
(Leemans ,1970;Ramses M, 2009). Model desentralisasi asimetris dianggap sebagai
berpotensi menyelesaikan konflik yang bersifat politis dan etnis dalam kondisi sosial yang
terfragmentasi.Dengan demikian pilihan otonomi khusus secara konsep dapat menjadi
strategi untuk mengakomodasi tuntutan dan identitas lokal yang seringkali menimbulkan
gejolak perlawanan terhadap pemerintahan nasional.
Alasan lain penerapan desentraslisasi asimetris dilandasi oleh tujuan ekonomi seperti
pencapaian efisiensi kepemerintahan daerah, peningkatan kualitas pelayanan. Perbedaan
instrument fiskal antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam desentralisasi
fiskal asimetris juga dilandasi argumen ekonomis, sebagaimana disampaikan oleh Tiebout
(1956)dan Oates (1972) bahwa system yang terdesentralisasi akan lebih mampu
mengakomodasi perbedaan pilihan untuk pelayanan publik. Tujuan efisiensi tersebut
selaras dengan motif administratif dalam penerapan desentralisasi asimetris, khususnya
berkenaan dengan adanya perbedaan kapasitas antar daerah dalam menjalankan
administrasi publik.Penyediaan properti dan pelayanan publik serta kebijakan publik yang
efisien bergantung pada birokrasi yang berfungsi dengan baik. Di samping itu hal ini juga
dipengaruhi oleh institusi politik yang mendukung. Jika daerah memiliki kapasitas yang
lebih baik dalam menjalankan pemerintahan daripada daerah lain, akan lebih efisien jika
kewenangan fiskal tertentu didesentralisasikan pada daerah yang memiliki kapasitas yang
lebih baik daripada diberikan pada daerah yang kapasitasnya tidak memenuhi.
Joachim Wehner berpendapat yang serupa mengenai manfaat desentralisasi asimetris.
Menurutnya tatanan yang asimetris bisa saja merupakan produk yang dilandasi tujuan
politis, untuk mencegah ketegangan etnis atau religious namun juga dapat dilakukan untuk
14 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
mencapai tujuan-tujuan ekonomi seperti efisiensi, pengelolaan makro ekonomi yang lebih
baik, dan harmonisasi dalam bidang administrasi (administrative cohesion)3. Pendekatan
asimetris seperti diterbitkannya aturan fiskal khusus dapat diterapkan di negara yang
memiliki banyak perbedaan. Disamping itu, hal semacam ini juga dapat diimplementasikan
dengan tujuan politis dimana daerah tertentu mengalami ketimpangan pembangunan dan
populasi multietnis.
Devolusi yang diikuti dengan transfer kekuasaan dan pengorganisasian institusi
pemerintahan yang substansial serta akses pada sumber daya yang penting dapat
meningkatkan identitas regional tanpa melemahkan identitas nasional. Pengalaman
semacam ini dapat dilihat pada desentralisasi asimetris diberbagai negara seperti Kanada,
Spanyol, maupun Britania.
Desentralisasi asimetris juga diterapkan untuk tujuan hukum (legal reasons). Hal ini
dilakukan dalam rangka memenuhi ketentuan konstitusional. Disamping itu, desentralisasi
asimetris untuk tujuan ini bisa juga dilakukan dalam rangka menjalankan kesepakatan
internasional yang telah diratifikasi (ratified international agreements). Penerapan
desentralisasi asimetris, sekalipun memungkinkan tercapainya manfaat sebagaimana
disampaikan dalam argumen positif tentang kebijakan tersebut, juga memungkinkan
timbulnya berbagai persoalan atau resiko-resiko tertentu. Livack, Jeanni, dkk (1998)
mencatat bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan masalah yang fundamental: yakni
perlunya suatu hukum yang memperlakukan semua unit dengan sama disatu sisi,
sementara disisi lain dihadapan kenyataan bahwa ada perbedaan yang luas diantara unit-
unit tersebut. Ditambahkan pula bahwa pendekatan desentralisasi asimetris juga memiliki
resiko meningkatkan kesenjangan, karena adanya kekuasaan (power) yang lebih (Livack,
Jeanni, dkk, 1998).
Selain itu sejumlah literatur yang mengkaji tentang penerapan desentralisasi
asimetris di berbagai negara, memberikan catatan khusus yang perlu dipertimbangkan.
Meski model ini dapat dipertimbangkan untuk menyelesaikan konflik politik dan etnis
dalam masyarakat yang terfragmentasi, namun tidak menjamin bahwa masyarakat yang
terfragmentasi tersebut dapat menjadi lebih koheren jika pemerintah pusat hanya
menerapkan desentralisasi politik, administratif, dan fiskal saja. Reformasi lain perlu
dilakukan untuk mendukung kebijakan tersebut. Pendekatan asimetris tidak mengarah
pada separatism, namun sebaliknya dapat memelihara unitarisme. Akan tetapi kebutuhan
riil, kondisi, dan kapasitas masing-masing area haruslah menjadi kriteria pembedaan
transfer khusus atas kompetensi dan tanggung jawab dengan tujuan untuk meningkatkan
3 Ibid.
15 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
kualitas pelayanan publik dalam unit-unit lokal yang dikelola secara berbeda di suatu
negara. Sejarah yang ditunjukkan berbagai negara Balkan seperti Macedonia, Serbia,
Kosovo memberikan pelajaran bahwa upaya tersebut tidak berjalan tanpa masalah,
sementara dalam benak masyarakat mereka tetap menginginkan pendekatan yang berbeda
untuk menyelesaikan masalah keseharian mereka. Logika fiskal dalam hal ini bisa terlihat
tidak relevan ketika dihadapkan pada masalah keseharian yang dihadapi masyarakat lokal.
Diperlukan suatu model desentralisasi yang spesifik. Livack, Jeanni, dkk (1998) juga
memberikan catatan bahwa pilihan prinsip-prinsip (model) yang diterapkan dalam
desentralisasi asimetris mempengaruhi keberhasilannya.
Di berbagai negara kesatuan, contoh penerapan desentralisasi asimetrik dapat
dijumpai di Spanyol-Catalonia, Basque Country, dan Galicia, Italia-di 5 (lima) daerah,
Perancis- Corsica, Denmark- Greenland, Tanzania- Zanzibar, UK-Irlandia Utara, Scotland,
Wales, Finlandia- Sami dan sebagainya. Di Spanyol, pemerintah pusat mengatur level
otonomi yang berbeda bagi daerah. Catalonia, Basque Country, dan Galicia memiliki derajat
otonomi yang cenderung lebih besar dibanding daerah lain. Hal ini mempertimbangkan
sentimen nasionalis dan hak-hak yang telah dimiliki daerah-daerah tersebut secara
historis. Desentralisasi fiskal asimetris mampu memenuhi tuntutan nasionalistik dan
menurunkan ketegangan antar daerah di Spanyol dan menjadi landasan yang penting
dalam transisi menuju demokrasi4.
Italia, menerapkan desentralisasi asimetris yang dituangkan dalam hukum konstitusi
yang disahkan oleh Parlemen Italia. Terdapat lima daerah, yakni Sardinia, Sicily, Trentino-
Alto Adige/Südtirol, Aosta Valley, dan Friuli-Venezia Giulia, yang memiliki otonomi yang
khusus. Status otonomi khusus tersebut memberikan kekuasaan yang relatif lebih besar
dalam hal legislasi dan administrasi.Di samping itu, daerah tersebut juga memiliki otonomi
finansial yang signifikan. Friuli-Venezia Giulia memiliki 60% dari keseluruhan pajak,
sementara Sicily memiliki 100% dari pajak dan daerah-daerah tersebut memiliki
kebebasan menentukan bagaimana pendapatan tersebut digunakan. Otonomi khusus
tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang
dihuni penduduk berbahasa minoritas. Aosta Valley dihuni penduduk berbahasa Prancis,
Friulli-Venezia Giulia penduduknya kebanyakan berbahasa Slovenia, sementara Trentino-
Alto Adige/Südtirol penduduknya mayoritas berbahasa Jerman. Di samping itu, kondisi
geografis yang terisolasi juga turut menjadi pertimbangan.
4 Teresa Garcia-Milà dan Therese J. McGuire, 2002, Fiscal Decentralization in Spain: An Asymmetric
Transition to Democracy, paper 22 Maret, 2002
16 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Dalam praktek otonomi daerah di Indonesia paling tidak terdapat tiga bentuk yang
dapat dipertimbangkan dan/atau dikembangkan lebih lanjut. Pertama, desentralisasi
asimetris yang dikemas dalam kerangka Undang-Undang yang berlaku saat ini, yakni
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya juga
sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah.
Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas untuk
kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk provinsi, 3) otonomi khusus
untuk Papua ( Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001) dan Nangroe Aceh Darussalam
(Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006), serta
4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2007).
Desentralisasi asimetris yang dianut dalam Undang-Undang tentang Otonomi khusus
Papua mencakup aspek politis dan fiskal. Dalam banyak hal, tujuan politis dan ekonomis
cenderung mewarnai kebijakan otonomi khusus Provinsi Papua sebagaimana disinggung
dalam penjelasan konsep di atas. Kebijakan ini tidaklah permanen, meski diterapkan dalam
jangka panjang, pada akhirnya kekhususan dalam hal perimbangan keuangan akan
dikurangi setelah jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan.
2. Implementasi Kebijakan dan Evaluasi Kebijakan Otonomi Khusus Implementasi menurut kamus Webster berasal dari kata to implement
(mengimplementasikan) yang juga berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu
dan to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Oleh karena
itu definisi implementasi kebijakan banyak dikemukakan oleh para ahli lebih difokuskan pada
dampak atau akibat dari suatu kebijakan yang dilakukan oleh individu-individu, kelompok-
kelompok atau para aktor yang terkait dalam organisasi pelaksana.
Dalam bahasa Pressman dan Wildavsky (1973), kebijakan adalah suatu hipotesis yang
berisi kondisi awal dan prediksi hasil-hasilnya. Oleh karena itu implementasi disebut sebagai
‘process of interaction between the setting of goals and actions geared to achieve them. It is
essentially and ability to ‘forge links’ in a causal chain so as to put policy into effect’. Menurut
mereka implementasi akan berjalan tidak efektif jika hubungan antara berbagai lembaga yang
terlibat memperlihatkan ‘ketidakcakapan dalam mengimplementasikan (implementation
deficit)’. Tujuan harus jelas didefinisikan dan dimengerti, sumberdaya harus memadai, rantai
komando harus mampu menyatukan dan mengontrol sumberdaya. Di samping itu harus ada
komunikasi yang efektif dalam sistem dan ada kontrol yang baik atas individu dan organisasi
yang terlibat dalam tugas-tugas yang ada. Pressman dan Wildavsky juga berpendapat bahwa
implementasi haruslah merupakan proses yang linier dimana arah kebijakan diterjemahkan
17 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
menjadi aktivitas-aktivitas program dengan sedikit mungkin adanya deviasi. Kemudian,
pembuat kebijakan berdasarkan pemikiran Pressman dan Wildavsky mempunyai peranan
yang paling signifikan karena merupakan satu-satunya tokoh penting dan lainnya merupakan
pelaksana saja dalam proses implementasi tersebut. Oleh karenanya, dalam pandangan mereka
implementasi membutuhkan sistem kontrol dan komunikasi serta sumber daya dari atas ke
bawah (top down) yang memadai (Parson, 1995).
Dalam perkembangan selanjutnya muncul berbagai pendapat tentang fenomena yang
kompleks dari implementasi kebijakan5. Analisis tentang implemantasi perlu memperhatikan
fenomena tersebut yang mencakup: (1) bentuk kebijakan dan kontennya, (2) organisasi dan
sumber dayanya; (3) pelaku termasuk didalamnya mengenai talenta-talenta, motivasi-motivasi,
kecenderungan-kecendungan, dan hubungan/relasi antar personal termasuk pola
komunikasinya. Studi yang dilakukan oleh Wildavsky dan Majone serta Browne selanjutnya
menyimpulkan bahwa proses implementasi melibatkan peran pelaksana dalam merumuskan
kebijakan sebagaimana dalam melaksanakan tujuan kebijakan yang ditetapkan dari atas
(Parson, 1995). Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam pendekatan yang murni top
down dalam implemantasi.
Kelemahan lain ditunjukkan oleh Michael Lipsky dimana pendekatan top down tidak
memperhitungkan peran para aktor dan tingkatan dalam proses implementasi. Disebutkan
bahwa pelaksana di lapangan (street-level) harus diperhitungkan. Hal ini memunculkan model
bottom-up models, yang mana member penekanan pada fakta bahwa para pelaksana di
lapangan memiliki ruang diskresi dalam mengimplementasikan kebijakan (Parson, 1995).
Pada implementasi kebijakan pada dasarnya terdapat ruang diskresi yang bisa saja
sangat luas, karena kebijakan atau undang-undang mengandung elemen yang dapat
diinterpretasikan secara berbeda-beda (interpretative element). Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Davis, 1969 (dikutip oleh Parson, 1995) : ‘A public officer has discretion
wherever the effective limits on his power leave him free to make a choice among possible courses
of action and inaction. Whether the mode of implementation is top down or bottom up, those on
the front line of policy delivery have varying bands of discretion over how they choose to exercise
the rule which they are employed to apply’. Pendapat tersebut dapat dipahami bahwa sepanjang
otoritas yang dimilikinya, pelaksana kebijakan bisa memilih apa yang dikehendakinya untuk
dikerjakan atau tidak dikerjakan. Apapun pendekatannya (baik top down atau bottom up), para
pelaksana kebijakan memiliki banyak pilihan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan 5 Konsep ini dianggap sebagai generasi kedua dalam studi implementasi. Dalam kelompok ini antara lain adalah Daniel Mazmanian dan Paul Saatier (1975), Donald S. Van Meter dan Carls E. Van Horn menulis buku yang berjudul ”The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework in Administration and Society” serta Merilee S. Grindle menulis buku yang berjudul “Politics and Policy Implementation in The Third World”.
18 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
yang telah ditetapkan. Adanya diskresi ini di satu sisi bisa memudahkan para pelaksana, namun
jelas juga dapat menimbulkan masalah.
Perkembangan selanjutnya, muncul konsep implementasi kebijakan generasi ketiga yang
lebih mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan utama dengan variable-variabel
penelitian top-down dan bottom-up.6 Dalam pendekatan ini lebih difokuskan kepada desain
kebijakan dan jejaring kebijakan serta implikasinya terhadap bagaimana keberhasilan dari
implementasi kebijakan. Elemen tersebut merupakan hal terpenting yang akan dievaluasi atau
dengan kata lain seberapa baik suatu program dan kebijakan itu didesain akan mempengaruhi
tingkat keberhasilan dari implementasinya dalam jejaring kebijakan tertentu. Integrasi kedua
elemen tersebut memungkinkan masalah yang timbul akibat adanya diskresi dalam
implementasi dapat dikelola.
Terkait dengan kebijakan otonomi khusus, setelah pemerintah Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat menerima mandat dan tanggung jawab baru tersebut yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana pelaksanaannya (implemantasinya). Oleh karena itu dalam
perspektif para pelaksana di daerah, desentralisasi tidak hanya berarti sebuah tanggung jawab
baru yang kompleks, namun juga suatu bentuk hubungan yang berbeda dengan berbagai
tingkatan pemerintahan yang harus dikelola secara simultan. Bagi mereka, hal ini menjadi
arena baru-dengan mandat, aturan, tingkat kesulitan yang baru, dimana mereka dituntut untuk
berkinerja. Hal ini bisa saja menjadikan seperti apa bentuk desentralisasinya tidak terlalu
diambil pusing. Namun yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah daerah beradaptasi
dengan tuntutan dan harapan yang baru serta bagaimana mengelola kompleksitas tanggung
jawab yang didesentralisasikan (Grindle,2007) .
Ada karakteristik tertentu dalam implementasi kebijakan desentralisasi, sehingga faktor
yang bisa mempengaruhi keberhasilannya pun khas untuk kebijakan sejenis ini. Cheema dan
Rondinelli (1983, hal. 26-31) menyebutkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan desentralisasi. Sebagaimana diilustrasikan dalam gambar, faktor
tersebut mencakup kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, sumberdaya untuk
implementasi program, karakteristik lembaga pelaksana, yang keterkaitan mempengaruhi
kinerja dan dampak implementasi kebijakan desentralisasi.
6 Generasi ketiga ini antara lain dimotori oleh Malcolm L Goggin, Ann Ann O’M Bownman, James Lester dan Lautence J O’toole dengan bukunya yang berjudul “Implementation Theory and Practice – Toward a third Generation”.
19 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Gambar 2.1
Proses Implementasi Program menurut G. Shabir Cheema dan Dennis A. Rondinelli
Kondisi Lingkungan1. Tipe system Pol 2. Struktur pembangunan Kebijakan 3. karakteristik struktur politik lokal 4. kendala sumberdaya 5. sosio kultural 6. Derajad keterlibatan para penerima program 7. Tersedianya infrastruktur fisik yg cukup
Hub. Antar Organisasi 1. Kejelasan & konsistensi sasaran program2. Pembagian fungsi antar instansi yang pantas3. Standardisasi prosedur perencanaan, anggaran, implementasi & evaluasi4. Ketepatan, konsistensi & kualitas komunikasi antar instansi5. Efektivitas jejaring utk mendukung program
Sumberdaya Organisasi 1. control terhadap sumber dana. 2. keseimbangan antara pembagian anggaran & kegiatan program 3. Ketepatan alokasi angg 4. pendapatan yg cukup utk pengeluaran 5. Dukungan pemimpin pol pusat 6. dukungan pemimpin politik lokal 7. komitmen birokras i
Karakteristik & Kapabilitas Instansi Pelaksana : 1. Ketrampilan teknis , manajerial & politis petugas 2. Kemampuan utk mengkoordinasi, mengontrol & mengintegrasikn kepts. 3. Dukungan & sumberdaya pol instansi 4. 4. Sifat kom internal 5. Hub yg baik antara instansi dg kel sasaran 6. Hub instansi dg pihak diluar pemt & NGO 7. Kualitas pemimpin instansi yg bersangkutan 8. komitmen petugas terhadp program 9. kedudukan instansi dlm hirarki sistem adm
Kinerja dan Dampak 1. Tingkat sejauh mana program dpt mencapai sasaran 2. adanya perubahan kemampuan adm pd orgs lokal 3. Berbagai keluaran & hsl yg lain
Sumber: Subarsono, 2005:102
Lebih lanjut, pendapat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Kondisi lingkungan (environtmental conditions)
Pemahaman akan kondisi sosial ekonomi dan politik yang melatarbelakangi munculnya
suatu kebijakan sangat diperlukan untuk menganalisa implementasi kebijakan. Suatu
kebijakan muncul dari lingkungan sosial ekonomi yang spesifik dan kompleks serta
lingkungan politis. Hal ini tidak saja menentukan substansi dari suatu kebijakan, namun
juga bentuk dari hubungan antar organisasi yang terlibat didalamnya beserta karakteristik
pelaksana beserta jumlah dan jenis sumberdaya yang digunakan untuk melaksanakan
kebijakan tersebut.
Hubungan antar organisasi (interorganizational relationship)
Keberhasilan suatu kebijakan memerlukan interaksi dan koordinasi organisasi
pemerintahan pada berbagai level, baik nasional, regional, maupun di tingkat lokal. Hal ini
utamanya dalam tindakan yang saling mendukung yang perlu dilakukan organisasi
tersebut dan kerjasama dengan berbagai pihak lain, termasuk dengan para penerima
manfaat program. Efektifitas hubungan antar organisasi tersebut bisa saja dipengaruhi
oleh berbagai hal: a) kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan serta sejauhmana lembaga
pelaksana mendapatkan arahan yang jelas untuk menjalankan aktivitas tersebut; b)
alokasi fungsi-fungsi yang sesuai, berdasarkan kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki; c)
sejauhmana perencanaan, penganggaran, dan prosedur implementasi diatur, sehingga
20 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
dapat meminimalkan interpretasi yang tidak sesuai, dimana dapat menyebabkan
implementasi sulit dikoordinasikan; d) akurasi, konsistensi, dan kualitas hubungan
komunikasi yang memungkinkan organisasi yang terlibat memahami peran dan tugasnya
dalam mendukung satu sama lain; e) efektivitas hubungan unit-unit administratif yang
terdesentralisasi yang menjamin interaksi antar organisasi dan koordinasi kegiatan.
Sumberdaya untuk implementasi program (resource for policy and program
implementation)
Kondisi lingkungan dan hubungan organisasi yang kondusif penting bagi implementasi,
namun itu saja tidak cukup. Sejauhmana pelaksana menerima dukungan finansial,
administratif, serta dukungan teknis yang memadai, juga menentukan hasil dari
implementasi. Implementasi kebijakan desentralisasi juga dapat dipengaruhi sejauhmana
pelaksana kebijakan memiliki kontrol terhadap dana yang ada, sejauhmana kecukupan
alokasi anggaran maupun ketersediaanya pada waktu yang tepat, maupun seberapa cukup
dana yang dimiliki dibanding pengeluaran yang ada. Agar pemerintah daerah mampu
melaksanakan kebijakan desentralisasi, diperlukan dukungan dari pimpinan politik,
pejabat lokal maupun elit, serta memerlukan dukungan administratif dan teknis dari
pemerintah pusat.
Karakteristik lembaga pelaksana (characteristic of implementing agencies)
Hal ini mencakup kemampuan teknis, manajerial, maupun politis lembaga pelaksana.
Disamping itu juga kapasitas untuk mengkoordinasikan, mengontrol, dan
mengintegrasikan keputusan dari sub-unit yang ada, ditambah dengan dukungan politis
dari pimpinan politik nasional. Selain itu hal-hal seperti kualitas komunikasi internal,
kepemimpinan organisasi pelaksana, maupun penerimaan dan komitmen untuk
mewujudkan tujuan kebijakan juga dapat mempengaruhi hasil-hasil implementasi
kebijakan desentralisasi.
Hal lain yang mempengaruhi implementasi kebijakan desentralisasi adalah adanya
diskresi dalam kebijakan tersebut. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Davis di atas,
implementasi kebijakan otonomi khusus memiliki suatu ruang diskresi didalam
pelaksanaannya. Kebijakan tersebut mengandung elemen interpretatif, yang dapat saja
diinterpretatisikan secara berbeda oleh pelaksanaanya. Akibatnya, adanya diskresi yang keliru
dalam implementasi kebijakan bisa berpengaruh terhadap hasil-hasil kebijakan. Oleh karena
itu, bukan saja desain kebijakan yang perlu mendapat perhatian, namun juga dukungan dalam
implementasi yang mampu mengarahkan diskresi para pelaksana agar berjalan sesuai dengan
tujuan. Dalam hal ini integrasi antara peran dari pemerintah pusat kepada pelaksana di
21 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
lapangan (top down) dan kemampuan pemerintah daerah di lapangan (bottom-up) sangat
menentukan.
Implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu sendiri
(Riant Nugroho;2006), oleh karenanya pada prinsipnya harus memenuhi “empat tepat” yang
penting dalam keefektifan implementasi kebijakan, yaitu :
1. Apakah kebijakannya sendiri sudah tepat
Ketepatan kebijakan dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal
yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.
2. Ketepatan pelaksana
Aktor implementasi bukan hanya pemerintah, ada tiga lembaga yang dapat menjadi
pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta atau
implementasi kebjakan yang diswastakan (privatization atau contracting out).
3. Ketepatan target implementasi
Ketepatan di sini berdasarkan atas tiga hal, yaitu: pertama, apakah target yang diintervensi
sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi yang
lain. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi ataukah tidak, ketiga,
apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi
kebijakan sebelumnya.
4. Apakah lingkungan implementasi sudah tepat
Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu (1) lingkungan kebijakan, merupakan
interaksi diantara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dan lembaga lain
yang terkait; (2) lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas public opinion, persepsi
publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive institutions yang
berkenaan dengan interprestasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat.
Pasarnya setiap kebijakan negara (public policy) mengandung resiko untuk mengalami
kegagalan. Hogwood dan Gunn (1986), menjelaskan berbagai penyebab dari kegagalan suatu
kebijakan (policy failure) dapat dibagi menjadi 2 katagori, yaitu: (1) karena “non
implementation” (tidak terimplementasikan), dan (2) karena “unsuccessful” (implementasi yang
tidak berhasil). Tidak terimplementasikannya suatu kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu
tidak dilaksanakan sesuai dengan direncanakan. Sedangkan implementasi yang tidak berhasil
biasanya terjadi bila suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sudah sesuai rencana, dengan
mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak menguntungkan, maka kebijakan tersebut
tidak dapat berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki.
Oleh karena itu kebijakan memerlukan evaluasi. Evaluasi kebijakan pada dasarnya
adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil yaitu
22 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan yang
ditentukan (Darwin, 1994: 34).
Terkait dengan kebijakan otonomi khusus, evaluasi ini perlu dilakukan. Terlebih
mengingat dalam berbagai literatur tentang desentralisasi, praktek yang ada memperlihatkan
bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi bisa saja justru menimbulkan dampak yang tidak
diinginkan atau tujuan yang tidak tercapai.
Menurut Sofian Efendi, evaluasi kebijakan publik dapat ditujukan untuk mengetahui
variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan
pokok, yaitu:
1. Bagaimana kinerja kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi
publik (variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu.
2. Faktor-faktor apa saja yang menimbulkan variasi itu? Jawabannya berkaitan dengan faktor
kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan lingkungan implementasi
kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome dari implementasi kebijakan.
3. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik? Pertanyaan ini
berkenaan dengan “tugas” dari pengevaluasi untuk memilih variabel-variabel yang dapat
diubah, atau actionable variabel-variabel yang bersifat natural atau variabel lain yang tidak
dapat dan dimasukkan sebagai variabel evaluasi.
Evaluasi merupakan penilaian terhadap suatu persoalan yang umumnya menunjuk baik
buruknya persoalan tersebut. Dalam kaitannya dengan suatu program biasanya evaluasi
dilakukan dalam rangka mengukur efek suatu program dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan (Hanafi & Guntur, 1984:16). Evaluasi kebijakan dilakukan untuk mengetahui 4
aspek yaitu:
1. Proses pembuatan kebijakan
2. Proses implementasi kebijakan,
3. Konsekuensi kebijakan,
4. Efektivitas dampak kebijakan (Wibowo, 1994: 9).
Pada prinsipnya model evaluasi kebijakan sangat bervariasi tergantung dari tujuan dan
level yang akan dicapai. Dari segi waktu, evaluasi dibagi menjadi dua yaitu evaluasi preventif
kebijakan dan evaluasi sumatif kebijakan. Evaluasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua
Barat merupakan evaluasi setelah kebijakan, dikarenakan kebijakan otonomi khusus yaitu UU
Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 telah
dilaksanakan.
Selanjutnya berbagai macam keputusan dapat diambil atas dasar evaluasi yang dilakukan
beberapa diantaranya yang dapat dilakukan adalah: (1) meneruskan dan mengakhiri program,
23 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
(2) memperbaiki praktek dan prosedur administrasi, (3) menambah atau mengurangi strategi
dan teknik implementasi, (4) melembagakan program ke tempat lain, (5) mengalokasikan
sumber daya ke program lain dan (6) menerima dan menolak pendekatan/teori yang dipakai
(Wibawa,op.cit:12). Dari kelima keputusan yang diambil atas dasar evaluasi dilihat dari jenis
kebijakan yang dievaluasi.
B. Pembahasan Penelitian Yang Relevan
Penelitian kinerja otonomi khusus Papua yang telah dilakukan pada tahun 2008 yang
dilakukan oleh Kemitraan bekerjasama dengan Kemendagri yang merupakan sintesa hasil
implementasi kebijakan otonomi khusus di Provinsi Papua. Adapun hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa kinerja otonomi khusus selama lima tahun implementasi masih belum
mencapai kinerja yang diharapkan. Special-Autonomy dari Papua masih banyak dipahami
sebagai Special-Automoney dan otonomi khusus juga mendapatkan dukungan dana khusus
yang jumlahnya semakin meningkat sejak 2002-2007, namun demikian injeksi dana otonomi
khusus, belum menunjukkan keterkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan di Papua,
kemiskinan di Papua tetap memprihatinkan, baik dilihat dari segi rerata kemiskinan di
dalam Papua, juga dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang pada tahun
2008.
Beberapa penelitian yang relevan dengan otonomi khusus yang relevan, antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2003 oleh Fibiolla Irianni bertujuan menganalisis
Pendapatan Asli Daerah Propinsi Papua dan menganalisis Dana Perimbangan Propinsi
Papua dengan diterapkannya UU Nomor 21 Tahun 2001, teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Intergovermental Transfer dengan data yang digunakan dalam
penelitian merupakan data sekunder yang sumbernya dari biro anggaran, BPS, Bappeda
Propinsi Papua dan Kementerian Keuangan. Temuan utama dari penelitian ini adalah
jumlah penduduk, banyak sekolah, panjang jalan dan jumlah penduduk miskin mempunyai
pengaruh positif dan signifikan terhadap kebutuhan dana Propinsi Papua sedangkan
perkembangan PAD Propinsi Papua bila ditinjau dari nilai nominalnya dari tahun ke tahun
terus menunjukkan kenaikan tetapi bila ditinjau dari nilai riilnya menunjukkan gambaran
yang kurang menguntungkan, dengan kata lain PAD Propinsi Papua masih relatif rendah
sehingga mengakibatkan ketergantungan kepada pusat masih tinggi.
2. Penelitian evaluasi terhadap kebijakan pemberian dana otonomi khusus kepada Propinsi
Papua yang dilakukan oleh Winardito, bertujuan untuk mengetahui pemberian kekhususan
yang diwujudkan dengan pemberian dana otonomi khusus yang berupa dana penerimaan
khusus dan Dana Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas Alam yang prosentasenya lebih besar
24 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
dibandingkan daerah lain di Indonesia, disamping juga dana perimbangan lainnya, dari hasil
penelitian diketahui bahwa alasan utama diberikannya otonomi khusus pemberian dana
otonomi khusus kepada Provinsi Papua faktor politis, yakni untuk mereduksi keinginan
sebagian masyarakat Papua untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam 3 (tiga) tahun pemberlakuannya, dana otonomi khusus juga ternyata tidak
efektif karena bagian terbesar dana otonomi khusus tidak digunakan untuk pendidikan dan
kesehatan (perbaikan gizi masyarakat) namun dibagikan secara hampir merata ke semua
sektor pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi Papua.
3. Penelitian peningkatan kualitas sumber daya manusia Majelis Rakyat Papua dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang yang dilakukan pada tahun 2008 oleh Esau Hombore,
bertujuan mengetahui upaya meningkatkan kualitas SDM MRP dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya dan mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menjembatani perbedaan
pendapat antara DPRP dan MRP, dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam upaya untuk
meningkatkan kualitas MRP dapat dilakukan melalui penetapan beberapa kegiatan yang
berguna untuk meningkatkan wawasan anggota MRP antara lain dengan Workshop, Diklat,
Capacity Building, kerjasama dengan lembaga lain (LSM, LMA, Akademik) dan studi banding,
peningkatan juga dapat dilakukan melalui pengembangan kemitraan yang dilakukan
bersama-sama dengan DPRP dan tak kalah pentingnya adalah penyediaan sarana dan
prasarana yang memadai bagi anggota MRP.
25 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
BAB III KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN PAPUA BARAT
ada bagian ini akan dijelaskan mengenai kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua
Barat dilihat dari proses kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat itu sendiri
serta muatan kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat
A. Proses Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Reformasi disegala aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara yang ditandai
dengan terjadinya pengalihan kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada B.J. Habibie
sebagai Presiden Republik Indonesia berimplikasi secara signifikan terhadap konstelasi
politik nasional. Pemerintahan di masa Soeharto yang semula bersifat sentralistik
kemudian dalam masa B.J. Habibie berubah menjadi desentralistik, yang berorientasi
demokratis dan partisipatif. Sejumlah agenda perubahan yang dilakukan oleh Presiden B.J.
Habibie seluruhnya diarahkan pada upaya menciptakan suasana demokratis dan
partisipatif dalam berbangsa dan bernegara. Begitu juga dalam penanganan permasalahan
politik terkait dengan keinginan masyarakat Papua yang dikenal pada saat itu sebagai “Tim
Seratus”, yang menyampaikan keinginan untuk memisahkan diri “merdeka” dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada saat bertemu secara langsung dengan Presiden Habibie
di Istana Negara Jakarta pada tanggal 26 Pebruari 1999. Dalam merespons tuntutan
tersebut kemudian didesainlah strategi alternatif yang dianggap mampu untuk
membendung keinginan rakyat Papua untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Salah satu dari strategi tersebut adalah melalui kebijakan “Pemekaran
Wilayah Provinsi Irian Jaya”.
Kebijakan tersebut sebenarnya merupakan suatu rencana kebijakan yang telah
dibuat sejak tahun 1984 berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Departemen
Dalam Negeri yang diawali dengan adanya aspirasi dari sekelompok kecil masayarakat
Papua yang menginginkan pemekaran. Atas dasar itulah maka ditetapkanlah Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1986 dibentuk 3 (tiga) Wilayah Pembantu
Gubernur, yang dipandang sebagai embrio bagi pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I
baru di Irian Jaya. Namun dalam perkembangannya lebih dari satu dasawarsa, rencana
pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tidak pernah terealisasi, dengan alasan
utama keterbatasan anggaran negara. (Uncen, 2003)
Rencana Pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya terealisasikan pada
tanggal 4 Oktober 1999, dengan dilegitimasinya UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang
P
26 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Kebijakan ini kemudian
diikuti dengan pengangkatan Drs. Herman Monim sebagai Pejabat Gubernur Irian Jaya
Tengah dan Brigjen. TNI Marinir (Purn.) Abraham Atururi sebagai Pejabat Gubernur Irian
Jaya Barat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 327/M Tahun 1999, pada
tanggal 5 Oktober 1999.
Kebijakan pemekaran propinsi daerah Tingkat I Irian Jaya, khususnya yang terkait
dengan pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat mendapat penolakan
dari berbagai kalangan masyarakat di Papua, yang ditandai dengan aksi demonstrasi besar-
besaran termasuk menduduki gedung DPRD Propinsi Irian Jaya dan Kantor Gubernur Dok
II Jayapura pada tanggal 14-15 Oktober 1999. Aksi penolakan ini direspon oleh DPRD
Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) dan kemudian dilegitimasi dengan Keputusan
DPRD. Nomor 11/DPRD/1999 Tentang Pernyataan Pendapat DPRD Provinsi Irian Jaya
kepada Pemerintah Pusat untuk Menolak Pemekaran Provinsi Irian Jaya dan usul
Pencabutan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 327/M Tahun 1999 tanggal 5 Oktober
1999.
Aksi penolakan ini didasari oleh beberapa alasan: (1) kebijakan pemekaran wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tersebut dilakukan tanpa melalui proses konsultasi
rakyat; (2) kebijakan pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tersebut
tidak sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I
Irian Jaya, yang antara lain menyebutkan bahwa pemekaran wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I Irian Jaya menjadi 2 (dua) Propinsi, yaitu: (a) Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya
Timur, dengan ibukota di Jayapura, meliputi: Kabupaten Jayapura, Kodya Jayapura,
Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Puncak Jaya; (b) Propinsi
daerah Tingkat I Irian Jaya Barat, dengan ibukota di Manokwari, meliputi: Kabupaten
Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Nabire, Kabupaten Biak
Numfor, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, dan Kotif Sorong. (3) Kebijakan Pemekaran
Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya lebih berorientasi sebagai strategi untuk
memperkokoh integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa bermaksud
untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua melalui akselerasi pembangunan
secara berkeadilan. Hal ini terbukti dari format pembagian wilayah yang kurang
memperhatikan aspek kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, dan
kemampuan ekonomi.
Pada tanggal 19 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR, pada Paripurna ke-12,
ditetapkan Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
27 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
(GBHN) Tahun 1999-2004, pada bab IV, huruf G, butir 2 antara lain memuat kebijakan
Otonomi Khusus bagi Aceh dan Irian Jaya. Rumusan lengkap kebijakan tersebut adalah:
‘...dalam rangka mengembangkan otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah
yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh, maka perlu ditempuh
langkah-langkah sebagai berikut: (a) mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus
yang diatur dengan undang-undang; (b) menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi
manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat...”;
Pada penghujung Sidang Umum MPR tahun 1999, terjadi suksesi kepemimpinan
nasional. B.J. Habibie digantikan oleh K.H. Abdurahman Wahid sebagai Presiden RI. Salah
satu agenda politik yang terkait dengan Propinsi Irian Jaya yang harus dilakukan oleh
Pemerintahan Presiden K.H. Abdurahman Wahid adalah memformulasikan Rancangan
Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Dalam kenyataannya
setelah satu tahun pemerintahan Presiden K.H. Abdurahman Wahid, agenda tersebut belum
dilaksanakan.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja pemerintah dalam pelaksanaan
otonomi daerah pada umumnya dan otonomi khusus bagi Aceh dan Irian Jaya, maka dalam
sidang tahunan MPR RI tahun 2000, ditetapkan Tap MPR RI Nomor: IV/MPR/2000 tentang
Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang ditujukan kepada
Pemerintah dan Dewan perwakilan Rakyat. Dalam salah satu bagian dari Ketetapan ini
disebutkan: “… Undang-undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya,
sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya
1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan...”.
Dalam kenyataannya undang-undang yang menjadi landasan operasional penerapan
otonomi khusus di Provinsi Irian Jaya sampai dengan memasuki batas waktu yang
diamanatkan Tap MPR RI tersebut, ternyata belum ditetapkan. Keterlambatan ini
disebabkan antara lain: (1) tingginya eskalasi politik di Provinsi Irian Jaya menjelang dan
pasca Musyawarah Besar dan Kongres Rakyat Papua di Jayapura Tahun 2000 dan (2)
adanya keinginan Pemerintahan K.H. Abdurahman Wahid untuk memperhatikan secara
sungguh-sungguh aspirasi rakyat Papua.
Komitmen pemerintah ini direspon oleh berbagai kalangan terutama akademisi dan
aktivis LSM, di Provinsi Irian Jaya yang mulai menjadikan otonomi khusus sebagai topik
28 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
wacana diberbagai forum kajian. Hal ini terbukti dengan adanya sejumlah
konsep/draf/pokok-pokok pikiran tentang materi muatan Rancangan Undang-undang
tentang Otonomi Khusus bagi Irian Jaya yang disusun oleh berbagai institusi di Irian Jaya.
Akan tetapi karena situasi dan kondisi di Provinsi Irian Jaya yang kurang kondusif sebagai
akibat meningginya eskalasi politik sebelum dan pasca Mubes dan Kongres rakyat Papua
yang salah satu tuntutannya adalah memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia, maka issue tersebut hanya sekedar sebagai wacana dan bahan pergumulan yang
lebih bersifat interen institusi tertentu. Pada waktu yang hampir bersamaan Freddy
Numberi sebagai Gubernur Propinsi Irian Jaya pada waktu itu, diangkat menjadi salah
seorang Menteri dalam Kabinet Presiden K.H. Abdurahman Wahid, akibatnya Musiran
diangkat sebagai carateker Gubernur. Dalam posisi ini Pejabat Gubernur Musiran merasa
tidak memiliki wewenang yang cukup untuk mempersiapkan RUU Otonomi Khusus Irian
Jaya. Kondisi ini diperparah lagi ketika adanya pihak-pihak tertentu yang
mempertentangkan antara otonomi dan merdeka. Dua konsep ini seakan-akan merupakan
opsi yang harus dipilih.
Pembicaraan tentang kemungkinan penyusunan RUU Otonomi Khusus bagi Irian
Jaya baru dimulai secara sungguh-sungguh ketika Drs. J.P. Solossa, M.Si. dilantik sebagai
Gubernur dan Drh. Constan Karma sebagai Wakil Gubernur Provinsi Irian Jaya (kini
Provinsi Papua), pada akhir tahun 2000. Atas prakarsa Gubernur maka dibentuk Panitia
Penyelenggara Forum Kajian, yang diikuti dengan dibentuknya Tim penjaring Aspirasi,
serta Tim Asistensi dan dengan didukung oleh berbagai komponen masyarakat, serta
melalui suatu mekanisme yang panjang, maka RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
yang diberi nama “Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam bentuk wilayah
berpemerintahan sendiri” dapat disusun.
RUU usulan Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua diterima dan diadopsi
oleh DPR RI sebagai RUU usul inisiatif setelah melalui proses pengayaan. Melalui suatu
pembahasan yang alot antara DPR dan pemerintah sebagai akibat dari adanya dua RUU
mengenai otonomi khusus bagi Irian Jaya, yakni RUU usul inisitif DPR RI dan RUU usulan
Pemerintah. Akan tetapi pada akhirnya disepakati bahwa RUU yang dijadikan acuan utama
adalah RUU usulan Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua yang telah diadopsi
sebagai RUU usul inisiatif DPR RI.
Menindaklanjuti amanat kedua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
tersebut, dan setelah melalui pembahasan lebih kurang 5 (lima) bulan, maka DPR RI pada
tanggal 22 Oktober 2001 telah menyetujui dan menetapkan Rancangan Undang-Undang
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang. Hasil ketetapan DPR
29 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
RI ini kemudian disampaikan kepada Pemerintah (Presiden) untuk disahkan. Presiden
Republik Indonesia sesuai kewenangan yang dimiliki, pada tanggal 21 Nopember 2001
telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang kemudian dimuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 2001
Nomor 4151.
Otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat berlaku sah tahun 2008 setelah
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1
Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua. Perpu diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua menjadi UU.
Peraturan tersebut merupakan landasan hukum untuk pelaksanaan otonomi khusus agar
tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya di bidang sosial,
ekonomi dan politik, serta infrastruktur. Hal tersebut dikarenakan Provinsi Papua Barat
telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan
kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan otonomi khusus
berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001.
B. Muatan Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang merupakan landasan yuridis
pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua adalah suatu kebijakan yang bernilai
strategis dalam rangka peningkatan pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan
(acseleration development), serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di Provinsi
Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi
kesenjangan antar Provinsi Papua dengan propinsi-propinsi lain dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk
berkiprah di wilayahnya sebagai pelaku sekaligus sasaran pembangunan.
Sebagai bentuk kebijakan di Papua, UU Nomor 21 Tahun 2001 ini memiliki filosofi
perlindungan, pemberdayaan, dan pemihakan. Filosofi ini diharapkan dapat menjadi solusi
untuk berbagai persoalan di Papua. Harapannya, kebijakan ini bisa menjadi instrumen
efektif dalam mengakomodasi hak masyarakat Papua secara lebih proporsional serta
menyelesaikan berbagai persoalan mendasar di Papua seperti kemiskinan,
keterbelakangan, masalah sosial yang berkepanjangan, hingga kesenjangan ekonomi.
Dengan demikian, kebijakan otonomi khusus pada tataran umum sebenarnya merupakan
kebijakan yang dimaksudkan untuk mengakomodasikan tiga hal; menjawab kebutuhan
30 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
peningkatan dan perbaikan kesejahteraan daerah, mempertahankan integrasi NKRI dan
mencari jalan tengah terhadap kemelut di Papua selama ini.
Hal tersebut diatas merupakan beberapa dasar pertimbangan dikeluarkannya UU
tentang otonomi khusus sebagaimana tercantum dalam konsideran UU Nomor 21 Tahun
2001, yang secara lengkap sebagai berikut:
1. Bahwa cita-cita dan tujuan NKRI adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil,
makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia
yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi,
hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta
memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;
3. Bahwa sistem Pemerintahan NKRI menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dalam undang-undang;
4. Bahwa integrasi dalam wadah NKRI harus tetap dipertahankan dengan menghargai
kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua melalui
penerapan daerah otonomi khusus;
5. Bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia
yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki keragaman
kebudayaan, sejarah, adat-istiadat, dan bahasa sendiri;
6. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi
Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya
memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung
terwujudnya penegakkan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat
Papua;
7. Bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum
digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli sehingga
telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain
serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;
8. Bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain,
dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Papua, serta memberikan kesempatan
kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka
NKRI;
31 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
9. Bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar
yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak
dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme,
serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
10. Bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk
memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar
serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan
perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.
11. Bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut
aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua
sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor
7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang pengembalian nama Irian Jaya
menjadi Papua;
12. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka dipandang perlu memberikan otonomi
khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undang-undang.
Otonomi khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UU
Nomor 21 Tahun 2001 pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi
provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung
jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari Rakyat Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk
memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk
memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat,
agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan
kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan
dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam
Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah
dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat
Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum
adat.
32 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Hal-hal yang mendasar yang menjadi isi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
adalah: Pertama, pengaturan kewenangan antara pemerintah dengan Pemerintah Provinsi
Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan
kekhususan; Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta
pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan Ketiga, mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik berciri:
a. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui
keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
b. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi
kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua
pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan,
pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat;
dan
c. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan
bertanggung jawab kepada masyarakat.
Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara
badan legislatif dan eksekutif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural
penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Sebagai akibat dari penetapan otonomi khusus ini, maka ada perlakuan berbeda yang
diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Dengan kata lain terdapat hal-hal mendasar
yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia,
seiring dengan itu terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak
diberlakukan di Provinsi Papua; Berdasarkan sifat khusus tersebut, berlakulah asas hukum
aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum (lex spesialis derogat legi
generali). Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 terdiri dari XXIV Bab dan 79 Pasal, yang
diawali dengan konsideran dan diakhiri dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal
demi pasal. Berikut ini disajikan beberapa muatan dari keistimewaan dan kekhususan bagi
Pemerintahan Papua yang dikategorikan dalam bidang-bidang yang meliputi :
1. Bidang Pemerintahan
a. Kewenangan daerah
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi khusus adalah kewenangan
khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
33 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Kewenangan Provinsi Papua
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan
peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
b. Kewenangan Bersifat Khusus
Beberapa kewenangan yang bersifat khusus antara lain :
1) Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya
sebagai Lagu Kebangsaan. Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai
panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam
bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol
kedaulatan.
2) Peraturan Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah
Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu
dalam undang-undang otonomi khusus.
3) Peraturan Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi, adalah
Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
4) Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan
kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan
Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5) Pemerintah Papua dapat mengadakan kerjasama secara langsung dengan
lembaga atau badan di luar negeri sesuai dengan lembaga atau badan di luar
negeri sesuai dengan kewenangannya kecuali hal-hal yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat. Pemerintah Papua juga dapat berpartisipasi secara langsung
dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.
6) Pemerintah Papua dalam hal ini gubernur berkoordinasi dengan pemerintah
pusat dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi Papua. Koordinasi
yang dilakukan oleh Gubernur dengan Pemerintah adalah dalam hal pelaksanaan
kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan pelaksanaan operasi militer selain perang di Provinsi
Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
34 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
c. Bentuk dan Susunan Kepemerintahan
1) Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif,
yang terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan pemerintah provinsi sebagai badan eksekutif daterdiri
atas gubernur beserta perangkat pemerintah provinsi lainnya.
2) Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk
Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural orang asli
Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak
orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan
budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama
3) Di kabupaten/kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan
legislatif serta pemerintah kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif. Pemerintah
Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah
Kabupaten/Kota lainnya
4) Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung
atau dapat disebut dengan nama lain
2. Bidang Politik
Dalam bidang politik penduduk Provinsi Papua mempunyai hak untuk membentuk
partai politik. Sedangkan tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam
pemilihan umum diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam proses
rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan
memprioritaskan masyarakat asli Papua. Rekrutmen politik dengan memprioritaskan
masyarakat asli Papua tidak dimaksudkan untuk mengurangi sifat terbuka partai politik
bagi setiap Warga Negara Republik Indonesia, partai politik wajib meminta
pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-
masing. Permintaan pertimbangan kepada MRP tidak berarti mengurangi kemandirian
partai politik dalam hal seleksi dan rekrutmen politik
3. Bidang Keuangan
a. Penyelenggaraan tugas pemerintah provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sedangkan penyelenggaraan tugas
Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
b. Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota berasal dari komponen:
1) Pendapatan Asli Provinsi, Kabupaten/Kota
Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota terdiri atas :
35 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
a) Pajak Daerah, antara lain: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Kendaraan di
atas Air, Pajak Balik Nama, Pajak Bahan Bakar, Pajak Pengambilan Air Tanah,
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Galian Golongan C, Pajak Parkir, dan Pajak lain-lain.
Pajak-pajak Daerah ini diatur oleh UU Nomor 34/2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65/2001 tentang Pajak
Daerah.
b) Retribusi Daerah, antara lain: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi
Pelayanan Persampahan, Retribusi Biaya Cetak Kartu, Retribusi Pemakaman,
Retribusi Parkir di Tepi Jalan, Retribusi pasar, Retribusi Pengujian
Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemadam Kebakaran, dan lain-lain. Retribusi
ini diatur oleh UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi
Daerah.
c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain hasil
deviden BUMD; dan
d) Lain-lain pendapatan yang sah, antara lain : hasil penjualan kekayaan daerah
yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai
tukar, komisi, potongan, dan lain-lain yang sah.
2) Dana Perimbangan
Komponen Dana Perimbangan yang terdiri dari bagi Dana Bagi Hasil terbagi atas
Dana Bagi Hasil Pajak (BHP) dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam, Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan
bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka otonomi khusus dengan
perincian sebagai berikut:
a) Bagi Hasil Pajak
BHP antara lain Pajak Bumi Bangunan (PBB), Bea Perolehan Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), dan pajak Penghasilan Badan ataupun pribadi dengan
pembagian :
Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen);
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan
puluh persen); dan
Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen).
b) Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
36 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen);
Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).
c) DAU yang ditetapkan dengan undang-undang
d) Dana Alokasi Khusus
Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang
besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum
Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan
kesehatan. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang
besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan
Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk
pembiayaan pembangunan infrastruktur. Dana tersebut dimaksudkan agar
sekurang-kurangnya dalam 25 (dua puluh lima) tahun seluruh kota-kota
provinsi, kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya
terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas
sehingga Provinsi Papua dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik
dan menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan
global. Penerimaan untuk bagi hasil sumber daya alam yang meliputi
pertambangan minyak bumi dan gas alam berlaku selama 25 (dua puluh
lima) tahun. Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka
otonomi khusus menjadi 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan
minyak bumi, sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas
alam.
Penerimaan khusus dalam rangka otonomi khusus berlaku selama 20 (dua
puluh) tahun yang diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus,
dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal.
3) Pinjaman Daerah
Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah
memberitahukannya kepada Pemerintah. Provinsi Papua dapat melakukan
pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai
sebagian anggarannya. Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi
Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP. Pinjaman dari sumber luar negeri
untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP dan
Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
37 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
4) Lain-lain Penerimaan yang sah
Pendapatan daerah selain dari PAD dan Dana Perimbangan, juga didapatkan
adanya Pendapatan lain-lain yang sah. Lain-lain pendapatan yang sah terdiri dari
pendapatan pendapatan hibah, pendapatan dana darurat, dan pendapatan
lainnya.
4. Bidang Perekonomian
a. Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional
dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi
prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi
Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati
hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha,
serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan
yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Sebagai bagian dari pembangunan
berkelanjutan di Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban mengalokasikan
sebagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua yang diperoleh dari
eksploitasi sumber daya alam Papua untuk ditabung dalam bentuk dana abadi, yang
hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan di
masa mendatang.
b. Pemerintah Provinsi Papua dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dan perusahaan-perusahaan swasta yang berdomisili dan
beroperasi di wilayah Provinsi Papua. Tata cara penyertaan modal pemerintah
Provinsi Papua diatur dengan Perdasi.
c. Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau
masyarakat setempat. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi
Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat.
Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan
penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat. Pemberian
kesempatan berusaha melakukan pemberdayaan masyarakat adat agar dapat
berperan dalam perekonomian seluas-luasnya.
5. Bidang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dan Hak Asasi Manusia
(HAM)
a. Hak-Hak Masyarakat Adat
38 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
- Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi,
memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Kewajiban
sebagaimana dimaksud juga merupakan kewajiban Pemerintah yang
dilaksanakan oleh gubernur selaku wakil pemerintah. Pemberdayaan hak-hak
tersebut meliputi pembinaan dan pengembangan yang bertujuan meningkatkan
taraf hidup baik lahiriah maupun batiniah warga masyarakat hukum adat.
- Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat
dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
- Dalam pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan
tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain.
- Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat
untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat
hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan
mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.
- Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan intelektual orang
asli Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak kekayaan
intelektual orang asli Papua berupa hak cipta mencakup hak-hak dalam bidang
kesenian yang terdiri dari seni suara, tari, ukir, pahat, lukis, anyam, tata busana
dan rancangan bangunan tradisional serta jenis-jenis seni lainnya, maupun hak-
hak yang terkait dengan sistem pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan
oleh masyarakat asli Papua, misalnya obat-obatan tradisional dan yang
sejenisnya. Perlindungan ini meliputi juga perlindungan terhadap hak kekayaan
intelektual anggota masyarakat lainnya di Provinsi Papua.
b. Hak Asasi Manusia
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib
menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di
Provinsi Papua. Untuk melaksanakan hal tersebut pemerintah membentuk
perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah:
- melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan
bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;
39 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
- merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.
Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, pemerintah provinsi
berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan
secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai
mitra sejajar kaum laki-laki.
6. Bidang Sosial dan Kesehatan
a. Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan
memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang
menyandang masalah sosial.
b. Pemerintah Provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi
pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi
Papua.
c. Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan
pelayanan kesehatan bagi penduduk. Pelayanan kesehatan yang berkualitas
dilaksanakan secara merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat di pelosok
Provinsi Papua. Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.
d. Pemerintah juga berkewajiban untuk mencegah dan menanggulangi penyakit-
penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan
hidup penduduk.
7. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan.
1. Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan
pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Setiap
penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sampai
dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.
Dengan pendidikan yang bermutu dimaksudkan bahwa pendidikan di Provinsi
Papua harus dilaksanakan secara baik dan bertanggung jawab sehingga
menghasilkan lulusan yang memiliki derajat mutu yang sama dengan pendidikan
yang dilaksanakan di provinsi lain. Mengingat masih rendahnya mutu sumber daya
manusia Papua dan pentingnya mengejar kemajuan di bidang pendidikan, maka
pemerintah daerah berkewajiban membiayai seluruh atau sebagian biaya
pendidikan bagi putra putri asli Papua pada semua atau sebagian jenjang
pendidikan.
40 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
2. Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang
memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk
mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi
Papua.
3. Pemerintah provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan
kebudayaan asli Papua. Pemerintah provinsi memberikan peran sebesar-besarnya
kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi
persyaratan.
4. Pemerintah provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan
keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan
jati diri orang Papua.
5. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, Bahasa Inggris ditetapkan
sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan.
8. Bidang Pertahanan dan Keamanan
a. Kebijakan mengenai keamanan di Provinsi Papua dikoordinasikan oleh Kepala
Kepolisian Daerah Provinsi Papua kepada Gubernur. Selain itu kepolisian juga
bertanggung jawab terhadap ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
b. Pelaksanaan tugas kepolisian dipertanggungjawabkan Kepala Kepolisian Daerah
Provinsi Papua kepada Gubernur. Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah
Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Pemberhentian Kepala Kepolisian
Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
c. Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua bertanggung jawab kepada Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Provinsi
Papua dalam pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
d. Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik
Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua
dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan
Gubernur Provinsi Papua. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum muatan
lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua.
41 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
9. Bidang Kependudukan dan Ketanagakerjaan
a. Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua.
b. Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan
partisipasi penduduk asli Papua alam semua sektor pembanguan, Pemerintah
Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan.
c. Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional
yang diselenggarakan oleh pemerintah dilakukan dengan Persetujuan Gubernur.
Hal ini diatur dengan Perdasi.
d. Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta bebas
memilih dan/atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
e. Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk
mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua
berdasarkan pendidikan dan keahliannya.
f. Dalam hal mendapatkan pekerjaan tersebut diatas di bidang peradilan, orang asli
Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi hakim atau jaksa di
Provinsi Papua.
42 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
agian ini akan dijelaskan deskripsi hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum
daerah kajian, evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001,
Implementasi kebijakan serta Perdasus dan Perdasi dan terakhir strategi perbaikan
penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan Papua Barat
A. Gambaran Umum Daerah Kajian
Pulau Papua atau Guinea Baru (Bahasa Inggris: New Guinea) atau yang dulu disebut dengan
Pulau Irian adalah pulau terbesar kedua (setelah Tanah Hijau) di dunia yang terletak di sebelah
utara Australia. Nama Papua, aslinya Papa-Ua, asal dari bahasa Maluku Utara yang berarti anak
piatu yang dimaksudkan bahwa di pulau ini tidak ada seorang raja yang memerintah tetapi ada
juga menyatakan bahwa Kata Papua berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting,
sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli (Stirling, 1943:4, dalam
Koentjaraningrat, 1993). Penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar,
masing-masing:
1) Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum rumah di atas tiang
(rumah panggung) dengan mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan).
2) Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa danau dan lembah
serta kaki gunung. Umumnya mereka bermata pencaharian menangkap ikan, berburu
dan mengumpulkan hasil hutan;
3) Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan berternak
secara sederhana.
Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis
keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat
berpenduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh
alam laut, hutan dan pegunungan.
Hasil inventarisasi Dr. Peter J. Siher dari penelitian Summer Institute of linguistie cabang
Papua, terdapat 236 suku di Papua yang berbeda bahasa dan budayanya. Perbedaan bahasa ini
menyebabkan mereka tidak dapat berkomunikasi satu dengan yang lain. Penyebaran suku-
suku di Papua, menurut jumlah suku perkabupaten yang ada di Pulau Papua, dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
B
43 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Tabel 4.1 Jumlah Suku Papua Menurut Kabupaten
No Kabupaten Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jayapura Merauke Sorong Fakfak Yapen waropen Paniai Jayawijaya Manokwari Biak Numfor
75 39 23 21 20 20 18 18
1 Jumlah 236
Sumber : Peter J. Siher, Summer Institute of linguistie.
Pada tahun 2003, Papua mengalami pembagian menjadi 2 (dua) provinsi, berdasarkan UU
Nomor 45 Tahun 1999 jo Inpres Nomor 1 Tahun 2003, bagian timur tetap memakai nama
Papua sedangkan bagian barat menjadi Propinsi Papua Barat dengan wilayah yang mencakup
kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya.
1. Kondisi Wilayah Provinsi Papua
Provinsi Papua memiliki luas wilayah 317.062 km² atau 19,33 persen dari luas Negara
Indonesia yang mencapai 1.890.754 (Km2). Provinsi Papua terdiri dari 29 (dua puluh sembilan)
kabupaten/kota yaitu Kabupaten Asmat, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Boven Digoel,
Kabupaten Deiyai, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Jayapura, Kabupaten
Jayawijaya, Kabupaten Keerom, Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Lanny Jaya,
Kabupaten Memberamo Raya, Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten Mappi, Kabupaten
Merauke, Kabupaten Mimika, Kabupaten Nabire, Kabupaten Nduga, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Sarmi,
Kabupaten Supiori, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen,/ Kabupaten Yahukimo,
Kabupaten Yalimo dan Kota Jayapura.
Secara geografis, Provinsi Papua berada pada posisi 0° 19' - 10° 45' Lintang Selatan dan
130° 45' - 141° 48' Bujur Timur menempati setengah bagian barat dari New Guinea yang
merupakan pulau terbesar kedua dari Greenland. Adapun Batas-batas wilayah Provinsi Papua
adalah sebagai berikut :
Bagian Utara : Samudera Pasifik
Bagian Barat : Provinsi Irian Jaya Barat
Bagian Selatan : Laut Arafura
Bagian Timur : Negara Papua New Guinea.
44 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Keadaan topografi Papua bervariasi mulai dari dataran rendah berawan sampai dataran
tinggi yang dipadati dengan hutan hujan tropis, padang rumput dan lembah dengan alang-
alangnya. Dibagian tengah berjejer rangkaian pegunungan tinggi sepanjang 650 km. Salah satu
bagian dari pegunungan tersebut adalah pegunungan Jayawijaya yang terkenal karena disana
terdapat 3 puncak tertinggi yang walaupun terletak didekat kathulistiwa namun selalu
diselimuti oleh salju abadi yaitu puncak Jayawijaya dengan ketinggian 5,030m (15.090 ft);
puncak Trikora 5.160 m (15.480 ft) dan puncak Yamin 5.100 m (15.300 ft).
Di Provinsi Papua terdapat banyak sungai, danau, dan rawa berskala kecil sampai dengan
skala besar. Selain sungai, juga terdapat beberapa danau besar antara lain Danau Sentani di
Kabupaten Jayapura dan Danau Paniai di Kabupaten Paniai. Disamping itu terdapat beberapa
rawa sangat luas terutama disepanjang pesisir pantai selatan Papua. Pulau Komoro merupakan
pulau delta hasil sedimen Sungai Digul yang diperkirakan masih muda.
Sementara itu, di bagian utara terdapat rawa yang terletak di tepian sungai Memberamo
dan anak sungainya yaitu sungai Tariku dan Taritatu, sedangkan daerah rawa sempit
menyebar di tepian danau Rembabai. Daerah rawa di Papua terdapat buaya, di samping itu
pada garis rawa terluar yang dekat dengan pantai merupakan daerah yang baik untuk
kehidupan udang. Vegetasi dominan yang hidup di daerah rawa adalah sagu. Daerah rawa
tersebut dapat dikembangkan untuk usaha perikanan darat dan persawahan.
2. Kondisi Wilayah Provinsi Papua Barat
Provinsi Papua Barat terletak di wilayah kepala dan leher Burung Pulau Papua pada
posisi di bawah garis khatulistiwa antara 129˚-132˚ Bujur Timur dan 0˚-4˚ Lintang Selatan.
Berdasarkan posisi geografisnya Provinsi Papua Barat memiliki batas-batas wilayah sebagai
berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik.
Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Seram Provinsi Maluku Utara.
Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Papua.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda Provinsi Maluku.
Secara administrasi pemerintahan, Provinsi Papua Barat terdiri atas 11 Kabupaten/Kota
(10 Kabupaten dan 1 Kota), 127 distrik, dan 1.286 kampung. Kesebelas kabupaten/kota
tersebut adalah Kabupaten Fak Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Manokwari, Kabupaten
Maybrat, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten
Tambrauw, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama dan Kota Sorong.
Kondisi topografi Provinsi Papua Barat sangat bervariasi membentang mulai dari dataran
rendah, rawa sampai dataran tinggi, dengan tipe tutupan lahan berupa hutan hujan
tropis, padang rumput dan padang alang-alang. Ketinggian wilayah di Provinsi Papua
45 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Barat bervariasi dari 0 s.d > 1000 m. Kondisi ini merupakan salah satu elemen yang
menjadi barrier transportasi antar wilayah, terutama transportasi darat, serta dasar bagi
kebijakan pemanfaatan lahan.
Karena daerahnya yang bergunung-gunung, maka iklim di Provinsi Papua Barat sangat
bervariasi melebihi daerah Indonesia lainnya. Pola umum iklim dan cuaca sangat
dipengaruhi oleh topografinya yang kasar. Suhu sangat bergantung dari ketinggian,
sedangkan ketinggian dan kejajaran barisan pegunungan mempengaruhi pola angin dan
presipitasi dalam setiap daerah.
Secara geologis, wilayah Provinsi Papua Barat sangat unik dari proses dan masa
pembentukannya. Menurut Piagam dan Davis (1989), wilayah Kepala Burung terbentuk secara
terpisah dari bagian lain di New Guinea yang sebagian besar terjadi pada masa Miocene akhir
(10 Ma) dan Pliocene (2 Ma), yang berasal dari pengangkatan dasar laut dan sisa pecahan dari
benua purba Gondwana. Dari sini terbentuk delapan microplates yaitu Arfak, Kemum, Netoni,
Waigeo, Misool, Wandamen. Tambrauw, dan Lengguru yang sangat mempengaruhi bahan
induk batuan dan tanah.
Jenis batuan yang ada saat ini sangat berhubungan erat dengan proses pembentukan dan
masa pembentukan wilayah Papua Barat di masa lampau. Hal ini menyebabkan wilayah ini
cenderung labil dan sering terjadi aktivitas tektonik seperti gempa bumi. Kondisi topografi
Provinsi Papua Barat dengan kemiringan lahan 3-15% seluas 2.524.944 ha, jenis lahan curam
dengan kemiringan 16-40% seluas 2.795.754 ha dan jenis lahan sangat curam dengan
kemiringan > 40% seluas 5.556.300 ha. Selain itu, topografi ketinggian 50-1.500 meter di atas
permukaan laut.
B. Evaluasi UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 35 Tahun 2008
Dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 “Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan yg bersifat khusus dan bersifat istimewa yg diatur dengan Undang-
Undang”. Dengan demikian selain otonomi yang berlaku secara umum dalam sistem
pemerintahan daerah di Indonesia dikenal juga otonomi yang bersifat asimetris. Saat ini
setidaknya ada 5 (lima) provinsi di Indonesia yang berdasarkan otonomi yang bersifat
asimetris yaitu Provinisi Aceh, Provinsi Papua, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi DI Yogyakarta
dan Provinsi Papua Barat. Dalam sistem otonomi khusus, mekanisme berjalan menurut bingkai
perundangan yang dirancang dengan memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif
dengan pertimbangan seperti karakteristik yang dimiliki daerah tertentu, terutama aspek
rendahnya kualitas hidup, ketertinggalan, historis, aspek politis dan pertimbangan sebagai
46 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
ibukota negara. Dalam hal tersebut, aspek kualitas hidup dan ketertinggalan dibandingkan
dengan provinsi lain menjadi unsur yang dominan dalam otonomi khusus bagi Provinisi Papua
dan Provinsi Papua Barat.
Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat diatur dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang.
Oleh karena hanya bersifat “menetapkan” maka pengaturan mengenai penyelenggaraan
pemerintah daerah terdapat dalam Perpu, dimana setidaknya terdapat 2 pasal yang mengalami
perubahan dari UU Nomor 21 Tahun 2001 yaitu:
a) Perubahan (penambahan) nama provinsi dari semula hanya Papua, menjadi Papua dan
Papua Barat, sebagaimana terdapat pada Pasal 1 huruf a, “Provinsi Papua adalah Provinsi
Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat yang diberi Otonomi
Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b) Penghapusan ketentuan Pasal 7 huruf a dan huruf l, huruf a mengenai tugas memilih
gubernur dan wakil gubernur yang dihapus karena dipilih melalui Pilkada, sedangkan
dihapusnya huruf l karena tidak ada utusan provinsi menjadi anggota MPR RI.
Dengan kata lain, penetapan Perpu 1/2008 menjadi undang-undang yakni Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2008 pada 25 Juli 2008 memberikan landasan hukum bagi
Pemerintah Provinsi Papua Barat.
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, telah diatur tentang sumber-sumber penerimaan
daerah sebagai berikut: a) dana pembangunan bagian provinsi, kabupaten/kota dalam rangka
Otonomi Khusus: (1) Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90%, (2) Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan sebesar 80%, (3) Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20%, (4)
Kehutanan sebesar 80%, (5) Perikanan sebesar 80%, b) Pertambangan umum sebesar 70%,
dan Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota sebesar 15% dan Tambahan Penerimaan (setelah
dikurangi pajak) sebesar 55%, c) Pertambangan gas alam sebesar 70%, Bagian Provinsi,
Kabupaten/Kota sebesar 30% dan Tambahan Penerimaan (setelah dikurangi pajak) sebesar
40%, dan e) Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
Selain penerimaan dari bagi hasil pajak dan sumber daya alam serta DAU dan DAK
sebagaimana tersebut di atas, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua
diberikan dana yang besarannya setara dengan 2% dari plafon DAU nasional dan berlaku 20
tahun. Ada pula dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya
47 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun
anggaran yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Selanjutnya, sekurang-kurangnya 30% penerimaan dari dana Otonomi Khusus Bagi Hasil
Minyak Bumi dan Gas Alam dialokasikan untuk biaya pendidikan dan sekurang-kurangya 15%
untuk kesehatan (Pasal 36 ayat 2). Pembagian lebih lanjut Dana Otonomi Khusus 2% DAU
Nasional ini antara Provinsi, Kabupaten dan Kota diatur secara adil dan berimbang dengan
Perdasus dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah tertinggal (Pasal 34 ayat
3 huruf c angka 7 UU 21 Tahun 2001). Namun sangat disayangkan, perdasus yang telah
diamanatkan dalam pasal ini belum diterbitkan atau masih dalam bentuk rancangan perdasus
(raperdasus), meskipun pada kenyataannya sudah digunakan sebagai acuan/pedoman. Selama
ini pembagian alokasi dana Otonomi Khusus di Provinsi Papua dengan proporsi 40:60, dimana
40% untuk provinsi dan 60% untuk kabupaten/kota yang ditetapkan dengan Peraturan
Gubernur Papua, sedangkan Provinsi Papua Barat dengan proporsi 30:70, dimana 30% untuk
provinsi dan 70% untuk Kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur Papua Barat .
Rancangan Perdasus tentang pembagian dan pengelolaan dana Otonomi Khusus yang ada
dapat dikatakan belum memiliki kekuatan hukum yang tetap karena belum ditetapkan dalam
lembaran daerah, raperdasus ini pun hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum sehingga
membutuhkan peraturan-peraturan turunan dalam menjabarkan tata cara alokasi,
pengawasan, pengendalian, pelaporan dan pertanggungjawaban guna terwujudnya
pengelolaan anggaran yang transparan dan akuntabel dan pada implementasi di lapangan
akhirnya, pembagian tersebut diatur berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang
sebenarnya memang akan lebih tepat apabila diatur dalam perdasus.
Kebijakan pengalokasian dana otonomi khusus yang selama ini dilakukan sepertinya
juga belum didasarkan kepada model pelaksanaan kewenangan khusus secara proporsional.
Pembagian 40% untuk Provinsi Papua dan 30% untuk Provinsi Papua Barat mestinya
dibarengi dengan lingkup pelaksanaan kewenangan yang ada di provinsi. Dari sisi pemerintah
kabupaten/kota pembagian tersebut dianggap tidak adil, karena belum mempertimbangkan
karakteristik dan kekhasan masalah yang ada di daerah kabupaten/kota, seperti daerah
berkarakter pegunungan, dataran, pedalaman, pesisir, termasuk pertimbangan jumlah
penduduk (demografi), dan sebagainya.
Sumber-sumber pendanaan (resources) pada dasarnya digunakan untuk membiayai
kewenangan-kewenangan yang dimiliki Provinsi Papua sebagaimana amanat Pasal 4 ayat (2)
UU 21 Tahun 2001 “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seluruh
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan selain daripada 6 (enam) kewenangan
Pemerintah dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan
48 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
khusus berdasarkan undang-undang ini. Pada ayat (3) disebutkan bahwa pelaksanaan
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), diatur lebih lanjut dengan Perdasus
dan Perdasi.
Perdasus dan perdasi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 terkait dengan
kewenangan dalam rangka Otonomi Khusus sampai dengan saat ini kemajuan penyelesaiannya
dapat dilihat pada tabel berikut dan penjelasan kewenangan khusus sebagaimana diamanatkan
undang-undang Otonomi Khusus dapat dilihat pada lampiran laporan ini:
Tabel 4.2 Jumlah Peraturan Tindak Lanjut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
PROVINSI PROSES PERDASUS PERDASI
PERDASUS DAN PERDASI AMANAT UU NO. 21 Tahun 2001 13 Perdasus 18 Perdasi PAPUA Sudah Diterbitkan 7 Perdasus 8 Perdasi Sedang Dalam Proses 5 Perdasus 8 Perdasi Belum Diproses 1 Perdasus 2 Perdasi
PAPUA BARAT Sudah Diterbitkan 0 Perdasus 1 Perda*) Sedang Dalam Proses 8 Perdasus 2 Perdasi Belum Diproses 5 Perdasus 16 Perdasi
*) Perdasus Tentang Lambang Daerah untuk Provinsi Papua Barat diatur dengan Perda Nomor 2 tahun 2006
Tentang Lambang Daerah
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 21 tahun 2001 bahwa
pelaksanaan kewenangan khusus dimaksud harus diatur dalam Perdasus dan dengan
ketiadaaan peraturan tersebut dapat dikatakan Prinsip “money follow function” dalam
penggunaan anggarannya belum dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Berkaitan
dengan hal tersebut, maka tidak heran bahwa kehadiran Otonomi Khusus belum berdampak
secara signifikan terhadap pencapaian kesejahteraan orang asli Papua sebagai target/sasaran
affirmative action yang menjadi roh UU Nomor 21 Tahun 2001. Apabila Perdasus yang
mengatur tentang kewenangan khusus ini tidak segera diterbitkan, maka dapat dipastikan sulit
bagi Pemerintah Provinsi Papua/Provinsi Papua Barat, DPRP/DPRPB bersama-sama dengan
MRP Provinsi Papua/MRP Provinsi Papua Barat untuk mengawal kepentingan/kesejahteraan
orang asli Papua, oleh karena keseluruhan proses tidak mendapat legitimasi pada tahapan awal
proses yaitu penetapan dan pelembagaan hukum kewenangan yang diatur dengan UU Nomor
21 Tahun 2001 yang menjadi dasar seluruh tindakan/aktivitas/kegiatan dalam
penyelenggaraan otonomi khusus.
49 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Begitupun kewenangan yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota sesuai amanat Pasal 4
ayat (5) UU Nomor 21 Tahun 2001 juga memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan
perdasus/perdasi tetapi peraturan khusus dimaksud belum ada, hal ini berimplikasi terhadap
pengukuran tingkat keberhasilan pelaksanaan kewenangan khusus di kabupaten/kota
disebabkan kesulitan daerah dalam mendefinisikan operasional kewenangan khusus tersebut
dalam perencanaan daerahnya. Belum terpenuhinya sejumlah perdasus/perdasi yang
disyaratkan berimplikasi pada ketidakjelasan arah kebijakan dan pengelolaan kewenangan
khusus.
Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang
manajemen penyelenggaraan Otonomi Khusus, mengakibatkan desain kebijakan perdasus dan
perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan yang tegas, jelas dan
terukur misalnya: Perdasus bidang lingkungan hidup, belum menjadi acuan yang terukur untuk
dapat membedakan mana urusan yang harus dikelola oleh provinsi atau kabupaten/kota.
Akibatnya, kinerja yang dicapai pada bidang ini menjadi tidak optimal, termasuk
akuntabilitasnya seperti yang digambarkan dalam gambar berikut ini:
50 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Gambar 4.1 Otonomi Simetris dan Otonomi Asimetris
Belum adanya perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi khusus
sebagai penafsiran atas kewenangan setiap bidang misalnya, pada bidang sosial di dalam Pasal
65 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001 disebutkan.
“Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial” Pada penjabarannya, bagaimana ruang lingkup dan indikator yang bisa dijadikan ukuran
untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan urusan/kewenangan ini, tidak ada kejelasan.
PERDASI PERDASUS
PROVINSI
1
OTONOMI ASIMETRIS
PEMERINTAH PUSAT
OTONOMI SIMETRIS
KABUPATEN/KOTA
PERDA 1. Lambang Daerah 2. Kewenangan Daera h Provinsi Papua 3. Kewenangan Daera h Kabupaten/Kota 4. Pemberian pertimbangan o leh gube rnur 5. Tata cara pemilihan gube rnur dan wakil Gube rnur 6. Keanggotaan dan jumla h anggota MRP 7. Tugas dan Wewe nagn MRP 8. Hak MRP 9. Kewajiban MRP 10. Pembagian Penerimaan dalam rangka Otonomi
khusus 11. Perekonomian di Provinsi Papua 12. Pengembangan suk u – Suku Terisolasi 13. Pengawasan Sosial
1. Kewenangan Daera h kabupaten dan Kota 2. Tata cara pemilihan anggota MRP 3. Pengaturan perangkat dan kepegawaia n di Provinsi
Papua 4. Kebijakan Kepegawaia n provinsi 5. Pemberian pertimbangan dan persetujua n MRP 6. Fungsi. Tugas, Wewenang, bent uk dan susuna n
Keanggotaan hukum Ad Hoc 7. Ketentuan Pinjaman Luar Negeri 8. Tata cara penyusunan dan pelaksanaan a nggaran
penda patan dan bela nja provinsi 9. Tata cara penyertaan modal 10. Tugas kepolisian di bidang ketentraman da n ketertiban 11. Penyelenggaraan pendidikan di Provinsi Papua 12. kewajiban melindungi, membina dan mengembangka n
kebudayaa n asli Papua 13. Kewajiban menyelengga rakan pelaya nan kese hatan 14. Kewajiban merencanaka n dan melaksa nakan program
perbaika n dan peningkatan gizi penduduk 15. Penempatan penduduk 16. Kesempatan Kerja 17. Lingk ungan Hidup 18. Jaminan hidup layak
3
Keterangan: 1. Hubungan dalam alokasi dan distribusi dana otonomi otsus serta sinergitas penyelenggaraan kewenangan khusus. 2. Sejumlah perdasi yang harus diterbitkan. 3. Sejumlah perdasus yang harus diterbitkan.
51 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Contoh yang lain, perihal kependudukan, sesungguhnya apa yang menjadi indikator untuk
menilai keberhasilan pelaksanaan urusan kependudukan dan ketenagakerjaan di Papua.
Apakah pembatasan masuknya orang luar Papua dapat dimaknai sebagai upaya memberikan
perlindungan terhadap orang asli Papua agar memperoleh pekerjaan karena tidak harus
bersaing dengan pendatang. Hal inilah yang telah dilakukan selama ini, yakni dengan
memberikan KTP bagi penduduk asli dan penduduk non Papua (pendatang). Pemberian dua
jenis KTP dan pembatasan dimaksud jelas-jelas telah melanggar hak azasi warga negara untuk
bertempat tinggal dan mencari penghidupan yang layak di negeri ini.
Terkait dengan pengelolaan kewenangan khusus tercermin desain pelaksanaan otonomi
khusus yang terkait dengan: (1) kewenangan/urusan yang akan dilaksanakan sendiri oleh
pemerintah provinsi, (2) kewenangan/urusan mana saja yang ‘didelegasikan’ oleh pemerintah
provinsi kepada pemkab/pemkot dan (3) kewenangan/urusan yang dikerjasamakan atau
dikelola bersama-sama pemkab/pemkot seperti yang dapat digambarkan dalam model-model
berikut ini:
Gambar 4.2 Model-Model Kewenangan Otonomi Khusus
Dalam Model 1, seperti bidang pendidikan, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota bersama-sama memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dalam
memberikan pendidikan bermutu dan memberikan bantuan atau subsidi kepada
penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan. Kemudian, untuk model 3 seperti bidang
kependudukan, dimana pemerintah provinsi berkewajiban melakukan pembinaan,
pengawasan dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk, sedangkan penyerahan
urusan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota yang tergambar dalam
model 2, terkait dengan pengelolaan dana otonomi khusus yang diperuntukkan bagi
kewenangan khusus tersebut.
52 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Dalam Pelaksanaan kewenangan khusus seperti Pendidikan, Kesehatan, Sosial,
Ketenagakerjaan dan Lingkungan Hidup juga menjadi urusan wajib yang merupakan
kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan tidak adanya pedoman dalam bentuk petunjuk
pelaksanaan maupun petunjuk teknis berimplikasi kepada ketidakjelasan urusan-urusan yang
harus dikelola sebagai penjabaran kewenangan khusus tersebut, hal tentunya akan berdampak
kepada seringnya terjadi tumpang tindih wewenang dan pelaksanaan pembangunan di antara
ketiga level pemerintahan tersebut.
Selanjutnya, dalam bentuk dan susuan pemerintahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001, disebutkan bahwa pemerintahan di Papua didasarkan pada tiga lembaga yakni: legislatif
(DPRP), eksekutif (gubernur dan pemerintahan daerah) dan MRP, dimana posisi ketiga
lembaga tersebut adalah sama dan sederajat.
Dalam Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 21 Tahun 2001 menyebutkan secara jelas Jumlah
anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRP sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan namun tanpa diikuti dengan pengaturan mengenai
kuota penambahan kursi DPRP yang bersifat khusus. Peraturan UU KPU menetapkan bahwa
wakil rakyat yang berhak duduk di DPRD Provinsi Papua adalah 56 kursi. Namun sesuai
dengan UU Nomor 21 tahun 2001 mengatur penambahan ¼ kuota dari jumlah yang ada maka
berjumlah menjadi 67 kursi. Sampai saat ini belum ada mekanisme dalam penambahan 11
kursi yang diamanatkan Undang-Undang Otonomi Khusus tersebut. Pengaturan tata cara
pengisian anggota DPRP harus diatur secara khusus dalam Perdasus yang didalamnya memuat
ketentuan tentang penambahan 11 anggota DPRP yang diangkat dan berlaku satu kali
(einmalig).
Selanjutnya, kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab,
keanggotaan, pimpinan dan alat kelengkapan DPRP diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kedudukan keuangan DPRP diatur dengan peraturan perundang-
undangan. DPRP mempunyai tugas dan wewenang (Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001), sebagai berikut: (a) memilih Gubernur dan Wakil Gubernur; (b) mengusulkan
pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden Republik Indonesia; (c)
mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur kepada Presiden Republik
Indonesia; (d) menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan program pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya bersama-sama dengan
Gubernur; (e) membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-
sama dengan Gubernur; (f) membahas rancangan Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan
Gubernur; (g) menetapkan Perdasus dan Perdasi; (h) bersama Gubernur menyusun dan
53 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
menetapkan Pola Dasar Pembangunan Provinsi Papua dengan berpedoman pada Program
Pembangunan Nasional dan memperhatikan kekhususan Provinsi Papua; (i) memberikan
pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua terhadap rencana
perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; (j) melaksanakan pengawasan
terhadap: pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan Gubernur dan kebijakan pemerintah
daerah lainnya; pelaksanaan pengurusan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah Provinsi Papua; pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; pelaksanaan
kerjasama internasional di Provinsi Papua; (k) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi,
menerima keluhan dan pengaduan penduduk Provinsi Papua; dan (l) memilih para utusan
Provinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Dalam Perpu Nomor 1/2008, tugas DPRP telah mengalami penyesuaian yaitu
penghapusan tugas pertama pada huruf (a) memilih gubernur dan wakil gubernur, dan huruf
(l) memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan
secara langsung melalui Pilkada, sementara itu utusan golongan/daerah dihapuskan dari MPR
RI.
Disamping DPRP, dalam penyelenggaraan otonomi khusus Papua juga dibentuk Majelis
Rakyat Papua atau disingkat MRP. MRP merupakan representasi kultural orang asli Papua,
yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua
dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan
perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
Tugas dan wewenang MRP meliputi: (a) memberikan pertimbangan dan persetujuan
terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; (b)
memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP; (c)
memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh
DPRP bersama-sama dengan Gubernur; (d) memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan
terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah
Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut
perlindungan hak-hak orang asli Papua; (e) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi,
pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada
umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut
penyelesaiannya; dan (e) memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD
Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan
hak-hak orang asli Papua. Pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut diatur dengan Perdasus
54 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
dan sudah diterbitkan Perdasus yang tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP yakni
Perdasus Nomor 4 Tahun 2008.
Berdasarkan penjabaran tugas dan wewenang tersebut dalam pasal tersebut, pada ayat
(1) huruf b, tidak dapat digunakan lagi dikarenakan sudah tidak adanya anggota MRP utusan
daerah yang diusulkan oleh DPRP. Utusan daerah telah dihapuskan dan diganti dalam bentuk
DPD, sebuah “kamar kedua” yang dianggap lebih merepresentasikan “utusan daerah dan
pemilihan anggotanya berdasarkan pemilihan umum legislatif.
Adapun hak MRP antara lain: (a) meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua;
(b) meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan
dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (c) mengajukan rencana Anggaran Belanja
MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi Papua; dan (d) menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP.
Sedangkan kewajiban anggota MRP meliputi: (a) mempertahankan dan memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
(b) mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan
perundang-undangan; (c) membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya
asli Papua; (d) membina kerukunan kehidupan beragama; dan (e) mendorong pemberdayaan
perempuan. Pelaksanaan hak dan kewajiban MRP didasarkan pada Perdasus dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah dimana sampai saat ini, Peraturan Pemerintah
dimaksud belum ada.
Dasar dari pembentukan MRP adalah sejenis aksi affirmative yang memiliki tujuan untuk
meningkatkan partisipasi rakyat Papua dalam setiap pengambilan keputusan di Papua, baik
yang berkaitan dengan politik dan ekonomi, agar dapat melindungi hak-hak orang asli Papua
dan juga meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Merujuk pada pandangan Agus Sumule,
setidaknya ada tiga persoalan yang melatarbelakangi terbentuknya MRP, yaitu pertama,
kehadiran orang-orang asli Papua belum dianggap penting di lembaga-lembaga atau institusi-
institusi pemerintahan selama Orde Baru, serta tidak dilibatkannya orang-orang asli Papua
dalam pengambilan kebijakan di Papua; Kedua, partisipasi dan hak-hak politik orang asli Papua
terus diabaikan, bahkan setelah reformasi; Ketiga, hak-hak dan partisipasi kaum perempuan di
Papua juga terus diabaikan, termasuk dalam hal pembuatan kebijakan publik, atas dasar itulah,
dibentuknya MRP menjadi salah satu jalan keluar yang disepakati Jakarta dan Papua dalam
membangun komitmen untuk melindungi hak-hak asli orang Papua.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 ini memang berimplikasi terhadap
penyelenggaraan pemerintahan yang ada di Papua dimana sebelum pemerintahan semula
55 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
diselenggarakan atas duet pemerintah dan DPRP kini berubah menjadi trio alias “Three in One”
artinya, keputusan terhadap penyelenggaraan pembangunan diatur oleh tiga komponen utama,
yakni Pemerintah, DPRP dan MRP. Undang-undang otonomi khusus telah mengakomodir
ketiga pilar utama (Pemerintah, DPRP dan MRP) baik menyangkut tugas dan wewenang
maupun hak dan kewajiban dari masing-masing ketiga lembaga sebagai pilar utama.
Berdasarkan hal tersebut, penyelenggaraan pemerintahan di Papua selain legislative dan
eksekutif juga ada MRP sebagai representasi kultural, diharapkan semakin kuat dengan kinerja
yang tinggi.
Dalam pelaksanaannya ternyata ketiga institusi ini cenderung tidak bersinergis. Bahkan
pola dan mekanisme kerja kewenangan antara ketiga institusi strategis (DPRP, Pemerintah
Provinsi, dan MRP) tidak jelas. Akibatnya kinerjanyapun tidak optimal. Ketidakjelasan
hubungan dan pola kerja di antara lembaga-lembaga ini mengakibatkan munculnya “konflik
kepentingan” bermain pada ranah yang tidak jelas misalnya, MRP sebagai representasi kultural
sering masuk ke dalam ranah politik. Di satu sisi, belum ada solusi kebijakan memperkuat
peran dan fungsi lembaga khusus (MRP). Pemerintah Provinsi dan DPRP belum dapat bekerja
secara optimal dalam proteksi terhadap masyarakat asli Papua yang tergambar dalam
diterbitkan perdasus yang belum sesuai dengan target yang diharapkan.
Desakan untuk melakukan revisi undang-undang Otonomi Khusus semakin mengemuka
seiring dengan “tuduhan” kegagalan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua berdasarkan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001. Hampir setiap hari, media massa cetak dan elektronik
senantiasa memberitakan perlunya penyempurnaan undang-undang otonomi khusus. Namun
persoalannya adalah, pertama, tuduhan dan pemberitaan yang relatif gencar tersebut tidak
pernah menjelaskan kepada publik hal-hal apa yang perlu direvisi/disempurnakan. Kedua,
bahwa tuduhan dan pemberitaan tersebut juga tidak pernah menjelaskan apakah memang isi
undang-undang otonomi khusus telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh ataukah tidak?.
Titik berat perbincangan mengenai otonomi khusus Papua senantiasa dan selalu saja
ditujukan pada kegagalan pemerintah daerah (pemerintah provinsi) dalam mengelola dana
Otonomi Khusus yang diterimanya. Benarkah hal itu hanya merupakan kegagalan pemerintah
daerah saja? Bukankah pemerintahan daerah terdiri atas pemerintah daerah, DPRP dan MRP
secara bersama-sama? Selain pemerintah daerah, ada pula pemerintah pusat yang ikut
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan otonomi khusus.
Untuk mendukung pembahasan hasil penelitian ini juga dilengkapi dengan berbagai
pendapat, diantarannya bagaimana pandangan dari informan yang terhadap kebijakan
otonomi khusus. Dari segi kebijakan, kabupaten/kota pada daerah penelitian sangat
menyambut baik atau menanggapi dengan positip pelaksanaan kebijakan otonomi khusus.
56 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Otonomi khusus bagi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi
pemerintah daerah provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di
dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih
besar bagi pemerintah daerah dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat Papua.
Kebijakan otonomi khusus sendiri merupakan suatu kebijakan yang bernilai strategis
dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh
rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat
mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan provinsi-provinsi
lainnya di tanah air, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di
wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan.
Tabel 4.3
Persepsi Responden Terhadap Tujuan Pelaksanaan Otsus
Prioritas Tujuan Pelaksanaan Otsus Menurut Responden
Prioritas Tujuan Pelaksanaan Otsus Papua menurut UU Nomor 21 Tahun
2001 Integrasi nasional Keadilan
Keadilan dan kesejahteraan rakyat Penegakan supremasi hukum dan penghormatan HAM
Penegakan hukum dan HAM Percepatan pembangunan ekonomi
Kesenjangan antarprovinsi Peningkatan kesejahteraan dan pembangunan
Sumber: Kuesioner (data diolah)
Box1. Persepsi Responden terhadap Tujuan Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Persepsi stakeholder pelaksana kebijakan terhadap tujuan suatu kebijakan bisa saja berbeda dari apa yang digariskan oleh kebijakan tersebut. Hal ini bisa saja mempengaruhi tindakan-tindakan yang dipilih dan hasil-hasil yang dicapai. Dengan adanya perbedaan persepsi yang dimiliki, implementasi bisa saja menjadi bias, tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam buku Papua Road Map yang diterbitkan LIPI, Yayasan TIFA, dan Yayasan Obor Indonesia tahun 2009, diuraikan beberapa alasan mengapa otsus belum berhasil sebagai kekuatan pendorong paradigma baru pembangunan di Papua dan Papua Barat. Alasan itu antara lain adanya ketidaksamaan pemahaman dan persepsi mengenai otsus. Sejak awal telah terbangun perbedaan persepsi dan kepentingan di kalangan pejabat pemerintah pusat, pemerintah daerah, sampai masyarakat.
Seperti dalam penelitian ini, dimana responden diminta mengurutkan tujuan pelaksanaan otsus Papua dan Papua Barat, mayoritas responden (58,33%) menyatakan integrasi nasional sebagai prioritas utama dalam pelaksanaan otsus, sedangkan urutan kedua adalah keadilan dan kesejahteraan rakyat, selanjutnya urutan ketiga penegakan hukum dan HAM, dan terakhir (pengurangan) kesenjangan antar provinsi. Padahal menurut UU Nomor 21 Tahun 2001 pada bagian penjelasannya disebutkan bahwa “Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain”.
57 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Responden selanjutnya memang mengharapkan bahwa pelaksanaan otsus hendaknya
dapat menjamin terciptanya persatuan dan kesatuan dimana Provinsi Papua dan Papua Barat
menjadi salah satu bagian pentingnya dan untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu ditempuh
melalui peningkatan keadilan dan kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat.
Selanjutnya, dalam pelaksanaan otonomi khusus, Provinsi Papua memperoleh sumber
penerimaan lain yaitu dalam bentuk penerimaan dana otonomi khusus sebesar 2% dari DAU
secara nasional. Berdasarkan dana yang diterima tersebut, provinsi kemudian
mendistribusikan kepada kabupaten/kota berdasarkan Rancangan Peraturan Daerah Khusus
Nomor 1 Tahun 2007, Pada kabupaten/kota, dana otonomi khusus tersebut diarahkan kepada
4 (empat) bidang kewenangan khusus yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi
dan infrastruktur dasar.
Berdasarkan dana otonomi khusus tersebut beberapa kabupaten/kota sebagai pelaku
kebijakan yang menerjemahkan dalam berbagai program affirmative action, seperti yang
dilakukan di Kabupaten Puncak Jaya, melalui beberapa program keberpihakan dan proteksi
masyarakat asli Papua asal Kabupaten Puncak Jaya diantaranya program pendidikan melalui
pendidikan gratis yang mencakup pembebasan semua biaya dan pungutan di sekolah mulai
dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan (SMA/SMK) dan
beasiswa bagi siswa yang akan melanjutkan Perguruan Tinggi dan akomodasi bahkan asrama
di kota studinya. Kesehatan gratis meliputi penggratisan biaya pelayanan, obat-obatan hingga
tindakan medis dan ditanggung pemerintah selain itu dibangunnya rumah sakit dan puskesmas
di setiap distrik di daerah-daerah.
Berbicara mengenai evaluasi kebijakan, tentunya juga harus berbicara dampak yang
dihasilkan dari implementasi kebijakan tersebut. Dari berbagai pendapat informan diketahui
bahwa dampak Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat bervariasi, ada yang menyatakan
belum memberikan dampak signifikan, namun ada pula yang menyatakan sebaliknya, bahwa
Otonomi Khusus telah memberikan impact bagi masyarakat Papua dan Papua Barat. Anggota
DPRP/DPRPB dan anggota MPRP/MPRPB pada umumnya memberikan pendapat bahwa
implementasi Otonomi Khusus selama sepuluh tahun belakangan belum memberikan dampak
kepada masyarakat Papua, sebagaimana pernyataan Ketua Komisi D-DPR Papua Barat sebagai
berikut:
“Pelaksanaan otonomi khusus selama 10 tahun di Provinsi Papua Barat dinilai belum membawa perubahan kemajuan yang signifikan bagi daerah dan kesejahteraan hidup yang layak serta bermartabat di daerah ini jika disejajarkan dengan perkembangan kemajuan daerah serta tingkat kesejahteraan rakyat secara nasional maupun regional”
58 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Hal senada disampaikan Anggota MRP Provinsi Papua Barat, H. Muhammad Aerobi
(perwakilan agama), bahwa pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua Barat masih jauh dari
harapan, sebagaimana pernyataan beliau:
“kita melihat pelaksanaan Otonomi Khusus ini sepertinya tidak ada transparansi antara legislatif dengan eksekutif. MRP sebagai lembaga representasi adat, agama dan perempuan tidak pernah diajak bicara untuk melaksanakan Otonomi Khusus Papua.Bahkan di Papua Barat ini ada istilah PMP (Papua makan Papua), Otonomi Khusus yang seharusnya memberdayakan orang asli Papua, pada kenyataannya tidak terlaksana karena perilaku orang Papua sendiri”.
Di sisi lain, penjelasan yang diberikan Kepala Bappeda Kabupaten Sorong Selatan
menunjukkan bahwa Otonomi Khusus Papua Barat sebenarnya memiliki harapan untuk terus
dilanjutkan di antara persoalan yang dihadapinya.
“pemerintah daerah telah mengerahkan segenap daya upaya dalam pelaksanaan otonomi khusus tersebut, permasalahannya masyarakat belum menyadarinya, seharusnya kebijakan Otonomi Khusus mengadopsi kebijakan yang dicanangkan pemerintah orde baru yang menerapkan kebijakan Sekolah Inpres, sekolah yang dibangun berdasarkan dana inpres sehingga masyarakat mengetahui peruntukkan danannya, dapat dikatakan masyarakat membutuhkan suatu label atau penanda dari kebijakan otonomi khusus sehingga masyarakat mengetahui dampaknya ”
Pendapat yang diberikan tersebut merupakan suatu pembelaan terhadap apa yang
dikeluhkan sebagian masyarakat bahwa otonomi khusus adalah gagal. Penyelenggaraan
otonomi khusus sebagai akselerasi dalam
mengurangi kesenjangan dengan provinsi lain
telah ditempuh melalui berbagai program–
program di pemerintah kabupaten/kota tetapi
memang kurangnya “penanda” sehingga selama in
menjadi pertanyaan masyarakat.
Mengenai manfaat dari penyelenggaraan otonomi khusus, ditekankan oleh Asisten I
Kabupaten Biak Numfor, bahwa pelaksanaan otonomi khusus besar atau kecilnya pasti ada
dampaknya yang dirasakan masyarakat sehingga otonomi khusus harus tetap dilanjutkan.
“Otonomi Khusus Papua yang telah dilaksanakan selama 10 tahun lebih, menurut kami perlu dilanjutkan. Besar-kecilnya anggaran yang diturunkan kepada kabupaten/kota pasti akan memberikan manfaat bagi pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Hanya, persoalannya memang, Provinsi harus melengkapi pelaksanaan Otonomi Khusus ini dengan perdasus dan perdasi yang diperlukan”.
“Sejak pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mulai berlaku tahun 2001 silam, kami langsung membuat program keberpihakan pada masyarakat karena dana Otsus itu adalah hak mereka,”
59 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
C. Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
1. Keuangan dan Pengelolaannya
Jumlah dana Otonomi Khusus dan dana tambahan infrastruktur yang telah diserahkan
kepada Provinsi Papua dan Papua Barat tahun 2002-2012 sebesar Rp. 33,682 T dengan rincian
sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini dari tahun ke tahun cenderung terdapat
kenaikan dana otonomi khusus yang disalurkan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat.
Tabel 4.4 Alokasi Dana Otonomi Khusus dan Tambahan
Infrastruktur Tahun 2002-2012
No Tahun
Dana Otonomi Khusus
(dalam milyar Rp)
Infrastruktur
(dalam milyar Rp)
Papua Papua Barat Papua Papua Barat 1 2002 1,380 2 2003 1,539 - - - 3 2004 1,643 - - - 4 2005 1,775 - - - 5 2006 2,913 - - - 6 2007 3,296 - - - 7 2008 3,590 - 330 670 8 2009 2,610 1,118 800 600 9 2010 2,695 1,155 800 600
10 2011 3,157 1,353 800 600 11 2012 3.833 1,642 571 428 TOTAL 28,413 5,269 2,501 2,298
Sumber : Ditjen Keuangan Daerah, Kemendagri Tahun 2012
Gambar 4.3 Perkembangan Alokasi Dana Otonomi Khusus (2002-2012)
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1.380
1.539
1.643
1.775
2.913
3.296
3.590
2.610
2.695
3.157
3.833
1.1181.155
1.353
1.642
Dlm
Mily
ar R
p
Papua
Papua Barat
60 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Gambar 4.4
Perkembangan Dana Infrastruktur (2002-2012)
Sampai dengan tahun 2008 dana otonomi khusus Papua tidak dibagikan kepada
Pemerintah Provinsi Papua Barat. Dengan diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, otonomi khusus juga berlaku bagi Provinsi
Papua Barat dan sejak tahun 2009 Pemerintah Provinsi Papua Barat telah menerima dana
otonomi khusus.
Dana otonomi khusus Papua dialokasikan untuk membiayai kegiatan provinsi dan
dialokasikan kepada kabupaten/kota. Otonomi khusus Papua terletak pada provinsi,
selanjutnya provinsi melakukan pendistribusian pada kabupaten/kota. Adapun dana tambahan
infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan
berdasarkan usulan provinsi, terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan
infrastruktur. Dana tersebut dimaksudkan agar sekurang-kurangnya dalam 25 tahun seluruh
kota-kota provinsi, kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan
dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas, sehingga Provinsi Papua dapat
melakukan aktivitas ekonominya secara baik dan menguntungkan sebagai bagian dari sistem
perekonomian nasional dan global.
Pada kurun waktu 2002-2003, Provinsi menerima porsi dana otonomi khusus sebesar
60% sementara 40% sisanya dibagikan kepada seluruh kabupaten/kota di Provinsi Papua. Hal
ini merujuk pada Surat Keputusan Menteri RI Nomor 47/KM.07/2002 tanggal 21 Februari
2002 tentang cara penyalurah dana otonomi khusus Provinsi Papua. Sejak tahun 2004
berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pembagian Penerimaan dalam rangka
0
100
200
300
400
500
600
700
800
2008 2009 2010 2011 2012
330
800 800 800
571
670
600 600 600
428
Dlm
Mily
ar R
p
Papua
Papua Barat
61 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Otonomi Khusus, pola pengalokasian berubah dengan porsi lebih besar diberikan pada
kabupaten/kota (60%). Sementara provinsi menerima 40% dari dana otonomi khusus. Sejak
tahun 2007, pola pengalokasian merujuk pada rancangan Perdasus Nomor 1 Tahun 2007
tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus
Papua, dengan pola yang sama, yakni kabupaten/kota (60%) dan provinsi (40%). Untuk
kabupaten/kota ditetapkan lebih besar (60%) mengingat implikasi dari otonomi daerah dan
otonomi khusus Papua titik beratnya beratnya berada di kabupaten/kota. Pola pengalokasian
dana otonomi khusus dalam berbagai periode terangkum dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.5 Pola Pengalokasian Dana Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Periode Porsi Kabupaten/Kota
Porsi Provinsi
Dasar Hukum
Periode 2002-2003 40% 60% Surat Keputusan Menteri RI Nomor 47/KM.07/2002 tanggal 21 Februari 2002 tentang Cara Penyalurah Dana Oonomi Khusus Provinsi Papua
Periode 2004-2006 60% 40% Perda Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pembagian Penerimaan dalam Rangka Otonomi Khusus
Periode 2007-Sekarang 60% 40% Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua
Periode 2009-2011 70% 30% Peraturan Gubernur Provinsi Papua Barat Nomor 41 Tahun 2009
Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Papua.
Sementara untuk Provinsi Papua Barat, kabupaten/kota mendapat proporsi alokasi yang
lebih tinggi daripada kabupaten/kota di Provinsi Papua. Pembagian dana otonomi khusus di
Provinsi Papua Barat adalah 70% untuk Provinsi dan 30% untuk Pemerintah kabupaten/kota.
Pembagian ini merujuk pada Peraturan Gubernur Provinsi Papua Barat Nomor 41 Tahun 2009.
Perimbangan alokasi antara provinsi dan kabupaten/kota sejauh ini oleh berbagai pihak
masih dirasakan kurang ideal mengingat jumlah 60% dana otonomi khusus tersebut
dialokasikan kepada kabupaten/kota, alokasi yang diterima oleh kabupaten/kota dianggap
ideal. Ditambah lagi, tidak ada dasar pertimbangan yang jelas dalam penetapan proporsi
tersebut. Meski otonomi khusus merupakan otonomi bagi provinsi, namun jelas sasarannya
tersebar diberbagai kabupaten/kota. Untuk itu muncul beragam pendapat tentang
perimbangan dana otonomi khusus antara provinsi dan kabupaten/kota. Sebagian pihak
menghendaki pembagian 80% untuk kabupaten/kota dan 20% untuk provinsi, sebagian lagi
agar pengelolaannya seluruhnya diserahkan kepada kabupaten/kota.
Dana penerimaan khusus ditujukan untuk memperkuat kemampuan keuangan
Pemerintah Provinsi Papua serta pemerintah kabupaten dan kota dalam rangka percepatan
62 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
pembangunan dengan tujuan dan sasaran: 1) mendukung pelaksanaan otonomi khusus Papua;
2) meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat; 3) meningkatkan kualitas sumber
daya masyarakat; dan 4) mengurangi kesenjangan pembangunan antar sektor, antar wilayah,
serta antar desa-kota.
Secara garis besar penggunaan dana otonomi khusus digunakan untuk pembangunan di
Provinsi Papua dan disalurkan ke kabupaten/kota. Gambaran umum tentang penggunaan dana
otonomi khusus kurun 2002-2010 tertuang dalam tabel 4.5. Dana yang disalurkan ke
kabupaten/kota diantaranya berupa dana segar (fresh money) yang penggunaannya diserahkan
sepenuhnya ke kabupaten/kota untuk mendanai kegiatan sesuai dengan kebutuhan daerah.
Ada catatan khusus terkait dengan dana segar tersebut. Dari berbagai contoh penggunaan dana
segar, tampak bahwa penggunaan dana segar ini yang semestinya diperuntukkan bagi
program-program strategis dengan prioritas pada sektor pendidikan, kesehatan,
pemberdayaan ekonomi rakyat, dan infrastruktur, dijumpai alokasi yang tidak sesuai dengan
prioritas tersebut. Misalnya dijumpai penggunaan dana segar untuk proyek pembuatan rumah
dinas camat di salahsatu kabupaten atau pembangunan kantor badan pemerintahan.
Tabel 4.6 Penggunaan Dana Otonomi Khusus Papua Tahun 2002-2010
Tahun Pengalokasian 2002 Sejumlah Rp. 1.38 trilyun, 60% diantaranya atau Rp. 829,53 miliar merupakan alokasi
provinsi digunakan untuk melaksanakan program pembangunan dan dana cadangan rutin. Dana otonomi khusus Kabupaten/Kota sebesar Rp. 552,77 miliar (40%) dibagikan kepada 14 Kabupaten/Kota sebagai berikut: Bantuan program/kegiatan di Kabupaten/Kota melalui DIPA Provinsi Papua sejumlah
Rp. 349.726.166.000 Bantuan keuangan (dana segar/fresh money) sejumlah Rp. 200.000.000 disalurkan
langsung melalui Kas Daerah Kabupaten/Kota Bantuan untuk subsidi pembebasan EBTA sejumlah Rp. 3053.834.000, disalurkan
langsung ke Kas Daerah Kabupaten/Kota 2003 Sejumlah Rp. 924,48 miliar (60% dari Rp. 1,53 triliun) digunakan untuk pembangunan
di Provinsi Papua dan sebesar Rp. 605,51 miliar (40%) dialokasikan ke kabupaten/kota se Provinsi Papua sebagai berikut: Bantuan dana segar (fresh money) bagi 7 kabupaten induk dan 7 kabupaten/kota yang
tidak dimekarkan sebesar Rp. 210 miliar Bantuan dana segar (fresh money) bagi 14 kabupaten pemekaran sejumlah Rp. 70
miliar Bantuan proyek yang diarahkan oleh Provinsi untuk 7 kabupaten/kota induk dan 7
kabupaten/kota yang tidak dimekarkan sejumlah Rp. 325,51 miliar 2004 Dana Otonomi Khusus sejumlah Rp. 1,64 triliun dialokasikan sebesar Rp.657,42 miliar
(40%) untuk Provinsi. Sejumlah Rp. 985,20 miliar untuk 20 Kabupeten/Kota se Provinsi Papua dan 9 kabupaten/kota Se Provinsi Irian Jaya Barat, sebagai berikut: Program/kegiatan yang diarahkan oleh provinsi bagi 15 kabupaten/kota hasil
pemekaran sejumlah Rp. 299,94 miliar Diberikan berupa dana segar kepada 7 kabupaten induk sejumlah Rp.485,30 miliar Diberikan kepada 14 kabupaten/kota hasil pemekaran tahun 2002 dan 1 kabupaten
hasil pemekaran sebesar Rp. 199,96 miliar
63 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Tahun Pengalokasian 2005 Sejumlah Rp. 350 miliar digunakan antara lain untuk Pilkada, sosialisasi dan
pemilihan/pembentukan MRP, pembangunan RS pendidikan, dan RS rujukan Sejumlah Rp. 570 miliar atau sebesar 40% digunakan untuk mendukung
program/kegiatan Provinsi Papua di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur Sejumlah Rp. 855,312 miliar dialokasikan kepada 29 kabupaten/kota baik yang
berada di wilayah Provinsi Papua maupun Irian Jaya Barat yang digunakan untuk mendanai 4 program prioritas, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur masing-masing kabupaten/kota
2006 Sejumlah Rp. 2,91 triliun dialokasikan sebesar 40% untuk Provinsi dan sebesar 60% untuk 20 kabupaten/kota se Provinsi Papua dan 9 Kabupaten/Kota se Provinsi Irian Jaya Barat. Pembagian tersebut dilakukan setelah dikurangi dengan pembiayaan kegiatan-kegiatan yang dipandnag sebagai tanggung jawab bersama antara provinsi dan kabupaten/kota (Rp. 165.066.000.000)
2007 Sejumlah Rp. 3,29 triliun dialokasikan sebesar Rp. 411,4 miliar untuk mendukung program unggulan Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). Sisanya sebesar 60 persen atau sebesar Rp. 1,73 triliun dialokasikan kepada 29 kabupaten/kota se Provinsi Papua dan sebesar Rp. 1,11537 triliun (40%) dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi Papua. Pembagian penerimaan telah didasarkan pada Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus
2008 Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua ditetapkan setara 2% dari plafon DAU Nasional ataur sebesar Rp. 3,590 triliun Pembagian penerimaan didasarkan pada Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus. Sejumlah Rp. 1.374.181.353.000 merupakan porsi Kabupaten/Kota. Dana Respek dan infrastruktur sebesar Rp. 1.227.742.897.000
2009 Dilakukan pemisahan antara dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Pengalokasian dana Otonomi Khusus Papua sebesar Rp 1.023.918.439.000 (40%)
menjadi bagian Provinsi digunakan untuk mendukung program/kegiatan Provinsi Papua di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur. Sejumlah Rp. 320 miliar disalurkan untuk dana Respek
Sebesar Rp. 1.265.877.659.000 (60%) dialokasikan kepada Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Papua
Provinsi Papua Barat menerima alokasi dana otonomi khusus sebesar Rp. 1.718.484.600.000. Alokasi untuk Provinsi sebesar Rp 857.559.380.000
Sejumlah Rp. 860.925.220.000 didistribusikan kepada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua Barat
2010 Sejumlah Rp. 1.045.945.915.000 (40%) dari alokasi dana otonomi khusus Papua (sejumlah Rp. 2.694.864.788.000) digunakan untuk mendukung program/kegiatan Provinsi Papua di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur dan dana Respek sebesar Rp. 350 miliar
60% dari alokasi dana otonomi khusus Papua dialokasikan kepada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua
Provinsi Papua Barat menerima alokasi dana otonomi khusus sebesar Rp. 1.754.942.052.000. Sejumlah Rp. 1.083.182.615.600 dialokasikan untuk program/kegiatan Provinsi Papua Barat
Alokasi yang didistribusikan kepada Kabupaten/Kota di wilayah Papua Barat sejumlah Rp. 671.759.436.400
Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Papua
Jika menilik proporsi dana otonomi khusus dalam APBD, pada level provinsi terdapat
proporsi yang cukup besar. Nilai total penerimaan dana Otonomi Khusus Pemerintah Provinsi
Papua dan Papua Barat sampai tahun 2010 sebesar Rp. 28.842.036.297.420, jika dibandingkan
64 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
dengan APBD masing-masing pemerintah provinsi dari TA 2002-2010 mencapai 63,20% dari
nilai APBD sebesar Rp. 45.639.072.604.954. Sedangkan total penerimaan dana Otonomi Khusus
pemerintah kabupaten/kota di wilayah Papua dan Papua Barat jika dibandingkan dengan
keseluruhan penerimaan APBD rata-rata hanya mencapai 10,20% dari nilai APBD.
Proporsi yang relatif kecil ini mengakibatkan terbatasnya pengalokasian untuk
pendidikan, kesehatan, pemberdayan ekonomi rakyat, infrastruktur, dibandingkan dengan
ketersediaan dana otonomi khusus pada kabupaten/kota7. Perimbangan yang kurang
berimbang antara provinsi dan kabupaten/kota ini mengindikasikan perlunya perbaikan dalam
mekanisme perimbangan antara provinsi dan kabupaten/kota. Memang otonomi khusus
menitikberatkan pada otonomi di level provinsi. Namun mengingat pelayanan kepada
masyarakat dan dampaknya sesungguhnya lebih banyak berada di level kabupaten/kota, perlu
dukungan dana yang lebih pada kabupaten/kota.
Selama ini juga tidak ada mekanisme yang ideal untuk pengalokasian dana otonomi
khusus untuk kabupaten/kota. Pembagian di antara kabupaten/kota diharuskan memberikan
perhatian khusus pada daerah-daerah tertinggal. Namun demikian untuk alokasi pada tiap-tiap
kabupaten/kota di Provinsi Papua belum didasari oleh pertimbangan secara komprehensif.
Sejauh ini yang ada baru bersifat rancangan peraturan daerah dengan mempertimbangkan
diantaranya (i) luas wilayah, jumlah penduduk, kondisi geografis dan tingkat kesulitan wilayah,
pendapatan asli daerah, pemerimaan pajak bumi dan bangunan, produk domestik regional
bruto. Sementara di Provinsi Papua Barat, alokasi kepada kabupaten/kota dilakukan dengan
mempertimbangkan Dimensi Keadilan yang mencakup luas wilayah (bobot 20%), jumlah
penduduk (bobot 15%), Indeks Kemahalan Konstruksi (bobot 20%), dan jumlah Orang Asli
Papua (bobot 45%). Namun terdapat indikasi bahwa kriteria ini sesungguhnya tidak
diterapkan dalam pengalokasian dana otonomi khusus bagi kabupaten/kota di Provinsi Papua
Barat (lihat catatan pada box 2). Pembagian alokasi pada kabupaten/kota kurang tidak diikuti
dengan target-target pencapaian. Di samping itu tidak ada mekanisme yang jelas terkait dengan
mekanisme penyerahan urusan dalam rangka otonomi khusus kepada kabupaten/kota. Hal ini
berimbas pada pengelolaan keuangan, dimana terkesan pengalokasian dan kepada
kabupaten/kota semata-mata merupakan hibah dari provinsi kepada kabupaten/kota. Alokasi
dana otonomi khusus pada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat dalam
kurun waktu 2002-2010 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
7 Informasi antara lain disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten Manokwari
65 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Tabel 4.7 Alokasi Dana Otonomi Khusus
Pada Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat
NO KABUPATEN TAHUN (dalam milyar rupiah)
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
1 Kab.Jayapura 44.21 46.90 35.95 28.50 54.48 57.16 60.82 52.66 52.66
2 Kab. Yapen Waropen
42.18 39.69 32.97 29.00 54.08 56.76 60.38 52.28 52.28
3 Kab.Biak Numfor 40.06 32.57 35.19 28.50 55.77 58.53 62.27 53.91 53.91
4 Kab. Nabire 41.92 35.68 35.67 29.00 53.11 55.74 59.30 51.34 51.34
5 Kab.Merauke 33.83 38.30 33.93 28.50 55.31 58.05 61.76 53.47 53.47
6 Kab. Jayawijaya 40.99 34.00 36.28 29.00 61.60 64.65 68.78 59.55 59.55
7 Kab. Paniai 38.00 33.65 36.50 30.30 59.79 62.75 66.75 57.80 57.80
8 Kab. Puncak Jaya 47.10 56.30 38.72 30.30 61.15 64.17 68.27 59.12 59.12
9 Kab. Mimika 25.56 37.05 37.19 28.60 55.77 58.53 62.27 53.91 53.91
10 Kota Jayapura 37.06 33.85 33.41 27.10 52.66 55.26 58.79 50.90 50.90
11 Kab.Waropen - 5.00 30.93 30.10 56.09 64.86 62.63 54.23 54.23
12 Kab. Asmat - 5.00 38.85 31.50 61.80 64.86 69.00 59.74 59.74
13 Kab. Boven Digoel - 5.00 32.97 30.10 59.98 62.95 66.97 57.99 57.99
14 Kab. Mappi - 5.00 32.97 31.10 59.72 64.86 66.68 57.74 57.74
15 Kab. Sarmi - 5.00 33.23 30.25 57.58 60.43 64.29 55.67 55.67
16 Kab. Keerom - 5.00 31.41 30.00 57.00 59.82 63.64 55.10 55.10
17 Kab. Tolikara - 5.00 34.05 31.00 61.80 64.86 69.00 59.74 59.74
18 Kab. Peg. Bintang - 5.00 34.05 31.00 61.80 64.86 69.00 59.74 59.74
19 Kab. Yahukimo - 5.00 38.62 31.50 61.80 64.86 69.00 59.74 59.74
20 Kab.Supiori - - 29.29 29.50 50.71 62.95 56.62 49.02 49.02
21 Kab. Yalimo - - - - - - 5.00 12.77 16.86
22 Kab. Lanny Jaya - - - - - - 5.00 12.77 16.86
23 Kab. Nduga - - - - - - 5.00 12.77 16.86
24 Kab. Puncak - - - - - - 5.00 12.77 16.86
25 Kab. Dogiyai - - - - - - - 12.77 16.86
26 Kab. Memberamo Tengah
- - - - - - - 12.77 16.86
27 Kab. Memberamo Raya
- - - - - - - 50.18 50.18
28 Kab. Intan Jaya - - - - - - - 12.77 16.86
29 Kab. Deiyai - - - - - - - 12.77 16.86
30 Kab. Manokwari* 46.71 34.29 32.45 28.30 54.48 60.82 60.82 90.95 100.46
31 Kab. Sorong* 48.75 37.96 30.93 27.10 53.56 59.80 59.80 75.56 66.84
32 Kab. Fak-fak* 30.69 32.03 32.71 28.20 56.49 63.06 63.06 67.58 64.55
33 Kab. Teluk Wandama*
- 5.00 33.23 30.00 54.73 61.10 61.10 62.46 55.86
66 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
NO KABUPATEN TAHUN (dalam milyar rupiah)
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
34 Kab. Teluk Bintuni*
- 5.00 32.19 30.00 55.77 62.27 62.27 68.15 65.02
35 Kab. Raja Ampat* - 5.00 32.19 30.75 57.00 63.64 63.64 65.00 59.91
36 Kab. Sorong Selatan*
- 5.00 33.72 29.50 56.48 63.06 63.06 75.00 66.56
37 Kab. Kaimana* - 5.00 32.19 30.00 55.77 62.27 62.27 67.22 60.50
38 Kota Sorong* 35.71 43.25 33.41 28.10 52.66 58.79 58.79 75.61 73.88
39 Kab.Tambraw* - - - - - - - - 35.00
40 Kab. Maybrat* - - - - - - - - 35.00 Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Papua
*Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Papua Barat, Pada Tahun 2002-2003 masih tergabung dalam Provinsi Papua. Kabupaten Tambraw dan Kabupaten Maybrat terbentuk setelah Provinsi Papua Barat dibentuk.
Alokasi dana otonomi khusus yang diberikan kepada kabupaten/kota di Provinsi Papua
pada tahun 2010, terlihat bahwa Kabupaten Yakuhimo, Kabupaten Pegunungan Bintang,
Kabupaten Tolikara, dan Kabupaten Asmat memperoleh dana terbesar dibanding
kabupaten/kota lainnya. Masing-masing kabupaten tersebut mendapatkan dana sejumlah Rp.
59.740.000.000. Sementara Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten
Intan Jaya, dan Kabupaten Deiyai mendapatkan alokasi terendah, masing-masing sebesar Rp.
16.860.000.000 sedangkan untuk alokasi dana otonomi khusus pada kabupaten/kota di
Provinsi Papua Barat disajikan pada gambar berikut ini.
Gambar 4.5
Sumber : Bappeda Provinsi Papua Barat, Tahun 2010
Dalam Gambar di atas terlihat bahwa Kabupaten Manokwari memperoleh dana terbesar
dibanding kabupaten/kota lainnya sebesar Rp. 100.46 Milyar sedangkan terkecil didapat
Kabupaten Tambraw dan Kabupaten Maybrat sebesar Rp 35 Milyar. Kedua kabupaten ini
merupakan kabupaten baru saja dimekarkan.
67 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Selanjutnya, pada tahun 2009 Pemerintah Provinsi Papua mengalokasikan dana otonomi
khusus pada bidang pendidikan sebesar 7,62%. Sementara Pemerintah Provinsi Papua Barat
mengalokasikan dana otonomi khusus yang diterima dengan persentase sebesar 15,36%.
Untuk bidang kesehatan, persentase anggaran yang dialokasikan di Provinsi Papua Barat relatif
sama dengan alokasi pada bidang pendidikan. Sementara di Provinsi Papua persentasenya
sekitar 6,07%. Bidang infrastruktur dan ekonomi mendapat porsi yang jauh lebih tinggi. Di
Provinsi Papua alokasinya mencapai 55,02%, lebih tinggi daripada 49,31% yang dialokasikan
Pemerintah Provinsi Papua seperti yang disajikan pada Gambar di bawah ini:
Gambar 4.6 Proporsi Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Papua Barat
pada Tiga Bidang Tahun 2009
Sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, penggunaan dana otonomi khusus
terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Pasal 34 ayat 3 Huruf (c)
angka (2) UU itu menyebutkan, penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi
khusus. Kabupaten Sorong Selatan memberikan tanggapan yang positif terhadap pemberian
dana otonomi khusus dari provinsi tersebut dimana Kabupaten Sorong baru menerima dana
otonomi khusus pada tahun 2003, walaupun kebijakan otonomi khusus telah ada pada tahun
2002. Tahap awal lebih memprioritaskan penggunaan dana tersebut kepada bidang
pendidikan, dengan membangun sejumlah perpustakaan dan sekolah yang bertipe asrama, hal
ini untuk mendorong orang asli Papua yang ada dipelosok untuk bersekolah, karena kesulitan
transportasi yang dihadapi sehingga orang asli Papua enggan untuk bersekolah.
Dengan besarnya dana otonomi khusus dalam penyelenggaraan otonomi khusus di
Papua dan Papua Barat bagi masyarakat belum merasakan manfaatnya seperti dituturkan oleh
salah seorang anggota masyarakat yang dikutip dari Kompasiana, 19 April 2011.
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
Bidang Pendidikan Bidang Kesehatan Bidang Infrastruktur dan
Ekonomi
Papua
Papua Barat
68 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
“Kitong sudah dapat otonomi khusus dengan dana yang banyak dari Pemerintah Indonesia karena kitong orang Papua minta merdeka, tapi selama ini saya lihat kitong orang Papua yang ada di kota masih tetap susah hidup. Tidak tahu lagi dengan dong yang ada di kampung-kampung. Saya heran sekali, uang yang banyak-banyak itu lari kemana kah..?”
Hal ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh Sekretariat Daerah Sorong Selatan, ketika
diskusi terbatas yang diadakan di Kantor Bupati, Sorong Selatan :
“Orang Papua memang mengharapkan dana otonomi khusus adalah seperti dana BLT yang dibagikan langsung, tetapi pemerintah daerah tidak bisa begitu, pengalokasian dana tersebut dilaksanakan melalui program–program yang berpihak kepada orang asli Papua, harusnya masyarakat dapat melihat dari mudahnya pendidikan bagi orang asli Papua, apabila tidak mampu dapat diberikan beasiswa, kemudian sarana kesehatan dengan berbagai kemudahannya, pembangunan Pasar dan mudahnya jalan dimana pembangunan jalan telah baik, dahulu untuk menuju Kota Sorong dibutuhkan paling tidak waktu 1(satu) hari sekarang paling cuma 5 (lima) jam”
Berdasarkan hal tersebut, orang asli Papua mengharapkan dana otonomi khusus
dibagikan saja kepada orang Papua tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah kabupaten/kota
tidak dapat menerapkan seperti itu, pemerintah kabupaten/kota melakukan berbagai
program-program yang nantinya akan dapat membantu orang asli Papua, memberi “Kail bukan
Ikan”.
69 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Kritik tentang kriteria pengalokasian dana otonomi khusus juga disampaikan oleh Perwakilan Kabupaten Lanny Jaya, seperti yang diuraikan berikut ini:
“Permasalahan geografis kami lebih berat, tetapi anggaran relatif disamakan dengan daerah lain, ini kan tidak adil karena aksesibilitas kami yang sangat terbatas”
Topografi Kabupaten Lanny Jaya merupakan dataran tinggi dengan derajat kemiringan
lereng yang cukup terjal dan berada pada ketinggian 1.500 hingga 3.000-an meter di atas
permukaan laut. Daerah ini mencakup 80 % dari total wilayah kabupaten tersebut, sisanya
berupa dataran rendah dengan topografi yang rata.
Terkait dengan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, memang masih menjadi
suatu kendala hal ini pula diakui pada pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) di setiap
kabupaten. Kurangnya sosialisasi terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
provinsi sehingga kabupaten/kota mengalami ketidaktauan akan peraturan yang ada, sebagai
jalan tengah pemerintah kabupaten kadang dalam pelaksanaannya mengambil inisiatif
penyerapan dengan terpenting memberikan penyalurannya yang berdasarkan keterpihakan
kepada masyarakat asli Papua. Hal yang sama terjadi ketika diskusi terbatas di Kabupaten
Merauke, dimana terjadi kebingungan dengan permasalahan alokasi anggaran tersebut.
“Bagaimana peruntukkan bagi tenaga kesehatan non Papua yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan bagi orang asli Papua, apakah bisa honorarium dibayarkan kepada tenaga kesehatan tersebut dengan mengunakan dana otonomi khusus?”
Hal ini juga tergambar berdasarkan pernyataan Anggota Komisi XI DPR RI Irene Manibuy yang
dikutip oleh KBR68h.com, dikatakan bahwa:
“begitu undang-undang Otonomi Khusus pada tahun 2001 yang disertai dengan dana tentunya jadi tidak sekedar undang-undang, tidak sekedar peraturan tetapi dikucurkan sejumlah dana dari pusat kepada daerah. Cuma sayangnya implementasi secara regulasi yang mengiringi tentang dikucurkan dana itu sampai dengan saat ini tidak ada satu peraturan yang mengatur khusus tentang bagaimana penggunaan dana Otonomi Khusus itu. Kedua pengawasannya secara melekat itu tidak ada, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah”.
Pernyataan yang diamini oleh Kepala Bappeda Kabupaten Sorong Selatan: “Kita dikasih dana dari provinsi dalam bentuk gelondongan dan dari kabupaten sini langsung dibagikan kepada tiap–tiap SKPD, tanpa petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaaan, monitoring dan evaluasi juga kurang dilakukan oleh pemerintah provinsi”.
70 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Pernyataan senada diungkapkan Gubernur Barnabas Saebu dalam rapat kerja Menteri
Keuangan dan Badan Anggaran DPR RI di Gedung DPR, Senin, 6 Desember 2010 yang dikutip
vivanews.com bahwa salah satu penyebab dana otonomi khusus tidak sesuai di lapangan
dikarenakan ketidaksiapan aparat pemerintahan dalam pengelolaan anggaran yang besar,
lemahnya manajemen keuangan juga menjadi sebab tata kelola pemerintah yang baik
pemerintah provinsi penerima dana otonomi khusus tidak berjalan dengan semestinya
ditambah kurangnya advokasi yang diberikan pemerintah pusat dalam menyusun sistem
perencanaan yang benar, pengawasan internal dan laporan akuntabilitas yang benar.
Hal ini diakui oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri,
Djohermansyah Djohan yang dikutip di Harian Kompas, 23 November 2011:
“Perubahan yang tidak signifikan pada kesejahteraan masyarakat Papua setelah penggelontoran dana otonomi khusus diakui sebagai akibat kurangnya perencanaan dan pengawasan. Selain itu, peraturan pedoman penggunaan anggaran umumnya belum ada”
Hal-hal lain yang perlu menjadi catatan dari alokasi yang telah diterima kabupaten/kota
adalah bagaimana pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dana tersebut kepada program
kegiatan. Terdapat daerah yang mengalokasikan dana tersebut tidak pada porsinya
sebagaimana yang menjadi prioritas seperti yang diungkapkan oleh Ketua Komisi B Dewan
DPRPB, Amos H May, yang dikutip MetroTVNews.com,
“triliunan rupiah dana otonomi khusus bagi Papua dan Papua Barat belum dimanfaatkan secara tepat untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Program pembangunan yang disusun tidak tepat sasaran, dan malah melemahkan pemberdayaan masyarakatnya. Pembangunan dari dana otonomi khusus belum terlihat nyata hasilnya. Pembangunan fisik, selama 10 tahun, memang terlihat, tetapi pembangunan masyarakatnya masih belum sama sekali. Program pengentasan rakyat dari kemiskinan sering kali salah sasaran, di antaranya membagikan televisi kepada warga kampung, yang manfaat ekonominya sebenarnya rendah.”
Akibat tidak ada petunjuk teknis penggunaan dana otonomi khusus, pengelolaan dana
triliunan rupiah itu tidak terkendali. Masyarakat menilai dana yang diserahkan tidak
berpengaruh positif. Padahal Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menekankan bahwa dana
otonomi khusus diperuntukkan bagi peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan,
perekonomian, sosial, kependudukan, infrastruktur, dan penguatan sumber daya masyarakat.
71 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Box3. Pengalokasian dan Pencatatan Dana Otonomi Khusus yang Tidak Pada Porsinya
Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, khususnya terkait dengan pelaksanaan
Pasal 15 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, maka Pemerintah Provinsi
Papua mempunyai kewenangan untuk mengatur, menetapkan, dan mengendalikan pengelolaan
dana penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Namun yang menjadi
persoalan Pemerintah Provinsi Papua belum menyediakan payung hukum yang jelas dari
pemerintah provinsi sebagai penerima dana otonomi khusus dari pemerintah pusat. Akibatnya
pemerintah kabupaten/kota mencoba menafsirkan sendiri apa yang menjadi prioritas bagi
daerah masing-masing. Di Kabupaten Biak Numfor pada akhirnya pemberian dana otonomi
khusus diberikan kepada hampir semua SKPD, dengan kriteria pengalokasian yang belum
jelas8.
Sebenarnya tahun 2004 telah diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 2
Tahun 2004 tentang Pembagian Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus, kemudian
berlanjut pada tahun 2007 telah dirumuskan Rancangan Perdasus mengenai Pembagian dan
8 Keterangan ini antara lain disampaikan oleh narasumber dari Pemerintah Kabupaten Biak Numfor dalam wawancara Oktober 2011
Ditemukan alokasi dana otonomi khusus yang diperuntukkan bagi pilkada kabupaten dan pilkada provinsi. Menurut penuturan Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek yang dikutip KBR68h, hal ini sebenarnya memungkinkan. Disebutkan bahwa ketiadaan dana untuk menggelar pemilukada ulang di Papua Barat tidak bisa dijadikan alasan agar pelaksanaannya ditunda hingga tahun depan, pemerintah daerah bisa saja menggelontorkan dana dari kas daerah yang belum masuk, daerah juga punya dana alokasi khusus atau dana otonomi khusus yang bisa dipergunakan sewaktu – waktu.
“Penundaan itu dimungkinkan kalau dengan alasan ketiadaan dana. Tapi secara factual itu gak mungkin. Karena kalau dari segi pembiayaan, pemda dalam hal kalaus sesuai aturan apakah PP 58 atau Permendagri, pemda dalam hal tertentu atau keadaan darurat dalam mengeluarkan kas yang belum tersedia anggarannya.”
Namun ini tentunya menjadi rancu, tidak sesuai dengan otonomi khsusu, dan bisa mendorong terjadinya pernyalahgunaan. Dana ini pun dipergunakan untuk pembangunan kantor Bupati. Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam pelaporannya, alokasi tersebut ditempatkan pada bidang ekonomi. Apakah ini suatu kesengajaan untuk menghindari tudingan penyalahgunaan. Yang jelah praktek semacam ini tidak diharapkan terjadi.
Gambar 4.6. Contoh Pengalokasian dan Pencatatan Dana Otonomi Khusus yang tidak pada porsinya
72 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Pengelolaan Penerimaan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, namun sampai
saat ini belum disahkan oleh DPRP karena DPRP belum menyepakati substansi yang diatur
dalam Perdasus tersebut. Namun demikian, Peraturan ini tetap menjadi rujukan bagi berbagai
pihak mengingat dapat dianggap sah sebagai Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 meskipun belum
memiliki kekuatan hukum yang tetap karena belum ditetapkan dalam lembaran daerah.
Berlanjut dengan Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Pengelolaan Dana Penerimaan Khusus dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua Tahun
Anggaran 2007.
Tahun 2009 diterbitkan Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor 198 Tahun 2009
tentang Pedoman Pengelolaan Dana Penerimaan Khusus dalam rangka Pelaksanaan Otonomi
Khusus Provinsi Papua Tahun Anggaran 2009. Melalui pedoman tersebut pemerintah provinsi
mencoba lebih mengarahkan penggunaan dana otonomi khusus baik oleh Provinsi maupun
kabupaten/kota untuk membiayai percepatan pelaksanaan pembangunan di Papua melalui
program prioritas pendidikan, kesehatan, infrastruktur kampung dan pemberdayaan ekonomi
rakyat. Peraturan serupa telah pula diterbitkan pada tahun 2010 sebagai pedoman dalam
mengelola dana penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Papua
Tahun Anggaran 2010.
Dalam Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 198 Tahun 2009 tersebut diatur
mekanisme pengelolaan dana penerimaan khusus Provinsi Papua. Pada mekanisme
perencanaan dalam rangka menyusun/membahas program/kegiatan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota yang bersumber dari dana otonomi khusus tetap berdasarkan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pemabangunan Nasional, Undang- Undang
Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang
tahapan, tatacara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan
daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Untuk program dan kegiatan yang bersumber dari dana otonomi khusus di kabupaten/kota
melalui pembahasan Usulan Rencana Definitif (URD) oleh provinsi sebelum penetapan APBD
kabupaten/kota. Mekanisme pembahasan URD akan diatur dalam Pedoman Pembahasan
URD/RD otonomi khusus kabupaten/kota.
Terkait dengan pelaksanaan, program dan kegiatan yang bersumber dari dana otonomi
khusus tetap berpedoman pada PERDA dan Peraturan Kepala Daerah APBD provinsi dan
kabupaten/kota, petunjuk pelaksanaan program dan kegiatan APBD Provinsi Papua dan atau
kabupaten/kota serta ketentuan yang berlaku tentang pengelolaan keuangan daerah. Jika
73 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
diperlukan revisi, revisi program kabupaten/kota disampaikan oleh bupati/walikota kepada
Gubernur Provinsi Papua cq Kepala Bappeda Provinsi Papua. Kabupaten/kota tidak
diperkenankan melakukan revisi program/kegiatan tanpa persetujuan Gubernur. Usulan revisi
selanjutnya dibahas oleh Tim pembahas yang terdiri dari unsur Bappeda Provinsi Papua dan
Badan Pengelola Keuangan Daerah.
Di Provinsi Papua Barat tahun 2011, pengelolaan dana otonomi khusus diatur dengan
Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 900/V/2011/Tahun 2011. Peraturan Gubernur ini
mengatur tentang pelaksanaan dan pertanggungjawaban transfer atas bantuan alokasi dana
otonomi khusus, tambahan dan infrastruktur kepada pemerintah kabupaten/kota, distrik,
kelurahan, dan kampung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas pelaksanaan penyaluran dan pertanggungjawaban anggaran bantuan alokasi
dana otonomi khusus dan tambahan dana infrastruktur. Secara khusus disebutkan bahwa
alokasi dana tersebut digunakan untuk pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan bidang
pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, infrastruktur, dan affirmative actions bagi putra-
putri asli Papua. Peraturan ini juga mengatur penyaluran bantuan dana RESPEK.
Peraturan Gubernur Provinsi Papua maupun Papua Barat tentang pengelolaan dana
otonomi khusus dalam prakteknya dapat dikatakan belum berjalan secara optimal, selain
belum tersosialisasikan dengan baik, timbul juga berbagai permasalahan dalam
pelaksanaannya diantaranya kegiatan yang dilaksanakan swakelola oleh SKPD dan bersumber
dari dana otonomi khusus tidak pernah disampaikan laporan secara rutin maupun berkala
sehingga sulit pula mengikuti perkembangannya. Persoalan lain terkait koordinasi dan
kerjasama di tingkat tim yang dinilai masih kurang, sehingga hal ini menghambat proses
pelaporan. Koordinasi dengan SKPD pengelola kegiatan yang pembiayaannya bersumber dari
dana otonomi khusus kurang direspon baik dan terkesan lamban, sehingga mempersulit tim
memperoleh data yang member informasi terhadap perkembangan penyelesaian suatu
pekerjaan. Kurang adanya koordinasi juga terjadi antara pemimpin proyek provinsi yang
melaksanakan pekerjaan di kabupaten dengan pemerintah daerah. Hal ini juga menyulitkan
pemerintah daerah dalam melakukan monitoring proyek-proyek yang bersumber dari otonomi
khusus.
Selain itu proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan SKPD mengalami
keterlambatan sehingga pelaksanaan fisik terhambat dan tidak tercapai sepenuhnya.
Keterlambatan pencairan dana otonomi khusus ini bisa menyebabkan keterlambatan
pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik yang dikerjakan oleh para kontraktor lokal. Di
samping itu karena para kontraktor baru lokal rata-rata masih pemula, sangat terbatas dalam
hal sumber daya dan modal sehingga pekerjaan harus menunggu pencairan uang muka
74 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
pekerjaan sebesar 30%. Distrik dan kampung-kampung sebagai lokasi pelaksanaan kegiatan
sebagian besar sangat sulit, sehingga berdampak pada sulitnya kontraktor memobilisasi bahan
dan peralatan9
Belum adanya transparansi kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran,
mekanisme pembagian serta bentuk pengelolaannya. Berimplikasi pada menurunnnya
kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah, menimbulkan kecemburuan sosial antara
masyarakat terutama antara orang asli Papua dan non-Papua.10 Persoalan lain yang terkait
dengan akuntabilitas dan transparansi terkait dengan monitoring yang dilakukan terhadap
pelaksanaan otonomi khusus dan ketersediaan data tentang capaian-capaian pelaksanaan
otonomi khusus dan sejauh mana manfaatnya. Data-data sebagai hasil monitoring yang
dihimpun tim monitoring sering kurang lengkap, sehingga mempersulit penyelesaian laporan
akhir dari pelaksanaan seluruh kegiatan yang dibiayai oleh dana otonomi khusus setiap tahun.
Keterlambatan dropping dana pada kabupaten/kota antara lain juga diakibatkan karena
keterlambatan perncairan dana otonomi khusus dari pusat ke provinsi. Pemerintah provinsi
mengatasi masalah ini salah satunya dengan meminjam dana dari DAU. Panjar kas semacam ini
dibolehkan asal ada izin dari DPR dengan catatan uang itu tergantikan. Kondisi ini
mengindikasikan perlu adanya perbaikan dalam mekanisme transfer dari pusat ke provinsi .
Salah satu poin yang menjadi catatan terkait pengalokasian realisasi dana yang diterima
kabupaten/kota. Terdapat pemerintah kabupaten yang menerima sejumlah dana otonomi
khusus yang kurang dari rencana. Misalnya dana yang diterima kabupaten tersebut berjumlah
74 Miliar, namun yang terealisasi hanya 75% dari jumlah tersebut. Pemerintah daerah tersebut
mengeluhkan darimana dapat mencari ‘minus’ dana otonomi khusus sebagaimana yang
dijanjikan oleh Pemerintah Provinsi 11.
Masalah lain adalah belum adanya transparansi kepada publik terkait dengan jumlah
atau besaran, mekanisme pembangian serta bentuk pengelolaannya. Hal ini berimplikasi pada
menurunnya kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah, menimbulkan kecemburuan
sosial antara masyarakat terutama antara rakyat asli Papua dan non-Papua. Persoalan lain
yang terkait dengan akuntabilitas dan transparansi terkait dengan monitoring yang dilakukan
terhadap pelaksanaan otonomi khusus dan ketersediaan data tentang capaian-capaian
pelaksanaan otonomi khusus dan sejauh mana manfaatnya. Data-data sebagai hasil monitoring
yang dihimpun tim monitoring sering kurang lengkap, sehingga mempersulit penyelesaian
laporan akhir dari pelaksanaan seluruh kegiatan yang dibiayai oleh dana otonomi khusus
9 Informasi ini antara lain disampaikan Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan dan Mimika 10 Informasi ini disampaikan oleh Ketua MRP Papua Barat 11 Informasi ini antara lain diungkap oleh beberapa partisipan dari Kabupaten dalam diskusi di Papua, Oktober 2011
75 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
setiap tahun. Bahkan dijumpai pula laporan pelaksanaan kegiatan pembangunan sumber dana
otonomi khusus yang tidak tepat. Misalnya, disebutkan dalam laporan rincian penggunaan
dana otonomi khusus untuk bidang ekonomi, namun di dalamnya terdapat alokasi bagi pilkada
kabupaten dan provinsi serta pembangunan kantor bupati seperti dalam gambar di atas. Hal ini
tentu menjadi pertanyaan terkait akuntabilitas implementasi otonomi khusus.
Formula perimbangan dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat belum dapat
dikatakan ideal karena meski otonomi khusus berada pada provinsi, namun pelayanan dan
dampaknya lebih dirasakan secara langsung pada level kabupaten/kota. Dalam pengelolaannya
masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Sasaran program dan kegiatan dalam rangka
otonomi khusus seringkali tidak sepenuhnya menjangkau orang asli Papua. Di samping itu
dijumpai pula program dan kegiatan yang dijalankan yang tidak semestinya dibiayai dengan
dana otonomi khusus karena tidak sesuai dengan prioritas otonomi khusus. Tidak ada target-
target atau indikator capaian yang ingin dicapai melalui otonomi khusus.
Ketiadaan payung hukum yang jelas dari Provinsi sebagai penerima dana otonomi
khusus dari Pemerintah Pusat tentang penggunaan dana otonomi khusus menimbulkan
masalah. Akibatnya pemerintah kabupaten/kota mencoba menafsirkan sendiri apa yang
menjadi prioritas bagi daerah masing-masing. Hal ini berimbas pada penetapan program dan
kegiatan. Setelah diterbitkannya Peraturan Gubernur yang mengatur pengelolaan dana
otonomi khusus, program dan kegiatan mulai lebih terarah pada sektor prioritas. Namun
keberadaan peraturan ini belum optimal. Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan
otonomi khusus mulai dari perencanaan, sampai ke monitoring dan evaluasi terkait aspek
pengelolaan keuangan dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi Papua dan
Papua Barat. Diperlukan pula adanya perbaikan dalam akuntabilatas dan transparansi
pengelolaan dana otonomi khusus.
Alokasi dana dalam rangka pelaksanaan otsus di Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Namun pengelolaan dana otonomi khusus dalam prakteknya belum berjalan secara optimal. Dijumpai pula program dan kegiatan yang dijalankan yang tidak semestinya dibiayai dengan dana otsus karena tidak sesuai dengan prioritas otsus. Tidak ada target-target atau indikator capaian yang ingin dicapai melalui otsus. Belum adanya transparansi kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran, mekanisme pembangian serta bentuk pengelolaannya. Ketiadaan payung hukum yang jelas dari Provinsi sebagai penerima dana otsus dari Pemerintah Pusat tentang penggunaan dana otsus menimbulkan masalah, sehingga Pemerintah Kabupaten/Kota mencoba menafsirkan sendiri apa yang menjadi prioritas bagi daerah masing-masing. Hal ini berimbas pada penetapan program dan kegiatan. Setelah diterbitkannya Peraturan Gubernur yang mengatur pengelolaan dana otsus, program dan kegiatan mulai lebih terarah pada sektor prioritas. Namun keberadaan peraturan ini belum optimal. Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan otsus mulai dari perencanaan, koordinasi, sampai ke monitoring dan evaluasi terkait aspek pengelolaan keuangan dalam rangka penyelenggaraan otsus Provinsi Papua dan Papua Barat. Diperlukan pula adanya perbaikan dalam akuntabilatas dan transparansi pengelolaan dana otsus. Diperlukan upaya perbaikan dalam mekanisme dan perhitungan pengalokasian dana otsus Papua dan Papua Barat dengan lebih memperhatikan keberadaan penduduk asli Papua dan kondisi ketertinggalan. Selain itu perlu adanya perbaikan dalam mekanisme transfer dari Pusat ke Provinsi, sehingga keluhan dropping dana otsus yang selalu terlambat tidak terjadi lagi.
76 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
2. Kelembagaan Khusus
a) DPRP/DPRPB
DPRP atau Dewan Perwakilan Rakyat Papua sesungguhnya tidak berbeda dengan DPRD
(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), yang membedakan hanyalah titelaturnya karena
menyesuaikan dengan amanat UU 21 Tahun 2001. Oleh karena itu, tugas dan wewenangnya
pun sama dengan DPRD yang ada di provinsi lainnya, yaitu menjalankan fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan.
Satu hal yang membedakan dengan DPRD provinsi lain, bahwa dalam pelaksanaan tugas
dan wewenang tersebut DPRP/DPRPB dibantu oleh MRP Provinsi Papua maupun MRP Provinsi
Papua Barat yang bertugas memberikan pertimbangan dalam penyusunan perdasus.
Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) seperti DPRD di Provinsi lainnya, merupakan
lembaga perwakilan politik rakyat, mitra Pemerintah Daerah yang memiliki 3 (tiga) fungsi
utama, terdiri dari: a) fungsi legislasi, yaitu kegiatan bersama gubernur untuk membentuk
Peraturan Daerah, b) fungsi anggaran, yaitu kegiatan bersama gubernur untuk menyusun dan
menetapkan APBD yang didalamnya termasuk anggaran untuk pelaksanaan fungsi, tugas dan
wewenang DPRP, serta c) fungsi pengawasan, yaitu kegiatan pengawasan kinerja gubernur dan
aparatnya dalam melaksanakan Undang-undang, Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur dan
Kebijakan Daerah lainnya.
DPRD tidak memiliki peran dan fungsi secara langsung dalam mewujudkan perlindungan
hak-hak asli orang Papua (Ibo 2010), karena yang memiliki peran dan fungsi secara langsung
dalam mewujudkan perlindungan hak‐hak orang asli Papua adalah Majelis Rakyat Papua
(MRP). Fungsi DPRP secara langsung dalam perlindungan hak‐hak orang asli Papua adalah
ketika pembahasan dan penetapan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang melibatkan
hubungan kerja antara DPRP, MRP dan Gubernur, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 huruf
i UU Otonomi Khusus dan Pasal 29 ayat (1) UU Otonomi Khusus.
Anggota DPRP dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilu legislatif, bersamaan
dengan pemilihan DPR RI dan DPRD Kabupaten/Kota. Jumlah anggota DPRP Papua sebanyak
56 orang, sedangkan jumlah anggota DPRPB sebanyak 44 orang.
Tabel 4.8 Komposisi DPRP Periode 1999-2014
NO NAMA PARTAI 1. Drs. John Ibo, MM P. GOLKAR (Ketua DPRD Nomor
161.91-743 Thn 2009 Tgl. 20-10-2009) 2. Jan Lukas Ayomi, S.Sos P. GOLKAR 3. Kayus Bahabol P. GOLKAR 4. Hendrik Tomasoa, SH P. GOLKAR 5. Ignasius W. Mimin, Amd.Ip P. GOLKAR 6. Cris Risamasu P. GOLKAR 7. Panus Towolom, S.Th P. GOLKAR
77 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
NO NAMA PARTAI 8. Deerd Tabuni, Se, M.Si P. GOLKAR 9. Bob Jacobus Pattipawai, SH P. GOLKAR
10. Yance Kayame, SH P. GOLKAR 11. John F. Rustam, SE, MBA P. GOLKAR 12. Drs. Masia Lay P. GOLKAR 13. H. Zainuddin Sawiyah, SH P. DEMOKRAT 14. Yarius Balingga, SE P. DEMOKRAT 15. Jus Jefry Kaunang, SE P. DEMOKRAT 16. Yunus Wonda P. DEMOKRAT 17. Carolus Kia Kelen Boli P. DEMOKRAT 18. Melkias Yeke Gombo P. DEMOKRAT 19. Albert Bolang, SH, MH P. DEMOKRAT 20. Ruben Magai, S.Ip P. DEMOKRAT 21. Boy Markus Dawir P. DEMOKRAT 22. Kamarudin Watubun, SH, MH PDI-P 23. Philipus Wisabla, S.Th PDI-P 24. Herman Rahail PDI-P 25. Rosiyati Anwar, SE, MM PDI-P 26. Yafet Pigai PDI-P 27. Drs. Marcus Mirino, SH, MM PDI-P 28. Yulianus Rumbairussy, S.Sos, MM PDS 29. Pdt. Charles Simare Mare, S.Th PDS 30. Yop Kogoya, Dip.Th. SE, M.Si PDS (Wakil Ketua) 31. Ananias Pigai, S.Sos PDS 32. Erwin Rinaldi Kbarek PDS 33. Jhony Banua Rouw, SE P. PATRIOT 34. Thomas Sondegau, ST P. PATRIOT 35. Drs. Muhamad Nawawi P. PATRIOT 36. M. Keklo Ossu, Se PAN 37. Ir. Adolf Alpius Asmuruf PAN 38. Ny. Makdalena Matuan PAN 39. Yanni PBR 40. Toni Infandi PBR 41. Hagar Aksamina Madai PBR 42. Amal Saleh P.KEDAULATAN 43. Ir. Weynand B. Watory P.KEDAULATAN 44. Naftali Kobepa P.KEDAULATAN 45. Kamasan Yakob Komboy P. HANURA 46. Letinus Jikwa, SE P. HANURA 47. Yan Permenas Mandenas, S.Sos P. HANURA 48. Kenius Kogoya PPRN 49. Harun Agimbau PKPB 50. Amon Gobay PPPI 51. Arnold Wenekolik Walilo, S.Pd, M.Si. PNBKI 52. Julius Miagoni, SH PKDI 53. Stefanus Kaisepo PNIM 54. H. Maddu Mallu, SE PKS 55. Johanes Sumarto P. GERINDRA 56. Nason Utti, SE PBN
78 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah anggota DPRP sebanyak 56 orang, yang berasal
dari Partai Golongan Karya (12 orang), Partai Demokrat (9 orang), Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (6 orang), Partai Damai Sejahtera (5 orang), Partai Patriot (3 orang), Partai Amanat
Nasional (3 orang), Partai Bintang Reformasi (3 orang), Partai Kedaulatan (3 orang), Partai
Hanura (3 orang), dan masing-masing 1 orang berasal dari PPRN, PKPB, PPPI, PNBKI, PKDI,
PNIM, PKS, Gerindra, dan PBN.
Tabel 4.9 Komposisi DPRPB Periode 1999-2014
NO NAMA PARTAI 1. Ir. Max A. Hehanussa P. GOLKAR 2. Origenes Nauw, S.Pd P. GOLKAR 3. Pdt. Hans Mobalem, S.Th P. GOLKAR 4. Drs. Anthon Duwit P. GOLKAR 5. Yosef Johan Auri P. GOLKAR 6. Jeanne Naomi Karubaboy P. GOLKAR 7. Amos Hendrik May P. GOLKAR 8. Aminadap Asmuruf, S.Ip, M.Si PD 9. Emelia Simorangkir PD
10. Roberth Melianus Nauw PD 11. Darius Hara, S.Pd PD 12. Deby Debora Pangemanan PD 13. Andi Effendy Simanjuntak PDI-P 14. Jimmy Demianus Ijie PDI-P 15. Saleh Siknun, Se PDI-P 16. Drs. Barnabas Sedik PDI-P 17. Ir. Eko Tavip Maryanto PAN 18. Salihin, Sh PAN 19. Sius Dowansiba, Se PAN 20. Goliat Dowansiba PAN 21. H. Muhammad Taslim, S.Sos PKS 22. Hasanuddin M. Noor, S.Hut PKS 23. Chaidir Djafar, Se, M.Si PPP 24. A. Fitri Nyili, Se PPP 25. Daniel Daat P. HANURA 26. Abdul Hakim Achmad P. HANURA 27. Royke Veky Tuwo P. BARNAS 28. Harianto, St P. BARNAS 29. Michael Y.B. Farneubun, St PDK 30. Obeth A. Rumbruren, St PDK 31. Yance Yomaki PNIM 32. Ir. Erick Sutomo Rantung PNIM 33. Izak K. Bahamba PKPB 34. Imanuel Yenu PPRN 35. Ir. Yacob Maipauw P. GERINDRA 36. Maxsi N. Ahorena, Amd, Kp, Se PPIB 37. M. Sanusi Rahaningmas, S.Sos PKB 38. Silas Kaaf PPI 39. Elsiana R. Kalembang, Sh P. PELOPOR 41. Hermince I.A. Baransano PDS 40. Laurantius Renel, Se PNBKI 42. H. Syahruddin Makki, Sp PBB 43. Ferry M. Auparay P. PATRIOT
79 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
NO NAMA PARTAI 44. Albertina Mansim PIS
Senada dengan DPRP, komposisi keanggotaan DPRPB didominasi partai besar yakni
Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat. Berdasarkan hasil kuesioner yang dilakukan terhadap
kinerja DPRP atau DPRPB berdasarkan dari faktor inisiatif, Kapabilitas Sumber daya Manusia
(SDM), Integritas SDM serta Sarana dan Prasarana (Sarpras) yang ada dapat digambarkan
dalam diagram sebagai berikut:
Gambar 4.7 Persepsi terhadap Kinerja DPRP dan DPRPB dilihat dari Inisiatif,
Kapabilitas, Integritas dan Sarpras
Responden memandang bahwa faktor-faktor terkait dengan kinerja daripada DPRP atau
DPRPB terbilang baik, hal ini ditunjukkan dengan mayoritas responden (41,67%) menyatakan
inisiatif DPRP ataupun DPRPB baik, Kapabilitas SDM pun juga baik (41,67%), untuk integritas
responden menyatakan baik (33,33%) dan sangat baik (8,33%), dan terakhit untuk sarana dan
prasarana responden menyatakan (58,33%) baik dan 16,67% responden menyatakan sangat
baik.
Selanjutnya responden mengatakan bahwa untuk melihat kinerja DPRP atau DPRPB
adalah dengan seberapa banyak Perdasus dan Perdasi terkait dengan aspirasi orang asli Papua.
Responden mengatakan :
“belum banyak produk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang mampu memproteksi hak-hak sipil orang Asli Papua, DPRP lebih banyak waktu, mengeluarkan penyataan politik”
kurang, 33.33 kurang, 33.33
kurang, 16.67kurang, 25.00
sedang, 25 sedang, 25
sedang, 41.67
baik, 41.67 baik, 41.67baik, 33.33
baik, 58.33
sangat baik, 8.33sangat baik, 16.67
Inisiatif Kapabilitas Integritas Sarpras
80 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Pendapat diatas secara substansial terlihat bahwa kinerja DPRP belum dapat dikatakan
baik, DPRP masih sibuk dengan ranahnya sendiri sehingga kepentingan dasar yaitu proteksi
terhadap orang asli Papua terabaikan. Pendapat senada juga dikemukakan berikut ini :
“masih banyak masalah yang belum disentuh yaitu masalah pembentukan Komisi HAM, persolan penambangan ilegal, Pembalakan hutan, pelangaran HAM serta masalah-masalah lainya”
DRPP juga dituding belum banyak belum menindaklanjuti berbagai aspirasi rakyat untuk
ditindaklanjuti dalam bentuk nyata, tetapi lebih sibuk dalam mempolitisasi aspirasi tersebut,
seperti dalam pernyataan yang disampaikan berikut ini :
“DPRP belum menindaklanjuti berbagai aspirasi rakyat dan selalu saja memberikan janji-janji manis tampa pelaksananaan maka fungsinya selama ini harus dipertanyakan serta dipertangungjawabkan, DPRP sebagai lembaga politik di Provinsi Papua seharusnya, setelah menerima berbagai aspirasi masyarakat selama ini harus dibahas dan dilanjutkan kepada pihak-pihak yang berwewenang seperti Gubernur dan Pemerintah Pusat. Sehingga apapun hasilnya harus disampaikan juga kepada Orang Asli Papua (OAP) bukan malah mempolitisir aspirasi tersebut lagi”
Permasalahan-permasalahan yang dikemukakan tersebut, merupakan permasalahan
yang harus secepatnya dapat ditemukan solusinya dengan tentunya memaksimalkan peran
DPRP atau DPRPB yang ada. DPRP atau DPRPB sebagai lembaga politik dan legislatif harus
lebih responsif terhadap permasalahan yang berkembang sehingga lembaga ini dapat berfungsi
seperti yang diharapkan.
b) MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat
Berbeda dengan DPRP dan DPRPB, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) bukan dari
perwakilan partai tetapi representasi kultur orang asli Papua yang memiliki wewenang
tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada
penghormatan terhadap ada dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kultur
hidup beragama.
Anggota MRP terdiri atas orang asli Papua yang berasal dari tiga unsur yaitu: unsur
perempuan, unsur adat, unsur agama yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari jumlah
anggota DPRD Provinsi. Tugas dan wewenang MRP adalah memberikan pertimbangan dan
persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRP,
rancangan PERDASUS yang diajukan oleh DPRP bersama sama dengan gubernur, rencana
perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah maupun pemerintah provinsi dengan pihak
ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khususnya yang menyangkut perlindungan hak-hak
orang Asli Papua, menyalurkan aspirasi, memperhatikan pengaduan masyarakat adat, umat
beragama dan kaum perempuan dan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiaannya serta
memberikan dukungan pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD kabupaten/kota dan
81 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
bupati/walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua,
maka untuk pertama kalinya syarat-syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihannya
disusun oleh DPRP dan gubernur untuk kemudian diusulkan kepada pemerintah sebagai bahan
penyusunan Peraturan Pemerintah.
Menurut Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua Nomor 4 tahun 2008
tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MRP. Dalam peraturan ini MRP mempunyai tugas
dan wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon
gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan. Memberikan pertimbangan dan persetujuan
terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur.
Memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama
yang dibuat oleh pemerintah maupun pemerintah provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di
wilayah Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua. Selanjutnya,
MRP memperhatikan dan menyalurkan aspirasi pengaduan masyarakat adat, umat beragama,
kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua
serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Memberikan pertimbangan kepada DPRP,
gubernur, DPRD kabupaten/kota serta bupati/walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan
perlindungan hak-hak orang asli Papua.
Berdasarkan posisi dan peran yang ada sekarang dan melihat peran, wewenang dan
tugasnya, MRP seharusnya mempunyai posisi yang sejajar dengan gubernur dan DPRP, dengan
wewenang yang berbeda peran dimana MRP sebagai lembaga konsultatif kultur.
Berdasarkan tugas pokok dan Fungsi MRP Papua Barat maka dapat digambar keadaan
keanggotaan sebagai berikut:
Tabel 4.10 Komposisi MRP Provinsi Papua Barat Masa Jabatan 2011-2016
NO NAMA WAKIL PENDIDIKAN 1 Hermius Saiba, S.Th Adat SARJANA (S1) 2 Mesianus Waney Adat SMA 3 Jance Aristotelis Waropen, SH Adat SARJANA (S1) 4 Mathias Komegi, SE Adat SARJANA (S1) 5 Filep Yakob Spener Mayor, SE, M.Si Adat PASCASARJANA (S2) 6 Zeth Mlaskit Adat SMA 7 Simson Sonny Bless Adat SMEA 8 Drs. Tohntji Wolas Krenak Adat SARJANA (S1) 9 Yusan Yeblo Adat SKKA
10 Lukas Agustinus Surbay, SE Adat SARJANA (S1) 11 Zainal Abidin Bay Adat SMA 12 Anike Tance Hendrika Sabami Perempuan SMA 13 Anthonia Bauw Perempuan SMKK 14 Mince Imburi Perempuan SMA (PAKET C) 15 Rosiyana SaraGoram, A.Md.Pak Perempuan DIPLOMA (D3) 16 Ruth Monica Osok Perempuan SPWK 17 Beatrix M. Buratehi, S.Pd Perempuan SARJANA (S1)
82 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
NO NAMA WAKIL PENDIDIKAN 18 Neltje Nelly Kambu, S.Pak Perempuan SARJANA (S1) 19 Olla Dorkas Dwaramury, BA Perempuan DIPLOMA (D3) 20 Paula Yewen Perempuan SMKK 21 Lusia Imakulata Hegemur Perempuan SMA 22 Atakiah Sirfefa Perempuan DIPLOMA (D2) 23 Pdt. Lamech Marisan, S.Si Agama/Kristen SARJANA (S1) 24 Drs. Yan Piet Hein Baibana Agama/Kristen SARJANA (S1) 25 Yehezkiel Sanadi, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 26 Drs. David Misiro, M.Ed Agama/Kristen PASCASARJANA (S2) 27 Pdt. Jance Wutoy, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 28 Ev. Mesach M. Karubaba, SE Agama/Kristen SARJANA (S1) 29 Esrom Kayoi, S.Th.Pak Agama/Kristen SARJANA (S1) 30 Eduard Sangkek, SH Agama/Kristen SARJANA (S1) 31 Vitalis Yumte, S.Pd Agama/Katolik SARJANA (S1) 32 H. Mahmud Ugar, S.Hi Agama/Islam SARJANA (S1) 33 H. Arobi Ahmad Aituarauw, SE, Mm Agama/Islam PASCASARJANA (S2)
Adapun komposisi untuk MRP Provinsi Papua adalah sebagaimana tabel berikut:
Tabel 4.11 Komposisi MRP Provinsi Papua Masa Jabatan Tahun 2011-2016
NO NAMA WAKIL PENDIDIKAN 1 Demas Tokoro, SH Adat SARJANA (S1) 2 George Arnold Awi Adat SLTA (PPSDA) 3 Seblum Werbabkay Adat SLTA (PAKET C) 4 William Sawaki, SH Adat SARJANA (S1) 5 Joram Wambrauw, SH Adat SARJANA (S1) 6 Aristarkus Marey Adat SLTA (PAKET C) 7 Yakobus Dumupa, S.Ip Adat SARJANA (S1) 8 Alpius Murib, SE, MM Adat PASCA SARJANA (S2) 9 Timotius Murib Adat SLTA
10 Wasilani Amanus Mabel Adat SLTA (PAKET C) 11 Luis Madai Adat SLTA 12 Costan Oktemka Adat SARJANA (S1) 13 Dominikus Kombaliop Amote Adat SLTA (PAKET C) 14 Ananias Tomokaimo, SE Adat SARJANA (S1) 15 Rode Muyasin, A.Md.Pd Perempuan AHLI MADYA (D3) 16 Bertha Paulina Yane Perempuan SLTA (PAKET C) 17 Herlina Rosa Papare Perempuan SLTA (KKSM) 18 Yuliana Wambrauw Perempuan - 19 Fransiska Okmonggop Mote Perempuan SLTA (SPG) 20 Debora Mote, S.Sos Perempuan SARJANA (S1) 21 Engelbertha Kotorok Perempuan SARJANA (S1) 22 Ciska Abugau Perempuan AHLI MUDA (D2) 23 Nehemi Yebikon Perempuan SLTA 24 Ere Wakur Perempuan (TIDAK TELAMPIR) 25 Merry Lantipo Perempuan 26 Maria Magdalena Kaize Perempuan SARJANA (S1) 27 Hendrika Pasuaut Perempuan SLTP 28 Herman Saud, M.Th Agama/Kristen PASCA SARJANA (S2) 29 Petrus Bonyadone, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 30 Hofni Simbiak, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 31 Natan Pahabol, S.Pd Agama/Kristen SARJANA (S1) 32 Yosia Gire, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1)
83 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
NO NAMA WAKIL PENDIDIKAN 33 Ferry Yonathan Ayomi, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 34 Samuel K. Waromi, SH Agama/Kristen SARJANA (S1) 35 Penetina Lanicasia Kogoya, S.Sos Agama/Kristen SARJANA (S1) 36 John Polabek Wenda, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 37 Joseph Luns Yom Agama/Kristen SLTA (PAKET C) 38 Titus Fransiscus Wayne, S.Pd, MM Agama/Katholik PASCA SARJANA (S2) 39 Drs . Wiro Yoseph Watken Agama/Katholik SARJANA (S1) 40 Didik Yelegat, S.Sos Agama/Islam SARJANA (S1)
Jumlah anggota MRP secara keseluruhan (Papua dan Papua Barat) seharusnya sebanyak
75 orang. Namun jika dilihat pada tabel di atas jumlahnya baru mencapai 73 orang, karena 2
orang calon anggota MRP Provinsi Papua tidak dapat disyahkan karena tidak memenuhi
persyaratan dalam verifikasi. Hingga saat ini terdapat 3 orang anggota MRP Provinsi Papua
yang meninggal dunia dan masih belum diusulkan penggantian antar waktu (PAW) yaitu:
Ananias Tomokaimo, SE (Wakil Adat); Maria Magdalena Kaize (Wakil Perempuan) dan Yosia
Gire, S.Th (Wakil Agama). Jumlah MRP Provinsi Papua saat ini 37 orang. Ada harapan jumlah
MRP ditambah bila perlu mewakili semua suku yang ada di Papua, sehingga hak-hak dasar
masyarakat adat Papua dapat terakomodir di dalam agenda kerja MRP karena jika tiga
komponen MRP seperti adat, agama dan perempuan saja, sepertinya MRP belum ‘lengkap’
disebut lembaga representasi kultural orang asli Papua dimana seperti yang dikemukakan
sebelumnya bahwa jumlah suku di Papua yaitu sebanyak 236 suku.
MRP Periode sebelumnya (2005-2011) yang dipilih berdasarkan keterwakilan
perempuan, adat, dan agama belum menunjukkan kinerja yang dapat dikatakan memuaskan,
dikarenakan MRP yang merupakan lembaga baru dan masih mencari bentuk.
Pendapat Dra. Hans S Hiyokoyabi, Wakil Ketua II Umum MRP periode yang lalu, yang
dilakukan dalam penelitian yang dilakukan Esau Hombore, Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia MRP.
”Dalam Peningkatan Kualitas MRP.masih sangat kesulitan karena MRP ini merupakan suatu lembaga baru di Indonesia bahkan di dunia sehingga MRP masih mencari pola yang tepat dari lembaga kultur karena Pemerintah RI Belum memberikan Acuan sehingga semua masih mengacu ke DPRP”
Berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 21 Tahun 2001 dan Pasal 36 PP Nomor 54 tahun 2004
sebagian besarnya adalah terkait memberikan pertimbangan dan persetujuan bakal calon
Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan, calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP, Rancangan
Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur, perjanjian kerjasama
sehingga penting bagi anggota MRP untuk terus meningkatkan kapasitas kelembagaan dan
profesionalisme.
84 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Secara institusional kekuasaan MRP juga cukup besar, melekat dengan kekuasaan
legislatif dan eksekutif seperti kekuasaan Judicial Review terhadap PERDASI yang dinilai
bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Di Indonesia, hanya ada 3
lembaga yang dapat melakukan Judicial Review yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi
dan MRP, sayangnya MRP tidak tahu bagaimana dapat menggunakan kekuasaannya apalagi
definisi normatif tentang orang asli Papua masih belum final bahkan ruang-ruang
interpretasinya terus berkembang.
Perjalanan keanggotaan MRP periode sebelumnya sendiri, dapat dikatakan lembaga ini
masih berjalan tanpa arah, MRP belum bisa dibedakan sebagai lembaga kultural orang asli
Papua, justru MRP periode sebelumnya bermain di ranah politik ketimbang ranah kultural
misalnya, ada kontradiksi lantaran MRP pernah mengusulkan soal lambang-lambang daerah
dan merekomendasikan perlunya bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota
harus orang asli Papua, dan lain-lain. Ini terjadi karena memang hingga kini belum ada
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mengatur secara terperinci mengenai kewenangan
MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. Meskipun disatu pihak, sejumlah
kalangan di Papua menilai MRP sebaiknya tidak diposisikan sebagai lembaga kultural yang
semata-mata hanya mengurus hal-hal kebudayaan.
Dalam sisi kebijakan anggaran belanja untuk pimpinan dan anggota MRP melalui
mekanisme pembahasan dari Panitia anggaran eksekutif maupun legislatif dan disidangkan
serta diputuskan dalam suatu sidang paripurna dan ditetapkan dalam Keputusan Gubernur
tentang DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) MRP.
Alasan kenapa anggaran belanja MRP itu dirubah atau tidak sesuai dengan yang
diharuskan dalam PP Nomor 54 tahun 2004, karena jumlah gaji yang diharuskan di dalam PP
dimaksud tidak sesuai kondisi di Papua. Apalagi anggota MRP adalah utusan atau wakil dari
berbagai daerah di Papua dengan medan yang sulit.
Tak hanya itu, latar belakang pendidikan dan ekonomi sebagian anggota MRP juga ada
yang masih terbatas, sehingga tidak adil jika anggaran belanja mereka disesuaikan dengan PP
Nomor 54 tahun 2004 yang hanya berkisar Rp 2 juta (gaji per bulan) bagi anggota dan Rp 3 juta
(Gaji per Bulan) bagi pimpinan. “Jadi tidak adil memang, apalagi para anggota MRP ini adalah
utusan dari berbagai daerah di Papua yang begitu luas dan dengan kesulitan masing-masing.
Namun hal ini nampaknya telah terselesaikan, karena pendapatan anggota MRP dan
MRPB saat ini telah cukup memadai. Menurut salah seorang anggota MRPB, take home pay
anggota MRPB saat ini rata-rata sekitar Rp. 17 juta per bulan.
“Hanya saja, gaji kami belum dibayarkan sejak kami dilantik beberapa bulan lalu. Tidak hanya itu, sampai sekarang kami masih menginap di hotel ini (Hotel Mansinam-
85 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Manokwari) karena kami belum memiliki kantor sendiri dan tidak memiliki tempat tinggal selama di Manokwari”.
Adapun pembentukan kelembagaan MRP telah sesuai Perdasus Nomor 4 Tahun 2010
Bab II Pasal 3 menyebutkan keberadaan MRP merupakan satu satunya lembaga yang
berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua dan Perwakilan MRP Papua Barat berkedudukan di
Ibukota Provinsi Papua Barat.
c) Hubungan Antara MRP dengan DPRP
Pemerintahan (governance) Papua berarti DPRP Papua, DPR kabupaten/kota, dan Majelis
Rakyat Papua (MRP). Hal ini secara tegas dimuat dalam Bab V UU Nomor 21 Tahun 2001
mengenai Bentuk dan Susunan. berbicara tentang tata pemerintahan yang baik (good
governance) di Provinsi Papua, maka yang dimaksud tidak hanya birokrasi (Gubernur,Wakil
Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, para kepala Dinas, Badan, Kantor,
dan semua pegawai negeri), tetapi juga institusi dan anggota DPRP provinsi, kabupaten/kota,
serta MRP. Bahkan karena Trias Politica adalah prinsip pemerintahan yang dianut, maka para
penegak hukum seperti hakim, jaksa dan polisi, termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI),
juga haruslah merupakan bagian dari pemerintahan yang bersih di Papua.
DPRP harus lebih mampu memainkan fungsi-fungsi pembuatan legislasi dan
penganggaran (budgetting), disamping terus menerus meningkatkan kemampuan
pengawasannya. Hal ini penting, mengingat pentingnya inisiatif oleh DPR di seluruh Provinsi
Papua, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, untuk mendalami suatu permasalahan
pemerintahan atau pembangunan tertentu dan menerjemahkannya ke dalam konsep (draft)
peraturan daerah yang disodorkan ke eksekutif untuk diperdebatkan, diperkaya, lalu
ditetapkan dan dilaksanakan oleh eksekutif dan pihak-pihak lain yang berkompeten.
3. Kewenangan Khusus
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang dimaksud dengan kewenangan
khusus adalah kewenangan yang hanya terdapat dalam undang-undang tersebut yang
pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan perdasus atau perdasi. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001, terdapat 6 (enam) kewenangan khusus yang harus dipenuhi
pemerintah provinsi dalam pelaksanaan otonomi khusus yaitu perekonomian, pendidikan dan
kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup dan sosial.
Sementara pada implementasinya di kabupaten/kota berdasarkan Rancangan Peraturan
Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan
Penerimaan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua diarahkan kepada 4 (empat)
bidang yaitu pendidikan, kesehatan dan gizi, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur kampung.
86 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Seperti telah dikemukakan dimuka, walaupun masih dalam bentuk rancangan, ternyata
peraturan ini telah baku diimplementasikan di setiap kabupaten/kota.
Gambaran pelaksanaan kewenangan khusus sendiri di Provinsi Papua dan Papua Barat
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Perekonomian Pasal 38, Pasal 39 sampai dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001,
secara khusus mengatur aspek perekonomian. Perekonomian Provinsi Papua secara umum
diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan
kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan
pemerataan. Di samping itu, usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan
sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat,
memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian
lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan.
Adapun pengembangan ekonomi kerakyatan dan penghormatan hak-hak masyarakat
adat dalam pemanfaatan sumber daya alam mendapat penekanan khusus dalam kebijakan
otonomi khusus ini. Pada Pasal 42 ayat 1, diamanatkan bahwa pembangunan perekonomian
berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. Pelaku usaha mendapat kesempatan
melakukan investasi dengan melibatkan masyarakat adat.
Provinsi Papua memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah dan bila dikelola
secara benar dan baik, dapat menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Namun
pengelolaan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya orang asli Papua. Untuk mewujudkannya
kemandirian ekonomi rakyat Papua, khususnya orang asli Papua, yang berorientasi pasar
sebagai bagian dari perekonomian nasional regional dan global, perlu mengoptimalkan
pelaksanaan pembangunan ekonomi rakyat di Provinsi Papua.
Atas pertimbangan tersebut, Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Perdasus Provinsi
Papua Nomor 18 Tahun 2008 tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan. Perekonomian
berbasis kerakyatan menurut perdasus tersebut adalah sistem pembangunan ekonomi rakyat,
khususnya ekonomi orang asli Papua. Sementara kegiatan usaha ekonomi berbasis kerakyatan
adalah segala usaha ekonomi yang dikelola secara sadar oleh perorangan, kelompok dan badan
usaha baik skala kecil, menengah dan besar yang berorientasi dari, oleh dan untuk rakyat.
Peraturan Daerah ini memuat penerapan kebijakan affirmatif terhadap orang asli Papua,
penciptaan dan perluasan pasar, penyediaan modal, pembinaan dan pendampingan, dan
pengembangan budaya kewirausahaan. Substansi terkait ekonomi kerakyatan yang diatur
dalam perdasus tersebut terangkum dalam tabel berikut.
87 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Tabel 4.12 Substansi Tentang Ekonomi Kerakyatan dalam Perdasus Provinsi Papua Nomor 18
Tahun 2008 Tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan
Aspek Substansi
Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Masyarakat adat berhak mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di wilayahnya, dilakukan sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain. Bentuk-bentuk manfaat tersebut dapat berupa royalti, sewa tanah, kompensasi, dividen, bagi hasil, dana abadi, donasi, dan ganti rugi
Pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak lain, terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari masyarakat adat setempat melalui musyawarah
Pemanfaatan Potensi lainnya
Masyarakat adat mengelola dan memanfaatkan budaya dan adat istiadat serta obyek wisata untuk kegiatan usaha pariwisata dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya adat istiadat setempat
Pengembangan ekonomi masyarakat
Pemerintah Daerah dan pelaku usaha skala besar serta organisasi dunia usaha melakukan upaya pengembangan perekonomian masyarakat dalam hal pengelolaan, produksi, pemasaran, sumberdaya manusia dan teknologi. Upaya tersebut meliputi: penguatan institusi masyarakat adat dalam pengelolaan hak ulayat untuk produksi; pemberdayaan kewirausahaan kelompok pengusaha produk lokal; penggalangan kemitraan (partnership) antara usaha besar dan menengah dengan pelaku usaha ekonomi masyarakat setempat; dan pendampingan bagi pelaku usaha ekonomi masyarakat sesuai dengan karakteristik sosial budaya setempat. Adapun cara yang dapat ditempuh melalui: peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan teknis produksi; peningkatan kemampuan teknologi tepat guna; dan peningkatan prasarana dan sarana produksi dan pengelolaan bahan baku, bahan penolong dan kemasan.
Kewenangan dan Tanggung Jawab
Wewenang Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan pengelolaan potensi daerah
Wewenang Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan mengenai perekonomian berbasis kerakyatan dan melakukan pembinaan dan pengembangan atas pelaksanaan perekonomian berbasis kerakyatan. Wewenang pemerintah kabupaten/kota mengatur pengelolaan sumberdaya alam di wilayahnya dan pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan sesuai potensi daerah.
Tanggung jawab Pemerintah daerah mengembangkan sistem nilai dan etos kerja yang berorientasi pada produktivitas dan efisiensi dalam rangka menunjang berkembangnya perekonomian berbasis kerakyatan, memfasilitasi musyawarah antara masyarakat adat dengan pelaku kegiatan usaha ekonomi, menyelenggarakan pelayanan perizinan yang memudahkan dan mendorong berkembangnya usaha ekonomi berbasis kerakyatan, menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk menjamin terciptanya kepastian hukum dan terselenggaranya usaha Ekonomi Berbasis Kerakyatan (EBK).
Hak dan Kewajiban
Hak setiap pelaku usaha EBK untuk melakukan kegiatan usaha untuk memperoleh pendapatan yang layak, melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pihak lain, memperoleh informasi yang diperlukan dalam pengembangan usahanya.
Hak masyarakat adat sebagai pelaku usaha untuk memperoleh
88 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Aspek Substansi
manfaat dari pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, melakukan usaha dibidang konstruksi, pengadaan barang dan jasa. Kewajiban setiap pelaku usaha ebk untuk memperhatikan adat istiadat setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat dalam pemanfaatan sumber daya alam, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidup dalam pemanfaatan potensi daerah.
Kewajiban pelaku usaha ekonomi berskala besar yang beroperasi di wilayah Provinsi Papua untuk memberikan dukungan modal usaha yang disertai dengan pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat pelaku usaha EBK.
Pelaku usaha EBK adalah perorangan, kelompok atau badan yang dikategorikan menurut skala usaha dalam berbagai sektor: primer, sekunder, dan tersier.
Keharusan pelaku usaha harus bergabung pada wadah organisasi orang asli Papua yang dibentuk oleh masyarakat adat yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Bentuk organisasi adalah koperasi peranserta masyarakat adat (Kopermas), dan berbadan hukum, kelompok usaha bersama dan kegiatan program lainnya.
Prioritas bagi masyarakat adat
Masyarakat adat memperoleh prioritas melalui usaha keberpihakan dan pemberdayaan sebelum mampu untuk bersaing secara terbuka selama 10 (sepuluh) tahun untuk melakukan kegiatan usaha ekonomi di berbagai sektor yang telah disebutkan.
Permodalan Pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan pelaku usaha skala besar dan sektor swasta untuk memperoleh pekerjaan dari jasa pemerintah melalui APBD Provinsi, menyediakan permodalan untuk kegiatan usaha ebk yang berasal dari penyisihan 1 % (satu persen) dari keuntungan bersih
Permodalan yang berasal dari Pemerintah Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah.
Permodalan yang berasal dari Pemerintah Provinsi sudah harus tersedia dalam anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebesar 3,5% (tiga koma lima) persen dari Dana Otonomi Khusus pada Tahun Anggaran 2009, yang setiap tahunnya apabila dianggap perlu dapat ditambah.
Permodalan yang berasal dari Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota besarnya ditetapkan sendiri.
Sumber daya alam dan hak atas tanah yang berada dalam penguasaan masyarakat yang dimanfaatkan untuk kegiatan usaha ekonomi dapat diperhitungkan sebagai modal. Penentuan nilai ekonomi didasarkan atas kesepakatan antara masyarakat pemangku hak dan pelaku usaha.
Penjaminan Kredit
Pemerintah Daerah dan lembaga-lembaga non pemerintah dapat menjadi lembaga penjamin untuk membantu usaha EBK yang tidak memiliki akses ke lembaga pembiayaan.
Pembinaan dan Pendampingan
Pemerintah Daerah, lembaga pembiayaan dan pelaku usaha skala besar melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap pelaku usaha EBK yang dilakukan secara berskala dan berkesinambungan. Pembinaan dan Pendampingan tersebut meliputi: peningkatan kualitas sumber daya manusia; pembinaan manajamen usaha;
89 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Aspek Substansi
peningkatan ketrampilan usaha; pengembangan perilaku kewirausahaan; pemberian bantuan fasilitas dan permodalan; dan bantuan pemasaran hasil produksi.
Menurut ketentuan tersebut, masyarakat adat memperoleh prioritas melalui usaha
keberpihakan dan pemberdayaan sebelum mampu untuk bersaing secara terbuka selama 10
(sepuluh) tahun untuk melakukan kegiatan usaha ekonomi di sektor usaha.
Terbitnya perdasus ini dapat dikatakan terlambat, namun secara substansial, perdasus
mengenai ekonomi kerakyatan ini cukup komprehensif dan dapat dijadikan suatu kerangka
pengembangan ekonomi kerakyatan. Bagaimana implementasi Perdasus tersebut, memerlukan
pengkajian lebih lanjut yang lebih detail. Patut menjadi pertanyaan bagaimana implementasi
kebijakan tersebut baik oleh Pemerintah Provinsi Papua maupun pemerintah kabupaten/kota
di wilayah Papua. Terdapat indikasi bahwa perdasus ini belum dapat dijalankan dengan baik.
Hal ini mengingat para stakeholders, khususnya di kabupaten/kota bahkan belum mengetahui
keberadaan Perdasus ini.12 Hal ini berkaitan dengan bagaimana menerjemahkan kebijakan
tersebut ke dalam program/kegiatan atau kebijakan lainnya secara konkrit. Ada indikasi
bahwa kewenangan membangun perekonomian yang berbasis kerakyatan ini belum dihayati
dengan baik sehingga ada kebingungan dalam memaknai kewenangan yang berkaitan dengan
ekonomi kerakyatan. Implementasi yang terpantau saat ini baru sekedar pengalokasian dana
otonomi khusus ke dalam berbagai program. Salah satu contoh yang dilakukan pemerintah
kabupaten diuraikan dalam box 4 berikut:
Box 4. Implementasi Otonomi Khusus Bidang Perekonomian di Kabupaten Jayapura
12 Hal ini antara lain tercermin dari berbagai diskusi dan wawancara dengan pemerintah daerah yang menyatakan bahwa kebijakan perdasus/perdasi yang mengatur ekonomi kerakyatan ini belum tersedia. Terkesan ada kebingungan dalam memaknai kewenangan yang berkaitan dengan ekonomi kerakyatan
90 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Di Kabupaten Jayapura, alokasi dana Otonomi Khusus untuk pemberdayaan ekonomi selama tahun 2002-2011 sangat bervariasi sebagaimana terlihat pada tabel berikut.
Alokasi dana Otonomi Khusus untuk pemberdayaan ekonomi (Milyar Rupiah) selama
tahun 2002-2011 di Kabupaten Jayapura
Bidang 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Pemberdayaan Ekonomi
6.42 3.45 2.86 1.92
1 9.2 0.20 12.09 11.82
Beberapa program utama yang dipilih pemerintah adalah gerakan wajib tanam kakao, peningkatan usaha pertanian masyarakat Papua, perikanan dan pemberdayaan usaha ekonomi perempuan Papua. Program lain yang dilakukan adalah pengembangan perikanan melalui pembangunan BBI Lokal, pakan dan bibit ikan, kolam dan penampungan hasil ikan. Selain itu terdapat pula program pengembangan produksi jeruk, pisang dan komoditas tanaman pangan lainnya. Dilakukan pula upaya pengembangan usaha peternakan rakyat berupa pembuatan ranch, pengobatan ternak, bantuan bibit sapi dan ternak lainnya.
Dengan adanya gerakan wajib tanam kakao sebagai salah satu program andalan, diharapkan pada tahun 2010 seluruh KK miskin di kabupaten Jayapura telah memiliki sumber penghasilan yang tetap dan pasti. Perkembangan 3 tahun terakhir gerakan wajib kakao, mencatat perkembangan yang positif. Tahun 2006 sejumlah 1.15 juta bibit didistribusikan bagi 490 KK. Selanjutnya pada tahun 2007, 4.1 juta bibit kakao diberikan untuk 4979 KK dan pada tahun 2008, 5 juta bibit diberikan bagi 7000 KK. Tahun 2009 terdapat 14333 KK petani dengan areal mencapai 12.234 ha, kepemilikan rata-rata 0.83 ha/KK. Adapun produksinya mencapai 5.474 ton biji kering. Pendapatan petani yg sudah berproduksi (sekitar 5124KK) berkisar antara Rp 1.6 juta-2.5 juta per bulan (dengan asumsi harga biji kakao kering Rp 18 ribu-20 rb/kg). Ilustrasi ini mengindikasikan bahwa pengalokasian dana otonomi khusus dengan pemilihan program yang sesuai yang dapat memberi nilai tambah secara langsung bagi pendapatan penduduk sebetulnya dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat asli Papua, khususnya secara ekonomi.
Adapun program yang bersifat meningkatkan kapasitas berusaha masyarakat Papua antara lain: pengiriman peserta pelatihan manajemen usaha kecil bagi perempuan Papua Jayapura, bantuan usaha kepada pengusaha perempuan Papua. Selain itu terdapat pula program pelatihan pertukangan mubelair pengusaha asli Papua dan pelatihan anyaman bagi 7 orang di Jogjakarta. Contoh lain adalah penyuluhan dan pendampingan petani dan pelaku agribisnis sebanyak 200 orang di Kalimantan. Belum ada informasi yang jelas tentang kemanfaatan upaya peningkatan kapasitas berusaha masyarakat semacam ini. Namun perlu menjadi perhatian agar program semacam ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan terdapat upaya tindak lanjut agar pengetahuan dan ketrampilan yang sudah diperoleh dapat dipraktekkan dengan baik.
Catatan lain, masih dijumpai alokasi tidak sesuai untuk bidang perekonomian. Di mana kegiatan pengamanan dan perlindungan cagar alam dan pengamanan dan perlindungan kawasan penyangga cagar alam. Kegiatan semacam ini semestinya tercakup dalam sektor lingkungan. Memang diperlukan adanya sinkronisasi dan keterlibatan berbagai sektor. Namun perlu dibedakan peran yang dapat dilakukan oleh masing-masing sektor, dan menghindari adanya tumpang tindih atau sasaran yang kurang tepat.
Papua sangat kaya dengan hasil hutan. Secara ekonomi kekayaan ini juga semestinya
mampu meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya orang asli Papua. Pemerintah
daerah mencatat bahwa banyak suku yang menguasai areal hutan masyarakat hukum adat
91 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
yang cukup besar, dan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat hukum adat sangat
tergantung pada hutan. Namun demikian dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan
selama ini masyarakat hukum adat belum banyak dilibatkan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menyebutkan bahwa usaha-usaha perekonomian
di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati
hak-hak masyarakat hukum adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta
prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Di samping itu
usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumberdaya alam harus
dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang
berkelanjutan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan
kepastian hukum bagi pengusaha. Terdapat upaya Pemerintah Provinsi Papua dalam
menerjemahkan kebijakan tersebut dengan menerbitkan Perdasus Nomor 21 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
Salah satu aspek yang terdapat dalam perdasus tersebut adalah keberpihakan kepada
masyarakat adat guna memperoleh manfaat dari pengelolaan hutan, diantaranya melalui
pelaksanaan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat hukum adat, dalam bentuk
pemberian kesempatan kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan masyarakat
hukum adat. Pemberian hak pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat
hukum adat dilakukan dalam bentuk Kesatuan Pengelolan Hutan Masyarakat Hukum Adat yang
selanjutnya disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHK).
Sementara di Provinsi Papua Barat, pemerintah provinsi bahkan belum menerbitkan
perdasus/perdasi yang mengatur tentang perekonomian, khususnya perekonomian berbasis
kerakyatan. Namun Pemerintah Provinsi Papua Barat mencoba mengembangkan suatu grand
design terkait empat program strategis Provinsi Papua Barat. Ekonomi kerakyatan menjadi
salah satu dari program strategis dalam grand design tersebut. Selanjutnya langkah yang
diambil Provinsi Papua Barat tersebut disebarkan ke seluruh kabupaten/kota di wilayah Papua
Barat13. Menurut Sekretaris BP3D Papua Barat, pembangunan perekonomian Papua Barat
mulai tahun 2011 diarahkan pada pembangunan ekonomi kerakyatan. Dalam konteks ini, dana
Otonomi Khusus yang telah didistribusikan kepada kabupaten/kota sebesar 70%, sebagian
dana tersebut dimanfaatkan untuk membangun pasar-pasar kampung dan infrastruktur
kampung.
“...ke depan strategi pembangunan Papua Barat ditekankan pada pemberdayaan masyarakat (community development), salah satunya di bidang ekonomi akan diterapkan ekonomi kerakyatan pada semua bidang pembangunan untuk meningkatkan derajat
13 Penuturan Kepala Bappeda Provinsi Papua Barat
92 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
hidup yang layak bagi warga Papua Barat dan khususnya bagi orang asli yang ada di Papua Barat”.
Wacana pemerintah provinsi tersebut antara lain telah sejalan dengan upaya pemerintah
Kabupaten Manokwari. Hal ini sebagaimana yang telah dilaksanakan Kabupaten Manokwari,
dimana telah diprioritaskan pembangunan bidang ekonomi dengan sasaran rehabilitasi
prasarana pasar dan pengembangan produktivitas pertanian dalam arti luas. Pemberdayaan
ekonomi rakyat dilakukan melalui kebijakan pemberian kredit lunak dalam usaha ekonomi
produktif, paket program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui paket program bidang
pertanian, perikanan, peternakan , perkebunan, perindustrian, koperasi, usaha sektor informal,
dalam rangka memperkuat basis usaha ekonomi keluarga maupun yang berorientasi investasi
dalam skala kecil dan menengah.
Pemerintah Kabupaten Manokwari pada tahun 2010 mengalokasikan dana sebesar Rp
3.571.137.800 untuk pengembangan ekonomi kerakyatan yang dikelola 3 SKPD. SKPD yang
mengelola adalah Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan, Dinas Perikanan dan Kelautan
serta Dinas Perindagkop dan UMKM. Dana diarahkan untuk menunjang peningkatan ketahanan
pangan, serta pemberdayaan industri kecil, koperasi, UMKM.
Senada dengan Kabupaten Manokwari, apa yang dilakukan oleh Kabupaten Sorong
Selatan menunjukkan perhatian khusus pada pembangunan ekonomi kerakyatan. Disampaikan
oleh Sekda Kabupaten Sorong Selatan bahwa:
“program ekonomi kerakyatan merupakan prioritas yang mendapatkan dukungan pendanaan dari Otonomi Khusus, meskipun tidak terlalu besar dana tersebut dapat mendorong dinas terkait untuk memprogramkan kegiatan ekonomi kerakyatan di Kabupaten Sorong Selatan. Kami mengharapkan dana Otonomi Khusus ini terus dilanjutkan, untuk mengentaskan rakyat Papua dari kemiskinan dan keterbelakangan’.
Adapun Pemerintah Kota Sorong, mengalokasikan dana sebesar Rp 8.268.550.000 pada
tahun 2009. Jumlah ini merupakan 11.07% dari dana yang diterima kota tersebut. Dana
tersebut diperuntukkan bagi pengembangan pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan di
Kota Sorong yang dikelola oleh 5 SKPD, meliputi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi
dan UMKM, Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Perikanan dan Kelautan, serta
Kantor Kebudayaan dan Pariwisata.
Namun demikian, program ekonomi kerakyatan yang memberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada masyarakat adat dan atau masyarakat setempat nampaknya belum mencapai
kondisi yang diharapkan. Sebagai contoh, program pemberdayaan ekonomi kerakyatan kadang
menerima pendanaan yang sangat kecil sehingga efeknya kurang terasa dalam pembangunan
perekonomian.
93 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Secara makro, perekonomian daerah di Provinsi Papua mengalami perkembangan yang
fluktuatif dari tahun 2007-2010 (Lampiran 1). Tercatat laju pertumbuhan PDRB atas dasar
harga konstan 2000 (pertumbuhan ekonomi daerah) mengalami penurunan dari 4.34 persen di
tahun 2007 menjadi -1.4 di tahun 2008. Pada tahun berikutnya terdapat lonjakan menjadi
22.74 persen, namun mengalami penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2010 menjadi -
2,65 persen. Sementara di Provinsi Papua Barat, dalam kurun waktu yang sama mengalami
perkembangan yang cukup positif. Tahun 2007 tercatat laju pertumbuhan PDRB atas dasar
harga konstan 2000 (pertumbuhan ekonomi daerah) sebesar 6.95 persen. Pada tahun
berikutnya terus meningkat menjadi 7.84 persen. Selanjutnya pada tahun 2009 terdapat sedikit
penurunan menjadi 7.02 persen. Sementara pada tahun 2010 tercatat mengalami peningkatan
menjadi 7.96 persen.
Dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Papua Barat pada tahun
2010 mampu mencatat laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 (pertumbuhan
ekonomi daerah) yang tertinggi. Namun untuk Provinsi Papua justru merupakan angka
terendah dibanding provinsi lainnya pada tahun 2010.
Sektor pertambangan masih mendominasi perekonomian daerah di Provinsi Papua
maupun Papua Barat. Perbedaan yang cukup signifikan dapat dilihat dari Produk Domestik
Regional Bruto di kedua Provinsi tersebut jika sektor pertambangan tidak diikutsertakan
dalam perhitungan, sebagaimana terlihat dalam grafik berikut. Namun demikian, menilik
masing-masing sektor, di Provinsi Papua Barat sektor memiliki share terbesar kedua untuk
PDRB di Provinsi tersebut. Sementara di Provinsi Papua sektor pertambangan dan penggalian
masih memiliki share terbesar dari PDRB Provinsi tersebut.
Produktifitas ekonomi suatu daerah terlihat dari pertumbuhan ekonominya yang
diperoleh dari PDRB atas dasar harga konstan. Selama lima tahun terakhir, Papua mengalami
pertumbuhan ekonomi yang cukup berfluktuasi. Setelah mencapai pertumbuhan tertinggi di
tahun 2005 (36,40%), 2006 (19,26%), 2007 (23.60%), 2008 (22,20%), 2009 (22,74%) dan
2010 (20,09).
Tanpa sub sektor pertambangan dan migas, pertumbuhan Provinsi Papua khususnya
lima tahun terakhir (2006-2010) terlihat jauh lebih stabil dengan rata-rata pertumbuhan
10,90%. Pada tahun 2010 perekonomian Papua tumbuh 11,98%, tidak jauh berbeda dengan
tahun-tahun sebelumnya yang tumbuh diatas 10%.
Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) meningkat sebesar 26,82% terhadap tahun 2009. Hampir
semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan positif, dengan pertumbuhan tertinggi di
94 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
sektor industri pengolahan 149,52%. Sementara sektor pertambangan dan penggalian
mengalami konstraksi sebesar -0,84%.
Gambar 4.8 Perbandingan PDRB atas Dasar Harga Konstan dengan Tambang dan Tanpa Tambang
di Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2005-2010
Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2005 - 2010
Tabel berikut memperlihatkan perkembangan PDRB atas dasar harga konstan di Provinsi
Papua menurut berbagai lapangan usaha (sektor) dari tahun 2008-2010. Sektor pertanian
memiliki share terbesar kedua setelah sektor pertambangan. Di sektor ini, tanaman bahan
makanan menghasilkan PDRB tertinggi, diikuti sub sektor perikanan, kehutanan, peternakan,
dan tanaman perkebunan. Mengingat mata pencaharian penduduk sebagian besar masih
95 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
mengandalkan sektor pertanian, perlu diupayakan untuk memperbesar hasil-hasil produksi di
sektor pertanian ini.
Tabel 4.13 Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua atas Dasar Harga Konstan Menurut
Lapangan Usaha (miliyar Rupiah) Tahun 2008-2010
No Lapangan Usaha Tahun
2008 2009 2010 1. Pertanian 3419.07 3548.78 3768.31
a. Tanaman Bahan Makanan 1700.89 1755.14 1868.51 b. Tanaman Perkebunan 161.4 171.87 184.2
c. Peternakan 224.64 244.69 266.09
d. Kehutanan 467.85 481.35 510.16
e. Perikanan 864.28 895.73 939.35
2. Pertambangan dan Penggalian 8574.1 11495.77 9475.03 3. Industri Pengolahan 485.6 515.78 558.8 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 45.99 48.65 51.57 5. Bangunan 1452.25 1712.65 1993.11 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1360.78 1518.24 1677.49 7. Pengangkutan dan Telekomunikasi 1344.37 1536.71 1747.42 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa 515.55 745.12 792.28 9. Jasa-Jasa 1734.13 23237.11 2555.29
Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2008-2010
Sementara di Provinsi Papua Barat, lapangan usaha pertanian menghasilkan porsi
tertinggi penyumbang PDRB, diikuti sektor pertambangan dan penggalian, industri
pengolahan, jasa-jasa, restoran, pengangkutan, telekomunikasi, bangunan, perdagangan dan
hotel, keuangan, persewaan dan jasa, listrik, gas dan air bersih. Produk Domestik Regional
Bruto Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian rakyat mengalami
kenaikan dari tahun 2008-2010 dari Rp 1826,853 milyar, menjadi Rp 1896,815 milyar pada
tahun 2009, dan Rp. 2014,324 pada tahun 2010. Pada sektor pertanian ini, usaha perikanan
menjadi penyumbang terbesar. Sementara usaha peternakan dan tanaman perkebunanan
menyumbang terkecil. Untuk itu strategi peningkatan perekonomian Provinsi Papua Barat ke
depan perlu mempertimbangkan upaya peningkatan perekonomian di sektor peternakan dan
tanaman perkebunan.
Tabel 4.14
96 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2010
No Lapangan Usaha Tahun
2008 2009 2010 1. Pertanian 1826.853 1896.815 2014.324
a. Tanaman Bahan Makanan 324.5103 346.4035 374.1625
b. Tanaman Perkebunan 180.2295 190.454 201.30927 c. Peternakan 104.6912 113.5365 121880.7 d. Kehutanan 519.359 518.4514 533.5877
e. Perikanan 698.0628 727.9701 783384.3
2. Pertambangan dan Penggalian 1101.023 1099.265 1090.052 3. Industri Pengolahan 875.5633 1004.826 2507.291 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 29.13444 31.76602 34.08513 5. Bangunan 579.4177 654.539 718.4682 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 671.7639 715.364 743.8819 7. Pengangkutan dan Telekomunikasi 474.2808 551.8739 612.201 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa 150.4108 152.392 169.1823 9. Jasa-Jasa 691.0812 741.7145 796.1624
Sumber : Badan Pusat Statistik, tahun 2008 - 2010
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan upaya peningkatan perekonomian rakyat, dalam
bagian ini diulas kondisi kemiskinan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hal ini mengingat
sasaran dari otonomi khusus adalah orang asli Papua yang mana sebagian besar diantaranya
termasuk kategori keluarga miskin. Ujung dari kegiatan perekonomian rakyat pada akhirnya
salah satunya adalah penurunan tingkat kemiskinan baik di Provinsi Papua maupun Papua
Barat. Perkembangan kondisi tingkat kemiskinan di Provinsi Papua dan Papua Barat serta
perbandingannya dengan kondisi nasional dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.9 Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Provinsi Papua , Papua Barat,
dan Nasional Tahun 2007-2010
Sumber : Kompilasi data Badan Pusat statistik, tahun 2007-2010
40.7837.08 37.53 36.80
39.3135.12 35.71
34.88
16.58 15.4214.14 13.33
0
10
20
30
40
50
2007 2008 2009 2010
Provinsi Papua
Provinsi Papua Barat
Nasional
97 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Secara umum terdapat kecenderungan penurunan persentase penduduk miskin, baik di
Provinsi Papua maupun Papua Barat pada kurun waktu 2007-2010. Terdapat kecenderungan
tingkat kemiskinan di Provinsi Papua yang lebih tinggi daripada Provinsi Papua Barat,
diindikasikan dengan persentase penduduk miskin yang lebih tinggi di Provinsi Papua.
Perkembangan tingkat kemiskinan di kedua Provinsi tersebut memang tidak hanya merupakan
hasil dari implementasi otonomi khusus. Namun demikian, implentasi otonomi khusus juga
memberikan andil tersendiri dalam upaya penurunan tingkat kemiskinan. Artinya, dengan
memperhatikan kondisi kemiskinan secara makro yang jauh dari harapan tersebut, masih
banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat
Papua khususnya masyarakat asli Papua.
Indikator lain yang memperlihatkan kondisi kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua
Barat adalah Indeks Pembangunan Manusia. Dibandingkan berbagai provinsi di Indonesia,
pada tahun 2009 Provinsi Papua masih mencatat IPM terendah sebesar 64,53 %. Provinsi
Papua memiliki IPM yang sedikit lebih baik di atas Provinsi Papua, yakni sebesar 68,58%.
Angka ini lebih baik dibandingkan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Di lingkup provinsi, secara umum terdapat peningkatan IPM di kabupaten/kota dari
tahun 2006-2008. Kabupaten Merauke merupakan daerah dengan IPM terendah di Provinsi
Papua, sementara Kota Jayapura memiliki IPM tertinggi. Sementara di Provinsi Papua Barat
secara umum terdapat perbaikan IPM di kabupaten/kota pada periode 2007-2010. Tahun
2010, Kabupaten Tambraw tercatat memiliki IPM terendah sebesar 50,51% sementara Kota
Sorong tercatat memiliki IPM tertinggi di Papua Barat sebesar 77,18%.
Persoalan lain yang perlu menjadi perhatian dalam pembangunan perekonomian
Provinsi Papua dan Papua Barat adalah persoalan kesenjangan perekonomian baik dalam
kabupaten maupun antar kabupaten dan kesenjangan antara provinsi dengan daerah lain di
Indonesia. Kesenjangan ekonomi di dalam kabupaten antara lain dapat dilihat dari rasio gini di
berbagai kabupaten di Provinsi Papua. Kabupaten Merauke, Jayawijaya, Nabire, Kepulauan
Yapen, Puncak Jaya, Mappi, Pegunngan Bintang, Mimika, Tolikara, Yalimo, dan Dogiyai memiliki
rasio Gini sama dengan atau melebihi 30. Sementara untuk kabupaten/kota di Provinsi Papua
Barat data rasio gini tingkat provinsi pada tahun 2008 mencapai 0.36 dan menurun menjadi
0.35 pada tahun 2009. Angka ini menggambarkan ketidakmerataan yang rendah-sedang.
Namun demikian, kondisi perekonomian masyarakat Papua dan Papua Barat berada pada level
yang rendah.
98 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Persoalan pemerataan ekonomi antar kabupaten baik di Provinsi Papua maupun Papua
Barat dapat diperhatikan dari variasi diberbagai indikator seperti PDRB kabupaten/kota,
pertumbuhan ekonomi, maupun dari berbagai indikator kesejahteraan seperti persentase
penduduk miskin dan Indeks Pembanguan Manusia di berbagai kabupaten/kota sebagaimana
terlihat dalam grafik di bawah ini. Terdapat kecenderungan variasi yang lebih besar di
Provinsi Papua Barat, dibandingkan Provinsi Papua. Namun demikian, kondisi di Papua tampak
lebih mengelompok pada posisi bawah.
b. Pendidikan dan Kebudayaan Lahirnya sebuah kebijaksanaan publik dilatarbelakangi adanya suatu masalah. Masalah
yang dimaksud adalah adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Apa yang
diharapkan suatu negara atau masyarakat tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di
masyarakat tersebut. demikian pula, Pendidikan dalam kebijakan otonomi khusus
mendapatkan prioritas utama dilatarbelakangi permasalahan pendidikan di Papua dan Papua
Barat seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Nur14 yang dikutip oleh KBR68,
permasalahan pendidikan Papua sudah sangat kompleks yaitu dari distribusi geografis,
keterbatasan guru atau tenaga pendidik, keterbatasan sarana prasarana dan menumbuhkan
semangat belajar terus menerus.
Permasalahan infrastruktur dengan wilayah geografis Papua yang sulit, memang
menjadi suatu kendala tersendiri dan diperparah dengan dengan kerusakan jalan menuju
tempat pendidikan juga ketersediaan sarana penunjang bagi para guru dengan terpencilnya
tempat tugas serta jaminan kesejahteraan bagi para guru ditambah persoalan rendahnya
semangat peserta didik dalam mengenyam pendidikan yang disebabkan rendahnya kesadaran
orang tua akan pentingnya pendidikan bagi kelangsungan hidup anaknya sehingga semakin
mempertegas permasalahan pendidikan di Papua.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap orang
mempunyai kesempatan dan akses yang sama untuk memperoleh pendidikan tanpa dibedakan
menurut jenis kelamin, status sosial, ekonomi, agama dan lokasi geografis. Menyikapi
permasalahan–permasalahan pendidikan di Papua di atas, dalam kebijakan otonomi khusus
UU Nomor 21 Tahun 2001, Pendidikan mendapatkan porsi yang sangat penting dimana dalam
Pasal 36 disebutkan bahwa pendidikan harus dialokasikan sebesar 30% dari penerimaan
daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Pendidikan dan Kebudayaan sendiri diatur dalam sub bab tersendiri yaitu Bab XVI
dengan 3 (tiga) Pasal yaitu Pasal 56, 57 dan 58. Dalam Pasal 56 menyebutkan pemerintah 14 Menteri Pendidikan Nasional Kabinet sejak 22 Oktober 2009
99 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur,
dan jenis pendidikan di Provinsi Papua dengan menetapkan kebijakan umum tentang otonomi
perguruan tinggi, kurikulum inti dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis
pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan pemerintah
provinsi.
Kemudian, penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu
sampai tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya diberbagai
kesempatan yang wajib diberikan seluas–luasnya oleh pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota kepada lembaga keagamaaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha
untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dimaksud.
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota juga dapat memberikan bantuan atau
subsidi kepada penyelenggaran pendidikan tersebut.
Pasal selanjutnya selanjutnya yaitu Pasal 57 dan 58 UU Nomor 21 Tahun 2001 diatur
masalah kebudayaan dimana pemerintah provinsi wajib melindungi, membina, dan
mengembangkan kebudayaan asli Papua dengan memberikan peran serta sebesar-besarnya
kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat, pemerintah provinsi juga
berkewajiban terhadap berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan
keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang
dimana dengan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Inggris
sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan, untuk bahasa daerah masih dapat
digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar.
Dalam pelaksanaan kewajiban terkait pendidikan tersebut, telah diterbitkan peraturan
daerah propinsi (Perdasi) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pembangunan Pendidikan di Papua
yang berisi diantarannya menyangkut :
1) Hak atas pendidikan pola khusus bagi setiap orang
Papua.
2) Kewajiban setiap orang tua di Papua untuk
menyekolahkan anak serendah-rendahnya pada
jenjang pendidikan dasar.
3) Hak masyarakat dari keluarga ekonomi lemah dan tidak mampu membiayai pendidikan
serta memiliki kemampuan akademik untuk mendapatkan biaya pendidikan dari
Pemerintah dan Pemda.
4) Hak Pendidik dan tenaga pendidik yang bekerja di daerah terpencil untuk menerima gaji,
pension, tunjangan fungsional, tunjangan daerah terpencil serta tunjangan lain.
Jika dunia pendidikan tak diperhatikan, otomatis Papua mengalami “lost generation”. pemerintah wajib membuat
100 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
5) Pendidikan berasrama atau semi asrama yang diberikan ruang untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan, lingkungan dan usia dan mengakui atau menghormati tradisi dan kebudayaan
masyarakat setempat.
6) Peran pemerintah kampung dan lembaga adat dalam membina dan mengembangkan
pendidikan kearifan lokal.
7) Penetapan bahasa inggris sebagai bahasa wajib kedua di lembaga-lembaga pendidikan
formal.
Kebijakan lain yang ditempuh Pemerintah Provinsi Papua adalah pembebasan biaya
pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan pengurangan biaya pendidikan bagi peserta
didik orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah. Kebijakan diatur dengan Peraturan
Gubernur (Pergub) Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pembebasan Biaya
Pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Pengurangan Biaya Pendidikan bagi peserta
didik orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah.
Kebijakan yang baik tentunya harus dapat diikuti dengan implementasi yang baik pula di
lapangan dan dalam implementasinya. Bagi responden sektor pendidikan selama pelaksanaan
otonomi khusus di Papua dan Papua Barat mendapatkan kemajuan yang signifikan, sebelum
otonomi khusus responden memandang pelaksanaan pendidikan sangat memprihatinkan
terlihat sebanyak 58% responden menyatakan kurang baik.
Berbeda dengan capaian pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus dimana 67%
menyatakan dalam kondisi baik (67%), 25% menyatakan sedang dan 8% menyatakan sangat
baik terlihat pada diagram di bawah ini :
Gambar 4.10 Persepsi tentang Capaian Kinerja Pendidikan dan Kebudayaan Sebelum dan Sesudah
Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus diterjemahkan beragam oleh
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam berbagai program-program
seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura dalam Program Penelusuran
Pengembangan Potensi Putra-Putri Papua (P5), pengiriman anak-anak Papua ke Surya Institute
101 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
di Sorong Selatan dan Pemerintah Kabupaten Merauke yang telah mengirimkan putra–putri
suku Marind ke Surya Institute sebanyak 50 (lima puluh) orang, sekolah dokter 3 (tiga) orang,
akademi penerbangan curug 3 (tiga) orang, IPB 3 (tiga) orang.
Pada pelaksanaan otonomi khusus, pendidikan diarahkan kepada keragaman kebutuhan
daerah dengan memperbesar muatan lokal, mengupayakan perluasan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan dan mengembangkan pola dan sistem pendidikan sesuai
dengan karakteristik spesifik Papua seperti pendidikan berpola asrama.
Berdasarkan penjelasan narasumber dari Kabupaten Jayapura, Pelaksanaan
pembangunan di bidang pendidikan selama otonomi khusus khususnya dalam dana
pendidikan sebagian besarnya bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga sumber
utamanya APBD namun demikian, petunjuk pelaksanaan yang mengiringi tentang penggunaan
dana otonomi khusus secara lebih tepat sesuai dengan kebutuhan daerah belum ditetapkan
sehingga tidak ada ketegasan tentang penggunaan atau pemisahan antara yang bersumber
dari dana otonomi khusus dengan dana yang bersumber dari lainnya.
Narasumber lainnya menyatakan dalam kewenangan khusus, pendidikan merupakan
bidang yang paling diprioritaskan tetapi untuk menilai keberhasilan bidang ini tidak dapat
diukur dalam waktu satu atau dua tahun ke depan saja, seperti anak–anak Papua yang
disekolahkan pada Program P5.
Salah satu contoh pelaksanaan otonomi khusus dapat ditunjukkan dari program–
program yang diberikan dalam rangka otonomi khusus yang dilakukan oleh Kabupaten
Manokwari berikut ini :
Sektor pendidikan pada Kabupaten Manokwari diarahkan kepada pencapaian 3 (tiga)
sasaran yaitu :
1. Meningkatnya proporsi anak yang terlayani pada pendidikan anak usia dini dan
meningkatnya angka partisipasi kasar dan murni SD, SLTP dan SLTA; Pencapaian sasaran
dilaksanakan melalui 3 program, yaitu Program Pendidikan Anak Usia Dini, Program Wajib
Belajar Sembilan Tahun dan Program Pendidikan Menengah. Pencapaian sasaran
berdasarkan hasil dari pelaksanaan program sampai tahun 2009 dapat dilihat pada table
dibawah ini :
Tabel. 4.15 Indikator Kinerja Hasil Pencapaian Sasaran Meningkatnya Proporsi Anak yang Terlayani pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Meningkatnya Angka Partisipasi
Program Indikator Satuan Realisasi
2006 Realisasi
2007 Realisasi
2008 Realisasi
2009 Pendidikan Anak Usia Dini
Dimanfaatkannya bantuan pelaksanaan pendidikan anak usia dini
PAUD 23 21 2 3
102 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Program Indikator Satuan Realisasi
2006 Realisasi
2007 Realisasi
2008 Realisasi
2009 Meningkatnya pengetahuan Guru non
formal PAUD Orang - 80 40 30
Meningkatnya pengetahuan Guru TK Orang 25 40 - - Dimanfaatkannya alat peraga edukatif TK Paket 9 14 5 3 Dimanfaatkannya ruang belajar TK 3 3 2 - PAUD - 1 - - Wajib Belajar 9 Tahun
Dimanfaatkannya ruang belajar Ruang 21 37 36 37
Rehabilitasi Gedung Sekolah SD Ruang 15 11 34 52 Rehabilitasi Gedung Sekolah SLTP Ruang 2 13 3 12 Dimanfaatkannya Meubelair SD Unit 600 420 750 180 Dimanfaatkannya Meubelair SMP Unit 27 300 480 450 Dimanfaatkannya rumah Guru SD Unit 15 41 8 16 Dimanfaatkannya rumah guru SMP Unit - 6 2 4 Dimanfaatkannya alat peraga Paket 10 5 - 6 Dimanfaatkannya computer untuk siswa Unit 30 40 - 8 Berfungsinya solar cell Unit 20 20 - - Terlaksananya ujian sekolah SD dan SMP Murid 5.511 5.748 5.781 5.781 Dimanfaatkannya seragam sekolah Pasang 18.812 24.520 19.440 19.714 Terdaftarnya murid baru di sekolah Murid 9.406 12.260 9.720 9.857
Dimilikinya buku raport bagi siswa baru Buku 9.406 12.260 9.720 9.857
Pendidikan Menengah
Dimanfaatkannya ruang belajar Ruang 7 7 7 7
Dimanfaatkannya rumah guru Unit 1 3 2 9 Dimanfaatkannya meubelair sekolah Unit 300 240 240 280 Dimanfaatkannya alat peraga Paket 6 7 6 3 Terlaksananya ujian sekolah Murid 1.818 2.155 2.151 2.511 Dimanfaatkannya seragam sekolah Pasang - 4.968 5.124 5.222 Terdaftarnya murid baru di sekoah Murid 1.993 2.848 2.565 2.611 Dimilikinya buku raport bagi siswa baru Buku - 2.848 2.565 2.611
2. Berkurangnya jumlah guru dengan kualifikasi tidak layak mengajar;
Pencapaian sasaran dilaksanakan dalam bentuk peningkatan kualitas guru melalui
pelatihan, magang atau pendidikan lanjutan. Keberhasilan pencapaian sasaran ini diukur
melalui pencapaian 4 (empat) indikator sebagai berikut :
Tabel 4.16 Indikator Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidik/Manajemen
Pelayanan Kependidikan
Program Indikator Satuan Kondisi
2005 Realisasi
2006 Realisasi
2007 Realisasi
2008 Realisasi
2009
Peningkatan Mutu Prndidik dan Tenaga Pendidik/ Manajemen Pelayanan Kependidikan
Meningkatnya pengetahuan guru SD, SMP dan SMA
Orang n.a 444 514 294 323
Jumlah guru yang disekolahkan Orang n.a 41 96 270 703
Terbinanya guru melalui musyawarah guru mata pelajaran dan kelompok kerja guru
Orang n.a - 50 110 70
Tersedianya guru eksakta tingkat SMP dan SMA
Orang - - - 45 18
3. Terlaksananya pemerataan dan kesempatan pendidikan bagi semua masyarakat luas;
Keberhasilan pencapaian sasaran ini diukur melalui pencapaian 4 indikator kinerja hasil
yang dikembangkan dari indikator kinerja program/kegiatan tahun 2009
Tabel 4.17
103 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Indikator Bantuan Pendidikan
Hasil Indikator Satuan Kondisi
2005 Realisasi
2006 Realisasi
2007 Realisasi
2008 Realisasi
2009
Bantuan Pendidikan
Bantuan pendidikan luar sekolah Orang - 250 652 300 -
Dimanfaatkannya bantuan pendidikan Orang 1.670 2.259 2.507 3.768 4.223
Dimanfaatkannya bangunan tempat tinggal yang diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan belajar
Unit 4 12 14 12 4
Dimanfaatkannya bantuan untuk perguruan tinggi/sekolah tinggi
PT 5 5 5 5 7
Tentunya untuk mengukur seberapa sasaran dan sejauhmana pencapaian program
pendidikan yang sudah dicapai dan dampak akan kembali kepada data. Perkembangan bidang
pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat secara umum dapat diuraikan menurut berbagai
indikator berikut. Perkembangan komponen pendidikan direpresentasikan oleh angka melek
huruf dan rata–rata lama sekolah. Angka melek huruf menggambarkan persentase penduduk
umur 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya
sedangkan rata–rata lama sekolah menggambarkan rata–rata jumlah tahun yang dijalani oleh
penduduk untuk menempuh pendidikan formal.
1) Angka Partisipasi
Angka partisipasi pendidikan, yang mengindikasikan tingkat partisipasi penduduk dalam
mengakses program pendidikan, yang terdiri dari:
a) Angka Partisipasi Sekolah (APS), yang mengindikasikan seberapa besar akses dari
penduduk usia sekolah dapat menikmati pendidikan formal di sekolah.
b) Angka Partisipasi Kasar (APK), mengindikasikan partisipasi penduduk yang sedang
mengenyam pendidikan sesuai jenjang pendidikannya. Angka APK ini bisa lebih besar
dari 100 persen karena populasi murid yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan,
mencakup anak diluar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan.
Secara umum, APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan
pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi
penduduk untuk mengenyam pendidikan.
c) Angka Partisipasi Murni (APM), yang mengindikasikan proporsi anak usia sekolah
yang dapat bersekolah tepat waktu.
Angka partisipasi sekolah dapat menggambarkan berapa banyak penduduk usia
pendidikan yang sedang bersekolah, sehingga terkait dengan pengentasan program wajib
belajar. Indikator inilah yang digunakan sebagai petunjuk berhasil tidaknya program tersebut.
104 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sebagai standar program wajib belajar dikatakan berhasil jika nilai APS SD (umur 7-12) > 95%,
SLTP (umur 13-15 tahun) > 70%, SLTA (umur 16-18 tahun) > 50%.
Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur pada tahun 2008, 2009 dan 2010
untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dapat digambarkan dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.18
Angka Partisipasi Sekolah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2008-2010
PROVINSI Angka Partisipasi Sekolah
2008 2009 2010
1 2 3 4 5
PAPUA 7 – 12 (SD) 13 – 15 (SLTP) 16 – 18 (SLTA)
76,16 73,69 49,79
76,16 73,69 47,59
76,22 74,39 48,28
PAPUA BARAT 7 – 12 (SD) 13 – 15 (SLTP) 16 – 18 (SLTA)
93,18 88,75 57,53
93,35 88,75 57,95
94,04 89,95 58,08
Sumber : BPS, Susenas, Tahun 2008, 2009 dan 2010
Berdasarkan data tersebut di Provinsi Papua Tahun 2008 dan 2009 APS penduduk 7–12
tahun atau tingkat SD mencapai 76,16%, ini berarti masih terdapat 23,84% yang belum sekolah
atau tidak sekolah lagi, sedangkan tahun 2010 sebesar 76,22%. Hal ini menggambarkan bahwa
terdapat sedikit peningkatan APS.
Untuk APS penduduk umur 13-15 tahun atau tingkat SLTP tahun 2008 dan 2009 sebesar
73,60% artinya 26,40% masih belum sekolah atau tidak sekolah lagi, sedangkan tahun 2010
sebesar 74,39%, terdapat peningkatan. APS untuk umur 16-18 tahun atau tingkat SLTA tahun
2008 sebesar 49,70% kemudian menurun di 2009 sebesar 47,59% dan mengalami
peningkatan kembali tahun 2010 sebesar 48,28%.
Di Provinsi Papua Barat APS penduduk 7–12 tahun atau tingkat SD Tahun 2008 sebesar
93,18%, Tahun 2009 sebesar 93,35%, dan tahun 2010 sebesar 94,04%, APS penduduk 13–15
tahun atau tingkat SLTP tahun 2008 sebesar 88,75%, tahun 2009 sebesar 88,75% dan tahun
2010 sebesar 89,95%, sedangkan untuk APS penduduk umur 16–18 tahun atau tingkat SLTA
tahun 2008 sebesar 57,53%, tahun 2009 sebesar 57,95%, dan tahun 2010 sebesar 58,08%.
Hal ini menggambarkan bahwa APS di Provinsi Papua Barat terus mengalami peningkatan di
baik di tingkat SD, SLTP, dan SLTA.
Gambar 4.11
Angka Partisipasi Sekolah Tingkat SD
105 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Gambar 4.12
Angka Partisipasi Sekolah Tingkat SLTP
Gambar 4.13
Angka Partisipasi Sekolah Tingkat SLTA
-
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
2008 2009 2010
97,96 97,96 97,96
76,16 76,16 76,22
93,18 93,35 94,04
Pe
rse
n
Nasional
Papua
Papua Barat
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
2008 2009 2010
86,11 86,11 86,11
73,69 73,69 74,39
88,75 88,95 89,95
Pers
en
Nasional
Papua
Papua Barat
106 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Capaian APS di Provinsi Papua untuk usia penduduk 7-12 tahun atau tingkat SD tahun
2008, 2009, dan 2010 belum memenuhi target nasional sebesar 97,96%, APS usia 13-15 atau
tingkat SLTP tahun 2008, 2009, dan 2010 belum memenuhi target nasional sebesar 86,11%,
dan APS usia 16-18 atau tingkat SLTA tahun 2008, 2009, dan 2010 belum memenuhi target
nasional sebesar 55,83%. Sehingga dikatakan penerapan program wajib belajar 9 tahun di
Provinsi Papua belum sepenuhnya berhasil, terutama pada jenjang pendidikan SD atau
sederajat.
Sedangkan di Provinsi Papua Barat untuk usia penduduk 7-12 tahun atau tingkat SD
tahun 2008, 2009, dan 2010 sudah hampir mendekati target nasional sebesar 97,96%, APS
usia 13-15 atau tingkat SLTP tahun 2008, 2009, dan 2010 sudah memenuhi target nasional
sebesar 86,11%, dan APS usia 16-18 atau tingkat SLTA tahun 2008, 2009, dan 2010 sudah
memenuhi target nasional sebesar 55,83%. Hal ini menggambarkan bahwa angka yang dicapai
Provinsi Papua Barat lebih tinggi dari Provinsi Papua, sementara untuk APS per kabupaten
pada Provinsi Papua Barat tahun 2010 disajikan pada gambar berikut.
Gambar 4.14 APS Penduduk Jenjang 7-12, 13-15, 16-18, dan 19-24 di Kabupaten/Kota Provinsi Papua
Barat
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
2008 2009 2010
55,83 55,83 55,83
49,79 47,59 48,28
57,53 57,95 58,08
Pers
en
Nasional
Papua
Papua Barat
107 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sumber : BPS Papua Barat, Tahun 2011
Berdasarkan gambar diatas, terlihat sebagian besar Kabupaten di Provinsi Papua Barat
pada tahun 2010 telah memenuhi target wajib belajar yaitu dengan APS untuk jenjang umur
7–12 yang telah mencapai 95% diantaranya Kota Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten
Teluk Bintuni, Kabupaten Kaimana bahkan Kabupaten Maybrat capaian APS mencapai 100%
artinya pada Kabupaten Maybrat mampu mengenyam pendidikan dasar. Untuk jenjang umur
13-15, semua kabupaten pada Provinsi Papua Barat telah mencapai lebih dari 70% artinya
untuk propinsi Papua Barat, program–program pengentasan program wajib belajar 9 tahun
telah berjalan dengan baik.
Untuk jenjang usia 19–24, tercatat Kabupaten Manokwari memiliki APS tertinggi
diantara Kabupaten lainnya di Provinsi Papua Barat yaitu 21.7% artinya 21.76% penduduknya
melanjutkan sekolahnya ke bangku perguruan tinggi sedangkan terendah adalah Kabupaten
Kaimana yang hanya 3.46%, hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan akses untuk melanjutkan
pada perguruan tinggi di kabupaten tersebut yang kurang sehingga terjadi keengganan
penduduk kabupaten tersebut untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi lainnya.
Indikator lainnya adalah yang digunakan untuk mengukur partisipasi sekolah adalah
angka partisipasi kasar (APK). Indikator ini digunakan untuk mengukur seberapa besar
108 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
penduduk bersekolah pada tingkat pendidikan tertentu pada interval usia di tingkat sekolah
tersebut.
Untuk Papua Barat, secara agregat terjadi peningkatan APK di hampir seluruh jenjang
pendidikan kecuali pada jenjang pendidikan SD/MI dibandingkan tahun 2009, sehingga secara
umum pola ini menunjukkan terjadi peningkatan yang positif pada perbaikan kondisi
pendidikan di tahun 2010.
Tabel 4.19
Angka Partisipasi Kasar Provinsi Papua Barat Tahun 2010
No Kabupaten/Kota Jenjang Pendidikan
SD/MI SLTP/MTs SMU/MA Perguruan Tinggi
1 2 3 4 5 6 1 Kabupaten Fakfak 111.8 58.46 70.87 16.45 2 Kabupaten Kaimana 119.62 54.35 36.18 3.2 3 Kabupaten Teluk Wondama 117.65 87.72 50 9.24 4 Kabupaten Teluk Bintuni 117.25 55.77 40.43 7.06 5 Kabupaten Manokwari 110.96 68.07 84.48 29.36 6 Kabupaten Sorong Selatan 112.26 43.24 32.95 9.94 7 Kabupaten Sorong 117.89 59.52 73.68 6.49 8 Kabupaten Raja Ampat 142.15 62 48.65 8.7 9 Kabupaten Tawbraw 107.98 67.35 46.15 5
10 Kabupaten Maybrat 125.2 61.22 82.35 5 11 Kota Sorong 108.74 84.06 86.25 18.54 12 Papua Barat (2010) 115 66.68 72.07 16.8 13 Papua Barat (2009) 117.5 66.29 62.04 8.41 14 Papua Barat (2008) 112.68 89.99 57.25 9.73
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinisi Papua Barat, Tahun 2011.
APK SD tahun 2010 sebesar 115% artinya masih terdapat penduduk di luar usia sekolah
SD/MI (7-12 tahun) yang sedang bersekolah SD/MI karena APK berada diatas 100%. Dengan
kata lain, 15% siswa yang sedang bersekolah SD/MI berada diluar usia sekolah SD/MI.
Kontribusi paling tinggi yang menjadikan capaian APK Provinsi Papua Barat tahun 2010,
dimiliki oleh Kabupaten Raja Ampat dengan APK yang mencapai 142.15% atau 42.15% siswa
yang sedang bersekolah SD/MI di Kabupaten Raja Ampat berada diluar usia sekolah SD/MI.
APK SLTP/MTs Papua Barat tahun 2010 hanya 66,68% artinya banyaknya penduduk
yang bersekolah di SLTP/MTs sebesar 66,68% diantara penduduk usia 13–15 tahun selebihnya
tidak sedang menempuh pendidikan karena tidak putus sekolah, tidak mampu melanjutkan
pendidikan atau karena alasan lainnya. Distribusi APK SLTP/MTs menunjukkan APK
Kabupaten Sorong Selatan memiliki nilai terendah yaitu sebesar 43,24% artinya lebih dari
setengah penduduk usia 13–15 tahun pada kabupaten tersebut tidak melanjutkan sekolah.
Selanjutnya, angka partisipasi murni (APM) adalah indikator yang digunakan untuk
mendeteksi partisipasi penduduk yang bersekolah tepat pada waktunya. APM dibagi menjadi
109 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
kelompok APM SD untuk penduduk yang berusia 7–12 tahun, APM SLTP untuk penduduk yang
berusia 13–15 tahun dan APM SLTA untuk penduduk yang berusia 16–18 serta APM perguruan
tinggi untuk penduduk yang berusia 19–24 tahun.
Tabel 4.20 Angka Partisipasi Murni Provinsi Papua Barat tahun 2010
No. Kabupaten/Kota
Jenjang Pendidikan
SD/MI SLTP/MTs SMU/MA Perguruan
Tinggi 1 2 3 4 5 6 1 Fakfak 93.42 48.74 46.12 10.08 2 Kaimana 95.8 38.98 26.28 0.8 3 Teluk Wondama 83.66 56.14 25 3.36 4 Teluk Bintuni 97.31 41.51 19.87 3 5 Manokwari 88.44 55.34 51.26 11.69 6 Sorong Selatan 89.17 30.61 17.92 3.47 7 Sorong 93.68 47.62 42.11 1.3 8 Raja Ampat 95.04 42 21.62 n.a. 9 Tawbraw 90.96 48.98 35.9 5
10 Maybrat 97.56 38.78 66.18 5 11 Kota Sorong 91.26 57.97 50 9.55 12 Papua Barat (2010) 91.91 49.65 43.93 7.36 13 Papua Barat (2009) 91.25 49.03 43.55 6.25 14 Papua Barat (2008) 90.71 48.92 43.61 6.06
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS ) Provinsi Papua Barat, Tahun 2011
APM Provinsi Papua Barat mengalami peningkatan di semua level pendidikan
dibandingkan tahun 2009. APM SD/MI meningkat menjadi 91,91%, APM ini menunjukkan
bahwa hampir 92 dari 100 penduduk usia 7-12 tahun sedang bersekolah SD/MI.
APM SLTP/MTS meningkat menjadi 49.65% dari sebelumnya pada tahun 2009 yaitu
49.03%. APM SLTP/MTs yang jauh lebih kecil dari APM SD/MI memberikan gambaran bahwa
jumlah penduduk usia 13–15 tahun yang ikut berpartisipasi sekolah SLTP/MTs dibandingkan
yang berpartisipasi sekolah SD/MI pada usia 7-12 tahun sangat rendah atau dapat dikatakan
banyak penduduk usia 13–15 yang tidak melanjutkan pendidikan ke SLTP/MTs.
Kecenderungan yang terlihat dari APM tersebut adalah bahwa semakin tinggi jenjang
pendidikan yang ditempuh maka tingkat partisipasinya semakin rendah dengan demikian
dapat diartikan semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh maka semakin tinggi pula
angka putus sekolah. Kesenjangan antara APM SD/MI dengan APM SLTP/MTs menandakan
bahwa putus sekolah terbesar adalah ketika siswa menyelesaikan pendidikan SD/MI dan akan
melanjutkan ke jenjang pendidikan SLTP/MTs.
Berdasarkan sebaran menurut kabupaten/kota, APM tertinggi untuk jenjang pendidikan
SD/MI berada pada Kabupaten Maybrat yaitu sebesar 97,56% ; APM SLTP/MTs pada Kota
110 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sorong yaitu sebesar 57,97%; APM SLTA/MA pada Kabupaten Maybrat yaitu sebesar 66,18%
dan APM Perguruan tinggi pada Kabupaten Manokwari sebesar 11,69%.
2) Angka Melek Huruf
Salah satu faktor untuk menggambarkan kondisi pendidikan di Provinsi Papua dan
Papua Barat yaitu melalui perkembangan angka melek huruf, yaitu indikasi dari kemampuan
seseorang untuk membaca dan menulis. Dalam hal angka melek huruf adalah persentase
penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf
lainnya.
Untuk Provinsi Papua, angka melek huruf masih dikategorikan terendah dengan dari 29
kabupaten yang ada saat ini, sebagian besar angka melek hurufnya masih dibawah 50% atau
dapat dikatakan 50% penduduknya belum dapat membaca dan menulis. Pencapaian angka
melek huruf tertinggi adalah Kota Jayapura sebesar 99,09% yang berarti 99,09% penduduknya
dapat membaca dan menulis sedangkan terendah adalah Kabupaten Nduga sebesar 30,52%
yang berarti hanya 30,52% penduduknya yang dapat membaca dan menulis. Perbandingan
antara Penduduk yang masih buta huruf dengan Jumlah penduduk dapat disajikan pada
gambar berikut ini :
Gambar 4.15 Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Penduduk Belum Melek Huruf
111 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Provinsi Papua Tahun 2010
Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2010.
Dalam gambar di atas terlihat bahwa penduduk yang masih buta huruf pada kabupaten
Provinsi Papua beragam namun demikian jumlah penduduk yang belum melek huruf pada
provinsi Papua ini terbilang tinggi. Tercatat Kabupaten Nduga 83,67% penduduknya masih
belum melek huruf. Tingkatan paling baik dicapai oleh Kota Jayapura yang hanya 3,77%
penduduknya belum melek huruf. Sementara, angka melek huruf di Provinsi Papua Barat terus
mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seperti tergambar pada grafik di bawah ini :
Gambar 4.16 Capaian Angka Melek Huruf Provinsi Papua Barat
112 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sumber : Badan Pusat statistik Papua Barat, Tahun 2011.
Angka melek huruf di Provinsi Papua Barat tahun 2010 mencapai 93,19% atau
mengalami peningkatan di bandingkan kondisi tahun–tahun sebelumnya yaitu tahun 2005
sampai dengan tahun 2009 dimana tahun 2005 sebesar 85,4%, tahun 2006 sebesar 88,55%,
tahun 2007 sebesar 90,32%, tahun 2008 sebesar 92,15% dan tahun 2009 sebesar 92,34%.
Perkembangan angka melek huruf ini menandakan bahwa kondisi angka buta huruf di
Provinsi Papua Barat terus mengalami penurunan dengan semakin tingginya masyarakat yang
telah atau bisa membaca dan menulis.
Semakin tinggi angka melek huruf maka kenaikan persentase angka melek huruf ini akan
cenderung semakin lambat, dalam artian pertumbuhan angka melek hurufnya semakin kecil
atau mengalami penurunan seperti terlihat pada Gambar di bawah ini:
Gambar 4.17 Perubahan Angka Melek Huruf di Provinsi Papua Barat Tahun 2005 - 2010
Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2005-2010.
Selama kurun waktu 2009–2010 angka melek huruf provinsi Papua Barat mengalami
peningkatan sebesar 0,85 poin dan untuk periode 2008–2010 mengalami perubahan sebesar
1,04 poin sedangkan untuk periode 2006–2008, angka melek huruf di Papua Barat mengalami
perubahan sebesar 3,6 lebih tinggi dari periode 2008–2010. Selanjutnya, perkembangan angka
113 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
melek huruf menurut kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat dari tahun 2005–2010 dapat
dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.18 Melek Huruf menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2010
Secara lebih terperinci pencapaian dan peningkatannya tersaji dalam tabel di bawah ini :
Tabel 4.21 Peningkatan Angka Melek Huruf Per Kabupaten/Kota
Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2010
Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2005-2010.
Dari gambar dan tabel diatas, Kabupaten Teluk Bintuni memiliki peningkatan yang
sangat tinggi untuk tahun 2005–2010 dengan perubahan sebesar 13,95 poin, namun untuk
pencapaian angka melek hurufnya masih termasuk tiga terendah (85,9) Kabupaten di Provinsi
No Kabupaten/Kota Tahun Peningkatan 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Fak – fak 95.9 95.98 97.17 97.13 97.18 97.46 1.56 2 Kaimana 91.2 91.2 95.48 95.48 95.49 95.5 4.3 3 teluk Wondama 70.1 80.43 81.02 82.85 83.13 84.05 13.95 4 Teluk Bintuni 70 78.53 80.84 82.67 82.98 85.9 15.9 5 Manokwari 77.2 83.54 83.54 85.37 85.67 87.79 10.59 6 Sorong Selatan 87.2 87.9 87.9 88.07 88.2 88.32 1.12 7 Sorong 90.3 91.39 91.39 91.39 91.4 91.69 1.39 8 Raja Ampat 86.3 89.93 89.93 92.69 92.77 93.62 7.32 9 Tambrauw 0 0 0 0 76.38 77.15 0.77
10 Maybrat 0 0 0 0 89.8 90.73 0.93 11 Kota Sorong 99.1 99.1 99.1 99.1 99.12 99.13 0.03
114 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Papua Barat. Pencapaian angka melek huruf terendah adalah kabupaten pemekaran baru
Tambrauw yaitu sebesar 77,15% dan Kabupaten Teluk Wondama sebesar 84,05%.
3) Rata-rata lama sekolah
Rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk
berumur 15 tahun atau lebih untuk menempuh suatu jenjang pendidikan formal yang pernah
dijalani.
Untuk Provinsi Papua Barat, Angka rata–rata lama sekolah di Provinsi Papua Barat dari
tahun 2006–2010 terjadi peningkatan walaupan bergerak lambat dimana pada tahun 2006
rata–rata lama sekolah adalah sebesar 7,2 tahun, pada tahun 2007 sebesar 7,65 tahun, pada
tahun 2008 sebesar 7,67 tahun, pada tahun 2009 sebesar 8,01 tahun dan tahun 2010
meningkat sebesar 8,21 tahun. Rata – rata lama sekolah dapat dilihat pada grafik di bawah :
Gambar 4.19 Rata–rata lama sekolah di Provinsi Papua Barat Tahun 2006 - 2010
Sumber : Badan Pusat Statistik, tahun 2006-2010
Dari gambar grafik tersebut, angka rata-rata lama sekolah di Provinsi Papua Barat pada
tahun 2009-2010 mencapai 8,01 tahun dan 8,21 tahun atau mengalami peningkatan sebesar
0,20 tahun. Untuk tahun 2008 mencapai 7,67 tahun dengan perubahan yang sangat lambat
yaitu sebesar 0,02 dari tahun 2007 berbeda dengan tahun 2006–2007 mengalami perubahan
yang cukup besar yaitu sebesar 0,45 tahun. Untuk perubahan angka rata–rata lama sekolah di
Provinsi Papua Barat dari tahun 2006–2010 dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
115 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Gambar 4.20 Perubahan rata–rata lama sekolah Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2010
Sumber : Badan Pusat statistik, tahun 2006-20010
Angka rata–rata 8,21 tahun mengandung arti bahwa rata-rata penduduk provinsi Papua
Barat hanya mengenyam pendidikan samapi dengan kelas 2 SLTP atau putus sekolah pada
kelas 3 SLTP, hal ini berarti bahwa dari tahun 2006–2010 kondisi pendidikan masyarakat di
Provinsi Papua Barat semakin membaik, sedangkan di Provinsi Papua rata-rata lama sekolah
tahun 2010 pencapaian angka 6,4 tahun berarti rata-rata penduduk Provinsi Papua hanya
mengenyam pendidikan sampai dengan kelas 6 SD.
Tingkat pendidikan sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah satu indikator yang
digunakan untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu suatu alat pengukuran
keberhasilan yang dilihat dari seberapa besar permasalahan mendasar di masyarakat dapat
teratasi seperti kemiskinan, penggangguran, gizi buruk dan buta huruf. Secara nasional IPM
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tahun 2008 masih tergolong rendah dari 33 Provinsi
(BP3D RI, 2009). Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.22 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi secara Nasional Tahun 2008
No Provinsi IPM No Provinsi IPM 1 2 3 4 5 6
1 Aceh 70,76 18 Nusa Tenggara Barat 64,12 2 Sumatra Utara 73,29 19 Nusa Tenggara Timur 66,15 3 Sumatra Barat 72,96 20 Kalimantan Barat 68,17 4 Riau 75,09 21 Kalimantan Tengah 73,88 5 Jambi 71,99 22 Kalimantan Selatan 68,72 6 Sumatra Selatan 72,05 23 Kalimantan Timur 74,52 7 Bengkulu 72,14 24 Sulawesi Utara 75,16 8 Lampung 70,30 25 Sulawesi Tengah 70,09 9 Bangka Belitung 72,19 26 Sulawesi Selatan 70,22 10 Kepulauan Riau 74,18 27 Sulawesi Tenggara 69,00 11 DKI Jakarta 77,03 28 Gorontalo 69,29 12 Jawa Barat 71,12 29 Sulawesi Barat 68,55 13 Jawa Tengah 71,60 30 Maluku 70,38
116 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
No Provinsi IPM No Provinsi IPM 1 2 3 4 5 6
14 Yogyakarta 74,88 31 Maluku Utara 68,18 15 Jawa Timur 70,38 32 Papua Barat 67,95 16 Banten 69,70 33 Papua 64,00 17 Bali 70,98
Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2008.
Dari tabel diatas terlihat bahwa IPM secara nasional pada tahun 2008, baik Provinsi
Papua maupun Provinsi Papua Barat masih berada pada kisaran terendah dibandingkan
dengan provinsi lainnya, oleh sebab itu diperlukan kerja keras dalam perbaikan dan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan otonomi khusus Papua dan Papua Barat
diharapkan merupakan salah satu upaya dalam mengejar ketertinggalan dengan provinsi
lainnya.
c. Kesehatan Pasal 59 dan 60 UU Nomor 21 tahun 2001, mengatur mengenai sektor kesehatan
dimana pada Pasal 59 disebutkan bahwa pemerintah rovinsi berkewajiban menetapkan
standard mutu dan memberikan pelayanaan kesehatan bagi penduduk. Selain itu pemerintah
pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten diwajibkan untuk dapat mencegah dan
menanggulangi penyakit–penyakit endemis dan/atau penyakit–penyakit yang membahayakan
kelangsungan hidup penduduk. Kemudian, disebutkan juga bahwa setiap penduduk Papua
berhak memperoleh pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah–rendahnya.
Selanjutnya, dalam pasal 60 disebutkan dengan kewajiban bagi pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota untuk merencanakan dan melaksanakan program–program
perbaikan dan peningkatan gizi penduduk yang pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.
Sektor pendidikan dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat mendapat perhatian yang lebih. Pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus diterjemahkan beragam oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam berbagai program-program peningkatan prasarana serta peningkatan kuantitas dan kualitas pendidik. Sejumlah program juga diterapkan untuk meningkatkan tingkat pendidikan putra putri asli Papua. Terdapat peningkatan partisipasi sekolah di berbagai jenjang usia pendidikan. Ada indikasi perbaikan di bidang pendidikan, meskipun hasilnya belum optimal dan memerlukan perbaikan dalam kualitas pendidikan, maupun kualitas dan ketersediaan sarana pendidikan dan sumberdaya manusia pendidiknya. Bidang ini mendapat dukungan yang besar dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga sumber utamanya APBD. Diperlukan petunjuk pelaksanaan yang mengiringi tentang penggunaan dana otsus agar lebih tepat sesuai dengan tujuan otonomi khusus sehingga ada ketegasan tentang bagaimana pencapaian-pencapaian yang harus dilakukan terkait penggunaan dana otonomi khusus di bidang pendidikan.
117 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Bidang kesehatan pada pelaksanaan otonomi khusus diarahkan pada peningkatan mutu
lingkungan hidup yang sehat dan mendukung tumbuh dan berkembangnya anak dan remaja,
pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup sehat, pemeliharaan dan peningkatan derajat
kesehatan serta mencegah terjadinya resiko penyakit, peningkatan jumlah dan mutu tenaga
medis dan paramedis, serta penyediaan prasarana dan sarana kesehatan dan obat-obatan.
Dari sisi pembiayaan otonomi khusus untuk bidang kesehatan yang dialokasikan
Pemerintah Provinsi Papua, terdapat kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan pada
kurun tahun anggaran 2005-2011. Tahun Anggaran 2002 tercatat dana yang digulirkan
berjumlah 87,24 milyar rupiah. Pada tahun anggaran berikutnya turun menjadi 85,19 milyar
rupiah. Pada tahun 2004 dana tersebut turun menjadi 63,90 milyar rupiah.
Masalah kesehatan di Papua masih belum tertanggani secara baik akibat pelayanan
kesehatan yang belum memuaskan dengan minimnya sarana pelayanan dan alat–alat
kesehatan mulai dari Puskesmas hingga se tingkat Rumah Sakit. Provinsi Papua, dengan
wilayah yang cukup luas dan kondisi geografis yang cukup sulit, memerlukan dukungan sarana
kesehatan yang memadai. Dengan rata-rata jarak dari provinsi ke kabupaten yang cukup jauh,
diperkirakan biaya biaya rata-rata perjalanan dari provinsi ke kabupaten berkisar Rp.
4.252.000,-, Sementara rata-rata biaya diperlukan dari Puskesmas ke desa berkisar Rp
1.044.000,-.15 Situasi ini jelas memperlihatkan perlunya mendekatkan sarana-sarana pelayanan
kesehatan pada masyarakat, salah satunya untuk menurunkan biaya yang harus ditanggung
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Gambaran perkembangan bidang kesehatan secara umum dapat diuraikan sebagaimana
berikut. Aspek yang utama mendapat sorotan dalam hal ini adalah ketersediaan sarana
kesehatan dan tenaga bidang kesehatan. Hal ini mengingat kebutuhan ini sangat mendasar
yang perlu dipenuhi untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
1) Sarana Kesehatan
Berdasarkan distribusinya baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat tidak
semua kabupatennya memiliki rumah sakit sendiri. Dari 29 Kabupaten yang ada di Provinsi
Papua pada tahun 2010 hanya 16 Kabupaten yang memiliki rumah sakit sendiri sedangkan 13
Kabupaten lainnya tidak memiliki rumah sakit.
Gambar 4.21 Jumlah Rumah Sakit Dan Rasio Penduduk Terhadap Rumah Sakit
per 10.00 penduduk Tahun 2010 Provinsi Papua
15 Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Papua
118 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sumber : Badan Pusat Statistik Dan Hasil Data Diolah.
Kondisi yang berbeda dialami oleh Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 hampir setiap
kabupaten telah memiliki rumah sakit, adapun 4 (empat) kabupaten yang belum memiliki, 2
(dua) kabupaten tersebut merupakan kabupaten pemekaran baru yaiut Kabupaten Maybrat
dan Kabupaten Tambrauw. Kabupaten Raja Ampat dimana pada tahun 2010 ini baru memiliki
1 (satu) rumah sakit setelah tahun sebelumnya belum memiliki.
Jumlah rumah sakit di Provinsi Papua Barat hanya berjumlah 13 unit, 6 (enam)
diantaranya berada di Kota Sorong dan 3 (tiga) di Kabupaten Manokwari dan 1 (satu) di
Kabupaten lainnya seperti Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten
Sorong, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Fakfak. Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk
Wondama, Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Tambrauw belum memiliki rumah sakit.
Gambar 4.22 Jumlah Rumah Sakit dan Rasio Penduduk Terhadap Rumah Sakit per 10.000 Penduduk
Tahun 2010 Provinsi Papua Barat
119 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Hasil Data Diolah
Dilihat dari rasio penduduk terhadap rumah sakit pada Provinsi Papua tercatat
Kabupaten Pengunungan Jaya Wijaya memiliki rasio yang paling besar yaitu 1:196.100 artinya
satu rumah sakit di Kabupaten tersebut harus melayani sebanyak 196.100 penduduk atau
dapat dikatakan bahwa semua penduduk di Kabupaten Pengunungan Jayawijaya hanya
terlayani oleh satu rumah sakit saja. Sementara untuk Papua Barat tercatat bahwa Kabupaten
Sorong selatan memiliki rasio yang paling besar yaitu 1:70.600. artinya 70.000 penduduk
Kabupaten Sorong selatan hanya terlayani oleh 1 (satu) rumah sakit saja.
Sarana pelayanan kesehatan di Provinsi Papua, meski cenderung mengalami peningkatan
jumlahnya, namun belum mencukupi. Perkembangan jumlah sarana pelayanan kesehatan di
Provinsi Papua dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.23 Perkembangan Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan
di Provinsi Papua Tahun 2006-2010
SARANA PELAYANAN KESEHATAN
TAHUN
2006 2007 2008 2009 2010
RS PEMERINTAH 10 11 12 16 16
PUSKESMAS 230 245 260 296 310
PUSKESMAS PEMBANTU 735 735 731 703 685
PONDOK BERSALIN n.a 454 497 497 n.a Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Tahun 2006-2010.
Di samping ketersediaan yang masih minim tersebut, Pemerintah Provinsi Papua
mencatat berbagai tantangan antara lain adanya sekitar 40% dari puskesmas tersebut tidak
memiliki dokter, 26,65% pustu tak memiliki tenaga kesehatan, dan 41,4% pondok bersalin
kampung tak memiliki bidan. Selain itu sekitar 7% dari jumlah distrik yang ada tidak
120 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
mempunyai Puskesmas. Bahkan sejumlah besar kampung belum memiliki sarana pelayanan
kesehatan dan tenaga pelayanan kesehatan, sehingga akses ke tempat pelayanan terdekat
dapat mencapai 1–22,8 jam.
Kondisi yang ada di Provinsi Papua Barat, tidak jauh beda dengan kondisi pada Provinsi
Papua. Perkembangan jumlah sarana pelayanan kesehatan dari tahun 2006-2009 dapat
disaksikan pada tabel berikut. Terdapat peningkatan jumlah rumah sakit, namun dengan
jumlah tersebut masih sangat kurang. Demikian halnya dengan keberadaan puskesmas,
maupun pondok bersalin desa.
Tabel 4.24 Perkembangan Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan
di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2009
Sumber : Papua Barat dalam Angka, Tahun 2006-2009.
Gambar 4.23
Perkembangan Sarana Kesehatan Rumah Sakit
Gambar 4.24
Perkembangan Sarana Kesehatan Puskesmas
12
16 16
10
1314
0
5
10
15
20
2008 2009 2010
Uni
t
PapuaPapua Barat
SARANAPELAYANAN KESEHATAN
TAHUN
2006 2007 2008 2009
1 2 3 4 5
RUMAH SAKIT 10 10 10 13
PUSKESMAS 76 76 94 105
PUSKESMAS PEMBANTU 334 334 339 339
POLINDES 217 217 185 218
121 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
2) Tenaga Kesehatan
Kesehatan mendapatkan porsi penting, dimana pembiayaan dana otonomi khusus
terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan, bahwa kesehatan juga
menerima sekurang-kurangnya porsi 15% dari penerimaan yang diterima Kabupaten/Kota.
Untuk implementasi otonomi khusus di level kabupaten/kota.
Dalam pembangunan kesehatan, faktor penggerak utamanya adalah sumber daya
manusia. SDM kesehatan yang berkualitas menentukan keberhasilan dari seluruh proses
pembangunan tersebut. Informasi tenaga kesehatan diperlukan bagi perencanaan dan
pengadaan tenaga serta pengelolaan pegawai. Kesulitan memperoleh data tenaga kesehatan
yang mutakhir disebabkan antara lain oleh sifat dari data ketenagaan yang selalu berubah
dengan cepat dan terus menerus dari waktu ke waktu.
Perkembangan tenaga kesehatan baik dokter, bidan, perawat maupun tenaga kesehatan
lainnya mengalami peningkatan. Hal ini dapat dipahami bahwa pemerintah provinsi menyadari
pentingnya peran kesehatan dalam kemajuan pembangunan daerahnya dan dengan misi untuk
mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya di Indonesia, peningkatan tenaga kesehatan
menjadi salah satu cara atau arah dari indikator keberhasilan tersebut. Peningkatan tenaga
kesehatan ini juga disadari oleh Provinsi Papua Barat dimana dalam tiga tahun terakhir
mengalami peningkatan jumlah dokter yang cukup signifikan.
Gambar 4.25 Perkembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2007-2010 Provinsi Papua
260
296320
94 105 110
0
50
100
150
200
250
300
350
2008 2009 2010
Uni
t
Papua
Papua Barat
122 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Berdasarkan gambar di atas terlihat trend yang meningkat untuk masing-masing
tenaga kesehatan pada Provinsi Papua dimana Jumlah Dokter Umum tahun 2007 sebesar 248
orang meningkat pada tahun 2010 menjadi 551 orang, begitupun jumlah dokter gigi dan dokter
spesialis yang memiliki peningkatan jumlah yang cukup signifikan pada tahun 2010
dibandingkan tahun 2007. Hal yang sama tentunya berlaku pula pada Bidan, Perawat dan
tenaga kesehatan lainnya.
Seperti halnya Provinsi Papua tersebut, Provinsi Papua Barat juga mengalami
peningkatan jumlah dokter dimana jumlah dokter meningkat lebih dari 2 (dua) kali lipat
dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini menandakan pula sebagai salah satu provinsi
termuda di Indonesia, peningkatan tenaga kesehatan menjadi salah satu prioritas utama
Pemerintah Provinsi Papua Barat dalam kemajuan pembangunan daerahnya.
Gambar 4.26 Perkembangan Tenaga Dokter Umum Tahun 2008-2010
123 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Dalam gambar diatas terlihat peningkatan jumlah dokter dari tahun 2008 hingga tahun
2010 dari 56 orang menjadi 188 orang artinya dalam 3 (tiga) tahun terakhir terjadi
peningkatan sebesar 132 orang dokter di Provinsi Papua Barat.
Sementara, jumlah dokter umum yang bertugas di kabupaten/kota Provinsi Papua dan
Papua Barat adalah sebanyak 700 orang dengan 551 orang di Provinsi Papua dan 149 orang di
Provinsi Papua Barat. Kebutuhan terhadap dokter umum jika dihitung dengan menggunakan
rasio setiap 30 dokter umum melayani 100.000 penduduk dan berdasarkan data BPS
Penduduk Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2010 adalah 2.771.262 jiwa dan
760.855 jiwa maka kebutuhan tenaga dokter umum berdasarkan rasio tersebut untuk Provinsi
Papua adalah 830 orang dan untuk Provinsi Papua Barat sebesar 228 orang. Berarti dapat
dikatakan bahwa Provinsi Papua masih kekurangan tenaga dokter umum sebanyak 279 orang
untuk Provinsi Papua dan 79 orang untuk Provinsi Papua Barat. Ratio per kabupaten/kota
untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.27 Kebutuhan dan Dokter yang ada Pada Provinsi Papua Barat Per Kabupaten
420
504551
56
148188
050
100150200250300350400450500550600
2008 2009 2010
Ora
ng
PapuaPapua Barat
124 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Dengan asumsi 30 dokter umum melayani paling tidak 100.000 penduduk, pada
gambar di atas sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat mengalami kekurangan
jumlah dokter umum. Tercatat Kota Sorong paling besar mengalami kekurangan tenaga dokter
umum yaitu sebanyak 47 orang, Kabupaten Raja Ampat masih membutuhkan 1 orang,
Kabupaten Sorong sekitar 16 dokter umum, dan Kabupaten Manokwari sekitar 24 dokter,
bahkan 2 (dua) Kabupaten Pemekaran baru belum memiliki dokter umum sama sekali.
Sementara pada kabupaten/kota di Provinsi Papua terlihat Kota Jayapura memiliki
jumlah dokter umum yang lebih besar daripada kebutuhan dokter umum yang ada atau dapat
dikatakan bahwa sebagian besar tenaga dokter berada di Kota Jayapura sedangkan daerah-
daerah yang memiliki kondisi geografis yang lebih sulit justru sangat kekurangan tenaga
dokter.
Gambar 4.28 Kebutuhan dan Dokter yang ada Pada Provinsi Papua Per Kabupaten
125 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sumber : Badan Pusat Statistik, Data diolah
Dari gambar diatas terlihat bahwa jumlah dokter yang ada pada Kota Jayapura pada
tahun 2010 adalah sebesar 84 orang sedangkan kebutuhan dokter dengan jumlah penduduk
pada Kota Jayapura sebesar 256.705 orang, dengan asumsi 30 dokter umum melayani 100.000
penduduk maka kebutuhan dokter umum untuk Provinsi Papua sebesar 77 dokter. Dari
gambar tersebut juga terlihat sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat masih
mengalami kekurangan dokter umum dan selain faktor geografis juga ada sebagian wilayah
yang merupakan kabupaten pemekaran baru menjadikan penyebaran dokter umum di
126 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Provinsi ini tidak dapat sesuai dengan proporsinya seperti Kabupaten Intan Jaya yang
merupakan kabupaten pemekaran baru dengan faktor geografisnya yang yang hanya memiliki
1 (satu) orang dokter umum atau Kabupaten Lanny Jaya dengan kondisi geografisnya berbukit-
bukit ternyata jumlah dokter umumnya hanya 5 orang masih jauh dikatakan untuk
proporsional bila dikaitkan dengan jumlah kebutuhan dokter di kabupaten tersebut.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kondisi ketersediaan dokter maupun tenaga
kesehatan lainnya juga memperlihatkan upaya pelayanan kesehatan yang masih kurang di
provinsi ini. Ketersediaan dokter dan tenaga kesehatan lainnya juga bervariasi diberbagai
kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.25 Jumlah Dokter menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2009
No Kabupaten/Kota Dokter Spesialis Dokter Umum Dokter Gigi
Puskesmas Rumah
Sakit Puskesmas Rumah
Sakit Puskesmas Rumah
Sakit
1 Merauke 0 9 33 12 6 3 2 Jayawijaya 0 7 10 10 2 2 3 Jayapura 0 6 19 12 5 2 4 Nabire 0 7 17 9 5 1 5 Kepulauan Yapen 0 8 6 7 2 1 6 Biak Nomfor 0 8 15 14 3 1 7 Paniai 0 2 7 8 0 1 8 Puncak jaya 0 0 5 6 3 1 9 Mimika 0 5 17 18 2 2
10 Boven Digoel 0 n.a 11 n.a 2 n.a 11 Mappi - n.a 21 4 3 1 12 Asmat - 1 21 13 2 1 13 Yahukimo 0 n.a 15 n.a 1 n.a 14 Pegunungan Bintang 0 n.a 10 n.a 0 n.a 15 Tolikara 0 n.a 15 n.a 1 n.a 16 Sarmi 0 n.a 10 n.a 2 n.a 17 Keerom 0 0 12 4 1 4 18 Waropen 0 n.a 2 n.a 0 n.a 19 Supiori 0 n.a 7 n.a 1 n.a 20 Mamberamo Raya 0 n.a 8 n.a 0 n.a 21 Nduga 0 n.a 1 n.a 0 n.a 22 Lanny Jaya 0 n.a 2 n.a 0 n.a 23 Mamberamo Tengah 0 n.a 2 n.a 0 n.a 24 Yalimo 0 n.a 2 n.a 0 n.a 25 Puncak 0 n.a 4 n.a 0 n.a 26 Dogiyai 0 n.a 1 n.a 0 n.a 27 Kota Jayapura 0 45 14 84 7 18
JUMLAH 0 98 287 201 48 35
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Tahun 2009.
Berdasarkan data yang disampaikan Dinas Kesehatan Provinsi, Provinsi Papua masih
kekurangan tenaga bidan. Dengan perhitungan satu bidan satu kampung, provinsi ini masih
127 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
membutuhkan sekitar 2524 bidan, dengan perkiraan sampai tahun 2018 baru dapat terpenuhi.
Demikian halnya dengan tenaga gizi, perawat, tenaga analis, kesehatan lingkungan, farmasi,
perawat gigi, masih memerlukan cukup banyak tenaga untuk mengisi berbagai sarana
pelayanan kesehatan.
Sementara di Provinsi Papua Barat, ketersediaan tenaga medis di provinsi ini juga
menunjukkan kurangnya tenaga pelayanan kesehatan di Provinsi tersebut. Meskipun dari
tahun 2006 sampai tahun 2009 terdapat peningkatan jumlah dokter, kondisi yang ada masih
jauh dari yang dibutuhkan. Dari tabel berikut, terlihat Provinsi Papua hanya memiliki dokter
ahli/spesialis dalam jumlah yang minim. Ketersediaan yang relatif lebih banyak baru terdapat
di Kota Sorong, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Fak-Fak. Tidak mengherankan jika
dijumpai sarana pelayanan kesehatan (puskesmas) yang tidak ada dokternya.
Tabel 4.26 Jumlah Dokter menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2009
NO Kabupaten/Kota Dokter Jumlah
Ahli Umum Gigi
1. Kabupaten Fakfak 3 27 3 33
2. Kabupaten Kaimana - 4 2 6
3. Kabupaten Teluk Wondama - 4 - 4
4. Kabupaten Teluk Bintuni - 5 2 7
5. Kabupaten Manokwari 7 32 7 46
6. Kabupaten Sorong Selatan - 9 1 10
7. Kabupaten Sorong 4 5 - 9
8. Kabupaten Raja Ampat - 12 1 13
9. Kota Sorong 7 10 3 20
Jumlah 21 108 19 148 Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, Tahun 2009
Memperhatikan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan tenaga dokter serta
tenaga kesehatan lainnya, dapat dikatakan bahwa kewajiban untuk memberikan pelayanaan
kesehatan bagi penduduk belum dapat terpenuhi dengan baik. Dengan kondisi Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat yang sangat luas dan memiliki medan yang sulit, kurangnya sarana
pelayanan dan tenaga medis menyebabkan penduduk akan memerlukan biaya yang mahal
untuk menjangkau layanan kesehatan yang ada.
Sementara mengenai masalah kesehatan, terdapat berbagai masalah kesehatan yang ada
di Provinsi Papua. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Papua, masalah tersebut adalah:
tingginya angka kematian ibu dan bayi baru lahir, Sepuluh penyakit terbanyak yakni Malaria,
128 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Diare, ISPA, penyakit kulit, kecacingan, frambusia, TBC, Filarial, Gingivitis, konjungtivitis dan
masalah kesehatan lainnya seperti kebiasaan makan dan gizi buruk, persalinan dan imunisasi
dan terakhir Pola Hidup Bersih Sehat.
Dalam upayanya menanggani permasalahan-permasalahan kesehatan tersebut, dalam
rangka otonomi khusus masing-masing daerah telah melaksanakan berbagai program dan
kegiatan-kegiatan sebagai sarana percepatan pembangunan kesehatan seperti halnya yang
dilaksanakan pada Kabupaten Mimika dan Kabupaten Manokwari.
Upaya pelaksanaan otonomi khusus di bidang kesehatan di Kabupaten Mimika dari tahun
2002-2010, dilakukan dalam berbagai program yang didanai dengan dana otonomi khusus.
Pelayanan kesehatan tersebut ditujukan untuk peningkatan akses dan mutu pelayanan
kesehatan, penanggulangan penyakit, serta peningkatan gizi.
1. Pengadaan obat-obatan dan peralatan medis
Antara lain dilaksanakan pada tahun 2002, 2004, 2005, dan 2009. Pada tahun 2004,
disamping pengadaan obat-obatan, dan peralatan pengobatan, juga dilakukan pengadaan
vitamin, dan vaksin.
2. Pendidikan tenaga kesehatan di Kabupaten Mimika.
Pada tahun 2003 dilaksanakan dengan menelan biaya sejumlah 160 juta rupiah. Tahun
2010 dilakukan program pendidikan DIII Keperawatan/Kebidanan dengan biaya 250 juta
rupiah.
3. Penanggulangan gizi buruk dan pengembangan posyandu di Kabupaten Mimika.
Pada tahun 2003 dilaksanakan dengan menelan biaya sejumlah 153,454 juta rupiah.
Tahun 2005, 2007, dan 2008 dilakukan program pemberdayaan masyarakat untuk
pencapaian keluarga sadar gizi. Sementara di tahun 2009 diadakan pemberian makanan
tambahan bagi ibu hamil, bufas, bayi dan balita. Di samping itu juga dilakukan upaya
penanggulangan kurang energy protein (KEP), anemia, gizi besi, gangguan akibat kurang
yodium, kekurangan vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya.
4. Pencegahan, penanggulangan penyakit menular dan HIV/AIDS di Kabupaten Mimika
Pada tahun 2003 dilakukan dengan dana sejumlah 149,440 juta rupiah. Pada tahun 2004
dilakukan surveilance dan pengamatan penyakit menular juga pemberantasan penyakit
dan penyehatan lingkungan pemukiman. Di samping itu pada tahun 2004 dilakukan
pembangunan sentra pelayanan dan penggunaan serta sosialisasi HIV/AIDS. Upaya lain
dilakukan melalui peningkatan imunisasi dan pencegahan serta pemberantasan penyakit
menular dan wabah.
5. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan di Kabupaten Mimika.
129 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Antara lain dilakukan pada tahun 2003. Selain itu juga dilakukan pengembangan media
informasi dan promosi sadar hidup sehat yang dilaksanakan tahun 2007. Penyuluhan
kesehatan anak dan balita dilakukan tahun 2008.
6. Pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten Mimika.
Kegiatan tersebut antara lain dilakukan pada tahun 2003. Pada tahun 2004 dilakukan
peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat daerah terpencil di Kabupaten Mimika.
Tahun 2005 dilakukan peningkatan pelayanan dan penanggulangan masalah kesehatan.
7. Pelayanan KB dan kesehatan reproduksi
Tahun 2007 dan 2008 diadakan penyediaan pelayanan KB dan alat kontrasepsi bagi
keluarga miskin serta advokasi dan KIE tentang kesehatan reproduksi remaja. Selanjutnya
pada tahun 2008 dilakukan penyuluhan kesehatan bagi ibu hamil dan keluarga kurang
mampu, pertolongan persalinan bagi ibu dari keluarga kurang mampu.
8. Peningkatan pelayanan kesehatan rumah sakit dan rujukan di Rumah Sakit Mimika
9. Pembangunan sarana pelayanan kesehatan
Pada tahun 2003 dilakukan pembangunan polikinik RSUD. Tahun 2005 dilakukan lanjutan
pembangunan RSUD tipe C Kabupaten Mimika serta progam pengadaan peningkatan dan
perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya. Tahun 2007 dilakukan
pengadaan sarana dan prasarana puskesmas serta puskesmas pembantu.
10. Pembangunan rumah dokter sepesialis.
Sementara di Kabupaten Manokwari, pelayanan kesehatan digunakan untuk
peningkatan jangkauan/pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan melalui program
pemberantasan penyakit, pencegahan dan penangggulangan HIV/AIDS, peningkatan SDM di
bidang kesehatan baik medis maupun para medis, pelayanan puskesmas, pelayanan rumah
sakit, dan penyediaan obat-obatan. Upaya pencapaian sasaran Tercukupinya Rasio Dokter,
Puskesmas, Pustu dan Polindes dengan jumlah penduduk melalui peningkatan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, dilaksanakan 6 (enam) program,
yaitu :
1. Program Upaya Kesehatan Masyarakat dan Program Pengadaan Peningkatan dan
Perbaikan Sarana dan Prasarana Puskesmas dan Jaringannya.
Program ini dilaksanakan dengan indikator sasaran yang ingin dicapai adalah
meingkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui kegiatan antara lain pembangunan,
rehabilitasi, peningkatan puskesmas dan jaringannya, penyediaan obat dan perbekalan
kesehatan serta penyediaan biaya operasional puskesmas dan jaringannya.
2. Operasional Puskesmas dan Jaringan serta Gudang Farmasi Kabupaten
130 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran, pemerintah daerah menyediakan dana
operasional untuk 16 puskesmas, 5 puskesmas pembantu plus, 83 puskesmas pembantu,
59 polindes serta 2 puskosdes tersebar di Kabupaten Manokwari.
Selain itu juga disediakan biaya operasional dan handing cost GFK yang digunakan untuk
membiayai biaya pengepakan dan pengiriman obat-obatan yang didistribusikan ke 19
puskesmas, 5 puskesmas pembantu plus, sedangkan untuk puskesmas pembantu dan
polindes pengelola kegiatan selanjutnya menyerahkan biaya untuk pengiriman obat di
puskesmas yang selanjutnya didistribusikan ke puskesmas pembantu dan polindes pada
akhir tahun 2009.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan penanggulangan masalah kesehatan,
pemerintah daerah juga memberikan insentif bagi tenaga medis dan paramedis untuk
tenaga medis PNS, PTT dan tenaga magang yang tersebar di 19 Puskesmas.
3. Pengadaan, Peningkatan dan Perbaikan Puskesmas dan Jaringannya
Untuk memperluas jaringan pelayanan kesehatan, pada tahun 2009 dilaksanakan program
pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas beserta
jaringannya dengan 9 (sembilan) kegiatan diantaranya kegiatan Pembangunan Puskesmas
Pembantu, Pengadaan Sarana dan Prasarana Puskesmas, Pemeliharaan Rutin/Berkala
Sarana dan Prasarana Puskesmas, Pemeliharaan Rutin/Berkala Sarana dan Prasarana
Puskesmas Pembantu, Pemeliharaan Rutin/Berkala Sarana dan Prasarana Puskesmas
Keliling, Pengadaan Rumah Medis dan Paramedis dan lainnya.
4. Program Kesehatan Masyarakat
Pelaksanaan program ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan rujukan
pada RSUD Manokwari, maka pada tahun 2009 dilaksanakan kegiatan pembangunan
gedung perawatan kebidanan tahap II seluas 1.214 M2 .
5. Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular
Program ini dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan vaksinasi Balita dan Anak sekolah,
Peningkatan Surveilance Epidomologi dan Penanggulangan Wabah, Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit Menular, Pelaksanaan Fooging dan Monitoring dan Evaluasi.
Secara umum pelaksanaan kegiatan dapat diuraikan sebagai berikut: Imunisasi,
Penyemprotan/Fooging Sarang Nyamuk, Frambusia, TB Paru, Kusta, Pemberantasan
Filaria, Diare, Pemberantasan ISPA, Pemberantasan Cacing Pita dan Peningkatan Survelian
Epedemologi dan Penanggulangan Wabah.
6. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui 3
kegiatan, dengan indikator kinerja hasil adalah meningkatnya pemhaman masyarakat dan
131 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
anak sekolah tentang kesehatan, terlaksananya penyuluhan dan promosi kesehatan
dilaksanakan melalui kegiatan pengembangan media promosi dan informasi sadar hidup
sehat, dan kegiatan-kegiatan penyuluhan masyarakat pola hidup sehat
Salah satu program yang mendapat perhatian khusus dalam pelaksanaan otonomi
khusus di bidang kesehatan adalah upaya peningkatan gizi. Bahkan secara eksplisit disebutkan
bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota merencanakan dan
melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi, dengan ketentuan lebih
lanjut diatur dengan perdasi. Penekanan ini dilatarbelakangi masalah tingginya angka
prevalensi penderita gizi buruk baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat. Upaya
perbaikan gizi masyarakat pada hakikatnya dimaksudkan untuk menangani permasalahan gizi
yang dihadapi masyarakat. Persoalan gizi ini disebabkan antara lain karena pola hidup yang
kurang sehat, di samping pengetahuan kesehatan yang rendah sehingga masyarakat terutama
para orang tua yang tidak mengerti dan memahami makanan yang harus diberikan kepada
anak-anaknya. Untuk itu, anak-anak yang berusia 0-1 tahun hingga 5 tahun banyak yang
mengalami kurang gizi. Kasus tersebut masih banyak terjadi di Papua maupun Papua Barat
terutama di daerah pedalaman yang jangkauannya sulit.
Tabel 4.27 Persentase Balita Usia 0-59 Bulan Yang Menderita Gizi Kurang dan Buruk
Provinsi Gizi Buruk Gizi Kurang
2005 2007 2010 2005 2007 2010 Papua Barat n.a 6.8 9.1 n.a 16.4 17.4 Papua 13.75 6.6 6.3 17.46 14.6 10 Indonesia 8.80 5.4 4.9 19.24 13 13
Sumber : Badan Pusat Statistik, Indikator Pembangunan Berkelanjutan 2011
Dari tabel di atas terlihat bahwa prevalensi anak-anak yang berusia 0-59 bulan dengan
status gizi kurang dan status gizi buruk masih cukup tinggi. Baik di Provinsi Papua maupun
Provinsi Papua Barat, sampai dengan tahun 2007 kondisinya masih di atas angka nasional.
Namun demikian ada indikasi positif penurunan jumlah balita dengan masalah gizi jika
dibandingkan dengan kondisi tahun 2003 khususnya pada Provinsi Papua.
Pada dasarnya dengan adanya dana otonomi khusus, hal ini membantu pelayanan
kepada masyarakat. Namun kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat yang
ditransformasikan dalam rangka memberikan pelayanan kepada sebagian masyarakat, masih
menjumpai berbagai kendala. Salah satunya belum adanya petunjuk yang jelas, baik berupa
petunjuk pelaksana maupun petunjuk teknis dari pembuat kebijakan, sehingga pelayanan yang
diberikan kepada sebagian masyarakat atau dalam kasus ini masyarakat asli Papua belum
132 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
dapat diberikan secara optimal, seperti diuraikan pada petikan wawancara yang dilakukan oleh
Tim Peneliti :
“Penyelenggaraan otonomi khusus pada bidang kesehatan diarahkan kepada untuk kabupaten/kota misalnya untuk perbaikan gizi dan pencegahan HIV/AIDS, terkait dengan perdasi bidang kesehatan, sudah ada perdasinya yaitu perdasi Nomor 8 tahun 2010 tentang pelayanan kesehatan, tetapi memang baru disosialisasi, dan untuk desain program, selama ini khan sudah ada dengan mengacu kepada SPM kesehatan”
Sebagaimana terlihat dalam wawancara di atas, Perdasi mengenai pelayanan kesehatan
sudah ada yang diterbitkan pada tahun 2010, namun masih dalam tahap sosialisasi. Standar
kesehatan yang ada mengacu pada SPM bidang kesehatan. Namun dari praktek yang ada,
terlihat kurang adanya target pencapaian yang terarah.
Persoalan lain adalah keterlambatan turunnya anggaran otonomi khusus dilapangan
karena anggaran otonomi khusus turunnya selalu akhir tahun. Hal ini mengakibatkan
pelaksanaan di lapangan terburu-buru. Di samping itu ada persoalan di mana dana otonomi
khusus tidak boleh diperuntukkan untuk honor pegawai. Sementara dalam pelaksanaannya
memerlukan dukungan sumber daya manusia. Jika tenaga tidak diperhitungkan maka bisa
menimbulkan masalah.
Sumber daya manusia juga menjadi persoalan yang serius dalam pelaksanaan otonomi
khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Di samping kurangnya tenaga kesehatan yang
ada, persoalan lain terkait sumber daya manusia juga menyangkut lemahnya kemampuan
manajerial dan keuangan. Pemekaran daerah yang selama ini terjadi di Provinsi Papua juga
terkait dengan kelemahan ini pada kasus-kasus di mana sumberdaya manusia yang memadai
tidak tersedia.16
16 Wawancara dengan Drg. Josef Rinta, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, 18 Oktober 2011
Kewajiban memberikan pelayanaan kesehatan bagi penduduk belum dilaksanakan secara memadai, masyarakat masih mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan. Terdapat berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk, namun masih belum optimal. Demikian halnya dengan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, meski ada indikasi penurunan secara makro, namun angka penderita gizi buruk dan kurang masih signifikan di kedua provinsi. Peningkatan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, perlu terus ditingkatkan karena kondisinya masih sangat kekurangan, khususnya pada daerah-daerah yang sulit dijangkau dan daerah pemekaran. Sumber Daya Manusia juga menjadi persoalan yang serius dalam pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Di samping kurangnya tenaga kesehatan yang ada, persoalan lain terkait sumber daya manusia juga menyangkut lemahnya kemampuan manajerial dan keuangan. Selama ini implementasi otonomi khusus di bidang kesehatan belum diatur dengan perdasus. Perdasus pelayanan kesehatan baru ditetapkan tahun 2010 dan belum tersosialisasikan dengan baik. Perdasus ini perlu menjadi acuan dalam pelaksanaan ke depan, dan dilakukan dengan standar pencapaian yang jelas.
133 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
d. Pembangunan Infrastruktur Wilayah Papua yang sedemikian luas ini dengan kondisi geografis yang berbukit-bukit
mengakibatkan sebagian besar penduduk masih hidup terisolir di daerah terpencil yang sulit
dijangkau lewat transportasi darat. Oleh sebab itu transportasi di Papua adalah membutuhkan
biaya besar. Sementara penerbangannya juga dipengaruhi oleh keadaan cuaca. Keterisolasian
penduduk masih menjadi masalah. Persoalan infrastruktur lain yang perlu menjadi perhatian
adalah masih banyak penduduk yang belum dapat mengakses air bersih dan listrik yang
memadai.
Dalam pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, meski tidak
secara eksplisit disebut sebagai kewenangan khusus, pembangunan infrastruktur mendapat
perhatian dengan adanya arahan untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam
implementasi otonomi khusus. Selanjutnya pendekatan kebijakan baru bagi Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat (the new deal policy for Papua) juga menekankan pada peningkatan
infrastruktur dasar guna meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil, pedalaman dan
perbatasan negara.
Komitmen tersebut ditunjukkan dengan diberikannya dana tambahan infrastruktur sejak
tahun 2008. Adapun bentuk pemanfaatan dana tersebut sangat bergantung pada kebutuhan
dan kondisi daerah yang bersangkutan. Dengan adanya tambahan sumber daya finansial yang
khusus ini Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat diharapkan dapat melaksanakan
kebijakan pembangunan infrastruktur di kedua provinsi tersebut.
Pemanfaatan dana otonomi khusus dalam bidang infrastruktur di berbagai kabupaten
dapat digambarkan sebagai berikut.
1) Kabupaten Biak Numfor
Pembangunan bidang infrastruktur dilaksanakan dalam sejumlah program seperti:
a) Program perumahan
Program ini dilakukan dengan membangun perumahan masyarakat kepulauan
sebanyak 117 unit serta pembangunan perumahan masyarakat daerah biak daratan
sebanyak 36 unit pada tahun 2008. Selanjutnya pada tahun 2009 dilakukan kembali
pembangunan perumahan masyarakat kepulauan sebanyak 90 unit dan
pembangunan perumahan masyarakat daerah biak daratan sebanyak 36 unit.
Program lain adalah pembangunan rumah layak huni Tipe 40 sebanyak 80 unit pada
tahun 2010 dan Tipe 45 sebanyak 82 unit pada tahun berikutnya.
b) Program Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan dan Jembatan
Dilakukan rehabilitasi/pemeliharaan jalan 22 ruas jalan lebar ruas jalan 4 meter.
Anggaran juga dialokasikan untuk perencanaan dan pengawasan.
c) Program Pembangunan Jaringan Air, Saluran Drainase/Gorong-Gorong
134 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Dilakukan pemasangan jaringan air bersih.
d) Program Peningkatan Jalan
Program ini antara lain pelebaran dua jalur jalan majapahit sepanjang 977 m.
e) Program Pengendalian dan Pengamanan Lalu Lintas
Program ini antara lain pembangunan Median jalan majapahit sepanjang 612 m.
2) Kabupaten Jayapura
a) Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur
Tahun 2008 dilakukan pembangunan asrama putri mahasiswa Jayapura di Padang
Bulan, pembangunan asrama mahasiswa manokwari, dan pemeliharaan gedung
asrama mahasiswa Manado. Anggaran juga dialokasikan untuk kegiatan perencanaan
dan pengawasan pembangunan asrama. Tahun 2009 dilakukan pembangunan pagar
Asrama Mahasiswa Putri Jayapura di Manokwari dan lanjutan pembangunan Asrama
Mahasiswa Putri Kabupaten Jayapura di Kotaraja.
b) Program Pembangunan Jalan dan Jembatan
Dilakukan pembangunan Jalan Dormega-Yongsu di Distrik Ravenirara, pembangunan
Jalan Demta-Bukisi-Maribu di Distrik Yokari , dan pembangunan jalan SP.V-Kwarja di
Distrik Yapsi. Selain itu juga dilakukan pembangunan Jembatan Kali Tablanusu I dan II
di Distrik Deprare.
c) Program Pembangunan Perumahan
Program yang pernah dilakukan antara lain : pembangunan Rumah Sederhana Sehat
di Kampung Aurina Distrik Airu, pembangunan Rumah Masyarakat di Kampung
Tablasu Distrik Depapre, dan pembangunan Rumah Sederhana Sehat di distrik
depapre. Selain itu juga dilakukan pembangunan MCK di Kampung Yakonde Distrik
Walibu dan pembangunan MCK di Kampung Albar Distrik Ebungfau.
d) Program Pembangunan Drainase
Pembuatan Drainase dilakukan pada Bahu Jalan Depapre-Dormena
e) Program Pembangunan Jaringan Air Bersih
Pembangunan jaringan air bersih yang pernah dilakukan antara lain: pembangunan
sarana air bersih di Kampung Sinngri di Distrik Nimboran, Pembangunan sarana air
bersih di kampung indokesi di Distrik Yokari, pembangunan sarana air bersih di
kampung Sosiri di Distrik Walibu, dan pembangunan sarana air bersih di Kelurahan
Sentani Kota.
f) Program Pembangunan dan Rehabilitasi Jalan
135 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Jayapura mempergunakan dana otonomi khusus
untuk peningkatan lapangan parkir Tablasu Distrik Depapre serta penimbunan
Lapangan Parkir Sebelah Barat Jl. Masuk FDS. Kedua program ini dimasukkan dalam
kategori pembangunan dan rehabilitasi jalan.
3) Kabupaten Mimika
a) Peningkat an jalan
Peningkatan jalan antara lain dilakukan di jalan Kokonao di distrik Mimika Barat
berupa paving block, dari tahun 2007. Pada tahun-tahun berikutnya sampai dengan
tahun 2011, program ini masih dilakukan pada jalan yang sama. Anggaran juga
digunakan untuk pengawasan peningkatan jalan tersebut.
b) Pembersihan dan penataan alur sungai
Tahun 2010 dilakukan pengerukan sungai yang menelan dana mencapai 1,412 miliar
rupiah.
c) Peningkatan fasilitas keselamatan lalu lintas jalan
Tahun 2002 dilakukan peningkatan fasilitas keselamatan lalu lintas jalan yang
menelan dana mencapai 1 miliar rupiah.
d) Pembangunan pemukiman masyarakat lokal
Pembangunan pemukiman masyarakat lokal dilakukan dengan menelan dana
mencapai 728,819 juta rupiah.
e) Penanganan bencana alam banjir
Tahun 2003 dilakukan penanganan bencana alam banjir di kabupaten mimika dengan
dana mencapai 5,150 miliar rupiah.
f) Operasi dan pemeliharaan pengairan
Tahun 2003 dilakukan operasi dan pemeliharaan pengairan di Kabupaten Mimika
dengan dana sejumlah 425 juta rupiah.
g) Pembuatan rumah jabatan camat
Tahun 2002, pembangunan rumah jabatan camat yang menelan dana sebesar 1,195
miliar rupiah dilakukan dengan mempergunakan dana otonomi khusus dan
dikategorikan dalam pembangunan infrastruktur
h) Pembangunan kantor
Tahun 2003 dilakukan pembangunan kantor BP3D Kabupaten Mimika. Pembangunan
ini menelan dana sebesar 1,8 miliar rupiah.
4) Kabupaten Sorong Selatan
136 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
a) Pembangunan dan peningkatan jalan dan jembatan
Pembangunan jalan yang telah dilakukan antara lain pembangunan Jalan Sesna-
Boldon-Wehali, dan pembangunan Jalan Inspeksi ke TPA, serta pambangunan jalan
lingkungan.
Untuk upaya peningkatan jalan, dilakukan peningkatan Jalan SP II – Wardik, serta alih
trase Jalan Sodrofoyo-Elles.
b) Pembangunan jaringan air bersih, drainase dan peningkatan saluran irigasi.
Antara lain dilakukan pembangunan jaringan air bersih dan peningkatan saluran
irigasi Moswaren. Contoh lain adalah pengadaan aksesoris jaringan air bersih (Kota).
c) Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan
Program yang telah dilaksanakan antara lain: pembangunan Jalan Lingkungan
sepanjang 2,0 km dan pembangunan Jaringan Air Bersih di SP II Hasik Jaya dan
Pengadaan Pipa. Selain itu juga dilakukan peningkatan jalan di berbagai lokasi, yakni
peningkatan Jalan Lingkungan Jalan Masuk Kampung SD Sengguer, Kampung
Sengguer, Kampung Gorolo, jalan lingkungan Asrama SMA/SMP, jalan lingkungan
Asrama Distrik Kais, jalan lingkungan Kampung Kami Sabe, jalan lingkungan jalan
lingkungan Kampung Aibobor, jalan lingkungan Kampung Wehali, jalan lingkungan
Kampung Any, jalan lingkungan Kampung Sodrofoyo, jalan lingkungan menuju TK
Aisya, jalan lingkungan Warkawar, Pembangunan Jaringan Air Bersih di SP II Hasik
Jaya dan Pengadaan Pipa, Perencanaan dan Pengawasan Teknik Jalan dan Jembatan,
Pembangunan Jalan lingkungan di Inanwatan.
d) Program Pembangunan, Peningkatan, dan Pemeliharaan Transportasi Air
Program yang telah dilakukan antara lain : normalisasi Sungai Kaswesi dan
normalisasi Sungai Tarof. Selain itu juga dilakukan pembangunan Dermaga Kais
(Tahap IV) dan Dermaga Kayu Kokoda III. Upaya lain termasuk peningkatan
pelabuhan rakyat Wesimar.
e) Program Pembangunan, Peningkatan, dan Pemeliharaan Transportasi Udara
Terkait transportasi udara, pada tahun 2010 dilakukan peningkatan Perpanjangan
Run Way Bandara udara Terminabuan Tahap III.
f) Program Pembangunan, Peningkatan, dan Pemeliharaan Transportasi Darat
Untuk meningkatkan akses transportasi darat, dilakukan pembangunan Terminal
Penumpang Angkutan darat Dalam Kota Terminabuan.
5) Kabupaten Manokwari
137 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Pendanaan bidang infrastruktur diarahkan untuk penyediaan infrastruktur strategis,
termasuk prasarana dan sarana sosial ekonomi yang mendukung peningkatan pelayanan
publik, terutama masyarakat lokal di wilayah terpencil. Tahun mendapatkan porsi sebesar
11,16 dari dana otonomi khusus atau sebesar Rp 10.194.665.250. Jumlah tersebut lebih
kecil dari jumlah pada tahun 2009 yang mencapai lebih dari 11 miliar. Namun dibanding
tahun-tahun sebelum 2009 ada peningkatan yang cukup signifikan.
Alokasi dana Otonomi Khusus pada bidang infrastruktur digunakan untuk menunjang
penerobosan isolasi daerah melalui penyediaan prasarana jalan, penanganan abrasi pantai
dan normalisasi air sungai, serta pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro di
Kebar dan Taige. Program yang dijalankan antara lain
a) Pembangunan jalan dan jembatan terdiri dari pembangunan jalan Sakumi-Neney 4,65
km, jalan Demaisi-Hingk sepanjang 2 km, serta jalan Kampung Inggramui sepanjang
0.3 km.
b) Pembangunan Talud/Turap/Bronjong, terdiri dari pembangunan talud abrasi pantai di
Arfai, distrik Manokwari Selatan.
c) Pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau, dan sumberdaya air
lainnya, terdiri dari normalisasi sungai Arupi sepanjang 100 meter, normalisasi Sungai
Membowi sepanjang 100 meter, dan talud pengaman kantor lurah Sanggeng sepanjang
65 meter.
d) Pembangunan listrik pedesaan, terdiri dari pembangunan listrik tenaga mikrohidro di
Distrik Kebar dan penyediaan sarana listrik perkampungan lainnya.
Pembangunan infrastruktur dasar sebagai upaya penerobosan isolasi daerah yang
diharapkan akan mempermudah aksesibilitas antara ibu kota kabupaten dengan ibukota
distrik serta kampung. Disamping itu diharapkan dengan membangun infrastruktur dasar
wilayah, yang meliputi prasarana jalan dan jembatan untuk mengembangkan sentra industri
dan produksi pangan, pusat-pusat permukiman penduduk, membuka isolasi daerah, dan
membangun prasarana jaringan irigasi untuk mendukung ketahanan pangan, serta
menyediakan prasarana air minum, sanitasi, drainase dan air limbah, kesejahteraan
masyarakat di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat akan meningkat.
Namun mencermati berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah di atas,
ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pemanfaatan dana otonomi khusus bagi
bidang infrastruktur. Ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur yang
dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah yang upaya
mempermudah aksesibilitas. Hal ini khususnya tampak pada awal pelaksanaan otonomi
khusus, dimana pemerintah daerah menggunakan dana otonomi khusus untuk infrastruktur
138 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
yang tidak strategis bagi penerobosan keterisolasian. Misalnya saja dengan pembangunan
rumah dinas camat atau sarana pemerintahan. Seyogyanya kebutuhan tersebut dibangun
dengan dana APBD yang bukan bersumber dari dana otonomi khusus. Hal semacam ini
menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan
dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam
pemanfaatan dana otonomi khusus. Perkembangan selanjutnya, pada beberapa tahun terakhir
terlihat ada sasaran yang lebih tepat sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Sorong Selatan. Namun demikian pada beberapa tahun terakhir masih juga dijumpai upaya
pembangunan infrastruktur yang kurang strategis sebagaimana diharapkan.
Program pembangunan infratruktur salah satunya juga dijalankan melalui pemanfaatan
dana otonomi khusus dalam program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK).
Program ini merupakan pembangunan masyarakat berbasis kampung. Program ini mencakup
berbagai potensi, bukan hanya infrastruktur, tetapi semua, misalnya perbaikan gizi dan
ekonomi. Hal ini karena berkaitan dan juga ditujukan dalam rangka meningkatkan ekonomi
secara holistik. Dana yang dialokasikan dalam program RESPEK ini merupakan sebagian dari
dana otonomi khusus yang diterima Provinsi di luar dana yang dialokasikan ke pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Program ini juga termasuk pemberdayaan
masyarakat kampung tetapi dengan satu posisi peran aktif dari para pendamping. Seluruh
kampung menerima dana tunai langsung (block grant) rata-rata sebesar Rp 100 juta
rupiah. Di Provinsi Papua, pada tahun 2007 dana untuk program RESPEK telah digulirkan
pemerintah Provinsi sebesar lebih dari 411 miliar rupiah. Tahun berikutnya mencapai lebih
dari 1,2 triliun, di mana berbeda dari tahun sebelumnya total dana ini mencakup juga
infrastruktur (sumber: Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi
Papua). Tahun 2009 sejumlah 320 miliar digulirkan untuk mendanai RESPEK di Provinsi
Papua. Tahun 2010 ditingkatkan menjadi 350 miliar dan pada 2011 menjadi 457 miliar.
Sementara di Provinsi Papua Barat, Pemerintah Provinsi Papua Barat mulai menyalurkan dana
RESPEK pada tahun 2009 sejumlah 122 miliar rupiah. Kemudian pada tahun 2010 menjadi
136,7 miliar rupiah dan menjadi 136,6 miliar rupiah pada tahun 2011.
Untuk hasil-hasil yang dicapai melalui program RESPEK ini memerlukan pengkajian lebih
lanjut. Namun demikian bagaimana argumen yang digunakan untuk mengalokasikan dana
RESPEK tersebut perlu menjadi catatan khusus. Bagaimana pengelolaannya perlu mendapat
perhatian untuk diperbaiki.
Terdapat sejumlah masalah yang mewarnai pelaksanaan pembangunan infrastruktur
dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di antaranya
menyangkut masalah geografis, di mana sebagian wilayah lokasi merupakan medan yang sulit.
139 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Hal ini antara lain menimbulkan kesulitan dalam memobilisasi alat. Sebagaimana yang
dijumpai pada sektor lainnya, pendanaan untuk program infrastruktur juga banyak mengalami
keterlambatan pencairan, sehingga pekerjaan lambat dimulai. Di sisi lain kontraktor lokal rata-
rata kemampuan dasarnya masih terbatas, untuk memulai pekerjaan harus menunggu
pencairan uang muka pekerjaan sebesar 20-30%. Masalah semacam ini menjadi salah satu
kendala yang dihadapi pemerintah daerah. Masalah lain terkait dengan pembebasan tanah.
Sebagian wilayah terkendala pembebasan tanah ulayat/adat milik masyarakat. Masalah
pertanahan ini juga mengakibatkan mahalnya biaya pembangunan infrastruktur.
Salah satu aspek pembangunan infrastruktur yang utama di Provinsi Papua adalah
penyediaan dan pembangunan jalan. Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang penting
untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Tersedianya jalan yang berkualitas akan
meningkatkan usaha pembangunan khususnya dalam upaya memudahkan mobilitas penduduk
dan memperlancar lalu lintas barang dan jasa dari suatu daerah ke daerah lain.
Progres pembangunan jalan di Provinsi Papua dari tahun 2006-2010 menunjukkan
adanya fluktuasi (peningkatan dan penurunan) sebagaimana grafik berikut:
Gambar 4.29 Panjang Jalan Menurut Statusnya di Provinsi Papua (km) tahun 2006-2010
Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2006-2010
Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa panjang jalan nasional, provinsi maupun
kabupaten/kota terlihat mengalami peningkatan dan penurunan meskipun jumlahnya tidak
terlalu drastic. Pada tahun 2006 misalnya, jalan nasional yang menghubungkan antar daerah
tercatat sebesar 1.848,25 km, namun pada tahun 2007 dan 2008 panjang jalan nasional
ternyata mengalami penurunan sebesar 53,3 km (2,90%) menjadi 1.794,95 km. Demikian pula
pada level jalan provinsi pun mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2008 dari 1.562 km
menjadi 1.400,63 km atau turun sebanyak 161,5 km (10,33%).
140 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Tabel 4.28 Panjang Jalan Menurut Status Jalan di Provinsi Papua
Status
Tahun
2006 2007 2008 2009 2010
Jalan Nasional 1848,25 1794,95 1794,95 2072,36 2072,36 Jalan Provinsi 1562,13 1400,63 1400,63 1498,68 1498,68 Jalan Kabupaten/Kota 13488,33 12131,78 12131,78 12131,78 12131,78
Jumlah 16898,71 15327,36 15327,36 15702,82 15702,82 Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2006-2010.
Pada level jalan kabupaten/kota, penurunan panjang jalan terjadi sepanjang tahun mulai
tahu 2007 sampai dengan tahun 2010, yaitu sebesar 1.356,55 km atau sebesar 10,06%, dari
13.488,33 km menjadi 12.131,78 km. Kondisi penurunan panjang jalan kabupaten/kota ini
mengindikasikan beberapa hal, misalnya pemerintah kabupaten/kota kurang memberikan
perhatian yang cukup pada operasi dan pemeliharaan jalan yang menjadi tanggung jawabnya.
Disamping, kurang teralokasikannya anggaran daerah untuk membangun jalan yang baru.
Selanjutnya dari sisi permukaan jalan, ternyata panjang jalan yang diaspal sangat sedikit
jika dibandingkan dengan jumlah panjang jalan yang ada di Provinsi Papua. Data menunjukkan
bahwa kegiatan pengerasan jalan masih menjadi permasalahan serius.
Tabel 4.29 Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan
di Provinsi Papua Tahun 2006-2010
Permukaan jalan
Tahun
2006 2007 2008 2009 2010
Diaspal 3221,88 932,78 1596,98 1522,61 1522,61 Kerikil 4456,92 374,55 374,55 697,64 697,64 Tanah 6131,03 93,3 1496,6 1189,8 1189,8 Tdk Dirinci 0 0 101 126,15 126,15
Jumlah 15815,83 3407,63 5577,13 5545,2 5546,2 Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010.
Tabel di atas memperlihatkan jumlah panjang jalan yang diaspal pada tahun 2006
sepanjang 3221,88 km mengalami penurunan menjadi 932,78 km pada 2007. Kondisi jalan
yang diaspal mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008 menjadi 1596, 98 atau
sepanjang 664,20 km (41,60%). Ini merupakan progress luar biasa, karena kenaikannya
mencapai lebih dari 50%. Namun kondisi ini kembali turun pada tahun 2009 dan 2010 menjadi
1.522,61 km atau sepanjang 74,37 km (4,70%). Kondisi permukaan jalan di Provinsi Papua
dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut:
Gambar 4.30 Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan di Provinsi Papua
141 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010
Kondisi serupa nampak pada permukaan jalan kerikil dimana terjadi penurunan pada tahun
2007 dan 2008 sepanjang 82,37 km atau sebesar 18,03%, demikian pula untuk jalan tanah
pada tahun 2007 sepanjang 37,73 km atau sebesar 28,80%.
Tabel 4.30 Kondisi Jalan di Provinsi Papua
Kondisi Jalan Tahun
2006 2007 2008 2009 2010
Baik 112,5 405,95 1461 1356,6 1356,6 Sedang 0 0 587,88 731,87 731,87 Rusak 97,25 579,77 770,14 716,06 716,06 Rusak berat 16 414,91 849,78 640,32 640,32 Tidak dirinci 0 0 204 126,15 126,15
Jumlah 2231,75 3407,63 5880,8 5580 5581
Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010.
Kondisi jalan yang baik di Provinsi Papua mengalami peningkatan dari waktu ke waktu,
meskipun jumlah peningkatanya masih relatif kecil. Pada tahun 2006 misalnya, panjang jalan
dalam kondisi baik sepanjang 112,5 km meningkat menjadi 405,95 km pada tahun 2007.
Kondisi tersebut terus membaik pada tahun 2008 menjadi 1.461 km. Namun pada tahun 2009
dan 2010, kondisi jalan dalam kondisi baik mengalami penurunan menjadi 1.356, 60 km atau
menurun sebesar 7,14%. Jika digambarkan dalam grafik, maka kondisi jalan di Provinsi Papua
terlihat sebagai berikut:
Gambar 4.31 Perkembangan Kondisi Jalan di Provinsi Papua Tahun 2006-2010
142 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sumber: BPS Provinsi Papua
Pembangunan dan pemeliharaan jalan di Provinsi Papua dapat dikatakan masih belum
memperoleh perhatian yang proporsional dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Minimnya perhatian dan alokasi
anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaan pasarana jalan ini akan menyebabkan
semakin lamanya upaya pemerintah provinsi dalam rangka membuka isolasi antardaerah di
Provinsi Papua.
Disamping prasarana jalan, infrastruktur yang tak kalah pentingnya adalah jembatan
yang menghubungkan antarwilayah/daerah dikarenakan keberadaan sungai dan atau
hamparan lainnya yang memerlukan jembatan. Panjang prasarana jembatan di Provinsi Papua
terlihat pada grafik berikut:
Gambar 4.32 Perkembangan Panjang Jembatan di Provinsi Papua Tahun 2006-2010
143 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010.
Dari grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa panjang jembatan di Provinsi Papua masih
didominasi oleh jembatan kayu. Hal ini berarti bahwa pembangunan jembatan beton dan
jembatan baja masih sangat diperlukan penambahan dari tahun ke tahun untuk mengantisipasi
medan wilayah Papua yang sangat berat.
Namun yang terjadi pada tahun 2007-2010 justru sebaliknya, yakni terjadi penurunan di
hampir semua jenis jembatan di Provinsi Papua, kecuali jembatan baja yang meningkat dari
10.428 km menjadi 10.974,8 km. Dari grafik terlihat terjadi peningkatan pada panjang
jembatan baja sepanjang 546,8 km atau sebesar 5%. Angka ini bertahan hingga tahun 2010
atau tidak terdapat kenaikan selama kurang lebih 4 tahun.
Pada infrastruktur pelabuhan udara di Provinsi Papua ternyata belum menunjukkan
kondisi yang optimal. Sampai tahun 2010 dilaporkan sebanyak 13 bandara yang terdapat di
Provinsi Papua dalam memberikan layanan kepada penduduk Papua dan non Papua.
Gambar 4.33 Perkembangan Jumlah Bandara di Provinsi Papua
144 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sumber : BPS Provinsi Papua, Tahun 2011
Untuk Papua Barat, Pembangunan jalan merupakan salah satu prioritas penting dalam
rangka membuka isolasi daerah di Provinsi Papua Barat. Hal tersebut disampaikan Kepala
BP3D Provinsi Papua bahwa salah satu misi pembangunan Provinsi Papua Barat adalah
meningkatkan ekonomi kerakyatan dengan membuka akses jalan antardaerah. Tabel berikut
menjelaskan kondisi panjang jalan di Provinsi Papua Barat pada 2006-2010.
Tabel 4.31 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Status Jalan
di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010
Status Jalan Tahun
2006 2007 2008 2009 2010
Nasional 345,31 615,81 635,81 1168,16 412,31 Provinsi 488,47 686,175 693,175 973,28 938,48 Kab/Kota 1121,65 3882,222 4071,222 3784,84 4378,43 Jumlah 1955,43 5184,207 5400,207 5926,28 5729,22
Sumber; BPS Provinsi Papua Barat, Tahun 2010.
Tabel di atas menunjukkan panjang jalan di Provinsi Papua Barat yang menunjukkan
peningkatan dari waktu ke waktu. Pada 2006 total panjang jalan adalah 1955,43 km bertambah
menjadi 5184,207 pada 2007 atau meningkat sebesar 62,28%. Panjang jalan baik jalan
nasional, jalan provinsi maupun jalan kabupaten/kota terus mengalami penambahan,
diantaranya pada tahun 2008 menjadi 5.400, 207 km atau sebesar 4%, dan kembali bertambah
pada 2009 menjadi 5.926,28 km atau sebesar 8,88%. Pada tahun 2010, kondisi panjang jalan di
145 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Provinsi Papua Barat tercatat sepanjang 5.729,22 km atau mengalami penurunan sebesar
3,33%. Gambaran fluktuasi pembangunan dan pemeliharaan jalan di Provinsi Papua Barat
terlihat pada gambar berikut:
Gambar 4.34 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Statusnya di Provinsi Papua Barat (km) Tahun 2006-2010
Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, Tahun 2010
Adapun kondisi permukaan jalan di Provinsi Papua Barat pun menunjukkan kondisi
positif, meskipun belum optimal. Peningkatan panjang jalan yang diaspal terlihat pada tahun
2007 yakni dari 875,98 km menjadi 1.137,31 km atau sebesar 4,41%. Panjang jalan yang
diaspal kembali bertambah pada tahun 2008 dan 2009 yaitu menjadi 1.164,85 km dan 1.448,24
km atau masing-masing sebesar 0,50% dan 4,80%.
Tabel 4.32 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan
di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010 Permukaan jalan Tahun
2006 2007 2008 2009 2010 Diaspal 875,98 1137,31 1164,885 1448,24 1328,49 Kerikil 1036,7 2226,394 2371,201 1887,37 1639,25 Tanah 1094,59 1803,953 1688,171 2220,56 2222,13 Tidak Dirinci 7,5 16,55 141,45 350,11 539,35
Jumlah 5020,77 7191,207 7373,707 7915,28 7739,22 Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, Tahun 2010.
Kondisi permukaan jalan yang dikeraskan (kerikil) juga mengalami peningkatan antara
tahun 2007-2008 dari 1.036,7 km menjadi 2.226,394 km (20,07%) pada 2007 dan menjadi
2.371,01 km (2,44%) pada 2008. Namun, kondisi permukaan jalan kerikil ini mengalami
146 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
penurunan menjadi 1.887,37 km (8,16%) pada 2009 dan kembali turun menjadi 1.639,25 km
(4,19%) pada 2010.
Gambar 4.35 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan
Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010
Sumber: BPS Papua Barat, Tahun 2010
Gambar di atas menunjukkan panjang jalan dengan permukaan kerikil dan tanah masih
mendominasi kondisi jalan di Papua Barat. Angka tertinggi terlihat pada permukaan jalan
kerikil sepanjang 2.226,394 km dan permukaan jalan tanah sepanjang 2.222,13 km. Hal ini
menjadi tantangan bagi pemerintah provinsi dalam membuka isolasi daerahnya.
Selanjutnya, terkait dengan infrastruktur transportasi, pada 2006 Papua Barat memiliki
6 bandara yakni Bandara Torea (Fak Fak), Bandara Utarum (Kaimana), Bandara Wasior (Teluk
Wondama), Bandara Bintuni (Teluk Bintuni), Bandara Rendani (Manokwari) dan Bandara Deo
(Sorong) serta Bandara Teminabuan pada tahun 2007.
Gambar 4.36 Jumlah Pelabuhan Udara di Provinsi Papua Barat
147 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sumber; BPS Provinsi Papua Barat, tahun 2010
Dari gambar diatas tersebtu terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah pelabuhan
udara pada Provinsi Papua Barat, bila dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/Kota yang ada
pada Provinsi Papua Barat yaitu sebanyak 11 Kabupaten/Kota termasuk juga daerah
pemekaran baru artinya dengan peningkatan pada tahun 2010 yaitu sebanyak 7 (tujuh)
pelabuhan udara, sebagian Kabupaten/Kota tersebut telah memiliki Pelabuhan Udara.
Mengingat kondisi geografis Provinsi Papua Barat yang tidak seperti daerah Jawa
umumnya, Pelabuhan udara menjadi infrasrtuktur yang sangat stratagis (selain jalan) dalam
upaya menembus keterisoliran suatu daerah. Ke depan pembangunan infrastruktur pelabuhan
udara/bandara diharapkan harus menjadi prioritas atau paling tidak setiap kabupaten/Kota di
Provinsi ini memiliki pelabuhan udara.
e. Kependudukan dan Ketenagakerjaan Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua. Pasal 61 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengamanatkan perlunya penanganan kependudukan untuk
mempercepat terwujudnya pemberdayaan peningkatan kualitas dan partisipasi orang asli
Papua dalam semua sektor pembangunan.
Salah satu masalah kependudukan di Papua sangat berbeda dengan permasalahan pokok
kependudukan Nasional, berkisar pada persoalan kepadatan dan pertumbuhan penduduk.
Dengan wilayah yang sangat luas sementara jumlah penduduk yang sedikit menyebabkan
Pembangunan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat telah dilaksanakan dalam berbagai bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik. Namun ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah yang upaya mempermudah aksesibilitas. Hal ini menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Implementasi pembangunan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat juga diwarnai berbagai masalah mulai dari masalah teknis pendanaan yang mengalami keterlambatan, kondisi medan geografis yang sulit, dan kendala pembebasan tanah ulayat.
148 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
tingkat kepadatan yang sangat rendah. Permasalahan kependudukan di Papua lebih
dihadapkan pada masalah penyebaran penduduk antara Kota-Desa/Kampung dan pola tinggal
yang tersebar dalam kampung-kampung kecil yang terpisah sangat jauh.
Sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini, distribusi penduduk di Provinsi Papua
sebagian besar terkonsentrasi di kota Jayapura. Distribusi penduduk yang terendah di
Kabupaten Supiori dengan jumlah penduduk sebanyak 15874 jiwa. Sementara di Provinsi
Papua Barat, pada grafik 4.38 distribusi penduduk terbesar terdapat di Kota Sorong dan
Kabupaten Manokwari. Distribusi penduduk yang terendah di Kabupaten Tambraw yang
merupakan daerah pemekaran dengan jumlah penduduk sebanyak 6144 jiwa.
Gambar 4.37 Peta Distribusi Sebaran Penduduk
di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2010
Gambar 4.38 Peta Distribusi Sebaran di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010
149 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Kabupaten/kota di Provinsi Papua pada umumnya memiliki kepadatan penduduk yang
rendah. Dari grafik kepadatan penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua, dapat
disaksikan bahwa pada umumnya kabupaten di Provinsi Papua memiliki kepadatan penduduk
kurang dari 10 orang per km². Beberapa kabupaten seperti Kabupaten Biak Numfor dan Lanny
Jaya memiliki kepadatan penduduk lebih dari 50 orang per km². Kota Jayapura relatif cukup
padat dengan kepadatan 326.52 orang/km². Kondisi geografis yang cukup luas dan sulit
dijangkau juga menjadikan masalah dalam hal ini. Para pendatang umumnya berada di Kota
Jayapura, sehingga kepadatan penduduk di Kota ini sangat jauh berbeda dari daerah lainnya di
samping karena kota ini merupakan pusat pemerintahan provinsi dan berbagai aktivitas
ekonomi.
Gambar 4.39 Peta Kepadatan Penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2010
Sementara di Provinsi Papua Barat, kondisi kepadatan penduduk juga rendah. Dari
gambar kepadatan penduduk di kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat berkisar antara 1.19
150 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
orang per km2 sampai 290.3 orang/km2. Kepadatan terendah di Kabupaten Tambraw
sementara yang teringgi adalah Kota Sorong. Namun demikian secara umum kepadatan
penduduk di Provinsi Papua Barat sampai dengan tahun 2010 pun masih kurang dari 10 orang
per km2. Hanya Kabupaten Manokwari kepadatan penduduk 13.7 orang per km2 dan Kota
Sorong yang kepadatannya melebihi 10 orang per km2.
Gambar 4.40 Kepadatan Penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010
Kondisi ini berimbas pada pelayanan bagi masyarakat, baik di Provinsi Papua maupun
Papua Barat. Bukan saja menyulitkan jangkauan pemberian layanan bagi masyarakat, namun
juga menjadi kendala bagi efisiensi penyediaan layanan publik.
Persoalan lain berkaitan penduduk asli Papua. Pemerintah Daerah mencatat bahwa
orang asli Papua sebagai penduduk tetap di wilayah Provinsi Papua mengalami pertumbuhan
yang sangat lambat dan memprihatinkan karena tidak adanya kebijakan pembangunan di
bidang kependudukan yang memberikan perlindungan terhadap keberaaan orang asli Papua.
Masuknya penduduk luar Papua tanpa melalui pendendalian dan penertiban yang benar telah
berdampak pada munculnya kesenjangan sosial antara penduduk luar dengan orang asli Papua.
Di samping itu hal ini juga berdampak pada kurang terlindunginya hak-hak sebagai orang asli
Papua. Dari sisi tingkat kesehatan juga berpengaruh terhadap kondisi kependudukan di Papua.
151 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Tingginya angka kematian ibu dan anak menyebabkan lambatnya perkembangan orang asli
Papua. Berangkat dari hal ini, Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Peraturan Daerah
Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan.
Secara umum kebijakan ini mencakup Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah,
baik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, Hak dan Kewajiban Penduduk Orang Asli
Papua dan Bukan Asli Papua, Pengendalian Penduduk, Penertiban Penduduk, Pertumbuhan
Penduduk Orang Asli Papua, Administrasi Kependudukan, dan Ketentuan Pidana terhadap
pelanggaran yang dilakukan.
Melalui kebijakan ini Pemerintah Provinsi berwenang membatasi masuknya penduduk
luar ke wilayah Provinsi Papua. Disebutkan bahwa setiap orang asli Papua berhak
mendapatkan KTP khusus yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Orang asli
Papua juga wajib melapor kepada pemerintah kampung, pemerintah kelurahan, dan atau
lembaga agama setempat atas setiap peristiwa kelahiran dan kematian atau peristiwa penting
lainnya yang dialami, melaporkan perkawinannya kepada instansi pemerintah daerah yang
berwenang untuk dicatat dalam buku induk perkawinan dan pemberian akta perkawinan, serta
wajib melaporkan pengangkatan anak yang dilakukan.
Sementara itu untuk penduduk bukan asli Papua yang datang ke wilayah Papua untuk
kegiatan dan tujuan tertentu berhak mendapatkan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS)
dan Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPM). Penduduk bukan asli Papua diwajibkan untuk
memiliki KIPS dan KIPM tersebut. Selain itu bagi penduduk bukan asli Papua diwajibkan
membawa surat keterangan domisili dari daerah asal, membawa KTP dari daerah asal saat
datang ke Provinsi Papua, membawa surat keterangan dari instansi pemerintah daerah yang
berwenang yang memuat tujuan kedatangan ke Provinsi Papua, serta menyediakan biaya
sebagai jaminan untuk perjalanan kembali ke daerah asal bagi penduduk yang tidak bekerja
sebagai PNS, TNI, POLRI, dan bekerja pada Badan Usaha Swasta.
Melalui peraturan tersebut, Pemerintah Provinsi Papua mengatur pengendalian
penduduk yang meliputi: menetapkan prosedur dan tata cara memperoleh kartu identitas bagi
penduduk musiman, melakukan penertiban terhadap administrasi kependudukan secara
terpadu, berkelanjutan, dan lintas sektor pada bidang sosial, ekonomi budaya dan lingkungan
hidup. Bagi orang yang bukan asli Papua diwajibkan melapor kepada Pemerintah Kampung
dan/atau kelurahan setempat pada saat pindah atau datang ke wilayah Papua selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari setelah domisili. Badan hukum yang mengelola sarana
transportasi laut dan udara wajib menyampaikan laporan tentang penduduk yang datang ke
wilayah Papua. Sementara badan hukum yang menyediakan sarana penginapan, wajib
menyampaikan laporan tentang penduduk yang menginap dalam sarana tersebut. Untuk
152 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
menertibkan penduduk, peraturan ini juga menetapkan bahwa penertiban penduduk yang
datang di wilayah Provinsi Papua dilakukan pada sarana transportasi, darat, transportasi laut,
dan udara. Penertiban melibatkan pula pemerintah kampung, pemerintah kelurahan, tokoh
adat dan lembaga keagamaan. Di samping itu, untuk mengetahui pertumbuhan penduduk
orang asli Papua dan orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus penduduk orang asli
Papua dilaksanakan sekali dalam dua tahun serentak oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Sementara bagi orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus dilaksanakan oleh instansi
yang berwenang sekali dalam tiga tahun.
Melalui peraturan ini pula, Pemerintah Provinsi Papua menetapkan kebijakan
transmigrasi dimana transmigrasi di Provinsi Papua akan dilaksanakan setelah orang asli
Papua mencapai jumlah dua puluh juta jiwa. Pelaksanaan kebijakan tersebut memerlukan
pertimbangan dan persetujuan MRP dan DPRP.
Di Provinsi Papua Barat, Perdasus/Perdasi yang mengatur tentang bidang kependudukan
belum diterbitkan. Peraturan daerah lain yang belum diterbitkan dalam implementasi otonomi
khusus di bidang kependudukan ini, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat, antara lain
yang berkaitan dengan hak penduduk asli Papua untuk memperoleh keutamaan diangkat
menjadi hakim atau jaksa di Provinsi Papua. Dalam hal mendapatkan pekerjaan di bidang
peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim
atau Jaksa di Provinsi Papua. Kentuan tersebut diatur lebih lanjut dengan Perdasi.
Salah satu persoalan dalam upaya penanganan masalah kependudukan di Provinsi Papua
dan Papua Barat adalah ketiadaan informasi yang tepat tentang populasi penduduk yang
merupakan asli penduduk Papua. Di samping itu, untuk mengetahui pertumbuhan penduduk
orang asli Papua dan orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus penduduk orang asli
Papua dilaksanakan sekali dalam dua tahun serentak oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Sementara bagi orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus dilaksanakan oleh instansi
yang berwenang sekali dalam tiga tahun. Provinsi Papua Barat telah menjadikan persentase
populasi penduduk asli Papua sebagai salah satu criteria dalam pengalokasian dana otonomi
khusus kepada kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut.
Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari
suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli
Papua oleh masyarakat adat Papua. Tabel 4.30. berikut memperlihatkan sebaran populasi
masyarakat asli Papua dan bukan asli Papua di Provinsi Papua.
Tabel 4.33 Jumlah Penduduk Provinsi Papua Menurut Suku Tahun 2010
153 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Kab/Kota Papua Non Papua Total Persentase Papua
(1) (2) (3) (4) (5) Merauke 73,082 122,634 195,716 37.34 Jayawijaya 177,698 18,387 196,085 90.62 Jayapura 68,430 43,513 111,943 61.13 Nabire 62,119 67,774 129,893 47.82 Kepulauan Yapen 64,338 18,613 82,951 77.56 Biak Numfor 93,482 33,316 126,798 73.73 Paniai 149,427 4,005 153,432 97.39 Puncak Jaya 99,339 1,809 101,148 98.21 Mimika 75,267 106,734 182,001 41.36 Boven Digoel 37,355 18,429 55,784 66.96 Mappi 72,390 9,268 81,658 88.65 Asmat 68,641 7,936 76,577 89.64 Yahukimo 162,194 2,318 164,512 98.59 Pegunungan Bintang 62,361 3,073 65,434 95.30 Tolikara 113,315 1,112 114,427 99.03 Sarmi 22,935 10,036 32,971 69.56 Keerom 19,725 28,811 48,536 40.64 Waropen 20,396 4,243 24,639 82.78 Supiori 15,283 591 15,874 96.28 Mamberamo Raya 17,088 1,277 18,365 93.05 Nduga 78,377 676 79,053 99.14 Lanny Jaya 148,354 168 148,522 99.89 Mamberamo Tengah 39,315 222 39,537 99.44 Yalimo 50,327 436 50,763 99.14 Puncak 92,510 708 93,218 99.24 Dogiyai 83,395 835 84,230 99.01 Intan Jaya 40,414 76 40,490 99.81 Deiyai 61,565 554 62,119 99.11 Kota Jayapura 90,196 166,509 256,705 35.14
PAPUA 2,159,318 674,063 2,833,381 76.21 Sumber : BPS Provinsi Papua, Tahun 2010
Dari tabel 4.30 di atas dapat dijelaskan bahwa perbandingan jumlah penduduk asli Papua
dan Non Papua sebenarnya lebih banyak penduduk asli Papua (2.159.318 jiwa dibanding
674.063 jiwa). Di Provinsi Papua, berdasarkan hasil sensus tahun 2010 tercatat 76.21%
merupakan penduduk asli Papua. Namun memang, di beberapa kabupaten/kota, jumlah
penduduk non Papua lebih besar dari penduduk asli Papua di antaranya di Kota Jayapura,
Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke. Persentase penduduk asli Papua yang terendah
berada di Kota Jayapura dengan persentase sebesar 35,14%. Beberapa daerah memiliki
persentase di bawah 50%, seperti di Kota Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Keerom,
Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Nabire. Persentase terbesar populasi penduduk asli Papua
dapat dijumpai di Kabupaten Lanny Jaya dengan persentase sebesar 99,89%. Sejumlah
154 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
kabupaten masih memiliki proporsi penduduk asli Papua yang cukup tinggi di atas 90%. Di
antaranya adalah Kabupaten Intan Jaya, Memberamo Tengah, Dogiyai, Tolikara yang memiliki
persentase penduduk asli Papua yang melebihi 99%.
Gambar 4.41 Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Tahun 2008-2010
Jumlah penduduk Provinsi Papua, tahun 2006 (2.000.738), 2007 (2.015.600), 2008
(2.056.500), 2009 (2.097.482), dan 2010 (2.833.381), sedangkan Provinsi Papua Barat, tahun
2009 (743.860), dan 2010 (798.601).
Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan pada prakteknya tidak
seluruhnya dapat dilaksanakan. Pembatasan penduduk yang masuk ke Papua tidak serta merta
dapat dilakukan, karena melanggar hak asasi manusia, yakni hak untuk hidup layak dan
bertempat tinggal dimana saja di Indonesia. Di samping itu, hal ini juga bertentangan dengan
Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa setiap orang
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak serta bebas memilih dan/atau pindah
pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya. Dengan demikian sesungguhnya kebijakan
otonomi khusus tidak mengharapkan bahwa masalah kependudukan di Provinsi Papua tidak
dilakukan dengan membatasi penduduk yang masuk ke Papua. Ditambah lagi bahwa
pembedaan KTP asli dan KTP pendatang juga tidak menyelesaikan persoalan sebenarnya.
Asisten I Kabupaten Biak Numfor, menyatakan bahwa:
“terbitnya Perdasi 15/2008 tentang kependudukan ini bagaimana...disatu sisi ini bagus untuk membatasi masuknya orang luar Papua sehingga mengurangi persaingan dengan orang asli Papua, tetapi disisi lain hal ini bisa melanggar ketentuan peraturan perundangan lainnya seperti SIAK. Dan sebagai informasi, masyarakat Papua sebenarnya tidak memerlukan hal seperti ini, yang terpenting bagaimana penduduk asli Papua dapat memperoleh pekerjaan”. Senada dengan hal tersebut, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kota Jayapura pun
menyatakan:
2,056,500 2,097,482
2,833,381
743,860 798,601
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
2008 2009 2010
Ora
ng
Papua
Papua Barat
155 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
“problem kependudukan saat ini sebenarnya bukan hanya persaingan pendatang dengan penduduk asli Papua, akan tetapi bagaimana pemerintah ini mau dan mampu meningkatkan kualitas, kemampuan penduduk Papua. Lalu, bagaimana kita sebagai pemerintah ini bisa mengubah sedikit demi sedikit budaya yang tidak mendukung tercapainya kesetaraan dengan pendatang”.
Dalam Undang-Undang tentang otonomi khusus Papua, disebutkan bahwa orang asli
Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam
semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya.
Pengutamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan bagi orang asli Papua merupakan
suatu langkah affirmative dalam rangka pemberdayaan di bidang ketenagakerjaan. Namun
terdapat beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian dalam penanganan bidang
kependudukan dan tenaga kerja. Rendahnya kualitas masyarakat dan tingkat pendidikannya.
Ditambah lagi produktifitas dan kemampuan daya saing masyarakat asli Papua kurang
dibandingkan para pendatang. Di samping itu terdapat pula sikap atau perilaku masyarakat asli
yang kurang mendukung. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam kebijakan ini adalah
pemerintah daerah perlu memilih langkah konkrit yang tidak menimbulkan kecemburuan
sosial dan dampak lain yang tidak diharapkan. Pengutamaan kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan bagi orang asli Papua harus dilakukan dengan penguatan kemampuan, produktifitas,
dan pemberdayaan orang asli Papua.
Masalah lain yang perlu mendapat perhatian di Papua adalah pengangguran. Gambar
memperlihatkan kondisi tingkat pengangguran di kabupaten/kota di Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat. Perlu adanya verifikasi atau pendataan lebih lanjut tentang sejauhmana
tingkat pengangguran penduduk asli Papua. Data semacam itu belum tersedia, namun ke depan
perlu dipertimbangkan untuk mengadakan data tersebut. Namun dari data yang ada dapat
dilihat bahwa tingkat pengangguran di sebagian besar kabupaten/kota di Papua
mengindikasikan adanya masalah pengangguran yang perlu mendapat perhatian. Meskipun
demikian, patut diapresiasi bahwa terdapat kecenderungan penurunan angka pengangguran
terbuka di Papua.
Gambar 4.42 Perbandingan Indikator Pengangguran
di Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2008-2010
156 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Sumber :Badan Pusat Statistik dan Hasil Data Olah, Tahun 2011
Untuk Provinsi Papua Barat, tahun 2008 tercatat tingkat pengangguran terbuka sebesar
7,65%, dan menurun menjadi 7,56% pada tahun 2009. Di Provinsi Papua angka pengangguran
terbuka relatif rebih rendah dibanding Provinsi Papua Barat. Tahun 2009, tingkat
pengangguran terbuka tercatat sebesar 4,08%. Angka ini menurun jika dibandingkan tahun
sebelumnya yang tercatat sebesar 4,39%. Terjadi penurunan yang cukup signifikan jika
dibandingkan kondisi pada tahun 2006 dimana angka pengangguran terbuka di Provinsi Papua
tercatat sebesar 12,6%.
Gambar 4.43 Diagram Tingkat Pengangguran Terbuka
Kabupaten/Kota Propinsi Papua Tahun 2009
Gambar 4.44 Diagram Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten/Kota
Provinsi Papua Barat Tahun 2009
60
65
70
75
80
85
2008 2009 2010Papua 76.7 77.75 80.99
Papua Barat 68.15 68.32 69.29
TPA
K (%
)
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) Provinsi Papua dan
Papua Barat (2008-2010)
0
2
4
6
8
2008 2009 2010Papua 4.39 4.08 3.55
Papua Barat 7.65 7.56 7.69
Ting
kat P
enga
nggu
ran
Terb
uka
(%)
Tingkat Pengangguran Terbuka (%) di Provinsi Papua dan Papua
Barat (2008-2010)
Sumber :Badan Pusat Statistik, dan Data diolah, Tahun 2009
157 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Salah satu hal yang menarik untuk dicermati dari kondisi tingkat pengangguran di Papua,
sebagaimana terlihat pada gambar di atas adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di kota
yang cenderung tinggi. Tingkat pengangguran di Kota Jayapura pada tahun 2009 tercatat
sebesar 11,93 %. Sementara di kota Sorong tercatat sebesar 15,45 %.
Tingginya tingkat pengangguran ini sangat berkolerasi dengan tingginya jumlah
penduduk miskin dan tingkat partisipasi angkatan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) Provinsi Papua, tahun 2008 (76,76), 2009 (77,95), dan 2010 (80,99), Provinsi Papua
Barat, tahun 2008 (68,15), 2009 (68,32), dan 2010 (69,29).
Gambar 4.45
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
Sedangkan Jumlah Penduduk Miskin masih cukup tinggi untuk Provinsi Papua, Tahun 2008
sebanyak 934. 370 jiwa (45,43%), 2009 sebanyak 997.340 jiwa (47,54%), dan 2010 sebanyak
60
65
70
75
80
85
2008 2009 2010
76.76 77.9580.99
68.15 68.32 69.29
Pers
en Papua
Papua Barat
158 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
1.031.210 jiwa (36,39%) dan Provinsi Papua Barat Tahun 2008 sebanyak 256.840 jiwa
(34,52%), 2009 sebanyak 256.840 jiwa (34,52%) dan 2010 sebanyak 256.250 jiwa (32,08%).
Gambar 4.46
Persentase Penduduk Miskin Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Kondisi tenaga kerja di Papua memiliki kecenderungan tingkat pendidikan yang rendah.
Sebagian besar masyarakat bekerja pada sektor informal. Lebih dari 67 % pekerja di Papua
Barat merupakan pekerja pada sektor informal. Selain itu, di Provinsi Papua maupun Papua
Barat, terdapat kecenderungan bahwa partisipasi kerja laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan sementara angka pengangguran terbuka perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
Terkait pemanfaatan dana otonomi khusus dalam bidang ketenagakerjaan, dapat
dicontohkan program-program yang telah diimplementasikan di berbagai kabupaten/kota.
Misalnya di Kabupaten Jayapura, dilakukan pelatihan ketrampilan bagi pencari kerja di 5
Distrik 7 kampung. Biaya yang dikeluarkan pemerintah kabupaten Jayapura sebesar
Rp.200.000.000 bersumber dari dana otonomi khusus. Di Biak Numfor, dilakukan bantuan
pembinaan tenaga kerja pengangguran sebesar. Kegiatan ini menelan biaya sejumlah Rp
1.000.000.000. Ke depan kegiatan ketenagakerjaan perlu lebih disinergikan dengan lapangan
kerja yang ada, dengan bidang pendidikan dan program/kegiatan perekonomian lainnya.
Alokasi dana otonomi khusus bagi bidang kependudukan dan tenaga kerja memang
relatif kecil dibandingkan sektor lainnya. Hal ini karena bidang ini tidak mendapat penekanan
sebagai prioritas. Namun sesungguhnya, khususnya untuk bidang ketenagakerjaan, perlu
0
20
40
60
80
100
2008 2009 2010
45.43 47.54
36.3934.52 34.52 32.08
15.53 14.08 13.05
Pers
en
Papua
Papua Barat
Nasional
159 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
mendapat perhatian yang lebih baik lagi. Hal ini karena sesungguhnya masalah
ketenagakerjaan berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat asli Papua.
f. Lingkungan Hidup Pasal 63 Undang-Undang 21 Tahun 2001 mengamanatkan dilakukannya pembangunan
di Provinsi Papua dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan,
pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang
wilayah. Disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan
lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber
daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan
iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan penduduk.
Pemerintah Provinsi berkewajiban mengelola kawasan lindung untuk melindungi
keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting. Terkait dengan amanat tersebut,
Pemerintah Provinsi wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Di samping itu di Provinsi
Papua dapat pula dibentuk lembaga independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan.
Untuk melaksanakan amanat tersebut, Pemerintah Provinsi Papua telah menerbitkan
sejumlah peraturan terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup. Di antara berbagai
peraturan tersebut adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Upaya untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus telah dilakukan di antaranya melalui penerbitan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan. Di satu sisi penerbitan perda ini, dengan adanya ketentuan untuk melakukan sensus penduduk asli Papua dapat membantu menyediakan data dan informasi tentang keberadaan penduduk asli Papua. Namun demikian, ada kecenderungan untuk memberikan tindakan diskriminatif terhadap penduduk asli Papua dan bukan asli Papua. Kebijakan wewenang Pemerintah Provinsi Papua untuk melakukan pembatasan masuknya penduduk luar ke wilayah Provinsi Papua juga bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, dan kebijakan lainnya, seperti Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Upaya untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan yang diamanatkan dalam kebijakan otonomi khusus tidak dimaksudkan untuk memberikan diskriminasi antara penduduk asli Papua dan bukan asli Papua dalam memberikan kesempatan bekerja. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat asli Papua untuk bisa lebih berdaya saing dalam memperoleh pekerjaan. Meski angka pengangguran terbuka mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir ini, namun kondisi tingkat pengangguran terbuka masih mengindikasikan perlunya upaya yang lebih baik. Perhatian untuk pelaksanaan otonomi khusus bagi bidang kependudukan dan tenaga kerja masih perlu ditingkatkan. Bukan saja melalui penambahan alokasi di bidang tersebut, namun juga diperlukan strategi yang tepat dan sinergitas penanganan masalah ketenagakerjaan ini dengan bidang lainnya khususnya dengan bidang pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Ke depan, perlu penyempurnaan perdasi kependudukan yang menitikberatkan kepada pemberdayaan penduduk asli Papua agar dapat memiliki kesempatan yang sama dengan pendatang dalam pemenuhan lapangan pekerjaan. Penduduk asli Papua diharapkan dapat bersaing, untuk itu intervensi pemerintah sangat diperlukan dalam upaya tersebut.
160 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Pelestarian Lingkungan Hidup. Substansi pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam
kebijakan tersebut, terangkum dalam tabel berikut.
Tabel 4.34 Pengaturan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Peraturan Daerah
Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2008
ASPEK SUBSTANSI Kewenangan dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan umum dan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota mengenai pelestarian lingkungan hidup dan melakukan pengawasan atas kebijakan pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota,menetapkan kawasan-kawasan tertentu untuk melindungi keanekaragaman hayati, proses ekologi terpenting, dan pemulihan lingkungan
Pemerintah kabupaten/kota menetapkan kebijakan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup yang meliputi: penanganan, pengendalian pencemaran dan kerusakan; tempat pembuangan sementara dan tempat pembuangan akhir sampah, urusan kebersihan pelestarian terkait penentuan lokasi dan teknis pengolahan akrab lingkungan; perubahan fungsi ruang;pengendalian pemanfaatan bahan galian C; dan pengendalian abrasi laut.
Peran Serta Masyarakat
Setiap orang berperan serta dalam menjaga, memanfaatkan lingkungan berdasarkan prinsip pelestarian lingkungan, berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan lingkungan hidup. Organisasi lingkungan hidup dapat ikut serta dalam pelestarian lingkungan.
Hak dan Kewajiban
Hak setiap orang untuk menikmati manfaat lingkungan hidup, mendapat penggantian yang layan terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Kewajiban setiap orang untuk memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup, melaporkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta mendukung upaya pemulihan lingkungan hidup.
Inventarisasi dan Perencanaan
Pemerintah daerah melakukan inventarisasi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, karakter sosial budaya, dan ekonomi pada masing-masing wilayah dan mengumumkan hasilnya. Inventarisasi tersebut dapat melibatkan organisasi lingkungan hidup.
Pemerintah daerah menyususn perencanaan mengenai pemanfaatan dan pemulihan lingkungan hidup berdasarkan hasl inventarisasi secara partisipatif, transparan, dan terpadu.
Pemulihan lingkungan
Pemerintah daerah melakukan pemulihan atas pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dengan pembiayaan yang dibebankan pada APBD. Pemulihan lingkungan hidup juga dilakukan oleh pelaku kegiatan yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatannya dengan dana bersumber dari pelaku kegiatan tersebut, dimana upaya pemulihan tersebut dapat melibatkan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup.
Kearifan Lokal Pemerintah kabupaten/kota beserta masyarakat mengembangkan kearifan lokal yang mendukung pelestarian lingkungan hidup di wilayahnya, serta menggali dan mempertahankan praktek-praktek yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Perizinan Setiap kegiatan usaha yang berdampak luas dalam pemanfaatan lingkungan hidup wajib memiliki ijin sesuai dengan peraturan perundangan yang ditetapkan dengan keputusan gubernur dan keputusan bupati/walikota. Pemberian ijin tersebut diberikan apabila kegiatan usaha tersebut telah melakukan kajian lingkungan menyangkut kepentingan adat, sosial, dan budaya lokal.
Pengendalian dan Pengawasan
Pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan pelestarian lingkungan hidup dilakukan bupati/walikota dan hasilnya dilaporkan kepada Gubernur. Pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan pelestarian lingkungan hidup lintas kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur.
161 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
ASPEK SUBSTANSI Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
Sengketa lingkungan hidup diselesaikan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui lembaga mediasi, negosiasi, arbitrase.
Penghargaan Pemerintah daerah memberikan penghargaan kepada orang atau kelompok yang berjasa melakukan penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup.
Sanksi Administrasi
Pelaku usaha yang tidak memenuhi ketentuan perizinan dikenakan sanksi administratif yang dapat berupa: paksaan pemerintahan, denda adminnistratif, penghentian mesin-mesin perusahaan, penutupan sementara tempat usaha, pencabutan izin
Perda tersebut mengamanatkan bahwa penetapan kawasan-kawasan tertentu untuk
melindungi keanekaragaman hayati, proses ekologi terpenting, dan pemulihan lingkungan
diatur dengan perdasi. Namun belum ada perdasi yang mengatur tentang hal tersebut.
Persoalan lingkungan hidup yang sangat penting bagi Provinsi Papua terkait dengan
pengelolaan hutan. Hutan di Papua hampir 80% dari luas wilayah Provinsi Papua. Sementara
dari tahun ke tahun kerusakan hutan di Papua semakin meluas. Terdapat fakta bahwa di Papua
terdapat berbagai suku yang menguasai areal hutan masyarakat hukum adat yang cukup besar.
Sebagai implementasi amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, telah diterbitkan
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan di Provinsi Papua. Perdasus ini mengatur tentang keberpihakan dan
pemberdayaan masyarakat hukum adat, pembentukan kesatuan pengelolaan hutan, batasan,
prinsip, kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari, perencanaan hutan, mengatur tentang
perizinan, peredaran dan pengolahan hasil hutan, bagi hasil penerimaan kehutanan,
pengawasan dan pengendalian, serta penyelesaian sengketa, dan sanksi.
Di samping itu peraturan ini juga mengatur tentang pembentukan kesatuan pengelolaan
hutan dan kelembagaan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan berkelanjutan tersebut
ditujukan untuk: mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
hukum adat Papua pada khususnya dan rakyat Papua pada umumnya, mewujudkan
peningkatan kapasitas ekonomi dan sosial budaya masyarakat hukum adat Papua;
menciptakan lapangan kerja, memperluas kesempatan berusaha dan meningkatkan
pendapatan daerah; mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian
fungsi hutan; menjamin kelestarian dan keseimbangan ekologi; mempertahankan dan
mengembangkan keanekaragaman hayati; mengurangi emisi karbon dan mencegah perubahan
iklim global. Melalui Perdasi tersebut terdapat upaya untuk menjaga agar masyarakat hukum
adat dapat menikmati lingkungan hidup yang nyaman.
Substansi pengelolaan hutan berkelanjutan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan
lingkungan hidup terangkum dalam tabel berikut.
Tabel 4.35
162 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Aspek Pengelolaan Lingkungan Hidup Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di
Provinsi Papua
ASPEK SUBSTANSI Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat berhak untuk: mengelola dan memanfaatkan hutan yang berada di dalam wilayah hukum adatnya; menggunakan pengetahuan, teknologi dan kearifan lokal; memperoleh pendampingan dan fasilitasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota; berpartisipasi dalam perencanaan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan; bermitra dengan pihak lain. Dalam hal pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan oleh pihak lain,
masyarakat hukum adat berhak: mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan; memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pemanfaatan hutan; memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan dan tanah miliknya akibat pemanfaatan kawasan hutan; memperoleh manfaat sosial dan ekonomi; menikmati lingkungan yang berkualitas dari kawasan hutan mengelola hutan secara lestari; memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya; melakukan rehabilitasi dan reklamasi hutan sesuai ketentuan perundangan; melakukan perlindungan hutan dan konservasi alam; membayar kewajiban kepada negara; mendistribusikan manfaat secara adil dan proporsional di dalam kelompok masyarakat hukum adatnya; menyisihkan sebagian pendapatannya untuk generasi akan datang.
Kesatuan Pengelolaan Hutan
Pelayanan pemerintah terdepan dan terdekat kepada masyarakat hukum adat dan pengguna hutan lainnya dilakukan melalui KPH, mencakup: penataan hutan; penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; rehabilitasi hutan; perlindungan dan konservasi; pembinaan; audit internal; pengendalian.
Pengurusan Hutan Pengurusan hutan meliputi pengelolaan hutan serta tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
Peredaran dan Pengelolaan
Pengelolaan hutan didukung dan difasilitasi oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, meliputi aspek manajemen dan aspek hasil. Aspek manajemen meliputi: manajemen kawasan hutan yang mencakup pemanfaatan kawasan, penataan kawasan, pengamanan kawasan; manajemen hutan yang mencakup kelola produksi, kelola lingkungan, kelola sosial; manajemen kelembagaan yang mencakup tata organisasi, pemberdayaan sumber daya manusia, pengelolaan pendanaan. Aspek hasil meliputi: kelestarian fungsi produksi yang mencakup kelestarian sumber daya hutan, kelestarian hasil hutan, kelestarian usaha; kelestarian fungsi ekologi yang mencakup stabilitas ekosistem dan lintasan spesies langka/endemik/dilindungi; kelestarian fungsi sosial budaya, mencakup terjaminnya sistem tenurial hutan komunitas, terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas, terjaminnya keberlangsungan integrasi sosial dan kultural komunitas. Pengelolaan hutan secara lestari oleh masyarakat hukum adat dan pihak
lainnya didukung dan difasilitasi oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah daerah melakukan bimbingan pengendalian dan pengawasan
kepada pemegang izin pemanfaatan hutan dan hasil hutan dalam rangka pengelolaan hutan lestari.
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
Tata hutan dilaksanakan pada semua kawasan hutan, dengan komponen utama dari penyiapan areal kerja dan pembagian areal kerja. bupati/walikota menetapka tata hutan dalam kawasan hutan yang berada dalam satu wilayah administrasi pemerintahan kabupaten/kota. Sementara tata hutan dalam kawasan hutan yang berada dalam lintas administrasi pemerintahan
163 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
ASPEK SUBSTANSI kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur. Selanjutnya rencana pengelolaan hutan (jangka pendek dan jangka panjang) disusun berdasarkan hasil tata hutan, dengan memperhatikan rencana kehutanan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan
Kewajiban menyusun AMDAL bagi penggunaan kawasan hutan dan atau pemanfaatan hasil hutan oleh pemrakarsa usaha yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadapa lingkungan Pemanfaatan hutan dilakukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
hukum adat harus tetap menjaga kelestarian fungsi hutan. Pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat hukum adat dengan tetap
memperhatikan fungsi dan peruntukan hutan, dengan memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari, yang mencakup aspek kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial budaya. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat dalam bentuk kegiatan usaha
dapat dilaksanakan pada semua kawasan hutan sesuai jenis perizinan pada fungsi kawasan hulan. Pemanfaatan hutan pada kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan
produksi dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Perdasus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008.
Ijin Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan
Penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan untuk tujuan komersial, penelitian dan pengembangan hasil hutan dan kegiatan sosial dalam bidang kehutanan dilakukan setelah memperoleh ijin dari Gubernur. Dalam pengelolaan hutan pemegang hak kelola melakukan tahapan egiatan:
penataan areal kerja; rencana pengelolaan; pemanfaatan; rehabilitasi; perlindungan.
Rehabilitasi dan Reklamasi Kawasan Hutan
Badan usaha sebagai pemegang ijin penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan wajib melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi kawasan hutan yang dilakukan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan. Rehabilitasi kawasan hutan dan lahan dilaksanakan melalui kegiatan reboisasi; penghijauan; pemeliharaan; pengayaan tanaman; penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan teknik sipil pada lahan kritis dan tidak produktif. Reklamasi kawasan hutan dilakukan untuk memperbaiki dan memulihkan
kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak. Kegiatan reklamasi meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan dan pelaksanaan reklamasi. Pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi rehabilitasi dan reklamasi hutan
yang rusak, atau yang tidak memenuhi fungsi pokoknya. Dalam rangka rehabilitasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
memfasilitasi budaya menanam dan memelihara serta penyelenggaraan hutan tanaman bagi masyarakat hukum adat.
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Pemegang ijin pemanfaatan hutan wajib melakukan perlindungan hutan untuk menjaga dan memelihara hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar berfungsi secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan tersebut meliputi kegiatan: pengamanan areal hutan; pencegahan kerusakan hutan dari perbuatan manusia dan ternak; tindakan terhadap gangguan keamanan areal hutan; pelaporan adanya pelanggaran hukum di areal hutan kepada instansi kehutanan; penyediaan sarana dan prasarana serta tenaga pengamanan hutan. Pemegang ijin pemanfaatan hutan berperan aktif melaksanakan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan silvikultur pengelolaan hutan secara lestari terdiri: tebang pilih
tanam Indonesia pada hutan alam; tebang habis dengan permudaan buatan pada hutan tanaman. Silvikultur Intensif (SILIN). Tebang pilih tanam Indonesia dilaksanakan pada hutan alam produksi untuk mengatur cara penebangan dan melakukan permudaan hutan, melalui pengayaan tanaman dengan jenis
164 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
ASPEK SUBSTANSI tanaman unggulan.
Peningkatan SDM Dalam pengelolaan hutan dilakukan peningkatan sumber daya manusia dengan pemberian pengetahuan dan teknologi.
Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan
Pemerintah Provinsi menetapkan pedoman penatausahaan hasil hutan, peredaran dan pengolahan hasil hutan, serta pemenuhan kayu olahan yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Setiap pendirian atau perluasan industri primer hasil hutan kayu wajib
memiliki izin usaha industri primer atau izin perluasan industri primer hasil hutan kayu. Izin tersebut diberikan setelah dilakukan pengkajian atas ketersediaan potensi
bahan baku. Tata pemberian izin tersebut diatur dengan Peraturan Gubernur. Perubahan Status hutan
Setiap kegiatan yang menggunakan dan atau mengubah status kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan wajib mendapat persetujuan dari G ubernur. Areal hutan yang dipergunakan untuk kepentingan non kehutanan yang
berbatasan dengan kawasan hutan lindung dan atau kawasan konservasi dibuat daerah penyangga selebar 1 (satu) km kearah luar dari batas kawasan.
Pengawasan dan Pengendalian
Pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan secara lestari dilaksanakan untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat dan kelestarian sumber daya hutan.
Aspek lain yang jika tidak tertangani dengan baik dapat mengakibatkan kerusakan
lingkungan adalah pengelolaan sumber daya alam. Di Papua, masyarakat hukum adat
mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dengan sumber daya alam, sebagai sarana untuk
mempertahankan dan memelihara kehidupan dan identitas budaya dalam aspek spiritual,
sumber kehidupan ekonomi dan pengembangan kehidupan lainnya. Tahun 2008, Pemerintah
Provinsi Papua juga menerbitkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun
2008 yang mengatur perlindungangan dan Pengelolaan Sumber daya Alam Masyarakat Hukum
Adat Papua. Peraturan ini terkait dengan amanat untuk memperhatikan hak-hak masyarakat
adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya. Perdasus ini lebih bersifat melindungi hak masyarakat hukum adat untuk
memanfaatkan sumber daya alam melalui kegiatan usaha pemanfaatan sumber daya alam.
Namun peraturan ini juga menekankan pengelolaan sumber daya tersebut harus dilakukan
dengan menjamin kesinambungan ketersediaan, disamping meningkatkan kualitas hasil
pemanfaatannya, serta menghormati hak masyarakat hukum adat.
Pengelolaan pengelolaan sumber daya alam oleh Pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota harus melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi.
Pengelolaan tersebut harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam. Adapun rencana pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam harus berdasar pada berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah Propinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
Pemerintah Provinsi dalam hal ini memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan
pada pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam; dan
menetapkan syarat dan tata cara pelaksanaan pemberian izin usaha pemanfaatan sumber daya
165 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
alam. Sementara kewajiban yang harus dilakukan Pemerintah Provinsi adalah melakukan
supervisi pada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam, melakukan pendampingan dalam pemetaan adat oleh masyarakat hukum adat yang
berada di wilayah lintas Kabupaten/Kota, dan memberikan bantuan pada Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam pendampingan pada masyarakat hukum adat.
Gambaran pelaksanaan pengembangan program bidang lingkungan hidup di Provinsi
Papua dapat diuraikan sebagaimana berikut. Berdasarkan Perda Nomor 11 tahaun 2008 terjadi
perubahan nomenklatur dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda)
menjadi Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan lingkungan Provinsi Papua, sehingga visi
mengalami perubahan menjadi “Selamatkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk
pembangunan berkelanjutan menuju Papua baru”.
Program/kegiatan yang telah dilaksanakan Pemerintah Provinsi Papua (2006-2009),
antara lain meliputi program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup,
program perlindungan dan konservasi sumber daya alam, peningkatan kualitas SDM dan akses
informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, program peningkatan pengendalian polusi,
pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan di kawasan konservasi laut dan hutan, serta
program pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur (tahun 2009-2011), dilakukan
melalui pembangunan gedung kantor (laboratorium SDA dan LH), pengadaan perlengkapan
gedung kantor, kursus lingkungan hidup bagi aparatur pemerintah Provinsi Papua, sosialisasi
dan TOT pelaksanaan kurikulum mulok, pengembangan sekolah berwawasan lingkungan.
Program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, dilakukan melalui :
Rakor pengelolaan limbah B3 dengan sektor terkait tingkat provinsi/kabupaten/kota;
pengawasan limbah B3 di Provinsi Papua, koordinasi penyusunan AMDAL, pemantauan
kerusakan lingkungan akibat galian C, pemantauan kualitas air sungai di Provinsi Papua,
pemantauan kualitas air perairan pesisir dan lau di Provinsi Papua, peningkatan kapasitas
komisi penilai AMDAL Provinsi Papua, Pemantauan RKL/RPL, operasional Komisi Penilai
AMDAL Provinsi Papua, Pembinaan laboratorium, rakor AMDAL. Program Perlindungan dna
Konservasi SDA: penyuluhan dan pengendalian poilusi dan pencemaran, pemberdayaan
institusi kemasyarakatan dalam pengelolaan LH, Konsultasi dan koordinasi pemantapan
rencana pengelolaan lingkungan terpadu kawasan teluk cendrawasih, pembinaan dan
pengawasan pengelolaan LH, sinkronisasi perencanaan program bidang LH, pembinaan
konservasi bagi masyarakat, pembuatan penangkaran burung kasuari pada kebun biologi LIPI
di Wamena, peningkatan kinerja PPNS, Penyusunan Perdasi CA. Cyloop, peningkatan kapasitas
pengawas LH, penyusunan perdasi/perdasus pengelolaan SDA dan LH (2011).
166 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Program peningkatan Kualitas dan akses informasi SDA dan LH, meliputi : pameran
lingkungan hidup, pecan lingkungan hidup provinsi Papua, penyusunna status LH daerah,
penyusunan dan penyebaran informasi LH, rakornis pengelolaan SDA dan LH, studi potensi
SDA Papua, studi potensi sda melalui penginderaan jauh, valuasi ekonomi SDA dan LH,
pengembangan aplikasi sistem informasi SDA dan LH, pembangunan jaringan teknologi
komunikasi SDALH, pemutakhiran data SDALH, peningkatan SDM di bidang TI, inventarisasi
perijinan SDA dan LH Prov Papua. Program peningkatan pengendalian polusi, melalui:
monitoring pencemaran udara di provinsi Papua, Program pengembangan ekowisata dan jasa
lingkungan di kawasan-kawasan konservasi laut dan hutan, melalui konferensi internasional
keanekaragaman hayati Papua.
Program pengembangan kapasitas pengelolaan SDA dan LH melalui peningkatan
kapasitas tenaga laboratorium SDA dan LH, inventarisasi potensi bahan galian industry dan
batubara, sintesa profil SDA Papua, identifikasi potensi karbon di Provinsi Papua, studi potensi
SDA di kawasan konservasi hutan dan laut, evaluasi tambang rakyat di Provinsi Papua,
operational secretariat task force carbon Papua.17
Pemerintah Provinsi Papua menghadapi kendala seperti sarana dan prasarana
pendukung belum terbangun, diantaranya gedung laboratorium. Sementara peralatan
laboratorium dan kendaraan operasional lapangan belum memadai. Sumber daya manusia
yang berlatar belakang sumberdaya alam dan lingkungan hidup belum mencukupi (masih
kurang 50%), sementara di sisi lain disiplin pegawai perlu ditingkatkan. Ditambah lagi dari segi
pendanaan belum memadai sesuai dengan beban kerja.
Kabupaten Jayapura melalui Dinas Kehutanan mengadakan program pengamanan dan
perlindungan cagar alam dengan alokasi dana sebesar Rp. 775.000.000. Di samping itu juga
dilakukan pengamanan dan perlindungan Kawasan Penyangga Cagar Alam.
Kabupaten Mimika tahun 2009 program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber
daya alam, peningkatan peran serta masyarakat dalam rehabilitasi dan pemulihan cadangan
SDA realisasinya. Dinas kehutanan dan perkebunan melakukan program perencanaan dan
pengembangan hutan melalui pengembangan hutan masyarakat adat dengan biaya mencapai
Rp. 701 juta. Di tahun 2008, Dinas Kehutanan dan perkebunan melakukan program rehabilitasi
hutan dan lahan melalui peningkatan peran serta masyarakat dalam rehabilitasi hutan dan
lahan.
Di Provinsi Papua Barat, gambaran pelaksanaan pengembangan program bidang
lingkungan hidup selama beberapa tahun terakhir dapat diuraikan sebagai berikut. Rencana
dan konsep pembangunan di Papua Barat yang berprinsip pada pembangunan berkelanjutan,
17Disampaikan oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Papua
167 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang
untuk mewujudkan Provinsi konservasi Papua Barat. Bapedalda Provinsi Papua Barat baru
dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah. Program Bidang Lingkungan Hidup dalam
kaitannya dengan otonomi khusus belum banyak dilaksanakan. Namun upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Papua belum
optimal.18 Provinsi Papua Barat juga belum menetapkan perdasus/perdasi terkait tentang
pengelolaan lingkungan, kawasan lindung, keterlibatan LSM dan pembentukan lembaga
independen.
Salah satu contoh kebijakan yang telah dilakukan dengan sumber dana dari Otonomi
Khusus adalah kegiatan peningkatan edukasi dan komunikasi mayarakat di bidang lingkungan
hidup. Dalam kegiatan pengelolaan lingkungan, diikutsertakan pula berbagai Lembaga
Swadaya Masyarakat seperti LSM Perdu, WWF, Paradisea. Undang-Undang tentang otonomi
khusus Papua mengamanatkan dibentuknya lembaga independen untuk menyelesaikan
sengketa lingkungan. Di Provinsi Papua Barat baru didirikan pos pengaduan masyarakat sejak
tahun 2010 yang telah mendapatkan sejumlah pengaduan masyarakat tentang trans Papua
Barat.
Terdapat berbagai masalah yang dihadapi Pemerintah Provinsi Papua dalam
pembangunan di bidang lingkungan hidup di Papua Barat. Masalah tersebut antara lain belum
dimilikinya tenaga penyidik bidang lingkungan hidup, laboratorium lingkungan di Provinsi,
tenaga laboratorium lingkungan hidup, belum efektifnya pendanaan bagi program pengelolaan
lingkungan hidup. Di samping itu konflik masalah sumber daya alam terutama hutan, tambang
dan perikanan semakin meningkat.
g. Bidang Sosial Pelaksanaan kewenangan bidang sosial pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan atau kualitas hidup masyarakat sehingga masyarakat memiliki kebebasan di
18 Hal ini diakui oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat yang menangani masalah lingkungan hidup
Di Provinsi Papua telah diterbitkan perdasus tentang pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan berkelanjutan, namun di Provinsi Papua Barat belum ada perdasus yang mengatur tentang hal tersebut. Meski telah ditetapkan, namun perdasus yang ada belum sepenuhnya menjadi acuan dan belum banyak diterapkan pada upaya-upaya yang konkrit. Upaya pelestarian lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, perlindungan sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati,pengelolaan hutan lindung serta pegelolaan perubahan iklim perlu ditingkatkan. Pemerintah daerah perlu lebih melibatkan lembaga non pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Ada keterbatasan dalam sarana dan prasarana pendukung, dimana gedung laboratorium, dan saran alainnya belum terbangun. Di samping itu dibutuhkan pula SDM yang berlatar belakang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik. Selain itu perlu adanya koordinasi yang terus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi karena kelestarian lingkungan hidup bukan tanggungjawab sebagian pihak saja tetapi juga tanggung jawab bersama.
168 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
dalam memenuhi aspirasinya dan merelisasikan potensinya. Paradigma pembangunan yang
dikembangkan sudah mengalami perubahan, dari pembangunan yang terlalu menitikberatkan
kepada bidang perekonomian kepada pembangunan kemasyarakatan atau kadang disebut
sebagai pembangunan kesejahteraan sosial.
Dengan kata lain, pelaksanaan kewenangan bidang sosial diharapkan dapat memelihara
dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang
menyandang masalah sosial, seperti keterbelakangan, kemiskinan, pengangguran, dan
sebagainya. Untuk keterbelakangan (pendidikan) telah dilaksanakan oleh dinas pendidikan,
pengagguran dilaksanakan oleh dinas kependudukan dan ketenagakerjaan, sedangkan
kemiskinan menjadi ranah dinas sosial dan atau dinas kesejahteraan sosial. Disamping
kemiskinan, pelaksanaan kewenangan bidang sosial juga menyangkut penanganan anak
terlantar, penyandang cacat dan trauma, panti asuhan/panti jompo, eks penyandang penyakit
sosial (eks napi, PSK, narkoba dan penyakit sosial lainnya) serta komunitas adat terpencil
(KAT) dan masyarakat terisolir.
Di Provinsi Papua, kewenangan bidang sosial ditangani oleh Dinas Kesejahteraan Sosial
dan Masyarakat Terisolir, sedangkan di Provinsi Papua Barat dilaksanakan oleh Dinas Sosial.
Sementara itu, di kabupaten/kota pun nomenklatur yang digunakan berbeda-beda antara
daerah satu dengan lainnya namun tetap menyebutkan ‘sosial’.19
Pertama, menyangkut penanganan kemiskinan di Papua dan Papua Barat. Kendatipun
penanganan kemiskinan bukan hanya menjadi tugas dinas sosial semata, namun persoalan
kemiskinan yang melanda sebagian besar penduduk Papua dan Papua Barat senantiasa
dikaitkan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD ini. Ironisnya, kondisi kemiskinan terjadi
di tanah yang dianugerahi Tuhan akan kekayaan alam yang melimpah ruah. Gunung, lembah,
laut dan pantai semuanya mengandung kekayaan alam yang tidak ternilai. Tambang minyak di
Kabupaten Sorong, tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat dan sumber gas bumi di
Kabupaten Teluk Bintuni, serta hutan yang terdapat di sejumlah kabupaten seolah tidak
memberikan pengaruh nyata pada kehidupan sosial dan kesejahteraan penduduk Papua Barat.
Di Provinsi Papua pun menunjukkan kondisi serupa, kandungan emas dan tembaga di
Kabupaten Mimika misalnya, ternyata tidak banyak memberikan pengaruh terhadap
kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
Hasil wawancara dengan sejumlah narasumber baik di Papua maupun Papua Barat dapat
menggambarkan hal tersebut. Kepala Bappeda Kabupaten Dogiyai menyebutkan :
“Papua kaya raya, rasanya tidak ada yang membantah. Rakyat Papua tidak menikmati kekayaan yang melimpah, pun rasanya tidak ada yang membantahnya. Persoalan ini
19 Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Kab. Mimika, Dinas Kesejahteraan Sosial di Kab. Biak Numfor, Dinas Sosial di Kota Sorong, Kab. Manokwari, Kota Jayapura dan Kab. Merauke.
169 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
menjadi titik awal kekecewaan rakyat Papua terhadap pemerintah, termasuk kita semua di dalamnya. Karena itu, pemberian Otonomi Khusus ini menjadi satu harapan baru bagi rakyat dan penduduk Papua untuk menikmati sedikit kekayaan yang telah disumbangkan kepada Pemerintah dan akan kembali kepada mereka sebagiannya guna mengatasi masalah-masalah sosial yang timbul”.
Senada dengan hal itu, anggota MRP Provinsi Papua Barat menyayangkan sikap
penyelenggara pemerintahan yang kurang memberikan memberikan perhatian kepada
kesejahteraan rakyat Papua Barat:
“kalau ingin melihat potret kemiskinan dan keterbelakangan datang ke daerah yang kaya, seperti Papua Barat ini. Jika ada peribahasa ayam mati di lumbung padi, persis seperti yang kami alami disini. Rakyat menjerit karena kemiskinan, sementara para pejabatnya berfoya-foya menggunakan uang rakyat untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Permasalahan sosial seperti anak terlantar, orang cacat, panti asuhan/panti jompo sepertinya luput dari perhatian pemerintah daerah. Sayangnya, MRP tidak memiliki kekuatan politik sehingga tidak mampu menyuarakan ini dan menjadikannya peraturan normatif”.
Secara umum, potret permasalahan penanganan sosial untuk penyandang masalah
sosial di Provinsi Papua meliputi: anak-anak yatim piatu, orang lanjut lanjut usia yang
memerlukan, kaum cacat fisik dan mental, dan korban bencana alam.
Penangananan bidang sosial memerlukan prasarana yang memadai. Salah satunya adalah
tersedianya jumlah panti yang memadai bagi masyarakat yang membutuhkan, seperti panti
asuhan, panti jompo, dan panti bagi penyandang masalah sosial lainnya. Tabel berikut
memperlihatkan keberadaan panti asuhan di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Papua,
kondisi pada tahun 2010.
Tabel 4.36 Jumlah Panti Asuhan Menurut Status Pengelola
Kabupaten/Kota Provinsi Papua Tahun 2010
NO KABUPATEN/KOTA Pemerintah Swasta dan Subsidi
Jumlah Kapasitas Penghuni Jumlah Kapasitas Penghuni 1 2 3 4 5 6 7 8
1 Kabupaten Merauke 6 2 Kabupaten Jayawijaya 15 3 Kabupaten Jayapura 2 120 110 23 4 Kabupaten Nabire 11 5 Kabupaten Yapen
Waropen 18
6 Kabupaten Biak Numfor 1 40 38 2
7 Kabupaten Paniai 5 8 Kabupaten Puncak Jaya 1 9 Kabupaten Mimika 2
10 Kabupaten Yahukimo 1
170 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
NO KABUPATEN/KOTA Pemerintah Swasta dan Subsidi
Jumlah Kapasitas Penghuni Jumlah Kapasitas Penghuni
11 Kabupaten Peg. Bintang 2
12 Kabupaten Keerom 10 13 Kabupaten Waropen 1 14 Kota Jayapura 1 40 40 49
Jumlah 4 200 188 146 Sumber: Dinas Kesos dan Masyarakat Terisolir Provinsi Papua, Tahun 2011
Pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat sejumlah panti asuhan yang
menampung anak-anak yatim piatu, anak korban bencana, maupun anak-anak korban konflik.
Sebagian dilaksanakan oleh pemerintah dan sebagiannya dilaksanakan oleh yayasan atau pihak
swasta dan bersubsidi. Di Kabupaten Mimika, terdapat 71 LSM/yayasan, 9 lembaga profesi, 32
lembaga keagamaan, 33 lembaga pemuda, 44 paguyuban/ikatan keturunan dan 16 lembaga
wanita yang ikut berpartisipasi dalam penanganan masalah sosial. Sejumlah lembaga tersebut
ditujukan untuk melayani anak jalanan (18 anak terlantar, 113 anak nakal), penyandang cacat
(250 cacat tubuh dan 37 cacat mental), pramuria (19 timung 85 orang, 6 bar 91 orang,
lokalisasi 302 orang) dan lanjut usia sebanyak 332 orang.
Perkembangan ketersediaan panti asuhan dalam kurun 2006-2009 menunjukkan
kecenderungan adanya peningkatan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut.
Namun panti tersebut lebih banyak dikelola oleh Swasta/subsidi. Ini mengindikasikan
peran/partisipasi kelompok non pemerintah yang lebih baik dalam penanganan masalah sosial
terkait penyediaan panti asuhan. Adapun perkembangan penyediaan panti asuhan oleh
pemerintah kurang menunjukkan adanya perbaikan.
Tabel 4.37 Jumlah Panti Asuhan Menurut Pengelola
di Provinsi Papua Tahun 2006-2010
Tahun Pemerintah Swasta/Subsidi
Jumlah Kapasitas Penghuni Jumlah Kapasitas Penghuni 1 2 3 4 5 6 7
2006 - - - 70 2,793 2793 2007 4 - - 131 - - 2008 4 200 188 138 - - 2009 2 200 188 168 - - 2010 4 200 188 146 - -
Tabel 4.38
Jumlah Panti Asuhan Menurut Pengelola di Provinsi Papua Barat Tahun 2009-2010
171 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Tahun Pemerintah Swasta/Subsidi
Jumlah Jumlah
1 2 3
2009 - 41
2010 - 41
Sementara terkait penanganan orang lanjut usia, pemerintah semestinya berkewajiban
menyediakan panti-panti jompo untuk mereka. Pada kenyataannya, karena minimnya
perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan orang lanjut usia ini menjadi
kurang optimal.
Kelompok masyarakat lain yang perlu mendapat perhatian adalah para penyandang
cacat. Jumlah penyandang cacat di Provinsi Papua 3.374 orang yang terdiri atas tunanetra,
tunarungu, tubuh, mental, tubuh dan mental (ganda). Jumlah penyandang cacat terbanyak
berada di Kabupaten Tolikara sebanyak 953 orang, sedangkan pada daerah yang dikunjungi
terbanyak berada di Kota Jayapura sebanyak 408 orang.
Tabel 4.39 Jenis Cacat Menurut Jenis Kabupaten/Kota Tahun 2010
NO KABUPATEN/KOTA JENIS CACAT
NETRA RUNGU WICARA TUBUH MENTAL GANDA JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Kabupaten Jayawijaya 12 10 14 36 2 Kabupaten Jayapura 82 82 164 3 Kabupaten Yapen
Waropen 36 125 269 82 19 531
4 Kabupaten Biak Numfor
35
5 Kabupaten Asmat 142 146 170 125 871 6 Kabupaten Tolikara 190 331 411 3 18 953 7 Kabupaten Sarmi 8 Kabupaten Keerom 45 205 24 26 300 9 Kabupaten Waropen 52 59 111
10 Kota Jayapura 204 204 408 Jumlah 403 997 1055 589 77 3374
Sumber: Dinas Kesos dan Masyarakat Terisolir, Provinsi Papua, 2011
Terkait permasalahan PMKS, tabel berikut memperlihatkan banyaknya masalah kesejahteraan
sosial yang tercatat di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Papua:
Tabel 4.40 Banyaknya Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
Menurut Jenis dan Kabupaten/Kota 2010
172 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
NO KABUPATEN/KOTA BALITA TERLANTAR ANAK
TERLANTAR
USIA LANJUT JOMPO
TERLANTAR 1 2 3 4 5
1 Kabupaten Merauke - 259 - 2 Kabupaten Jayawijaya - 8.358 - 3 Kabupaten Jayapura 15 25 22 4 Kabupaten Nabire - 894 53 5 Kabupaten Yapen Waropen - 1.694 458 6 Kabupaten Biak Numfor 12 14 9 7 Kabupaten Paniai - - 138 9 Kabupaten Mimika - - 59
10 Kabupaten Peg. Bintang 6 20 32 11 Kabupaten Tolikara - - 13 12 Kabupaten Keerom 93 462 577 13 Kabupaten Warooen - 98 180 14 Kabupaten Supiori - 5 - 15 Kota Jayapura - 162 297
Jumlah 126 371.658 1.838 Sumber: Dinas Kesos dan Masyarakat Terisolir Provinsi Papua, Tahun 2011
Tabel di atas menunjukkan variasi PMKS di Provinsi Papua, daerah paling banyak jumlah orang
lanjut jompo terlantar adalah Kabupaten Keerom sebanyak 557 orang, lalu Kabupaten Yapen
Waropen sebanyak 458 orang, kemudian Kota Jayapura sebanyak 297 orang. Sedangkan anak
terlantar terbanyak di Kabupaten Jayawijaya, di Kota Jayapura sebanyak 162 anak.
Adapun untuk perkembangan banyaknya jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial
dari tahun ke tahun terangkum dalam tabel berikut. Jumlah bayi terlantar di Provinsi Papua
antara 2006-2008 mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 11639 bayi menjadi 27
bayi pada tahun 2008. Namun tahun 2009 jumlah balita terlantar mengalami kenaikan menjadi
252 bayi. Kecenderungan serupa terjadi pada perkembangan jumlah anak terlantar, lansia
terlantar, tuna susila, wanita tuna susila, penyandang cacat, maupun bekas narapidana. Secara
umum jika dibandingkan kondisi antara tahun 2006 dan 2010, banyaknya PMKS mengalami
perkembangan yang positif dengan berkurangnya jumlah PMKS pada umumnya. Namun untuk
PMKS bekas penderita penyakit kusta, justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan
dari 66 orang di tahun 2006 menjadi 6289 di tahun 2010. Demikian halnya dengan banyaknya
perempuan korban kekerasan yang mengalami peningkatan dari 55 orang di tahun 2006
menjadi 1782 orang di tahun 2010.
Tabel 4.41 Perkembangan Banyaknya PMKS menurut Jenisnya
di Provinsi Papua Tahun 2006-2010
NO PMKS PROVINSI PAPUA
2006 2007 2008 2009 2010
173 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
1 2 3 4 5 6 7
1 Balita Terlantar 11,639 33 27 252 - 2 Anak Terlantar 57,122 1,768 1,444 2,004 2,383 3 Lansia Terlantar 21,973 1,007 640 3,073 3,732 4 Anak Jalanan 963 6 2 - - 5 Anak Jermal 37,165 - - - - 6 Anak Nakal - - - (824) - 7 Anak Korban Tindak kekerasan 55 - 159 280 397 8 Korban Narkotika 3,084 228 - 321 194 9 Wanita Rawan Sosial Ekonomi 28,556 - - 1,957 90
10 Wanita Korban Kekerasan 55 55 26 482 1,782 11 Tuna Susila 2,124 386 271 1,039 482 12 Wanita Tuna Susila 2,040 244 186 263 653 13 Penyandang Cacat 7,004 1,217 876 7,629 263 14 Bekas Penderita Penyakit Kusta 66 533 313 533 6,289 15 Gelandangan dan Pengemis - 2 - - 471 16 Bekas Narapidana 632 30 15 473 283 17 Perintis Kemerdekaan 119 192 130 130 120
Disamping masalah PMKS, dalam hal ini perlu juga diketahui keluarga PMKS,
sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.42 Keluarga Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
Menurut Jenis dan Kabupaten/Kota 2010
NO KABUPATEN/KOTA Perumahan & Lingkungan Tidak Sehat
Komunitas Adat Terpencil/
KAT (jml KK)
Korban Bencana
Alam
Fakir Miskin dan Keluarga
Miskin 1 2 3 4 5 6
Kabupaten 1 Merauke - 2.088 - 195 2 Jayawijaya 5 484 - - 3 Jayapura 17 508 943 484 4 Nabire 1.006 346 - 250 5 Yapen Waropen 8.577 131 1.647 684 6 Biak Numfor 17 75 880 117 7 Paniai 3.511 4.384 - 762 8 Puncak Jaya - 1.213 - - 9 Mimika - 1.215 - 140
10 Boven Digoel - 3.247 - - 11 Mappi - 4.542 - 150 12 Asmat 15.588 2.112 - 14.911 13 Yahukimo - 2.147 - - 14 Peg. Bintang 2.000 1.882 112 2.000 15 Tolikara - 779 - 125 16 Sarmi - 1.213 - -
174 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
NO KABUPATEN/KOTA Perumahan & Lingkungan Tidak Sehat
Komunitas Adat Terpencil/
KAT (jml KK)
Korban Bencana
Alam
Fakir Miskin dan Keluarga
Miskin 1 2 3 4 5 6
17 Keerom - 170 2.325 6.033 18 Warooen - 898 - 100 19 Supiori - 246 - - 20 Lanny Jaya - - 170 -
Kota 21 Jayapura - - 496 117
Jumlah 26.182 26.187 6.573 26.068
Sumber: Dinas Kesos dan Masyarakat Terisolir, Provinsi Papua, Tahun 2011
Para PMKS berasal dari keluarga dengan kondisi yang tidak mendukung pencapaian
kehidupan yang lebih baik. Mereka menjadi seperti saat ini karena peran keluarga yang sangat
besar bagi pribadi yang bersangkutan. Setidaknya terdapat 4 latar belakang keluarga yang
meliputi: perumahan dan lingkungan tidak sehat, KAT, korban bencana alam dan fakir miskin &
keluarga miskin. Perumahan dan lingkungan yang tidak sehat akan mempengaruhi perilaku
seseorang menjadi tidak sehat pula, akibatnya menimbulkan masalah. Kedua, KAT yakni
jumlah kepala keluarga (KK), lalu korban bencana alam dan fakir miskin & keluarga miskin
yang pada akhirnya mempengaruhi seseorang menjadi PMKS.
Keluarga PMKS tersebut mengalami perkembangan yang bervariasi dari tahun ke
tahun. Tabel berikut merangkum perkembangan jumlah keluarga PMKS dari tahun 2006-2010.
Secara umum keluarga PMKS dengan Perumahan dan Lingkungan tidak Sehat, keluarga korban
bencana alam, serta keluarga Fakir Miskin dan Keluarga Miskin mengalami kecenderungan
adanya penurunan jika dibandingkan antara kondisi tahun 2006-2010. Adapun jenis keluarga
PMKS yang mengalami kenaikan jika dibandingkan antara kondisi tahun 2006 dan 2010 adalah
keluarga komunitas terpencil. Tahun 2006 tercatat sejumlah 32.721 keluarga komunitas
terpencil, namun pada tahun 2010 banyaknya keluarga komunitas terpencil mengalami
peningkatan menjadi 41.122.
Yang menarik perhatian dari keseluruhan jenis keluarga PMKS tersebut adalah adanya
kecenderungan terjadinya lonjakan jumlah keluarga PMKS tersebut dari tahun 2008 ke tahun
2009. Hal ini perlu informasi lebih lanjut terkait latar belakang kondisi tersebut.
Tabel 4.43 Perkembangan Banyaknya Keluarga PMKS
di Provinsi Papua Menurut Jenis Tahun 2006-2010
NO KELUARGA PMKS PROVINSI PAPUA
2006 2007 2008 2009 2010 1 2 3 4 5 6 7
175 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
1 Perumahan dan Lingkungan tidak Sehat 31,224 17,605 11,261 41,930 11,694
2 Komunitas Terpencil 32,721 9,018 6,919 42,465 41,122 3 Korban Bencana Alam 7,607 3,845 2,430 7,492 1,999
4 Fakir Miskin dan Keluarga Miskin 121,557 25,561 17,370 112,969 113,071
Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2007-2010 Kondisi dan permasalahan bidang sosial di Provinsi Papua Barat, sesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Papua. Di Provinsi Papua Barat, perkembangan
banyaknya penyandang masalah kesejahteraan sosial terangkum dalam tabel berikut. Untuk
penyandang masalah kesejahteraan sosial wanita tuna susila, terdapat kecenderungan
penurunan dari tahun 2007-2010. PMKS yang mengalami peningkatan cukup signifikan adalah
penyandang masalah narkotika, dimana jumlahnya meningkat dari 19 orang di tahun 2009
menjadi 2115 orang di tahun 2010.
Tabel 4.44 Perkembangan Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
di Papua Barat Tahun 2007-2010
NO PMKS Tahun
2007 2008 2009 2010 1 2 3 4 5 6 1 Wanita Tuna Susila 668 626 271 500 2 Anak Terlantar 2,988 2,891 4,356 366 3 Narkotika - - 19 2,115 4 Manula 4,684 4,554 5,571 366 5 Lainnya 2,497 2,433 937 -
Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2007-2010
Salah satu upaya penanganan masalah sosial yang dilakukan di Provinsi Papua Barat
adalah melalui pemberian bantuan UKS bagi keluarga fakir miskin dan pembinaan serta
pelayanan sosial bagi penderita cacat mental dan anak nakal. Perkembangan jumlah fakir
miskin penerima bantuan serta penderita cacat mental dan anak nakal yang mendapat
pembinaan dan pelayanan sosial dapat ditunjukkan dalam tabel berikut.
Tabel 4.45 Banyaknya Keluarga Fakir Miskin yang Memperoleh Bantuan UKS serta Penderita Cacat
Mental dan Anak Nakal Yang Mendapat Pembinaan dan Pelayanan Sosial di Provinsi Papua Barat Tahun 2007-2010
NO Pelayanan Sosial Tahun
2007 2008 2009 2010 1 2 3 4 5 6
176 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
1 Fakir Miskin 28,106 27,088 240,438 246,393 2 Cacat Mental 3,867 3,654 910 910 3 Anak Nakal 201 180 165 165
Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2007-2010
Terdapat perkembangan positif untuk keluarga fakir miskin yang memperoleh bantuan
UKS dalam kurun tahun 2006-2010. Adapun untuk penderita cacat mental dan anak nakal,
terdapat kecenderungan penurunan jumlah penerima pembinaan dan pelayanan sosial. Secara
umum penanganan masalah sosial di Provinsi Papua Barat juga belum mendapat perhatian
yang cukup.
Sejumlah upaya program/kegiatan pun telah dilakukan oleh pemda provinsi maupun
kabupaten/kota di Papua khususnya. Terdapat beberapa program yang telah dilaksanakan
oleh Dinas Kesejahteraan Sosial dan Masyarakat Terisolir Provinsi Papua, di antaranya:
Program pemberdayaan fakir miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), dengan kegiatan-kegiatan: pengadaan sarpras
pendukung bagi keluarga miskin, peningkatan kesejahteraan sosial keluarga, pemberdayaan
KAT;
Program pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, dengan kegiatan-kegiatan:
penanganan masalah strategis menyangkut tanggap cepat darurat dan kejadian luar biasa,
pelayanan dan perlindungan kesejahteraan sosial lanjut usia, pelayanan kesejahteraan
sosial bagi anak nakal, pelayanan dan rehabilitasi sosial anak cacat, pelayanan dan
rehabilitasi sosial penyandang cacat;
Program pembinaan anak terlantar, dengan kegiatan pengembangan bakat dan
keterampilan anak terlantar;
Program pembinaan eks penyandang penyakit sosial (eks narapidana, PSK, narkoba dan
penyakit sosial lainnya);
Program pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial, dengan kegiatan: pembinaan
generasi muda, koordinasi informasi strategis, penyuluhan sosial, pembinaan organisasi,
yayasan dan panti sosial, bantuan penghargaan dan bimbingan kepada tokoh
perintis/pahlawan yang berjasa terhadap masyarakat, pembinaan dan peningkata sarana
keagamaan, wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat, peningkatan akses jaminan
sosial, pemberdayaan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, pendayagunaan sumber dana
sosial;
Program pembinaan kehidupan umat beragama, dengan kegitan: peningkatan kegiatan
keagamaan, peningkatan pendidikan keagamaan, dan pelatihan manajemen lembaga
keagamaan;
Program penunjang pendidikan tinggi negeri dan swasta, dengan kegiatan: bantuan
penunjang pendidikan bagi mahasiswa kurang mampu.
177 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Dari ketujuh program tersebut, kiranya jelas bahwa persoalan sosial ternyata memiliki
spektrum yang sangat luas sehingga memerlukan kejelasan pembagian, mana yang menjadi
ranah penyelenggaraan Otonomi Khusus menurut UU 21/2011 dan mana yang menjadi ranah
UU 32 Tahun 2004. Sebut saja, dari 7 program dan sekian kegiatan, program apa yang akan
dibiayai dengan dana Otonomi Khusus? Sebagai contoh, di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Jayapura, dengan dana Otonomi Khusus sebesar Rp. 6,2 M digunakan
untuk membiayai 3 program dan 3 kegiatan (2010) yaitu pembangunan rumah layak huni20
dan tempat ibadah21 bagi komunitas adat terpencil (KAT), penataan rumah masyarakat local22
dan pelatihan keterampilan bagi pencari kerja.23
Tabel berikut menunjukkan besaran dana APBD yang digunakan untuk membiayai
kewenangan bidang sosial.
Tabel 4.46 Anggaran Bidang Kesos Provinsi Papua Tahun 2008 dan 2010
No PROGRAM TAHUN
2008 (Rp) 2010 (Rp) 1 2 3 4 1. Pemberdayaan fakir miskin, Komunitas Adat
Terpencil (KAT) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
1.767.000.000 5.174.650.000
2. Pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial 1.286.900.000 2.502.935.750
3. Pembinaan anak terlantar 183.200.000 859.319.000 4. Pembinaan eks penyandang penyakit sosial
(eks narapidana, PSK, narkoba dan penyakit sosial lainnya)
602.435.575 5.059.772.200
5. Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial 5.816.254.800 443.705.000
6. Pembinaan kehidupan umat beragama 3.068.400.000 - 7. Penunjang pendidikan tinggi negeri dan
swasta 4.993.033.600 -
Jumlah 17.717.223.975 14.040.381.950 Sumber: Laporan Tahunan APBD Tahun 2008 dan 2010.
Di Provisi Papua dana yang dikeluarkan untuk mendanai 7 program sebesar 17,7 M
tahun 2008 dan 14 M tahun 2010. Namun demikian tidak ada kejelasan mengenai berapa
jumlah dana yang berasal dari dana Otonomi Khusus dan berapa jumlah yang berasal dari
sumber lainnya. Ketidakjelasan tersebut diakibatkan karena tidak adanya guidance yang jelas
dari pemerintah provinsi. Hal ini sejalan dengan pengakuan narasumber, dana Otonomi Khusus
20 Rumah layak huni yang dimaksud disini adalah rumah type 36 21 Gereja, masjid, dan lain-lain sesuai kebutuhan pemeluk agamanya 22 Disebut juga pembangunan rumah bagi penduduk local sebagaimana yang telah dilakukan di Distrik Kaureh, Distrik Yapsi, Distrik Demta 23 Pelatihan keterampilan kerja bagi pencari kerja di 5 distrik dan 7 kampung di Kab. Jayapura, dan pengadaan alat pertukangan bagi peserta pelatihan
178 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat terbatas dan cenderung tidak
mendapatkan perhatian yang memadai dari para pengambil kebijakan daerah. Pernyataan
pejabat di Dinas Sosial Kabupaten Manokwari menunjukkan hal tersebut:
“Kewenangan bidang sosial selalu mendapatkan porsi yang minim dalam penganggaran di daerah. Tiap tahun kami selalu memperoleh dana Otonomi Khusus yang tidak sesuai dengan harapan. Bahkan, karena kecilnya dana yang kami terima dari dana Otonomi Khusus, kami merasa tidak diprioritaskan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua Barat, sehingga masalah sosial, khususnya seperti penanganan panti asuhan/panti jompo tidak memperoleh pendanaan yang memadai”.
4. Perdasus dan Perdasi
Perdasus adalah Peraturan daerah Khusus adalah peraturan daerah Provinsi dalam
rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Perdasi adalah peraturan daerah Provinsi dalam
rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perudang-undangan.
Berdasarkan amanat Undang-undang nomor 21 Tahun 2001 mengamanatkan 13
perdasus dan 18 perdasi serta peraturan pemerintah. Dari amanat 13 perdasus dan 18 perdasi
belum semuanya dibuat tetapi sejak otonomi khusus berlangsung, berikut disajikan daftar
perdasus dan perdasi yang harus dibuat berdasarkan amanat Undang- Undang Nomor 21 tahun
2001.
Tabel 4.47 Daftar Perkembangan Pembentukan Perdasi dan Perdasus
NO PASAL PERIHAL PENGATURAN KET
1 2 3 4 5
1 Pasal 2 ayat (3) Lambang daerah Perdasus Belum Terbit (Perda Papua Barat No. 2
Tahun 2006 Tentang Lambang Daerah)
2 Pasal 4 ayat (3) Pelaksanaan kewenangan Provinsi Papua
Perdasus atau Perdasi
Belum Terbit Perdasus
3 Pasal 4 ayat (5) Pelaksanaan Kewenangan daerah kabupaten dan kota
Perdasus atau Perdasi
Belum Terbit
4 Pasal 4 ayat (9) Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur tentang Perjanjian Internasional yang dibuat oleh pemerintah terkait Kepentingan Provinsi Papua
Perdasus Belum Terbit
Bidang sosial belum tertangani dengan baik dalam pelaksanaan otonomi khusus. Dana otsus yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat terbatas dan bidang ini cenderung tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Karena minimnya perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan masalah sosial menjadi kurang optimal. Dalam bidang sosial, diperlukan kejelasan hal-hal yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi khusus di bidang sosial.
179 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
NO PASAL PERIHAL PENGATURAN KET 1 2 3 4 5
5 Pasal 11 ayat (3) Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Perdasus Sudah Terbit Perdasus Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pemilihan
Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua
6 Pasal 19 ayat (3) Keanggotaan dan Jumlah anggota MRP
Perdasus Sudah Terbit Perdasus Nomor 4 Tahun
2010 Tentang Keanggotaan dan Jumlah
anggota MRP 7 Pasal 20 ayat (2) Tugas dan wewenang MRP Perdasus Sudah Terbit
Perdasus Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
Pelaksanaan Tugas dan wewenang MRP
8 Pasal 21 ayat (2) Hak MRP Perdasus Sudah Terbit Perdasus Nomor 3 Tahun
2008 Tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban MRP 9 Pasal 23 ayat (2) Kewajiban MRP Perdasus Sudah Terbit
Perdasus Nomor 3 Tahun 2008 Tentang
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban MRP
10 Pasal 24 ayat (2) Tata cara pemilihan MRP Perdasi Sudah Terbit Perdasus Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pemilihan
Anggota MRP 11 Pasal 26 ayat (3) Pengaturan perangkat dan
kepegawaian baik Provinsi Papua terdiri atas Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi, dan lembaga teknis lainnya dan DPRP, MRP
Perdasi Sudah Terbit Perdasi Nomor 9 Tahun
2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD
dan Staf Ahli Gubernur Perdasi Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Provinsi
Papua Perdasi Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Provinsi
Papua
12 Pasal 27 ayat (3) Kebijakan kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil
Perdasi Belum Terbit
13 Pasal 29 ayat (3) Tata cara pemberian pertimbangan dan
Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 9 Tahun
180 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
NO PASAL PERIHAL PENGATURAN KET 1 2 3 4 5
persetujuan MRP 2010 Tentang Pembentukan Perdasi dan
Perdasus 14 Pasal 32 ayat (2) Fungsi, Tugas, wewenang,
bentuk dan susunan keanggotaaan Komisi Hukum Ad Hoc
Perdasi Belum Terbit
15 Pasal 34 ayat (7) Pembagian Penerimaaan dalam rangka otonomi khusus
Perdasus Sudah Terbit Dibuat dengan Perdasi No
2 Tahun 2004 Tentang Pembagian Penerimaan
Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi
Khusus 16 Pasal 35 ayat (6) Ketentuan Pinjaman luar
negeri Perdasi Belum Terbit
17 Pasal 36 ayat (3) Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi
Perdasi Belum Terbit
18 Pasal 38 ayat (2) Perekonomian di Provinsi Papua serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan
Perdasus Sudah terbit Perdasus Nomor 18 Tahun
2008 Tentang Perekonomian Berbasis
Kerakyatan 19 Pasal 41 ayat (2) Tata cara penyertaan modal
pemerintah Provinsi Papua Perdasi Belum Terbit
20 Pasal 48 ayat (3) tugas kepolisian di bidang ketertiban dan ketenteraman masyarakat, termasuk pembiayaan
Perdasi Belum Terbit
21 Pasal 56 ayat (6) Pelaksanaan Penyelenggaraan Pendidikan di Provinsi Papua
Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 5 Tahun
2006 Tentang Pembangunan Pendidikan
di Provinsi Papua 22 Pasal 57 ayat (4) Pelaksanaan kewajiban
melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua
Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 16 Tahun
2008 Tentang Perlindungan dan
Pembinaan Kebudayaan Asli Papua
23 Pasal 59 ayat (5) Kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan
Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Pelayanan
Kesehatan 24 Pasal 60 ayat (2) Kewajiban merencanakan
dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk
Perdasi Belum terbit
181 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
NO PASAL PERIHAL PENGATURAN KET 1 2 3 4 5
25 Pasal 61 ayat (4) Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional
Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 15 Tahun
2008 Tentang Kependudukan
26 Pasal 62 ayat (4) Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua
Perdasi Belum terbit
27 Pasal 64 ayat (5) Pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup
Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 6 Tahun
2008 Tentang Pelestarian Lingkungan Hidup dan
28 Pasal 65 ayat (3) kewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah social
Perdasi Belum terbit
29 Pasal 66 ayat (2) Perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi Papua
Perdasus Belum Terbit
30 Pasal 67 ayat (2) Pengawasan sosial dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggung jawab
Perdasus Belum Terbit
Sumber: Subdit Otonomi Khusus Wil. II Dit. PDOD Ditjen OTDA Kemendagri.
Perdasus dan Perdasi yang diperintahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah
sebanyak 13 Perdasus dan 18 Perdasi, sampai dengan saat ini untuk Provinsi Papua sudah
menerbitkan 7 Perdasus, sedang dalam proses 5 Perdasus, dan belum diproses 1 Perdasus
sedangkan terkait Perdasi sudah menerbitkan 8 Perdasi, sedang dalam proses 8 Perdasi dan
belum diproses 2 Perdasi.
Sementara itu, untuk Otonomi Khusus Provinsi Papua Barat dilaksanakan berdasarkan
UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Sampai saat ini Provinsi Papua
Barat belum ada menerbitkan Perdasus, sedang dalam proses 8 Perdasus, dan belum diproses
5 Perdasus, sedangkan terkait Perdasi sudah menerbitkan 1 Perdasi, sedang dalam proses 2
182 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Perdasi dan belum diproses 16 Perdasi. Dari sisi anggaran, Pemerintah Provinsi Papua Barat
telah menerima dana Otonomi Khusus sejak tahun 2009.
Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Papua Barat menggunakan
peraturan gubernur, di antaranya:
1) Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 41 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Otonomi
Khusus dan Tambahan Dana Infrastruktur Tahun Anggaran 2009.
2) Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran Bantuan Alokasi Otonomi Khusus dan Tambahan Dana
Infrastruktur Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota/Distrik/ Kampung.
3) Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 900/8/V/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Transfer Atas Bantuan Alokasi Dana Otonomi Khusus dan
Tambahan Dana Infrastruktur Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota/Distrik/Kelurahan/
Kampung.
Kondisi di lapangan menyebutkan amanat tersebut 13 Perdasus dan 18 Perdasi belum
semuanya dibuat. Kadangkala mengalami keterlambatan seperti yang diungkapkan oleh PP
Otda dalam “kemandegan legislasi kemandegan otonomi khusus, yaitu
“Pemerintah provinsi Papua mengajukan draf Perdasus selalu mengalami penolakan oleh pemerintah pusat, hal inilah yang menjadi ungkapan dari berbagai kalangan yang menyatakan bahwa telah terjadi kemandegan legislasi”
Hasil kuesioner yang diterima oleh Tim peneliti bahwa mayoritas responden bahwa
mayoritas menyatakan bahwa penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus
sering terlambat 50%, bahkan sebanyak 34% responden menyatakan bahwa penyusunan,
pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus selalu terlambat. Hanya 8% yang
menyatakan sudah baik atau sering tepat waktu dan 8% menyatakan kadang-kadang saja.
Gambar 4.47. Persepsi terhadap Penyusunan, Pembahasan dan Penetapan Perdasus dan Perdasi
183 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Keterlambatan penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus selain
disebabkan permasalahan kemandegan legislasi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,
permasalahan anggaran juga masih menjadi kendala klasik. Diagram berikut akan menjelaskan
dukungan anggaran bagi penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus.
Gambar 4.48. Persepsi Terhadap Anggaran Bagi Penyusunan, Pembahasan
dan Penetapan Perdasi dan Perdasus
Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan anggaran dalam
penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus masih kurang memadai 50%
dan sedang 8%. Tentu bukan hal yang menggembirakan, mengingat urgensi kebijakan lokal
dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat. Dari hasil–hasil tersebut,
terlihat bahwa sumber daya pendukung dalam implementasi kebijakan dapat dikatakan masih
belum memadai.
Permasahan lainnya adalah dalam proses penyusunan Perdasus dan Perdasi, selama ini
diserahkan kepada konsultan luar Papua yang kadang-kadang tidak memahami Otonomi
Khusus secara kontekstual (konteks Papua) tentang apa yang menjadi kekhususan yang harus
diatur, terutama untuk sebuah rancangan Perdasus24.
24 http://tabloidjubi.wordpress.com/2008/07/28/perdasus-perdasi-penantian-tak-berujung/
184 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Dalam bukunya “Satu Setengah Tahun Otonomi Khusus Papua Refleksi dan Prospek
(2003)”, Dr. Agus Sumule salah satu mantan anggota tim asistensi UU Otonomi Khusus Papua,
salah satu hambatan keterlambatan dari penyusunan Perdasi dan Perdasus adalah pemikiran
bahwa bahwa penyusunan Perdasi dan Perdasus memerlukan sekian banyak Peraturan
Pemerintah (PP) untuk implementasinya. Padahal keunikan UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah
bahwa peraturan pelaksanaannya cukup dalam bentuk Peraturan Daerah, baik Perdasus
maupun Perdasi, dan tidak membutuhkan Peraturan Pemerintah pusat sebagaimana undang-
undang yang draftnya pun harus dimasukkan dari Papua.
Dr. Agus Sumule kemudian menyatakan bahwa, lamban dan lambatnya penyusunan
peraturan-peraturan pelaksana UU Nomor 21 Tahun 2001 menunjukkan bahwa sesungguhnya
sementara Papua menyia-nyiakan kesempatan dan peluang untuk merancang sendiri hampir
semua aspek pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan agar sedapat mungkin sesuai
dengan kekhasan sosial-budaya, politik dan ekonomi di Papua. Padahal kalau kita mengacu
pada Pasal 75 UU Nomor 21 Tahun 2001 disana ditegaskan bahwa Peraturan pelaksana yang di
maksud Undang-undang Otonomi Khusus ini ditetapkan dalam waktu paling lambat 2 (dua)
tahun sejak diundangkan. Karena memang dikuatirkan pemerintah pusat mengambil alih
sebagian kewenangan itu untuk membentuk peraturan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan
semangat UU Otonomi Khusus sendiri seperti yang bisa dilihat dari mulai dari lahirnya Inpres
Nomor 1/2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 45/1999 tentang Pembentukan
Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinisi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,
Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota sorong, kemudian Tahun 2007, lahirlah Inpres Nomor
5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinisi Papua dan Provinsi Papua Barat, dan
Perpu Nomor 1/2008 tentang Perubahan atas UU Otonomi Khusus Papua.
D. Masalah-Masalah Kebijakan dan Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Mencermati berbagai persoalan otonomi khusus Papua dan Papua Barat sebagaimana
diuraikan pada bagian sebelumnya, menjadi jelas bahwa permasalahan Otonomi Khusus pada
dasarnya menyangkut 2 ranah yakni kebijakan dan implementasi kebijakan. Artinya,
‘kegagalan’ Otonomi Khusus yang selama ini dtuduhkan kepada penyelenggara Otonomi
Khusus Papua dan Papua Barat sesungguhnya kekurangberhasilan pelaksanaan Otonomi
Khusus tersebut tidak hanya ‘melulu’ kealpaan para pelaksana di daerah namun (mungkin)
juga terdapat andil kesalahan para perumus kebijakan di level Pemerintah.
185 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
1. Permasalahan Pada Ranah/Dimensi Kebijakan Permasalahan yang terjadi pada ranah kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
menyangkut hal-hal sebagai berikut:
a. Terjadi disharmoni dan inkonsistensi kebijakan, sebagaimana diketahui dalam
pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat terdapat dua peraturan
perundang-undangan yaitu UU 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 21 Tahun 2001
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008. UU generik atau simetris
berlaku di seluruh daerah dan menitikberatkan otonominya di kabupaten/kota,
sementara UU Otonomi Khusus atau asimetris menitikberatkan otonominya di level
provinsi. Implikasinya, terjadi kerancuan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah,
khususnya di level pemerintah kabupaten/kota karena di satu sisi mereka menjalankan
otonomi khusus dan di sisi lain mereka harus menjalankan otonomi generik. Akibatnya,
terjadi pula apa yang disebut sebagai inkonsistensi kebijakan, dimana pemerintah
kabupaten/kota mengalami kerancuan dalam pelaksanaan program dan kegiatan serta
pengelolaan pembiayaannya. Dualisme kebijakan tersebut terus-menerus terjadi dalam
penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, sehingga cukup
menghambat pelaksanaan pembangunan daerah di berbagai sektor.
b. Belum diterbitkannya sebagian besar peraturan pelaksana UU Nomor 21 Tahun 2001
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 yang meliputi Perdasus dan
Perdasi yakni sebanyak 13 Perdasus dan 18 Perdasi. Sebagai operasionalisasi UU
Nomor 21 Tahun 2001 dan UU Nomor 35 Tahun 2008, terbitnya perdasus dan perdasi
tersebut merupakan sebuah keharusan. Di satu sisi, belum terpenuhinya sejumlah
perdasus dan perdasi yang diisyaratkan dalam undang-undang berimplikasi pada
ketidakjelasan arah kebijakan dan pengelolaan kewenangan khusus. Namun di sisi lain,
perdasus dan perdasi yang telah diterbitkan pun belum sepenuhnya sesuai dan selaras
dengan amanat undang-undang untuk mensejahterakan rakyat Papua dan Papua Barat.
c. Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang
manajemen penyelenggaraan Otonomi Khusus, mengakibatkan desain kebijakan
perdasus dan perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan
yang tegas, jelas dan terukur. Misalnya: Perdasus bidang lingkungan hidup, belum
menjadi acuan yang terukur untuk dapat membedakan mana urusan yang harus
dikelola oleh provinsi atau kabupaten/kota. Akibatnya, kinerja yang dicapai pada
bidang ini menjadi tidak optimal, termasuk akuntabilitasnya.
d. Belum ada perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan Otonomi Khusus
sebagai penafsiran atas kewenangan setiap bidang. Misalnya, pada bidang sosial di
dalam Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001 disebutkan “Pemerintah Provinsi
186 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan
hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial.
Seperti apa ruang lingkup dan indikator yang bisa dijadikan ukuran untuk mengetahui
keberhasilan pelaksanaan urusan/kewenangan ini, tidak ada kejelasan. Contoh lainnya,
perihal kependudukan, sesungguhnya apa yang menjadi indikator untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan urusan kependudukan dan ketenagakerjaan di Papua dan
Papua Barat.
2. Permasalahan Pada Ranah/Dimensi Implementasi Kebijakan Berbagai permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan
Papua Barat dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a. Keuangan Khusus dan Pengelolaannya
Persoalan mendasar dalam implementasi keuangan Otonomi Khusus dan
pengelolaannya adalah belum tersedianya peraturan pelaksana dalam bentuk perdasus
yang mengatur alokasi dan distribusi dana Otonomi Khusus yang disampaikan kepada
pemerintah kabupaten/kota. Amanat pasal 34 ayat (7) tersebut belum dapat
dilaksanakan oleh DPRP/DPRPB, MRP dan Gubernur Provinsi Papua maupun Papua
Barat. Hal ini menyebabkan pengelolaan keuangan/dana Otonomi Khusus selama ini
hanya didasarkan atas Peraturan Gubernur (Pergub). Artinya, alokasi dan distribusi
yang telah dilaksanakan sedemikian rupa, dimana 40:60 untuk Provinsi Papua (40%
untuk Provinsi dan 60% untuk kabupaten/kota) dan 30:70 untuk Provinsi Papua Barat
(30% untuk Provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota) sesungguhnya masih belum
mencerminkan demokrasi lokal karena tidak melibatkan peran DPRP/DPRPB serta
MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat.
Persoalan krusial lainnya adalah terkait dengan keterlambatan transfer/dropping
dana Otonomi Khusus dari provinsi ke kabupaten/kota, karena keterlambatan transfer
dari pusat ke provinsi. Memang diakui, hal ini sudah dicoba jalan keluarnya dengan
memperbaiki pencairan dengan menggunakan sistem termin, namun ternyata belum
menunjukkan hasil yang positif. Keterlambatan pencairan dana otonomi khusus masih
saja terjadi, hal ini memaksa pemerintah daerah untuk meminjam kas DAU dan akan
dikembalikan setelah dana otonomi khusus direalisasikan.
Permasalahan lain yang dihadapi dalam alokasi dan distribusi keuangan adalah
menyangkut transparansi kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran,
mekanisme pembagian serta bentuk pengelolaannya. Hal ini berimplikasi pada
menurunnya kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah.
Terakhir, persoalan yang membelit bidang keuangan dan pengelolaannya adalah
terkait ketiadaan payung hukum yang jelas mengenai program dan kegiatan yang akan
187 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
didanai dari dana otonomi khusus dimaksud. Memang, Pergub yang diterbitkan sudah
cukup memberikan arah program dan kegiatan prioritas, namun aturan ini pun belum
dapat dilaksanakan secara optimal karena substansinya masih kurang lengkap dan di
sisi lain pemerintah kabupaten/kota cenderung tidak mematuhi ketentuan pergub
karena memiliki agenda prioritas tersendiri.
b. Kelembagaan Khusus
MRP sebagai lembaga kultural, ternyata selama ini masih disibukkan dengan
ranah politik seperti rekomendasi perlunya bakal calon bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota harus orang asli Papua, dan lain-lain. Meskipun disatu pihak,
sejumlah kalangan di Papua menilai MRP sebaiknya tidak diposisikan sebagai lembaga
kultural yang semata-mata hanya mengurus hal-hal kebudayaan.
c. Kewenangan Khusus
Kebijakan pelaksanaan kewenangan khusus sejatinya dibiayai dengan dana
Otonomi Khusus, kebijakan alokasi dana Otonomi Khusus yang selama ini dilakukan di
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat pun tidak didasarkan atas model pelaksanaan
kewenangan khusus secara proporsional. Pembagian 40% untuk Provinsi Papua dan
30% untuk Provinsi Papua Barat tidak dibarengi dengan lingkup pelaksanaan
kewenangan yang ada di provinsi. Sementara itu, dari sisi pemerintah kabupaten/kota
pembagian tersebut dianggap tidak adil, karena belum sepenuhnya
mempertimbangkan karakteristik dan kekhasan masalah yang ada di daerah
kabupaten/kota, seperti daerah berkarakter pegunungan, dataran, pedalaman, pesisir,
termasuk pertimbangan jumlah penduduk (demografi), dan sebagainya.
Pembagian 40:60 dan 30:70 yang telah dilaksanakan di kedua provinsi masih
menimbulkan persoalan jika dikaitkan dengan program dan kegiatan prioritas mana
yang dibiayai. Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi Papua yang memegang alokasi
40% mengalokasikan dana otonomi khusus kepada 4 (empat) bidang yaitu pendidikan,
kesehatan, infrastruktur dan ekonomi kerakyatan, bahkan sampai ke kabupaten/kota.
Sementara di lingkup pemerintah kabupaten/kota, pun melaksanakan program
prioritas yang juga membiayai keempat bidang dan program prioritas dimaksud.
Bahkan, tidak jarang terjadi pemanfaatan dana otonomi khusus di kabupaten/kota
yang tidak sesuai dengan ketentuan pergub dan atau amanat UU Nomor 21 Tahun
2001. Sebagai contoh: dibeberapa kabupaten dana otonomi khusus didistribusikan
kepada SKPD-SKPD di luar 6 kewenangan khusus, ironisnya lagi justru SKPD yang
menangani bidang kewenangan diperintahkan dalam undang-undang terkadang justru
mendapatkan porsi yang sangat kecil. Hal ini terutama terjadi pada kewenangan
188 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
khusus yang tidak menjadi ‘mainstream’ penyelenggaraan otonomi khusus seperti
kewenangan bidang lingkungan hidup dan bidang sosial.
Dalam hal perekonomian, Meskipun telah terbit Perdasus Nomor 18/2008 tentang
Perekonomian Berbasis Kerakyatan, pada kenyataannya pendanaan dan implementasi
ekonomi kerakyatan belum memberikan pengaruh signifikan bagi kehidupan dan
kesejahteraan rakyat Papua. Sementara di Provinsi Papua Barat belum terbit Perdasus
mengenai Perekonomian Berbasis Kerakyatan, namun hal ini telah diintegrasikan
dalam rencana strategis BP3D dan menjadikannya ke dalam salah satu program
prioritas ekonomi kerakyatan. Namun sebagaimana di Provinsi Papua, alokasi dana
untuk bidang kewenangan ekonomi kerakyatan mendapat porsi yang kecil sehingga
efeknya kurang terasa dalam pembangunan perekonomian.
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, minimnya jumlah dan kualitas tenaga
pendidik dan kependidikan dan persoalan distribusi tenaga pendidik, sarana dan
prasarana pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil, tertinggal dan terisolir.
Hal yang sama juga berlaku dialami dalam bidang kesehatan dimana minimnya sarana
pelayanan dan alat-alat kesehatan mulai dari Puskesmas hingga se tingkat Rumah
Sakit. Sarana pelayanan kesehatan, meski cenderung mengalami peningkatan
jumlahnya, namun belum mencukupi, ditambah penyebaran tenaga kesehatan relatif
tidak merata karena sebagian besar hanya ingin berada di kota besar. Ketiadaan
petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis juga menjadi catatan tersendiri bagi kedua
bidang ini, yang pada akhirnya menghambat kebijakan affirmative action yang menjadi
keharusan dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat.
Sementara, permasalahan kependudukan tergambar bahwa orang asli Papua
sebagai penduduk tetap di wilayah Provinsi Papua mengalami pertumbuhan yang
sangat lambat dan memprihatinkan karena tidak adanya kebijakan pembangunan di
bidang kependudukan yang memberikan perlindungan terhadap keberadaan orang asli
Papua namun demikian kebijakan akan pembatasan masuknya orang luar Papua
(Perdasi Nomor 15 Tahun 2008) justru menimbulkan kontraproduksi dengan tujuan
penyusunannya ditambah dengan rendahnya kualitas masyarakat dan tingkat
pendidikan orang asli Papua sehingga produktifitas dan kemampuan daya saing
masyarakat asli Papua kurang dibandingkan para pendatang. Hal inilah yang
menyebabkan perlu pemikiran kebijakan yang sejalan dalam upaya menciptakan
langkah konkrit yang tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan dampak lainnya
melalui program-program penguatan kemampuan, produktifitas, dan pemberdayaan
orang asli Papua.
189 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Ketiadaan petunjuk teknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus
juga dikeluhkan pada bidang pembangunan infrastruktur sehingga cenderung sasaran
program pembangungan infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu
pada upaya penerobosan isolasi daerah dalam upaya mempermudah aksesibilitas.
Berlanjut, kepada penanganan lingkungan hidup yang disikapi Pemerintah
Provinsi dengan telah dikeluarkannnya Perdasi Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan dan Peraturan Daerah Provinsi Papua No 22 Tahun
2008 yang mengatur perlindungangan dan Pengelolaan Sumber daya Alam Masyarakat
Hukum Adat Papua, Pemerintah Provinsi menyadari bahwa hampir 80% dari wilayah
tanah Papua adalah hutan sementara kerusakan hutan di Papua semakin meluas
namun demikian belum dimilikinya tenaga penyidik bidang lingkungan hidup,
laboratorium lingkungan di Provinsi, belum dimilikinya tenaga laboratorium
lingkungan hidup dan belum efektifnya pendanaan bagi program pengelolaan
lingkungan hidup menjadi kebutuhan yang harus segera tertanggani bagi pengelolaan
lingkungan hidup yang lebih baik.
Terakhir di bidang sosial, Masih tingginya angka kemiskinan dan penduduk yang
tergolong PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) baik di Papua maupun di
Papua Barat kurang dibarengi dengan alokasi dana Otonomi Khusus yang memadai
untuk menunjang penanggulangannya, diakui memang bidang ini bukan merupakan
bidang prioritas pemerintah daerah akan tetapi bidang ini tetap membutuhkan
penanganan yang lebih baik dan terencana.
E. Strategi Perbaikan Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Mencermati uraian mengenai penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
serta dinamika permasalahan yang dihadapi sebagaimana tersebut di atas, pada bagian ini akan
disampaikan strategi perbaikan sebagai salah satu alternatif penyelesaian berbagai persoalan
implementasi Otonomi Khusus. Implementasi kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua
Barat sampai saat ini masih belum berjalan dengan baik. Adapun strategi optimalisasi
kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat antara lain sebagai berikut:
Gambar 4.49. Strategi Perbaikan Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang
Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Percepatan Penerbitan
Perbaikan Kebijakan
190 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
1. Jangka Pendek (1 s/d 2 Tahun ke depan)
Persoalan besar dalam implementasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
sesungguhnya bukan semata berasal dari regulasi atau peraturan perundang-undangan (UU
Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008) yang
mengatur tentang pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua, namun persoalan utama adalah pada
lemahnya kemampuan dan komitmen para penyelenggara Otonomi Khusus, baik
penyelenggara yang ada di pusat maupun daerah, dalam rangka mensukseskan pelaksanaan
Otonomi Khusus itu sendiri. Dengan demikian, munculnya keinginan untuk segera mengubah
pengaturan Otonomi Khusus (UU Otonomi Khusus) sebagaimana yang sering disampaikan oleh
beberapa kalangan, sebenarnya tidak salah namun untuk jangka pendek tidak tepat, karena
pada kenyataannya belum seluruh amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 telah dilaksanakan oleh
pemerintah daerah.
Peningkatan SDM yang dimaksud tersebut meliputi anggota DPRP/DPRPB, MRP dan
aparatur pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Jika dilihat dari latar belakang tingkat
pendidikan, baik anggota MRP maupun anggota DPRP/DPRPB memang telah memenuhi
persyaratan perundangan karena terbukti mereka telah diusulkan dan akhirnya terpilih
menjadi anggota. Namun dari sisi kompetensi dalam rangka menjalankan tugas pokok, jelas
masih memerlukan peningkatan dan penajaman pada beberapa aspek tertentu. Sebagai
anggota legislatif, peran pimpinan dan anggota DPRP/DPRPB sangat dinantikan terutama
Maka, strategi jangka pendek yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kemampuan para
penyelenggara kebijakan otsus dan sekaligus menggugah komitmen semua pihak, baik Pusat dan
Daerah, untuk bersama-sama menjalankan kebijakan ini secara konsekuen. Dalam konteks
peningkatan kapasitas (capacity building) penyelenggara kebjakan otsus meliputi upaya peningkatan
kapasitas sumber daya manusia (SDM), peningkatan pengelolaan keuangan otsus menyangkut alokasi
anggaran otsus dan transparansi dalam pengelolaan dan pertanggungjawabannya, peningkatan
pengawasan yang menyangkut monitoring dan evaluasi penyelenggaraan otsus.
191 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
dalam penyusunan produk-produk hukum daerah (perdasi) yang diamanatkan oleh UU 21
Tahun 2001, penyusunan anggaran dan pengawasan atas jalannya Otonomi Khusus. Demikian
pula pimpinan dan anggota MRP/MRPB, diharapkan dapat memainkan perannya terutama
dalam memberikan pertimbangan dalam penyusunan perdasus.
Adapun penajaman kompetensi lebih diarahkan pada hal-hal khusus yang belum
dikuasai oleh penyelenggara otonomi khusus, misalnya terkait penyusunan produk
perundangan (legal drafting). Selain itu, para penyelenggara memerlukan pembekalan
substansi penyelenggaraan otonomi khusus seperti persoalan pengelolaan keuangan,
pendidikan, kesehatan, perekonomian/ekonomi kerakyatan, lingkungan hidup, kependudukan
& ketenagakerjaan, dan sosial. Pemahaman yang cukup memadai mengenai hal-hal tersebut
niscaya akan mendorong lembaga-lembaga tersebut dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsi dengan lebih baik. Tidak kalah penting, aparat pemerintah daerah pun perlu diberikan
penajaman kompetensi dalam penyelenggaraan otonomi khusus, salah satunya kemampuan
pengelolaan keuangan daerah.
Kemampuan mengelola keuangan daerah, dalam hal ini tidak hanya menyangkut
kemampuan teknis akuntansi keuangannya, namun yang terpenting adalah pemahaman
mengenai filosofi pengalokasian dan transfer dana otonomi khusus kepada pemerintah
kabupaten/kota. Praktik pengalokasian dana otonomi khusus dengan perbandingan 60:40 di
Provinsi Papua (60% untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi) dan 70:30 (70% untuk
kabupaten/kota dan 30% untuk provinsi) di Provinsi Papua Barat yang telah berlangsung saat
ini, secara konsep dan implementasi masih memerlukan pembenahan. Disinilah perlunya
upaya peningkatan kapasitas, tidak hanya kapasitas pengelolaan keuangan secara umum,
namun pengelolaan keuangan yang mempertimbangkan terlaksananya alokasi anggaran yang
adil untuk kabupaten/kota di wilayah masing-masing. Yang dimaksud adil tidak harus sama
besarnya, tetapi adil dalam pengertian sesuai dengan kriteria dan indikator yang disepakati
bersama.
Selain perlunya berbagai program peningkatan kapasitas sumber daya manusia
khususnya aparatur di Provinsi Papua maupun Papua Barat melalui berbagai kegiatan
bimbingan teknis, pelatihan/diklat, workshop, diskuai, pendidikan formal dan lain sebagainya,
nampaknya Program Pendampingan (supervise) bagi Pemerintah Provinsi Papua dan Papua
Barat dapat dilakukan dalam jangka pendek.
Program Pendampingan (supervisi) adalah penugasan pegawai di lingkungan
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian/Lembaga Pemerintah lainnya dalam
suatu gugus tugas untuk memberikan fasilitasi dalam rangka peningkatan kapasitas
teknikal dan manajerial kepada aparatur pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat
untuk menimgkatkan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan
192 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Agar pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dikawal
dengan baik perlu dilakukan kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan otonomi khusus
setiap tahun sebagai kegiatan rutin untuk melihat seberapa jauh efektivitas pelaksanaan
otonomi khusus dan mengidentifikasikan berbagai permasalahan yang dihadapi agar solusi
pemecahan masalah dapat dilakukan sedini mungkin. Untuk itu perlu di desain suatu
instrument evaluasi pelaksanaan otonomi khusus yang komprehensif.
2. Jangka Menengah (3 s/d 5 Tahun kedepan)
Fakta-fakta yang terungkap di atas, mengindikasikan bahwa sejak awal diberlakukannya
Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua, birokrasi
Kabupaten/Kota se Provinsi Papua masih mengalami banyak kendala dalam permasalahan
teknis baik berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis dalam pengimplementasian
kebijakan di lapangan terlihat dari masih adanya persepsi berbeda dalam pengimplementasian
terkait kebijakan otonomi khusus tersebut. Hal ini harus segera diantisipasi oleh Pemerintah
Provinsi dengan segera menerbitkan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis yang tepat
sehingga dapat memberikan acuan yang jelas dalam penyelenggaraan otonomi khusus
terutama dalam pengalokasian dana otonomi khusus.
Sementara itu, berkaitan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
di tingkat daerah, saat ini Pemerintah Provinsi Papua baru menerbitkan 7 Perdasus dan 8
Perdasi sedangkan Provinsi Papua Barat telah menerbitkan 1 Perdasi. Namun masih ada
Perdasi dan Perdasus yang belum terbentuk, sehingga dikhawatirkan dapat menghambat
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 seperti belum pengelolaan dana Otonomi
Khusus, yang sampai saat ini belum ada aturan pedoman penggunaannya akhirnya penggunaan
dana hanya dibagi berdasarkan kesepakatan bersama antara Provinsi dan daerah
kabupaten/kota di Papua. Ketiadaan Perdasi dan Perdasus menyebabkan kebijakan-kebijakan
publik yang dikeluarkan pemerintah tidak sesuai dengan amanat Otonomi Khusus.
Salah satu penghambat proses penerbitan perdasus dan perdasi adalah belum
diterbitkannya dasar hukumnya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) sehingga dalam hal ini
Pemerintah Pusat juga harus segera menerbitkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang
193 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
merupakan dasar pembuatan peraturan pelaksanaan Undang-Undang nomor 21 tahun 2001,
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
3. Jangka Panjang (5 s/d 10 Tahun ke depan)
Terakhir, dalam jangka panjang diharapkan adanya penyempurnaan terhadap Undang–
Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang penyelenggaraan otonomi khusus Papua dimaksudkan
agar desain kebijakan lebih operasional, jelas dan mampu menjawab problem kebijakan.
Penyempurnaan terkait dengan pasal–pasal yang dianggap penting bagi peningkatan kualitas
penyelenggaran otonomi khusus dan yang terpenting adalah garis besar arah penyempurnaan
harus jelas dan tetap ditujukan untuk lebih meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua.
Perbaikan kebijakan ke depan juga perlu mempertimbangkan suatu format kebijakan yang
lebih detail dan operasional seperti perlunya pengaturan setingkat PP untuk aspek
kewenangan khusus dan keuangan khusus sebagaimana kelembagaan khusus telah diatur
dengan PP, sehingga dapat memandu jalannya penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Provinsi Papua dan Provinisi Papua Barat secara menyeluruh. Saat ini
kebijakan yang ada banyak membutuhkan tindak lanjut kebijakan operasional baik dalam
bentuk Peraturan Pemerintah, Perdasus maupun Perdasi.
194 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
BAB V PENUTUP
ada bagian ini akan dijelaskan tentang kesimpulan dari peneliti yang telah dilakukan, selain kesimpulan dan saran agar penelitian dengan tema yang serupa dapat lebih baik dan memberikan dampak yang positif bagi penyelenggaran otonomi khusus Papua dan
Papua Barat.
A. Kesimpulan
Berdasarkan gambaran yang telah diuraiakan dalam bagian sebelumnnya maka dapat
ditarik suatu garis merah atau kesimpulan sebagai berikut :
1. Masalah–masalah dalam level kebijakan yang perlu mendapat perhatian, sebagai bahan
pertimbangan ke depan ditemukan beberapa hal sebagai berikut:
a. Tidak adanya petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis mengakibatkan
pelaksanaan kewenangan khusus seperti Pendidikan, Kesehatan, Sosial,
Ketenagakerjaan dan Lingkungan Hidup yang juga diatur oleh Undang–Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berimplikasi kepada ketidakjelasan
urusan-urusan yang harus dikelola sebagai penjabaran kewenangan khusus tersebut
dan seringkali terjadi tumpang tindih pengelolaan kewenangan tersebut.
b. Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang
manajemen penyelenggaraan otonomi khusus, mengakibatkan desain kebijakan
perdasus dan perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan
yang tegas.
c. Belum ada perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan Otonomi Khusus
misalnya, pada bidang sosial, bagaimana ruang lingkup dan indicator yang bisa
dijadikan ukuran untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan urusan/kewenangan ini.
d. Belum ada mekanisme dalam penambahan kuota kursi bagi DPRP yang diamanatkan
Undang–Undang Otonomi Khusus tersebut.
e. Belum terbangunnya pola dan mekanisme kerja kewenangan antara ketiga institusi
strategis (DPRP/DPRPB, Pemerintah Provinsi, dan MRP) mengakibatkan kinerjanya
yang tidak optimal, ketidakjelasan hubungan dan pola kerja di antara lembaga-
lembaga ini mengakibatkan munculnya “konflik kepentingan” bermain pada ranah yang
tidak jelas.
P
195 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
2. Implementasi Kebijakaan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat terkait pengaturan dan
pelaksanaan pengelolaan keuangan, kewenangan khusus, lembaga khusus dan kekhususan
lainnya:
a. Jumlah dana Otonomi Khusus dan dana tambahan infrastruktur yang telah diserahkan
kepada Provinsi Papua dan Papua Barat dari tahun ke tahun cenderung mengalami
peningkatan, pengalokasian dana otsus dari pemerintahan provinsi kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pelaksana kebijakan dilakukan sebesar 60%
Pemerintah Provinsi dan sisanya 40% dibagikan kepada seluruh kabupaten/kota di
Provinsi Papua sedangkan pada Provinsi Papua Barat, Kabupaten/Kota mendapat
proporsi alokasi yang lebih tinggi yaitu 70% untuk Provinsi dan 30% untuk
Pemerintah Kabupaten/Kota. Penglokasian pada tiap–tiap Kabupaten/Kota dengan
memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, kondisi geografis dan tingkat
kesulitan wilayah, pendapatan asli daerah, pemerimaan pajak bumi dan bangunan,
produk domestik regional bruto (PDRB) diharapkan dana Otonomi Khusus dapat
memperkuat kemampuan keuangan Pemerintah Provinsi Papua serta pemerintah
kabupaten dan kota dalam rangka percepatan pembangunan dengan tujuan
mendukung pelaksanaan otonomi khusus Papua, meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat dan
mengurangi kesenjangan pembangunan antar sektor, antar wilayah, serta antar desa-
kota.
b. Dalam lembaga khusus, fungsi DPRP tidak memiliki peran dan fungsi secara langsung
dalam mewujudkan perlindungan hak–hak asli orang Papua, keterberpihakan kepada
masyasarkat asli Papua diwujudkan ketika pembahasan dan penetapan Peraturan
Daerah Khusus (Perdasus) yang melibatkan hubungan kerja antara DPRP, MRP dan
Gubernur.
c. Dalam penyelenggaraan otonomi khusus, telah banyak hal yang dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota terkait 6 (enam) bidang
kewenangan khusus yang harus dipenuhi yaitu: perekonomian, pendidikan dan
kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup dan
sosial dengan kebijakan `affirmative action` atau keberpihakan pada orang asli Papua
seperti program pendidikan dan kesehatan gratis, penggratisan beras bagi masyarakat
miskin, beasiswa bagi mahasiswa hingga program strata tiga, pengutamaan orang asli
Papua dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil dan pembangunan pasar
tradisional sebagai pusat pemberdayaan ekonomi kerakyatan bagi orang asli Papua.
196 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
d. Perdasus dan Perdasi sebagai pedoman penyelenggaraan otonomi khusus telah ada
yang diterbitkan dan menjadi acuan pelaksanaan bagi Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota walaupun belum sesuai target yang diharapkan.
3. Permasalahan kebijakan dan implementasi penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan
Papua Barat, terkait dengan pengelolaaan keuangan khusus dan pelaksanaan kewenangan
khusus dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Aspek Keuangan Khusus dan Pengelolaannya
- Alokasi dana dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan
Papua Barat mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Namun pengelolaan dana
otonomi khusus dalam prakteknya belum berjalan secara optimal.
- Belum adanya acuan yang jelas dalam pengelolaaan dana otonomi khusus tersebut,
sehingga pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya seringkali mengalami
kebingungan dalam hal pengalokasiannya. Setelah diterbitkannya Peraturan
Gubernur yang mengatur pengelolaan dana otonomi khusus, program dan kegiatan
mulai lebih terarah pada sektor prioritas. Namun keberadaan peraturan ini belum
optimal dan masih dijumpai ketidaksesuaian pengelolaan dana dengan prioritas
otonomi khusus.
- Pengaturan masalah pembagian dana otonomi khusus yang didistribusikan
pemerintah provinsi kepada tiap kabupaten/kota masih belum jelas
pengaturannya. Keberadaan jumlah penduduk asli Papua dan kondisi
ketertinggalan belum sepenuhnya menjadi pertimbangan.
b. Aspek Kelembagaan Khusus
- DPRP/DPRPB masih belum memperhatikan kepentingan orang asli Papua, sehingga
tujuan utama penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat
yaitu proteksi terhadap keberadaan orang asli Papua masih sering terabaikan.
- Keberadaan MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat yang merupakan
lembaga kultural yang relatif baru, masih memerlukan penguatan terhadap anggota
dalam memahami tugas dan wewenang, hak dan kewajibannya baik sebagai
anggota MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat, maupun sebagai
lembaga khusus.
c. Aspek Kewenangan Khusus
Dalam pelaksanaan 6 (enam) bidang kewenangan khusus, terdapat berbagai
permasalahan sebagai berikut:
- Sektor ekonomi dalam pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat
merupakan salah satu sektor yang mendapat perhatian khusus. Pemerintah Papua
197 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
telah mencoba menerjemahkan kebijakan tersebut dengan menerbitkan perdasus
tentang ekonomi berbasis kerakyatan dan keberpihakan pada masyarakat adat
dalam mendapat manfaat ekonomi dalam pengelolaan hutan. Di level
kabupaten/kota telah diupayakan berbagai program ekonomi kerakyatan namun
hasilnya belum optimal. Program pemberdayaan ekonomi kerakyatan efeknya
kurang terasa dalam pembangunan perekonomian.
- Sektor pendidikan dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat
mendapat perhatian yang lebih. Pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus
diterjemahkan beragam oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam berbagai program-program peningkatan prasarana serta peningkatan
kuantitas dan kualitas pendidik. Sejumlah program juga diterapkan untuk
meningkatkan tingkat pendidikan putra-putri asli Papua. Terdapat peningkatan
partisipasi sekolah di berbagai jenjang usia pendidikan. Ada indikasi perbaikan di
bidang pendidikan, meskipun hasilnya belum optimal dan memerlukan perbaikan
dalam kualitas pendidikan berupa ketersediaan sarana pendidikan dan sumber
daya manusia pendidiknya. Bidang pendidikan mendapat dukungan yang besar dari
Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga sumber utamanya APBD.
- Selama ini implementasi otonomi khusus di bidang kesehatan belum diatur dengan
perdasus. Perdasus pelayanan kesehatan baru ditetapkan tahun 2010 dan belum
tersosialisasikan dengan baik. Kewajiban memberikan pelayanaan kesehatan bagi
penduduk belum dilaksanakan secara memadai, masyarakat masih mengalami
kesulitan mengakses pelayanan kesehatan, terutama karena minimnya sarana
pelayanan kesehatan dan tenaga bidang kesehatan. Terdapat berbagai upaya
pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-
penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk, namun masih belum
optimal. Demikian halnya dengan program-program perbaikan dan peningkatan
gizi penduduk, meski ada indikasi penurunan secara makro, namun angka
penderita gizi buruk dan kurang masih signifikan di kedua provinsi. Peningkatan
ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, perlu terus ditingkatkan karena
kondisinya masih sangat kekurangan, khususnya pada daerah-daerah yang sulit
dijangkau dan daerah pemekaran. Sumber daya manusia juga menjadi persoalan
yang serius dalam pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua
Barat. Di samping kurangnya tenaga kesehatan yang ada, persoalan lain terkait
sumber daya manusia juga menyangkut lemahnya kemampuan manajerial dan
keuangan.
198 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
- Pembangunan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan
Papua Barat telah dilaksanakan dalam berbagai bentuk pembangunan sarana dan
prasarana fisik. Namun ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur
yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi
daerah yang upaya mempermudah aksesibilitas. Hal ini menjadikan pelaksanaan
otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan dengan esensinya.
Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan
dana otonomi khusus. Implementasi pembangunan infrastruktur dalam rangka
pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat juga diwarnai
berbagai masalah mulai dari masalah teknis pendanaan yang mengalami
keterlambatan, kondisi medan geografis yang sulit, dan kendala pembebasan tanah
ulayat.
- Upaya untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap
pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi
khusus telah dilakukan di antaranya melalui penerbitan Peraturan Daerah Provinsi
Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan, sementara di Provinsi Papua
Barat belum ada perdasus yang mengatur tentang kependudukan. Di satu sisi hal ini
dapat membantu menyediakan data dan informasi tentang keberadaan penduduk
asli Papua. Namun demikian, ada kecenderungan untuk memberikan tindakan
diskriminatif terhadap penduduk asli Papua dan bukan asli Papua. Upaya untuk
mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi
penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan yang diamanatkan dalam
kebijakan otonomi khusus tidak dimaksudkan untuk memberikan diskriminasi
antara penduduk asli Papua dan bukan asli Papua dalam memberikan kesempatan
bekerja. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan
kemampuan dan keahlian masyarakat asli Papua untuk bisa lebih berdaya saing
dalam memperoleh pekerjaan. Meski angka pengangguran terbuka mengalami
penurunan pada beberapa tahun terakhir ini di Provinsi Papua maupun Papua
Barat, namun kondisi tingkat pengangguran terbuka masih mengindikasikan
perlunya upaya yang lebih baik. Perhatian untuk pelaksanaan otonomi khusus bagi
bidang kependudukan dan tenaga kerja masih perlu ditingkatkan.
- Dalam bidang lingkungan hidup, upaya pengelolaan lingkungan diantaranya telah
dilakukan dengan menerbitkan perdasus telah diterbitkan perdasus tentang
pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi
Papua. Sementara untuk Provinsi Papua Barat belum ada perdasus yang mengatur
199 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
tentang hal tersebut. Meski telah ditetapkan, namun perdasus yang ada belum
sepenuhnya menjadi acuan dan belum banyak diterapkan pada upaya-upaya yang
konkrit. Upaya pelestarian lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara
berkelanjutan, perlindungan sumber daya alam hayati, sumber daya alam
nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan
lindung serta pegelolaan perubahan iklim perlu ditingkatkan.
- Permasalahan lainnya dalam bidang lingkungan hidup ini adalah belum adanya
lembaga independen dalam penyelesaiaan sengketa lingkungan kemudian juga
diikuti dengan sarana prasarana pendukung dan terakhir SDM yang berlatar
belakang lingkungan hidup.
- Bidang sosial belum tertangani dengan baik dalam pelaksanaan otonomi khusus.
Dana Otonomi Khusus yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat
terbatas dan bidang ini cenderung tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
Karena minimnya perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan
masalah sosial menjadi kurang optimal. Dalam bidang sosial, dengan spektrum
yang sangat luas yang diatur harus ada pengaturan yang jelas antara mana yang
menjadi ranah penyelenggaraan otonomi khusus menurut UU Nomor 21 Tahun
2011 dan mana yang menjadi ranah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah
daerah sehingga memerlukan kejelasan hal-hal yang ingin dicapai melalui
pelaksanaan otonomi khusus di bidang sosial.
d. Perdasi dan Perdasus
Keterlambatan penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus selain
disebabkan permasalahan keterlambatan legislasi seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, permasalahan anggaran juga masih menjadi kendala klasik
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut, untuk keberhasilan implementasi
kebijakan penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan Papua Barat, maka diajukan saran
sebagai masukan bagi perbaikan implementasi program ini dimasa yang akan datang
sebagai berikut:
1. Dalam tahapan Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
diajukan beberapa saran yang dapat memperbaiki pelaksanaannya dilapangan sebagai
berikut:
200 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
a. Perlu adanya acuan yang jelas mengenai pengaturan bersama dalam hal
penggunaan, pengalokasian dan transfer dana otonomi khusus selain itu diperlukan
juga pengawasan dalam bentuk monitoring dan evaluasi yang lebih efektif dan
efisien sehingga dana otonomi khusus benar-benar jelas pemakaiannya.
b. Perlu adanya Juklak dan Juknis yang mengiringi penggunaan dana Otonomi
Khusus agar lebih tepat sesuai dengan tujuan otonomi khusus sehingga ada
ketegasan tentang bagaimana pencapaian sasaran/target yang harus dilakukan
terkait penggunaan dana otonomi khusus.
c. Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan otonomi khusus mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, sampai pada tahapan monitoring dan
evaluasi sesuai dengan sistem pengelolaan keuangan daerah dalam rangka
penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi Papua dan Papua Barat, untuk
terciptanya akuntabilatas dan transparansi pengelolaan dana otonomi khusus.
Diperlukan upaya perbaikan dalam mekanisme dan perhitungan pengalokasian
dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat dengan lebih memperhatikan jumlah
penduduk asli Papua dan kondisi ketertinggalan di setiap kabupaten/kota. Selain
itu perlu adanya perbaikan dalam mekanisme transfer dari pusat ke provinsi,
sehingga tidak terjadi keterlambatan dropping dana Otonomi Khusus.
d. Peningkatan kapasitas yang berkesinambungan terhadap sumber daya yang ada
bukan hanya lembaga khusus tetapi juga seluruh pemangku kepentingan yang
terlibat dalam penyelenggaraan otonomi khusus Papua, seperti halnya Anggota
DPRP/DPRPB dan Aparatur Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
e. Pengelolaan dana otonomi khusus harus dilakukan secara transparan melalui
laporan pertanggungjawaban publik dengan demikian fungsi kontrol akan berjalan
efektif, sesuai dengan mekanisme yang berlaku untuk pengelolaan keuangan
daerah.
f. Perlu pengaturan yang jelas, mana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang otonomi khusus dan mana yang diatur Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah seperti pengaturan bidang
pendidikan, kesehatan, sosial dimana bidang-bidang tersebut juga sudah ada
Standar Pelayanan Minimal, dengan memperhatikan situasi dan kondisi di Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat.
g. Perdasi-perdasus perlu lebih disosialisasikan oleh pemerintah provinsi dan diikuti
dengan upaya-upaya konkrit dari pemerintah kabupaten/kota.
201 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
2. Untuk menjamin agar pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan otonomi khusus Papua
dan Papua Barat ini berjalan secara lancar khususnya dalam faktor komunikasi dan
kemampuan pegawai yang merupakan faktor penentu keberhasilan implementasi
program ini, disarankan dilakukan komunikasi dan koordinasi internal maupun
eksternal dari semua pemangku kepentingan (Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
DPRP/DPRPB, MRP Provinsi Papua/MRP Provinsi Papua Barat, Pemerintah
Kabupaten/Kota, DPRD Kabupaten/Kota) perlu ditingkatkan.
3. Untuk faktor-faktor lain yang menjadi pengaruh bagi keberhasilan kebijakan
otonomi khusus Papua dan Papua Barat diajukan saran dan rekomendasi sebagai
berikut :
a. Kementerian Dalam Negeri, perlu menerbitkan peraturan yang berkaiitan dengan
pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
b. Dibutuhkan dukungan bersama dari kementerian/lembaga terkait dalam
implementasi kewenangan khusus dalam bidang perekonomian, kependudukan
dan tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup dan sosial. Diharapkan
kementerian/lembaga terkait dapat berperan sebagai katalisator terhadap
pencapaian tujuan penyelenggaran otonomi khusus yaitu peningkatan taraf hidup
masyarakat asli Papua melalui peningkatan dan percepatan pembangunan sarana
dan prasarana dasar (pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat) di seluruh Papua,
antara lain: prasarana perhubungan, transportasi dalam rangka membangun
jaringan transportasi terpadu, ketersediaan air bersih, energi dan ketersediaan
telekomunikasi yang cukup dan memadai bagi seluruh rakyat.
c. Pembentukan daerah otonom baru harus dilakukan secara bersamaan dengan
restrukturisasi beberapa kabupaten, kecamatan dan desa, sehingga kantor
pemerintah daerah dapat lebih dekat, sehingga mudah diakses oleh masyarakat.
d. Perdasus dan perdasi yang belum diterbitkan harus segera diselesaikan terutama
yang berkaitan dengan pengelolaan dana otonomi khusus, kewenangan khusus, dan
kelembagaan khusus yang sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaannya.
Selama ini penggunaan dana hanya dibagi berdasarkan kesepakatan bersama
antara provinsi dan daerah kabupaten/kota, hal inilah yang menimbulkan
kerancuan dalam pengalokasiannya kepada masyarakat dan juga dibutuhkan
penyempurnaan berbagai perdasus dan perdasi sehingga dapat lebih berpihak
kepada masyarakat asli Papua seperti Perdasi Kependudukan harus lebih
menitikberatkan kepada pemberdayaan penduduk asli Papua agar dapat memiliki
202 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
kesempatan yang sama dengan pendatang dalam hal pemenuhan lapangan
pekerjaan.
e. Untuk menjamin agar implementasi penyelenggaraan otonomi khusus ini dapat
terimplementasi dengan baik, maka perlu memaksimalkan peran MRP sebagai
fungsi pengawasan dari setiap tahapan kebijakan yang berkaitan dengan
perlindungan terhadap orang asli Papua melalui pemberian pertimbangan dan
persetujuan. Hal ini menyebabkan pentingnya bagi MRP untuk terus meningkatkan
kapasitas kelembagaan dan profesionalisme serta dengan terus memperbaiki
sistem pemilihan anggota MRP.
f. Pemerintah Provinsi Papua, kabupaten/kota, DPRP/DPRPB, MRP Provinsi Papua
dan MRP Provinsi Papua Barat mesti mensikronisasikan tugas dan wewenangnya
dalam rangka melindungi, keberpihakan, dan memberikan peluang bagi orang asli
Papua di bidang Kesehatan dan Pendidikan.
g. Searah dengan tujuan penyelenggaran otonomi khusus di Papua dan Papua Barat
yaitu dalam rangka pengingkatan taraf hidup masyarakat asli Papua untuk
mengurangi kesenjangan dengan provinsi lainnya butuh dukungan dan waktu yang
mencukupi sehingga penyelenggaraannya dapat mencapai sasaran dan tujuan yang
ditetapkan.
C. Srategi Perbaikan
Strategi perbaikan dalam memperkuat kebijakan dan implementasi kebijakan
otonomi khusus Papua dan Papua Barat dapat dilasanakan berdasarkan jangka waktunya
yaitu jangka pendek yang berlangsung 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) tahun ke depan,
Jangka menengah yang berlangsung 3 (tiga) sampai 5 (lima) tahun ke depan dan Jangka
panjang yaitu 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) tahun ke depan.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam strategi perbaikan dapat dimulai
dengan meningkatkan kemampuan para penyelenggara kebijakan Otonomi Khusus dan
sekaligus memantapkan komitmen semua pihak, baik pusat maupun daerah untuk
bersama-sama menjalankan kebijakan ini secara konsekuen dengan Program
Pendampingan (supervisi) dari pemerintah dalam memberikan fasilitasi dan advokasi guna
peningkatan kapasitas teknikal dan manajerial.
Jangka Pendek: 1) Meningkatkan kemampuan para penyelenggara kebijakan
otonomi khusus dan sekaligus menggugah komitmen semua pihak, baik pusat dan daerah,
untuk bersama-sama menjalankan kebijakan ini secara konsekuen; 2) Perlu dilakukan
pendampingan teknis untuk menyelesaikan Perdasi/Perdasus yang diamanatkan UU
203 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008; 3) Setiap tahun perlu dilakukan
Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus sebagai amanat pelaksanaan Pasal 78 UU
Nomor 21 Tahun 2001, yang hasilnya dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk
perumusan kebijakan dan implementasi otonomi khusus, serta dapat menjadi
pertimbangan dalam pencairan alokasi dana otonomi khusus; dan 4) Untuk itu perlu segera
disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) tentang Pengelolaan Dana
Otonomi Khusus.
Jangka Menengah, Strategi diarahkan untuk mendorong pemerintah pusat dalam
menerbitkan Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi
Khusus, ataupun yang tidak diamanatkan tetapi diperlukan untuk menjalankan
kewenangan khusus mengacu kepada Pasal 74 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jangka Panjang, perlu dilakukan penyempurnaan Undang-Undang Otonomi Khusus
Papua agar desain kebijakan lebih operasional dan mampu menjawab problem kebijakan,
dengan memperhatikan perkembangan dinamika sosial politik.
Recommended