105700454-86888365-Trauma-Medulla-Spinalis - Copy.doc

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian. Cedera medulla spinalis dapat terjadi sementara ataupun permanen. 4,5 Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Trauma medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total, dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunteer. 4,5cedera medulla spinalis adalah suatu kondisi yang telah diakui seperti sejak jaman dahulu . Pada sekitar 2500 SM, Edwin Smith papyrus, seorang dokter Mesir

menggambarkan fitur klinis traumatis tetraplegia ( quadriplegia ) dan mengungkapkan

prognosis yang jelek terhadap trauma medulla spinalis.7

cedera medulla spinalis terjadi sebanyak 12.000 pasien per tahun berdasarkan National Spinal Cord Injury database. Namun, perkiraan ini didasarkan pada data yang sudah tua dari tahun 1990-an karena belum ada studi secara keseluruhan. Perkiraan dari berbagai studi menunjukkan bahwa jumlah orang di Amerika Serikat hidup di tahun 2010 dengan trauma medulla spinalis adalah 265.000 ( dengan kisaran, 232,000-316,000 ).4

Laki-laki sekitar 4 kali lebih mungkin dibandingkan perempuan untuk terjadinya trauma medulla spinalis. Secara keseluruhan, laki-laki mencapai 80,7 % .

Sejak tahun 2005 , penyebab paling umum dari cedera tulang belakang ( SCI ) tetap kecelakaan kendaraan bermotor ( 40,4 % ), jatuh ( 27,9 % ), kekerasan interpersonal ( terutama luka tembak ) ( 15,0 % ), dan olahraga ( 8,0% ).4Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medulla spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.5BAB II

TINJAUAN PUSTAKAA. Anatomi1. Anatomi columna vertebralis

Columna vertebralis terdiri dari 33 vertebra yaitu terdiri dari 7 vertebra cervicalis, 12 vertebra thoracalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sacralis dan 4 vertebracoccygis.2 Gambar 1 : anatomi collumna vertebralis 1

Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :5a. Vetebra Cervicalis (atlas)

Vetebra cervicalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebra cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbra cervikalis ketujuh disebut dominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang.

b. Vertebra Thoracalis

Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.

c. Vertebra Lumbalis

Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurannya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.

d. Os. Sacrum

Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.

e. Os. Coccygis

Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.Fungsi columna vertebralis yaitu sebagai berikut:a. Menyangga berat kepala dan batang tubuh

b. Memungkinkan pergerakan kepala dan batang tubuh

c. Melindungi medulla spinalis

d. Memungkinkan keluarnya nervus spinalis dari canalis spinalis

e. Tempat untuk perlekatan otot-otot

Vertebra yang khas terdiri dari corpus vertebra dan arcus vertebra. Contohnya vertebra lumbalis. Corpus vertebra adalah bagian ventral yang member kekuatan pada columna vertebralis dan menanggung berat tubuh. Arcus vertebra adalah bagian dorsal vertebra yang terdiri dari pediculus arcus vertebra dan lamina arcus vertebra. Pediculus arcus vertebra adalah tajuk pendek yang kokoh dan menghubungkan lengkung pada corpus vertebra. Incisura vertebralis merupakan merupakan torehan pada pedikulus arcus vertebra. Incisura vertebra superior et inferior membentuk sebuah foramen intervertebrale. Pedikulus arcus vertebra menjorok kearah dorsal untuk bertemu dengan dua lempeng tulang yang lebar dan gepeng yaitu lamina arcus vertebra. Foramen vertebra berurutan pada columna vertebralis yang utuh membentuk canalis vertebralis yang berisi medulla spinalis, meninges, jaringan lemak, akar saraf, dan pembuluh.32. Anatomi medulla spinalis4,5Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat (SSP). Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang dibawah conus terminalis serabut-serabut bukan saraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat. Terdapat 31 pasang saraf spinal: 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf torakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral dan 1 pasang saraf koksigeal.

Gambar 2 : medulla spinalis 6Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan kauda equina. Setiap pasangan saraf keluar melalui intervertebral foramina. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.

Struktur internal medula spinalis terdiri dari substansi abu abu dan substansi putih. Substansi Abu-abu membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian luarnya oleh substansi putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure san median septum yang disebut dengan posterior median septum.

Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal. Substansi abu-abu mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, saraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Substansi abu-abu membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, posterior dan komisura abu-abu. Bagian posterior sebagai input /afferent, anterior sebagai output/efferent, komisura abu-abu untuk refleks silang dan substansi putih merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.

Gambar 3. Struktur internal medulla spinalis5Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks. Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :

a. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit

b. Serabut saraf sensorik : mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis

c. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis

d. sel saraf motorik ; dalam kornu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik

e. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik

f. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rectum.B. Definisi Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian. Cedera medulla spinalis dapat terjadi sementara ataupun permanen. 4,5

Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas.5C. Epidemiologicedera medulla spinalis adalah suatu kondisi yang telah diakui seperti sejak jaman dahulu . Pada sekitar 2500 SM, Edwin Smith papyrus, seorang dokter Mesir menggambarkan fitur klinis traumatis tetraplegia ( quadriplegia ) dan mengungkapkan

prognosis yang jelek terhadap trauma medulla spinalis.7 cedera medulla spinalis terjadi sebanyak 12.000 pasien per tahun berdasarkan National Spinal Cord Injury database. Namun, perkiraan ini didasarkan pada data yang sudah tua dari tahun 1990-an karena belum ada studi secara keseluruhan. Perkiraan dari berbagai studi menunjukkan bahwa jumlah orang di Amerika Serikat hidup di tahun 2010 dengan trauma medulla spinalis adalah 265.000 ( dengan kisaran, 232,000-316,000 ).4

Laki-laki sekitar 4 kali lebih mungkin dibandingkan perempuan untuk terjadinya trauma medulla spinalis. Secara keseluruhan, laki-laki mencapai 80,7 % . 4D. Etiologi4 Sejak tahun 2005 , penyebab paling umum dari cedera tulang belakang ( SCI ) tetap : 1. kecelakaan kendaraan bermotor ( 40,4 % )

2. jatuh ( 27,9 % ) , yang paling umum pada mereka yang berusia 45 tahun atau lebih tua. Perempuan tua dengan osteoporosis memiliki kecenderungan untuk patah tulang belakang karena jatuh dan berkaitan dengan SCI 3. kekerasan interpersonal ( terutama luka tembak ) ( 15,0 % ), yang merupakan penyebab paling umum pada beberapa daerah perkotaan AS. Di antara pasien yang menderita serangan , cedera tulang belakang dari cedera penetrasi cenderung lebih buruk dari pada cedera tumpul 4. olahraga ( 8,0% ) , di mana menyelam adalah penyebab paling umum ) . Penyebab lain cedara medulla spinalis meliputi :

1. gangguan pembuluh darah

2. Tumor

3. kondisi infeksi

4. spondylosis

5. Cedera iatrogenik , terutama setelah suntikan tulang belakang dan penempatan kateter epidural

6. Patah tulang belakang sekunder untuk osteoporosis

7. gangguan perkembanganE. Patofisiologi

Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk dipahami, sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder. Pada skema (Gambar 4), menggambarkan kombinasi dari berbagai macam tipe cedera medula spinalis. Banyak sel di medula spinalis mati seketika secara progresif setelah terjadinya cedera. Kista biasanya terbentuk setelah cedera memar. Setelah mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer seringkali menyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk jaringan parut yang bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan mikroglia. Akson asending dan desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki diri. Beberapa akson membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam trabekula dan dibentuk oleh sel ependim. Segmen akson bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag. Sebagian remielinasi muncul spontan, yang terbanyak dari sel schwan.5,8

Gambar 4. Skema medula spinalis potongan sagital, A. Medula spinalis

intak (sebelum trauma), B. Medula spinalis setelah cedera.8Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi vertebra

yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medula atau distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan (stretch) pada medula. Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari vertebra yang menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan tulang lain atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan menjepit medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan arthritis degeneratif dan stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum flavum yang terletak di kanalis vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit diantara spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan sindroma medula sentral.2,9

Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera primer dan sekunder. Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula spinalis, pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada umumnya terjadi akibat fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal, fraktur dislokasi, dan rupture diskus akut. Kedua, Dampak cedera disertai kompresi sementara, dapat terjadi misalnya pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami cedera hiperekstensi. Ketiga adalah distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan pada bidang aksial akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau adanya dislokasi yang menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medula spinalis dan atau asupan darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologisn dan pada umumnya terjadi pada anak-anak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang rawan, ototnya masih belum berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah. Pada orang dewasa, cedera medula spinalis tanpa disertai kelainan radiologis umumnya terjadi pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau transeksi, dapat terjadi akibat luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau distraksi yang parah. Laserasi dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai transeksi lengkap.5,10Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi substansia

grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap awal akan terjadi perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan terganggunya aliran darah medulla spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia sehingga terjadi infark lokal. Hal ini menyebabkan substansia grisea rusak. Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena kebutuhan metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik terganggu dan ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro (mikrohemorrages) atau edema di sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat menyebabkan saraf tersebut semakin terganggu. Hal tersebut yang mendasari pemikiran bahwa substansia grisea mengalami kerusakan yang ireversibel selama satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami kerusakan selama 72 jam setelah cedera.5,10Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan patologis akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu timbulnya kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter, eikosanoid vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid. Program jalur kematian sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan darah dari barier medula akibat edema dan peningkatan tekanan jaringan. Selama berlangsungnya perdarahan pada medula, maka suplai darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder. Cedera sekunder meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan dan reperfusi-iskemia, eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium dan gangguan cairan elektrolit, trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya.5,9,10F. Klasifikasi

Gambar 5. Kategori pasien cedera medula spinalis berdasarkan tingkat dan derajat

defisit neurologis menurut sistem ASIA.4Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA) berdasarkan hubungan antara kelengkapan dan level cedera dengan defisit neurologis yang timbul (Gambar 5.):

A. Komplit: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang tersisa pada segmen sakral S4-S5

B. Inkomplit: Terdapat fungsi sensorik tanpa fungsi motorik di bawah lesi termasuk segmen sakral S4-S5.

C. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki kekuatan otot kurang dari 3.

D. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki kekuatan otot 3 atau lebih.

E. Normal: Fungsi motorik dan sensorik normalG. Gejala Klinis 1. Tanda dan gejala berdasarkan pembagian klasifikasi

Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan kehilangan fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu, hilangnya reflek pada segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus, kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam. Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan kadar ion pada lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis dapat kembali seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah trauma. Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya cedera. Defisit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat digambarkan dari pola kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga sebaliknya, antara lain:5,9,111. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan fungsi transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah lesi. Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah mereduksi diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medula. Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi otonomik termasuk

fungsi bowel, bladder dan sensorik.

2. Lesi Inkomplit

a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh bagian ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal) dengan kolumna dorsalis yang masih intak dan sensasi raba (propioseptif), tekan dan posisi masih terjaga, meskipun terjadi paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi diskus akut atau iskemia dari oklusi arteri

spinal.

b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara ekstensif pada salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan (paralisis) dan kehilangan kontrol motorik, perasaan propioseptif ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) kontralateral di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka tusuk atau tembak.

c. Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada sentral medula spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai cedera yang konkusif. Cedera tersebut mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan ekstremitas bawah disertai parestesi. Namun, sensasi perianal serta motorik dan sensorik ekstrimitas inferior masih terjaga karena distal kaki dan serabut saraf sensorik dan motorik sacral sebagian besar terletak di perifer medula servikal. Lesi ini terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari medula servikal akibat ligamentum flavum yang tertekuk selama trauma hiperekstensi leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis servikal.

d. Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat menyebabkan sel saraf pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke serabut kortikospinal, dan radiks dorsaliss lumbosakral disertai disfungsi upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).

e. Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang atau ekstrusi diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks dorsalis

Gambar 6. 5,11

2. Manifestasi lesi traumatic5 Komosio Medula Spinalis

Komosi medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla spinalis hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi. Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam / hari tanpa meninggalkan gejala sisa.

Kerusakan yang medasari komosio medulla spinalis berupa edema, perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Pada inspeksi makroskopik medulla spinalis tetap utuh. Bila paralisis total dan hilangnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medulla spinalis lebih mengarah ke perubahan patologik daripada fisiologik.

Kontusio Medula SpinalisBerbeda dengan komosio medulla spinalis yang diduga hanya merupakan gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan makroskopik, maka pada kontusio medulla spinalis didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medulla spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan (edema), perubahan neuron, reaksi peradangan.

Perdarahan didalam substansia alba memperlihatkan adanya bercak-bercak degenerasi Wallerian dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron.

Laserasio Medula SpinalisPada laserasio medulla spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat diskontinuitas medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok/tusukan, fraktur dislokasi vertebra.

PerdarahanAkibat trauma, medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural maupun hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat dari sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang ringan tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis. Kedua keadaan diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah perdarahan di dalam substansia grisea medulla spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash atau trauma tidak langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medulla spinalis di bawah lesi, yang sering menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis dan posterior medulla spinalis. Hal ini menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella sebagai berikut : terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis otot, dengan utuhnya sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi funikulus posterior.

Kompresi Medula SpinalisKompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun perdarahan epidural dan subdural. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam kanalis vertebralis. Akan didapati nyeri radikuler, dan paralisis flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi.

Akibat hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash) radiks saraf tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).

Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian, dan menimbulkan nyeri radikuler spontan. Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis, yang sebenarnya lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis.

Di bawah lesi kompresi medulla spinalis akan didapati paralisis otot dan gangguan sensorik serta otonom sesuai dengan derajat beratnya kompresi. Kompresi konus medularis terjadi akibat fraktur-dislokasi L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis medulla spinalis. Biasanya tidak dijumpai gangguan motorik yang menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang terutama mengenai daerah sadel, perineum dan bokong.

Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urine serta pada pria terdapat impotensi. Kompresi kauda ekuina akan menimbulkan gejala, yang bergantug pada serabut saraf spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai paralisis flaksid dan atrofi otot. Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat.

Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilangnya control dari vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.

Hemiseksi Medula SpinalisBiasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medulla spinalis. Gambaran klinisnya merupakan sindrom Brown Sequard yaitu setinggi lesi terdapat kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN) ipsilateral pada otot-otot yang disarafi oleh motoneuron yang terkena hemilesi. Di bawah tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsilateral kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan neuron sensorik proprioseptif, sedangkan pada sisi kontralateral terdapat neuron sensorik protopatik.

Sindrom MedulaSpinalis bagian AnteriorSindrom ini mempunyai gambaran khas berupa : paralisis dan hilangnya sensibilitas protopatik di bawah tingkat lesi,tetapi sensibilitas protopatik tetap utuh.

Sindrom Medula Spinalis bagian PosteriorCiri khas sindrom ini adalah adanya kelemahan motorik yang lebih berat pada lengan dari pada tungkai dan disertai kelemahan sensorik. Defisit motorik yang lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan akibat rusaknya sel motorik di kornu anterior medulla spinalis segmen servikal atau akibat terlibatnya serabut traktus kortikospinalis yang terletak lebih medial di kolumna lateralis medulla spinalis. Sindrom ini sering dijumpai pada penderita spondilitis servikal.

Transeksi Medula SpinalisBila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal maka akan dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak yaitu :

1. semua gerak otot pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi akan hilang fungsinya secara mendadak dan menetap

2. semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang

3. semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan hilang. Efek terakhir ini akan disebut renjatan spinal (spinal shock), yang melibatkan baik otot tendon maupun otot otonom. Fase renjatan spinal ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan (3-6 mingu)

Pada anak-anak, fase shock spinal berlangsung lebih singkat daripada orang dewasa yaitu kurang dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi traktus urinarius atau keadaan otot yang terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung lebh lama.

McCough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme syok spinal.

1. Hilangnya fasilitas traktus desendens

2. Inhibisi dari bawah yang menetap, yang bekerja pada otot ekstensor, dan

3. Degenerasi aksonal interneuron

Karena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya sebagai dasar pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau arefleksia dan aktivitas otot yang meningkat.

Syok spinal atau arefleksia

Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga di bawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Sfingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi ( disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat saraf pusat yang lebi tinggi ) tetapi otot detrusor dan otot polos dalam keadaan atonik. Urin akan terkumpul, setelah tekanan intravesikuler lebih tinggi dari sfingter uretra maka urin akan mengalir keluar (overflow incontinence)

Demikian pula terjadi dilatasi pasif usus besar, retensio alvi dan ileus parlitik. Refleks genitalia (ereksi penis, otot bulbokavernosus, kontraksi otot dartos) menghilang.

Aktifitas otot yang meningkat

Setelah beberapa minggu respon otot terhadap rangsang mulai timbul, mula-mula lemah makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul fleksi yang khas yaitu tanda babinski dan kemudian fleksi tripel muncul. Beberapa bulan kemudian reflex menghindar tadi akan bertambah meningkat, sehingga rangsang pada kulit tungkai akan menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo-ereksi dan pengosongan kandung kemih secara otomatis.

Gambar 7 : manifestasi klinis trauma medulla spinalis 5H. Pemeriksaan Cedera Medula SpinalisEvaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma. Deteksi awal cedera medula spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa (sequele) pada fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera medula spinalis harus dilakukan imobilisasi dengan menggunakan collar servikal (collar brace) dan papan (backboards).5,9

Di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan penanganan terhadap hipoventilasi, hipoksia, dan hiperkanea (yang biasanya ditemukan pada cedera medula servikal tinggi). Selain itu juga dapat terjadi hipotensi yang disertai bradikardi, akibat hilangnya inervasi simpatik pada jantung saat terjadi cedera medula servikal yang disebut syok neurogenik. Hilangnya inervasi simpatik juga dapat menyebabkan ileus paralitik disertai sekuestrasi cairan abdomen, distensi kandung kemih, dan hipotermi.5,9

Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adannya fraktur vertebra yang tidak stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen). Resusitasi terhadap hipotensi dan hipoventilasi harus segera dilakukan. Jika pasien sadar, riwayat kejadian harus ditanyakan, termasuk mekanisme terjadinya cedera, dan adanya nyeri dan gejala neurologik lain yang timbul. Adanya keluhan berupa parestesi harus di perhatikan. Sakit kepala hebat, terutaama sakit kepala daerah oksipital, biasanya disertai fraktur odontoid atau hangman's fracture (fraktur bilateral dari pedikel C2). Palpasi pada pasien dengan menggerakan vertebra minimal didapatkan nyeri tekan atau deformitas. Untuk mengetahui adanya paralisis, pasien diminta untuk menggerakkan tangannya sendiri dan diberikan tahanan. Refleks tendon dalam harus dievaluasi pada lengan dan kaki, berkurang atau hilangnya reflek tersebut dapat membantu pemeriksa mengetahui letak lesi.5

Hilangnya reflex abdomen (kontraksi akibat stimulasi kulit abdomen bagian bawah), menunjukkan adanya lesi di region T9-11. Hilangnya reflek kremasterika (kontraksi otot skrotal sebagai respon dari rangsangan yang diberikan di paha medial) menunjukkan adany lesi di medula T12-L1. Adanya reflek bulbokavernosus (kontraksi sphincter ani dengan melakukan kompresi pada penis atau klitoris atau dengan menurunkan tekanan trigonum bladder dengan balon kateter foley ketika kateter secara gentle ditarik keluar) menunjukkan bahwa jalur sensorik dan motorik sacral masih berfungsi. Hilangnya reflek bulbokavernosus terjadi pada syok spinal atau cedera radiks dorsalis. Pemeriksaan sensoris pada ekstrimitas, dada, leher, dan wajah harus dilakukan untuk mengetahui tingkat sensasi sensorik yang berkurang atau hilang. Sensasi pada sebagian region sacral hampir selalu disebabkan cedera inkomplit. Jika pasien perlu dipindahkan, maka harus menggunakan tekhnik firemans carry atau log-roll, yaitu dibutuhkan minimal tiga orang pada masing-masing sisi dengan orang keempat yang memimpin gerakan sekaligus mempertahankan posisi kepala dengan traksi aksial secara gentle (4-7 kg) menggunakan satu tangan pada dagu (chin) dan tangan lainnya pada oksiput.5

Gambar 8. Metode log-roll untuk memindahkan korban dengan cedera medula

Spinalis.5I. Pemeriksaan penunjang 5,9,11 Rontgen Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada trauma vertebra. Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk penilaian cepat tentang kondisi tulang spinal. Foto lateral paling dapat memberikan informasi dan harus dilakukan pemeriksaan terhadap alignment (kelurusan) dari aspek anterior dan posterior yang berbatasan dengan vertebra torakalis serta pemeriksaan angulasi

spinal di setiap level. Jaringan lunak paravertebra atau prevertebral yang bengkak biasanya merupakan indikasi perdarahan pada daerah yang fraktur atau ligament yang rusak. Foto anterioposterior regio thoraks dan level lainnya dapat menunjukkan vertebra torakalis yang bergeser ke lateral atau menunjukkan luasnya pedikel yang rusak. Visualisasi adekuat dari spinal servikal bawah dan torak atas

seringkali tidak mungkin karena adanya korset bahu. Foto polos komplit pada spinal servikal meliputi gambaran mulut terbuka yang menunjukkan adanya proses

odontoid dan masa lateral C1 pada pasien yang diduga mengalami trauma servikal. Gambaran oblik dari servikal atau lumbal akan menunjukkan adanya fraktur atau dislokasi.Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi.

Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal dapat menggambarkan anatomi tulang dan fraktur terutama C7-T1 yang tidak tampak pada foto polos. MRI memberikan gambaran yang sempurna dari vertebra, diskus, dan medula spinalis serta merupakan prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan cedera medula spinalis. Kanalis yang mengalami subluksasi, herdiasi diskus akut atau rusaknya ligamen jelas tampak pada MRI. Selain itu, MRI juga dapat mendeteksi EDH atau kerusakan medula spinalis itu sendiri, termasu kontusio atau daerah yang mengalami iskemi. Pungsi Lumbal

Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.

Mielografi

Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralisJ. Penatalaksanaan5

Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medulla spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%

Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan olehNational Institute of Healthdi Amerika Serikat. Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh Braken dalamCochrane Librarymenunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, danbladder trainingpada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien denganCentral Cord Syndrome /CSS biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien. Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal dengan cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban pada spinal. Pada umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak adekuat untuk C1, C2 atau servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses brace diatas torak dan leher, meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak. Minerva braces meningkatkan stabilisasi servikal pada daerah diatas torak hingga dagu dan oksiput. Pemasangan alat yang disebut halo-vest paling banyak memberikan stabilisasi servikal eksternal. Empat buah pin di pasangkan pada skul (tengkorak kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi lumbal juga dapat digunakan sebagai torakolumbal ortose. Gambar . Alat ortose rigid, A. Cervicothoracic orthoses brace, B. Minerva

brace, C. Halo ring.5Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi,elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi :1. reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.2. adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat.3. trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan tomografi untuk membuktikannya.4. fragmen yang menekan lengkung saraf.5. adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.6. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai hematoma.

K. Komplikasi5 Neurogenik shock

Hipoksia

Ileus paralitik

Infeksi saluran kemih

Dekubitus

Konstipasi Penyebab utama kematian setelah cedera medula spinalis secara potensial dapat dicegah. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai infeksi saluran kencing berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus mudah terbentuk pada tulang yang menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat dicegah dengan dengan cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Pasien dengan defisit motorik disertai cedera medula spinalis memiliki resiko tinggi thrombosis vena dalam. Pasien sebaiknya mendapatkan low-molecular-weight heparin, pneumatic compression stockings atau keduanya sebagai profilaksis.L. Prognosis4,5,9Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas cedera medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan kehilangan fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya tidak mungkin kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit dapat mulai berjalan 1 tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda lebih mudah mengalami penyembuhan. Sindroma medula anterior prognosisnya tidak sebaik sindroma medula inkomplit, sindroma medula sentral, dan Brown Squards sindromeSebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera. Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologik yaitu : pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal.

Penelitian Muslumanoglu dkk terhadap 55 pasien cedera medula spinalis traumatik (37 pasien dengan lesi inkomplet) selama 12 bulan menunjukkan bahwa pasien dengan cedera medula spinalis inkomplet akan mendapatkan perbaikan motorik, sensorik, dan fungsional yang bermakna dalam 12 bulan pertama.

Penelitian Bhatoe dilakukan terhadap 17 penderita medula spinalis tanpa kelainan radiologik (5 menderitaCentral Cord Syndrome). Sebagian besar menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, mengindikasikan adanya edema. Seluruh pasien dikelola secara konservatif, dengan hasil: 1 orang meninggal dunia, 15 orang mengalami perbaikan, dan 1 orang tetap tetraplegia. Pemulihan fungsi kandung kemih baru akan tampak pada 6 bulan pertama pasca trauma pada cedera medula spinalis traumatika.

Curt dkk mengevaluasi pemulihan fungsi kandung kemih 70 penderita cedera medula spinalis; hasilnya menunjukkan bahwa pemulihan fungsi kandung kemih terjadi pada 27% pasien pada 6 bulan pertama. Skor awal ASIA berkorelasi dengan pemulihan fungsi kandung kemih.BAB IIIKESIMPULANCedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Penyebab paling sering untuk terjadinya trauma medulla spinalis adalah karena kecelakaan lalu lintas, dll. Trauma medulla spinalis sendiri diklasifikasikan menjadi trauma medulla spinalis komplit dan trauma medulla spinalis inkomplit.

Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Terapi operatif kurang dianjurkan kecuali jika pasien memiliki indikasi untuk dilakukannya operasi.

Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas cedera medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan kehilangan fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya tidak mungkin kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit dapat mulai berjalan 1 tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda lebih mudah mengalami penyembuhan. Sindroma medula anterior prognosisnya tidak sebaik sindroma medula inkomplit, sindroma medula sentral, dan Brown Squards sindrome

2