Upload
agus-subagiarta
View
51
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kasus pbl morbus hansen
Citation preview
Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra)
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot,
tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi
dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai
kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.
2.2 Epidemiologi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui
secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan
subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur
antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.
Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985
dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000
penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara
yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas
negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia
menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan
pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000
Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun
2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun
2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi
terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara
dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000
penduduk.Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan
angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat
19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000
penduduk.
2.3 Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH
Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat
tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini
juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadillo.
Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :
A. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan
berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M.
leprae . Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate,
yang dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic
glycolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan
melalui molekul fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat
kimia yang unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae
B. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung
lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang
diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat , mirip dengan yang
ditemukan pada Mycobacteria lainnya.
Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang
dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-
amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini
terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen diagnostik.
C. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang
khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme.
Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim
dan secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga
dapat membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding
sel M. leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.
D. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik
asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang
penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam
mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi
dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda
secara genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.
Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda
utama atau tanda kardinal, yaitu:
A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit/lesi yang dapat
berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau kemerahan
(erithematous) yang mati rasa (anaesthesia).
B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis
pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf
tepi berupa:
Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan
(paralise).
Gangguan fungsi otonom: kulit kering.
Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis.
C. Saraf-saraf yg dikenai:
N. Auricularis magnus
N. Facialis
N. Trigeminus
N. Radialis
N. Ulnaris
N. Medianus
N. Peroneus communis
N. Tibialis posterior
PATOGENESIS
M. Leprae merupakan parasit obligat intra seluler yg terutama tdpt pd sel makrofag
disekitar pembuluh darah superfisial pd dermis atau sel Schwann di jaringan saraf..
Bila kuman M. leprae masuk ke dlm tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan
makrofag yg berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear dan histiosit untuk
memfagositosisnya. Kemampuan unt memfagositosis tergantung pd sistem imunitas
tubuh. Sel Schwann merupakan sel target unt pertumbuhan M. leprae. Bila tjd
gangguan imunitas tubuh didalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan
beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang, tjd kerusakan saraf yg
progressiv.
(3) Dijumpai BTA pada hapusan jaringan kulit. Mis:-kulit cuping telinga
-lesi kulit yg aktif-kadang2 bisa diperoleh dr biopsi kulit atau saraf
Utk menegakkan diagnosis harus dijumpai salah satu dr tanda2 kardinal tsb, dimana
dignosis pasti adalah ditemukan BTA (+) pada jaringan kulit.
Bila ada kasus yg ragu-ragu, orang tersebut dianggap sbg suspect dan di periksa ulang
setiap tiga bulan sampai diagnosa kusta dapat di tegakkan atau disingkirkan
Utk menegakkan diagnosis secara lengkap dilakukan
pemeriksaan sbb:
(1) Anamnesis:-keluhan pasien -riwayat kontak
(2) Pemeriksaan klinis:
(a) Pemeriksaan kulit:
latar belakang keluarga-sosio ekonomi-adanya pndrt dilingkungan keluarga
inspeksi: dengan penerangan yg baik, lesi kulit harus diperhatikan,juga
kerusakan2 kulit.
Kelainan kulit berupa nodus, infiltrat,jaringan parut, ulcus terutama pada
tangan dan kaki
palpasi: pemeriksaan rasa raba pd kelainan kulit berupa:
a. anathesi
b. suhu/temperature
c. nyeri/sakit
(b) Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya:
Dilakukan palpasi utk memeriksa kelainan saraf apakah ada penebalan atau nyeri
tekan. Unt nyeri tekan, harus diperhatikan raut wajah pasien apakah ia kesakitan atau
tidak, coba untuk jangan di tanyakan ke pasien.
Saraf-saraf yg dikenai:
N. Auricularis magnus
N. Facialis
N. Trigeminus
N. Radialis
N. Ulnaris
N. Medianus
N. Peroneus communis
N. Tibialis posterior
Utk test fungsi saraf, selain dilakukan test utk rasa raba, rasa nyeri, rasa suhu spt yg
diatas tadi dgn menggunakan kapas, jarum dan tabung reaksi berisi air hangat dan
dingin.
Juga dilakukan:-test otonom: -test pinsil Gunawan
-test pilocarpin-test motoris: Voluntary Muscle test (VMT)
(3) Pemeriksaan Bakteriologis
Tujuan:
1. Membantu menegakan
-diagnosis penyakit kusta
2. Menentukan klasifikasi tipe kusta
3. Membantu menilai hasil pengobatan
-pewarnaan yg dipakai:1. Ziehl Nielsen2. Modifikasi Ziehl Nielsen 3.Tan Thian Hok
V.PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.
Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell
receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC
sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada
permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T
melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu
differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009).
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan
fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae
akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya
lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan
mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan
melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan
radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal
membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan
akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama
kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini
akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari
eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi
sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi
sel mast (Wahyuni, 7:2009).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan
tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2.
Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi
dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih
tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 7:2009).
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum
tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik
merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di
tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ – organ
yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus
terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya
peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul
kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC
akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya
ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh
DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan
diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2
polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy
(Wahyuni, 8:2009).
5.1 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta
M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein
laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan
lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan
mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag.
Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang
melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan
merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF
yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself
sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan
fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC
non professional (Wahyuni, 8:2009).
5.2 Patogenesis reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit
kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi
penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi
kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular
merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity
Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan
berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem
imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading
reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid
( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon
terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah
lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada
awal terapi (Wahyuni, 8:2009).
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya
hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum
lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan
berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada
pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan
merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan
melisis sel (Wahyuni, 8:2009).
VI.Gambaran Klinis
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal
ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan,
kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar
keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit,
rambut, otot, tulang, mata, dan testis.
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi
dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran
psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap
kuman kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat
yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi
satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk
dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula
infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri
khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian
tengah oval dan berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih
tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul
nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak
normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah,
mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai
bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor
tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada
hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi
atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove
anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami
degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot
tangan dan kaki.
Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling
SifatLepromatous
Leprosy (LL)
Borderline
Lepromatous
(BL)
Mid Borderline
(BB)
Lesi
Bentuk
Makula, Infiltrat
Difus, Papul,
Nodul
Makula, Plakat,
Papul
Plakat, Dome
Shaped (Kubah),
Punched Out
Jumlah
Tidak terhitung,
praktis tidak ada
kulit sehat
Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Dapat dihitung,
kulit sehat jelas
ada
Distribusi Simetris Hampir Simetris Asimetris
PermukaanHalus Berkilat Halus Berkilat Agak
Kasar/berkilat
Batas Tidak Jelas Agak Jelas Agak Jelas
Anastesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas Lebih Jelas
BTA
Lesi KulitBanyak (ada
globus)
Banyak Agak Banyak
Sekret HidungBanyak (ada
globus)
Biasanya Negatif Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya Negatif
Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley
dan Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe
Intermediate (I). Lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit
sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor
ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula
hipostesia atau sedikit penebalan saraf.
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya
ada dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung
oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang
mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus
respiratorius atas, tulang – tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya,
tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung
jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan
atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada
N.medianus adalah anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis
lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari atau
pergelangan tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah,
bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot
peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes , dan
paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah
cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal,
mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah,
kornea dan konjungtiva mata.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat
membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian –
bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan
kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan
alopesia. Pada tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan
keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus
seminiferus testis.
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai
dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang
berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.
Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape resistent. Relapse
sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang dorman
aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis
maupun lama pemberiannya.
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang
tidak begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small
satellite skin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta
tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.
Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan
komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi
ringan dan berat.
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak
teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula,
terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk
jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik,
odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di
endotel kapiler.
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri
tekann dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama
satua atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi
demam, limfadenopati, dan athralgia.
VII.Pemeriksaan Pasien
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit
juga harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan
pemeriksaan dengan menggunakan alat – alat sederhana yaitu jarum untuk rasa
nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing – masing dengan air panas
dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya
dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya.
Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat
membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat
sukar untuk menentukannya.
7.1 Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri
atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis
magnus, N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis
posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan
kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran reguler/irreguler, perabaan
keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak (Daili,
21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan
menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah
menebal dan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang
banyak (Daili, 21:2003).
Cara pemeriksaan saraf tepi
d.N. Aurukularis magnus
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa
terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan
jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada
perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat.
Jangan lupa membandingkan antara yang kiri dan yang kanan (Daili, 21:2003).
e.N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di
atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di
bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau
tidak. Perlu dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat adanya
perbeedaan atau tidak (Daili, 22:2003).
f.N. Paroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari
capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Daili, 22:2003).
7.2 Tes Fungsi Saraf
a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
-. Rasa Raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa
perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang
diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu
petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya
dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari
telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas,
maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan
sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada
kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya (Daili,
22:2003).
-. Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung
jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus
mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul (Daili, 22:2003).
-. Rasa Suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air
panas (sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata
pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung
tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan
kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah
menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah
tersebut terganggu (Daili, 22:2003).
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.
1. Tes dengan pensil tinta
Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus
sampai ke daerah kulit normal.
1. Tes pilokarpin
Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan pilokarpin
subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal
berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.
c. Tes Motoris (Voluntary muscle test)
Cara memeriksa:
Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
-. Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien.
Peganglah jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien
untuk merapatkan jari kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari
kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari kelingking dan jari manis, mintalah
pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik
kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya.
-. Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien
mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak
ke atas dan jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan
atau dorong ibu jari pada bagian telapaknya.
-. Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna
pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan
gerakan tersebut.
-. Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan
gerakan fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan
gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan
gerakan tersebut.
7.3 Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON.
Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset
dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang paling aktif berarti
yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman,
pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %
Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari
dalam 1.000 sampai 10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100
lapangan.
7.4 Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid
adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada
tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.
Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
7.5 Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik,
didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.
7.6 Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra
tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun
penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil
organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari
( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif
bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test
( PPD) pada tuberkolosis.
Reaksi Mitsuda bernilai :
0Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi
VIII.Diagnosis
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena
memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis
penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1.Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang
lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar
(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau
sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
2.Penebalan saraf tepi
Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
rambut yang terganggu.
3.Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan
satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya
dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang
setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
IX.Diagnosis Banding
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis
versikolor,Ptiriasis alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma
annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea,
psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi
saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang
mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang
ditandai dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada
beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis
autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia
pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit
terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil
metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk
intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada
beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon
transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme
tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk dari
DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya
monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah
yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas
jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan
tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang
– kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal
dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak
segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya
sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa.
Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah
depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan
stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas
tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang
menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.
Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah
terdpat flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu
Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan
fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan
faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita
dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.
Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang
diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim
tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak
berwarna – warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus,
fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda,
papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik
akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous
skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang
papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta
karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak terpisah satu dengan yang lain,
dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai
warna dan konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru,
berskuama, dan berbentuk siku – siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor,
selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 – 2
tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi virus.
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai
dengaadanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar,
berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner.
Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan,
kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang meninggi atau plak
dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di
bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat,
lentikulerdan dapat konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang
umumnya pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering
polimorf yang terdiri dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul,
nodus dan jaringan parut akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang
hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan
saraf yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan
gejala apapun. Gejala ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi
setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri
pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari – jari tangan, maldigestion, diare,
konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis,
glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka
penurunan propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur,
refleks achilles menurun atau tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi
kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami
sensorimotor poly neuropathy dan demensia.
X.Pengobatan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,
mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg
dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi
atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis
kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA
untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia
hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.
Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan
reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor
dari NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna
ungu kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan,
diare, nyeri lambung.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan
nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas
Ferrosus untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita
kusta dgn kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin
untuk penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan
oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan
menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment.Kegunaan
MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi
ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada
pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman
kusta dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi
tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali
saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas.
Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di
Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal
dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
Dewasa
(50-70 kg)
600 mg 400 mg 100 mg
Anak
(5-14 th)
300 mg 200 mg 50 mg
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama
(6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment)
yaitu berhenti minum obat.
Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hr diminum
di rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
50 mg/hari diminum
di rumah
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan
RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan
setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB
selama 5 tahun.
Rifampici
n
Dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hari
diminum di rumah
300 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
diminum di depan
petugas
50 mg/hari
diminum di rumah
150 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50
mg selang sehari
diminum di rumah
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan
tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen
seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal
tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu
immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat
anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik
dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1
selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian
analgesik dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah,
pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid
misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg
setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon
yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-
seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena
toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita
(teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50
mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau
sedang.Digunakan prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal
pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis
diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal.
XI.Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus
Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO
expert committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus,
yaitu:
a.Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit
penyerta atau resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:
Lama Pengobatan Jenis Obat Dosis
6 Bulan Klofazimin
Ofloksasin
Minosiklin
50 mg/hari
400 mg/hari
100 mg.hari
Diikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan
Ofloksasin atau
Minosiklin
50 mg/hari
400 mg/hari
100 mg/hari
Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy
menyatakan klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau
minosiklin pada regimen di atas.
b.Penderita yang menolak kofazimin
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk
itu klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari
selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.
Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan
juga regimen MDT-MB alternatis selama 24 bulan:
-. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,
-. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan
-. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan
c.Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS
Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB
maupun MB, obat ini harus dihentikan.
Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:
Rifampisin Klofazimin
Dewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300 mg/bulan
Anak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan
XII.Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma
dan infeksi kronik sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun
ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang
ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan
non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan
menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan
penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.
XIII.Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit
adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada
tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli
bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak
umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi
komplikasi.