41
Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra) Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki. 2.2 Epidemiologi Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.

morbus hansen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kasus pbl morbus hansen

Citation preview

Page 1: morbus hansen

Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra)

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang

kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot,

tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi

dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai

kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.

2.2 Epidemiologi

Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui

secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan

Page 2: morbus hansen

subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur

Page 3: morbus hansen

antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.

Page 4: morbus hansen

Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985

dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000

penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara

yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas

negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia

menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan

pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000

Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun

2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun

2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi

terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara

dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000

penduduk.Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan

angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat

19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000

penduduk.

2.3 Etiologi

Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH

Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat

tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron,

biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama

jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini

juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadillo.

Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :

A. Kapsul

Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan

berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M.

leprae . Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate,

yang dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic

glycolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan

Page 5: morbus hansen

melalui molekul fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat

kimia yang unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae

B. Dinding sel

Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:

Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung

lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang

diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat , mirip dengan yang

ditemukan pada Mycobacteria lainnya.

Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang

dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-

amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini

terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen diagnostik.

C. Membran

Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang

khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme.

Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim

dan secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga

dapat membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding

sel M. leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.

D. Sitoplasma

Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik

asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang

penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam

mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi

dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda

secara genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.

Diagnosis

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda

utama atau tanda kardinal, yaitu:

A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit/lesi yang dapat

berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau kemerahan

(erithematous) yang mati rasa (anaesthesia).

Page 6: morbus hansen

B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis

pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf

tepi berupa:

Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.

Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan

(paralise).

Gangguan fungsi otonom: kulit kering.

Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis.

C. Saraf-saraf yg dikenai:

N. Auricularis magnus

N. Facialis

N. Trigeminus

N. Radialis

N. Ulnaris

N. Medianus

N. Peroneus communis

N. Tibialis posterior

PATOGENESIS

M. Leprae merupakan parasit obligat intra seluler yg terutama tdpt pd sel makrofag

disekitar pembuluh darah superfisial pd dermis atau sel Schwann di jaringan saraf..

Bila kuman M. leprae masuk ke dlm tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan

makrofag yg berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear dan histiosit untuk

memfagositosisnya. Kemampuan unt memfagositosis tergantung pd sistem imunitas

tubuh. Sel Schwann merupakan sel target unt pertumbuhan M. leprae. Bila tjd

gangguan imunitas tubuh didalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan

beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang, tjd kerusakan saraf yg

progressiv.

(3) Dijumpai BTA pada hapusan jaringan kulit. Mis:-kulit cuping telinga

Page 7: morbus hansen

-lesi kulit yg aktif-kadang2 bisa diperoleh dr biopsi kulit atau saraf

Utk menegakkan diagnosis harus dijumpai salah satu dr tanda2 kardinal tsb, dimana

dignosis pasti adalah ditemukan BTA (+) pada jaringan kulit.

Bila ada kasus yg ragu-ragu, orang tersebut dianggap sbg suspect dan di periksa ulang

setiap tiga bulan sampai diagnosa kusta dapat di tegakkan atau disingkirkan

Utk menegakkan diagnosis secara lengkap dilakukan

pemeriksaan sbb:

(1) Anamnesis:-keluhan pasien -riwayat kontak

(2) Pemeriksaan klinis:

(a) Pemeriksaan kulit:

latar belakang keluarga-sosio ekonomi-adanya pndrt dilingkungan keluarga

inspeksi: dengan penerangan yg baik, lesi kulit harus diperhatikan,juga

kerusakan2 kulit.

Kelainan kulit berupa nodus, infiltrat,jaringan parut, ulcus terutama pada

tangan dan kaki

palpasi: pemeriksaan rasa raba pd kelainan kulit berupa:

a. anathesi

b. suhu/temperature

c. nyeri/sakit

(b) Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya:

Dilakukan palpasi utk memeriksa kelainan saraf apakah ada penebalan atau nyeri

tekan. Unt nyeri tekan, harus diperhatikan raut wajah pasien apakah ia kesakitan atau

tidak, coba untuk jangan di tanyakan ke pasien.

Saraf-saraf yg dikenai:

Page 8: morbus hansen

N. Auricularis magnus

N. Facialis

N. Trigeminus

N. Radialis

N. Ulnaris

N. Medianus

N. Peroneus communis

N. Tibialis posterior

Utk test fungsi saraf, selain dilakukan test utk rasa raba, rasa nyeri, rasa suhu spt yg

diatas tadi dgn menggunakan kapas, jarum dan tabung reaksi berisi air hangat dan

dingin.

Juga dilakukan:-test otonom: -test pinsil Gunawan

-test pilocarpin-test motoris: Voluntary Muscle test (VMT)

(3) Pemeriksaan Bakteriologis

Tujuan:

1. Membantu menegakan

-diagnosis penyakit kusta

2. Menentukan klasifikasi tipe kusta

3. Membantu menilai hasil pengobatan

-pewarnaan yg dipakai:1. Ziehl Nielsen2. Modifikasi Ziehl Nielsen 3.Tan Thian Hok

V.PATOGENESIS

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen

Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.

Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell

receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC

sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada

Page 9: morbus hansen

permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T

melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan

berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu

differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009).

Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan

fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae

akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya

lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan

mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan

melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan

radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal

membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan

akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama

kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang

makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini

akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari

eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi

sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi

sel mast (Wahyuni, 7:2009).

Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan

tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2.

Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi

dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih

tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 7:2009).

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum

tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik

merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di

tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ – organ

yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus

Page 10: morbus hansen

terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya

peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul

kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC

akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya

ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh

DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan

diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2

polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy

(Wahyuni, 8:2009).

5.1 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta

M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein

laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan

lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan

mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag.

Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang

melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan

merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF

yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself

sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan

fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC

non professional (Wahyuni, 8:2009).

5.2 Patogenesis reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit

kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi

penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi

kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular

merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity

Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan

berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem

imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading

Page 11: morbus hansen

reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid

( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon

terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah

lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada

awal terapi (Wahyuni, 8:2009).

Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya

hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum

lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan

berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada

pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan

merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan

melisis sel (Wahyuni, 8:2009).

VI.Gambaran Klinis

Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal

ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan,

kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar

keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit,

rambut, otot, tulang, mata, dan testis.

Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau

beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian

tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi

dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran

psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang

biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman

merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap

kuman kusta.

Page 12: morbus hansen

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat

yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,

tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe

TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi

satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk

dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula

infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri

khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian

tengah oval dan berbatas jelas.

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan

cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih

tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul

nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak

normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.

Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih

eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak

ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah,

mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai

bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor

tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping

telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada

hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi

Page 13: morbus hansen

atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove

anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami

degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot

tangan dan kaki.

Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling

SifatLepromatous

Leprosy (LL)

Borderline

Lepromatous

(BL)

Mid Borderline

(BB)

Lesi

Bentuk

Makula, Infiltrat

Difus, Papul,

Nodul

Makula, Plakat,

Papul

Plakat, Dome

Shaped (Kubah),

Punched Out

Jumlah

Tidak terhitung,

praktis tidak ada

kulit sehat

Sukar dihitung,

masih ada kulit

sehat

Dapat dihitung,

kulit sehat jelas

ada

Distribusi Simetris Hampir Simetris Asimetris

PermukaanHalus Berkilat Halus Berkilat Agak

Kasar/berkilat

Batas Tidak Jelas Agak Jelas Agak Jelas

Anastesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas Lebih Jelas

BTA

Lesi KulitBanyak (ada

globus)

Banyak Agak Banyak

Sekret HidungBanyak (ada

globus)

Biasanya Negatif Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya Negatif

Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley

dan Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe

Intermediate (I). Lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit

sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor

Page 14: morbus hansen

ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula

hipostesia atau sedikit penebalan saraf.

Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya

ada dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung

oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang

mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus

respiratorius atas, tulang – tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi

sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya,

tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung

jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan

atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada

N.medianus adalah anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,

dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari

tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis

lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari

telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari atau

pergelangan tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah,

bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot

peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes , dan

paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah

cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal,

mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan

kegagalan mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah,

kornea dan konjungtiva mata.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer

mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak

jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat

membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,

mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian –

Page 15: morbus hansen

bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan

kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan

keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan

alopesia. Pada tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan

keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus

seminiferus testis.

Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai

dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang

berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.

Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape resistent. Relapse

sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai

dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang dorman

aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis

maupun lama pemberiannya.

Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang

tidak begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small

satellite skin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta

tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.

Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan

komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi

ringan dan berat.

Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak

teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula,

terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk

jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik,

odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di

endotel kapiler.

Page 16: morbus hansen

Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri

tekann dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama

satua atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi

demam, limfadenopati, dan athralgia.

VII.Pemeriksaan Pasien

Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit

juga harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan

pemeriksaan dengan menggunakan alat – alat sederhana yaitu jarum untuk rasa

nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing – masing dengan air panas

dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya

dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya.

Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat

membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat

sukar untuk menentukannya.

7.1 Pemeriksaan Saraf Tepi

Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri

atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis

magnus, N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis

posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan

kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran reguler/irreguler, perabaan

keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak (Daili,

21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan

menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.

Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah

menebal dan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang

banyak (Daili, 21:2003).

Cara pemeriksaan saraf tepi

d.N. Aurukularis magnus

Page 17: morbus hansen

Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang

terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa

terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan

jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada

perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat.

Jangan lupa membandingkan antara yang kiri dan yang kanan (Daili, 21:2003).

e.N. Ulnaris

Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di

atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di

bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau

tidak. Perlu dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat adanya

perbeedaan atau tidak (Daili, 22:2003).

f.N. Paroneus lateralis

Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari

capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Daili, 22:2003).

7.2 Tes Fungsi Saraf

a. Tes Sensoris

Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.

-. Rasa Raba

Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa

perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang

diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu

petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya

dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari

telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas,

maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan

sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada

Page 18: morbus hansen

kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya (Daili,

22:2003).

-. Rasa Nyeri

Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung

jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus

mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul (Daili, 22:2003).

-. Rasa Suhu

Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air

panas (sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata

pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung

tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan

kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah

menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah

tersebut terganggu (Daili, 22:2003).

b. Tes Otonom

Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit

kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.

1. Tes dengan pensil tinta

Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus

sampai ke daerah kulit normal.

1. Tes pilokarpin

Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan pilokarpin

subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal

berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.

c. Tes Motoris (Voluntary muscle test)

Page 19: morbus hansen

Cara memeriksa:

Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:

-. Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien.

Peganglah jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien

untuk merapatkan jari kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari

kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari kelingking dan jari manis, mintalah

pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik

kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya.

-. Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien

mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak

ke atas dan jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan

atau dorong ibu jari pada bagian telapaknya.

-. Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna

pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan

gerakan tersebut.

-. Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan

gerakan fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan

gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan

gerakan tersebut.

7.3 Pemeriksaan Bakterioskopis

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau

usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON.

Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh

basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset

dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu

kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang paling aktif berarti

yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa

Page 20: morbus hansen

mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman,

pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah

sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+

menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan

jumlah solid dan non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %

Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,

I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari

dalam 1.000 sampai 10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100

lapangan.

7.4 Pemeriksaan Histopatologis

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid

adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya

sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (

subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang

Page 21: morbus hansen

jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada

tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.

Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat

berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

7.5 Pemeriksaan Serologis

Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis

serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik,

didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh

M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle

Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.

7.6 Pemeriksaan Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra

tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun

penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil

organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari

( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif

bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi

terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test

( PPD) pada tuberkolosis.

Reaksi Mitsuda bernilai :

0Papul berdiameter 3 mm atau kurang

+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm

+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm

+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

VIII.Diagnosis

Page 22: morbus hansen

Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena

memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis

penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:

1.Bercak kulit yang mati rasa

Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang

lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar

(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau

sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.

2.Penebalan saraf tepi

Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan

fungsi saraf yang terkena, yaitu:

a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi

b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan

rambut yang terganggu.

3.Ditemukan kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada

bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan

satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya

dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang

setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.

IX.Diagnosis Banding

Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis

versikolor,Ptiriasis alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma

annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea,

Page 23: morbus hansen

psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi

saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.

Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang

mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang

ditandai dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada

beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis

autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.

Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia

pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit

terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil

metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk

intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada

beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon

transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme

tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk dari

DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya

monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.

Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah

yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas

jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan

tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang

– kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.

Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal

dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak

segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya

sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa.

Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah

depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan

stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas

Page 24: morbus hansen

tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang

menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.

Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah

terdpat flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu

Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan

fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan

faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita

dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.

Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang

diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim

tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.

Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak

berwarna – warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus,

fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda,

papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik

akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).

Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous

skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang

papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta

karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak terpisah satu dengan yang lain,

dapat polisiklik, dan ada center healing.

Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai

warna dan konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru,

berskuama, dan berbentuk siku – siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor,

selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 – 2

tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi virus.

Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai

dengaadanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar,

berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner.

Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan,

Page 25: morbus hansen

kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang meninggi atau plak

dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di

bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat,

lentikulerdan dapat konfluen.

Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang

umumnya pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering

polimorf yang terdiri dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul,

nodus dan jaringan parut akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang

hipotropik maupun yang hipertopik.

Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan

saraf yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan

gejala apapun. Gejala ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi

setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri

pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari – jari tangan, maldigestion, diare,

konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.

Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis,

glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka

penurunan propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur,

refleks achilles menurun atau tidak ada.

Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi

kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami

sensorimotor poly neuropathy dan demensia.

X.Pengobatan

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk

menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,

mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg

dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.

Page 26: morbus hansen

Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi

atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis

kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA

untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia

hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.

Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan

reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor

dari NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna

ungu kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan,

diare, nyeri lambung.

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja

dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri

dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan

nefrotoksik.

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas

Ferrosus untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita

kusta dgn kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin

untuk penderita kusta tipe PB I.

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan

oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan

menjadi:

1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment.Kegunaan

MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi

ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada

pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman

kusta dalam jaringan.

Page 27: morbus hansen

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi

tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali

saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas.

Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di

Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal

dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa

(50-70 kg)

600 mg 400 mg 100 mg

Anak

(5-14 th)

300 mg 200 mg 50 mg

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama

(6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment)

yaitu berhenti minum obat.

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hr diminum

di rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

50 mg/hari diminum

di rumah

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan

selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan

RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan

setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB

selama 5 tahun.

Page 28: morbus hansen

Rifampici

n

Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hari

diminum di rumah

300 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dgn 50

mg/hari diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

diminum di depan

petugas

50 mg/hari

diminum di rumah

150 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dg 50

mg selang sehari

diminum di rumah

Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan

tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen

seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal

tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu

immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat

anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik

dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1

selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak

diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian

analgesik dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah,

pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid

misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg

setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon

yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-

Page 29: morbus hansen

seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena

toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita

(teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50

mg/hari.

Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau

sedang.Digunakan prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal

pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis

diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal.

XI.Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus

Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO

expert committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus,

yaitu:

a.Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin

Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit

penyerta atau resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:

Lama Pengobatan Jenis Obat Dosis

6 Bulan Klofazimin

Ofloksasin

Minosiklin

50 mg/hari

400 mg/hari

100 mg.hari

Diikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan

Ofloksasin atau

Minosiklin

50 mg/hari

400 mg/hari

100 mg/hari

Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy

menyatakan klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau

minosiklin pada regimen di atas.

Page 30: morbus hansen

b.Penderita yang menolak kofazimin

Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk

itu klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari

selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.

Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan

juga regimen MDT-MB alternatis selama 24 bulan:

-. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,

-. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan

-. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan

c.Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS

Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB

maupun MB, obat ini harus dihentikan.

Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:

Rifampisin Klofazimin

Dewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300 mg/bulan

Anak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan

XII.Komplikasi

Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma

dan infeksi kronik sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun

ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang

ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan

non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan

menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan

penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.

XIII.Prognosis

Page 31: morbus hansen

Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit

adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada

tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli

bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak

umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi

komplikasi.