25
CASE REPORT SESSION TRAUMA MAKSILOFASIAL Preseptor : Irra, dr., SpB., SpBP (K) RE Penyusun : Rano Digdayan Makerto NPM 130112120616 Nurfatin Anis Binti Zaharmin NPM 130112132523 Retno Widayanti NPM 160121120003 SUB BAGIAN BEDAH. PLASTIK 1

Crs-trauma Maksilofasial

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ok

Citation preview

Page 1: Crs-trauma Maksilofasial

CASE REPORT SESSION

TRAUMA MAKSILOFASIAL

Preseptor :

Irra, dr., SpB., SpBP (K) RE

Penyusun :

Rano Digdayan Makerto NPM 130112120616Nurfatin Anis Binti Zaharmin NPM 130112132523

Retno Widayanti NPM 160121120003

SUB BAGIAN BEDAH. PLASTIK

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN / RSHS

BANDUNG

2014

1

Page 2: Crs-trauma Maksilofasial

KETERANGAN UMUM

Nama : Tn.MA

Umur : 25 tahun

Jenis Kelamin : Pria

Alamat : Negla

Agama : Islam

Pendidikan : MTS

Pekerjaan : Buruh

Status Perkawinan : Menikah

Tanggal masuk : 6 juli 2014

Tanggal pemeriksaan : 8 juli 2014

ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Anamnesis Khusus :

+ 4 jam SMRS saat pasien sedang kerja sebagai buruh bangunan di daerah

Ciumbuleuit. Tiba-tiba pasien terkena ledakan mesin semen sehingga pasien

terpental + 5 meter. Setelah terpental pasien tidak sadarkan diri dan beberapa lama

kemudian pasien muntah. Kemudian pasien dibawa ke RS Salamun dan dilakukan

penjahitan luka. Kemudian dirujuk ke RSHS untuk pemeriksaan lebih lanjut.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis GCS E3M6V5

Gizi : Cukup

Tanda Vital:

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 84 x/menit

Pernafasan : 18 x/menit

Suhu : 37,3° C

2

Page 3: Crs-trauma Maksilofasial

Primary Survey : A clear

B B/G simetris, VBS kanan = kiri, RR 20 x/menit

C Tensi 110/80, Nadi 84 x/m

D GCS 14, pupil bulat isokor, Ǿ 3 mm

Secondary Survey : Parietal VL ukuran 2 cm X 1 cm X 0,5 cm, dasar

Subkutis

Facial VL

Status Generalis :

Kepala - konjungtiva tidak anemis

- sklera tidak ikterik

Leher - KGB tidak teraba, JVP tidak meninggi

Thoraks - bentuk dan gerak simetris, sonor

- Cor : bunyi jantung s1,s2 murni, reguler,

murmur (-)

- Pulmo : VBS kiri = kanan, RH (-), wheezing (-)

Abdomen - datar, lembut, bising usus (+) normal

Genitalia - tidak ada kelainan

Ekstremitas atas - tidak ada kelainan

Ekstremitas bawah - tidak ada kelainan

Status Lokalis :

a/r parietal dextra : terdapat VL ukuran 2 cm X 1 cm X 0,5 cm, dasar

subkutis

a/r facialis sinistra : terdapat VL

3

Page 4: Crs-trauma Maksilofasial

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hematologi :

- PT : 13,1 (10.8-14.8) detik

- INR : 1,05 (0.84-1.16) detik

- APTT : 21,9 (14.7-34,7) detik

- Hb : 14,9 (13,5-17,5) g/dL

- Ht : 42 (40-52) %

- Leukosit : 26.600 (4.400-11.300) /mm3

- Eritrosit : 4,81 (4,5-6,5juta/uL)

- Trombosit : 275.000 (150.000-450.000)/mm3

Kimia Klinik

- AST (SGOT) : 48 (L: s/d 50) U/L 37oC

- ALT (SGPT) : 26 (L: s/d 50) U/L 37oC

- Ureum : 21 (15-50) mg/dL

- Kreatinin : 0.6 (0.7-1,2) mg/dL

- Natrium : 137 (135-145) mEq/L

- Kalium : 3,4 (3.6- 5.5) mEq/L

- Laktat : 1,2 (0,7-2,5) mmol/L

- Alfa Amilase: 112 (28 – 100) U/L 37oC

- Lipase : 18,1 (13-60) U/L 37oC

- GDS : 105 (<140) mg/dL

4

Page 5: Crs-trauma Maksilofasial

Thoraks foto :

Cervical lateral foto

5

Page 6: Crs-trauma Maksilofasial

Schedel AP/Lateral

RESUME

Seorang pria berusia 25 tahun datang dengan trauma pada daerah maksilofasial.

Penurunan kesadaran tidak ditemukan. Dari pemeriksaan anamnesis dan

pemeriksaan fisik didiagnosis mild head injury, left mandible angle fracture, dan

nasal fracture.

DIAGNOSIS KERJA

Left Mandible Angle Fracture with Nasal Fracture and Mild Head Injury

PENATALAKSANAAN

Observasi tanda vital

Posisi kepala 30°

Barthon sling

Oksigen 2-3 L/m via nasala kanul

IVFD NaCl 0,9% 1500 cc/hari

Liquid diet

Th/ ceftriaxone 1x1 g/hari

6

Page 7: Crs-trauma Maksilofasial

Rencana : Water’s X-Ray

Rencana : elective ORIF after NC department has done with their therapy

PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

TRAUMA MAKSILOFASIAL DAN

PENATALAKSANAAN

Trauma pada kepala dan wajah :

1. Melibatkan neurokranium 9 %

2. Fraktur os nasal 42 %

3. Fraktur orbita 9 %

4. Fraktur mid fasial 3 %

Pada setiap trauma, maka tindakan pertama yang terpenting adalah memperhatikan

keadaan umum serta fungsi-fungsi fital yang lainnya.

Hal penting yang diperhatikan adalah :

1. Jalan nafas

2. Perdarahan

3. Shock

4. kelainan lokal

5. Kelianan pada tubuh bagian yang lainnya

7

Page 8: Crs-trauma Maksilofasial

Klasifikasi Trauma

Trauma pada maksilofacial dapat kita bagi menjadi trauma yang mengenai

jaringan lunak serta trauma yang berakibat terjadi fraktur tulang-tulang wajah. Trauma

pada jaringan lunak pada wajah dapat berupa kontusio jaringan, aberasi, luka tusuk,

laserasi sampai dapat pula terjadi avulasi jaringan.

Fraktur yang terjadi diantarnya dapat berupa tipe tertutup, fraktur terbuka, tipe

greenstick, fraktur comminuted dan sebagainya. Lokasi farktur dapat terjadi pada setiap

tulang diwajah. Fraktur tersebut dapat terjadi di tulang wajah superior yang biasanya

mengenai tulang frontalis dan regio supraorbitalis. Daerah sepertiga tengah muka adalah

yang tersering mengalami fraktur.Fraktur ini dapat mengenai tulang hidung, dan septum,

antrum atau maksil, dimana dapat terjadi bentuk-bentuk fraktur yang terkenal dengan

nama Le Fort I-II-III

DIAGNOSIS

Diagnosis dapt kita tegakkan berdasarkan pemeriksaan klinik dan radiologi.

Terpenting adalah pemeriksaan secara inspeksi dan palpasi yang teliti. Pada inspeksi

perlu diperhatikan keadaan daerah yang terkena trauma, sebagai contoh adanya luka,

adanya hematom, bentuk asimetris dan sebagainya. Dengan menggunakan palpasi kita

mendapat data tentang kemungkinan ada atau tidaknya fraktur Palpasi secara bilateral

amat penting untuk mengetahui keadaan asimetris bagian-bagian wajah. Daerah yang

harus diperhatikan pada saat melakukan palpasi adalah daerah supraorbital, daerah orbital

rim, zigoma, arcus zigomatikus, tulang hidung, maksila dan mandibula.

Pada supraorbital dan lateral orbita, diperhatikan depresi atau angulasi tulang

adanya ptosis dan enoftalmus, ekimosis perorbita, terbatanya pergerakan bola mata dan

adanya hipestesi daerah dahi.

Pada daerah infra orbital perlu diperhatikan adanya depresi atau angulasi tulang

hematom, adanya hipestesi pada sulkus nasolabialis serta bagian lateral ala nasi.

Pada daerah zigoma perlu diperhatikan adanya krepitasi, angulasi tulng dan

adanuya hematom.

8

Page 9: Crs-trauma Maksilofasial

Fraktur pada daerah arkus zigomatikus pada umumnya terjadi angulasi disamping

ekimosis peri orbita.Terdapat gangguan mengunyah atau pergerakan mandibula.

Apabila fraktur tulang hidung, umumnya kita dapat gejala epistaksis, krepitasi,

asimetri, adanya obstruksi dan sebagainya.

Gejala yang paling menonjol pada fraktur os. Maksila adalah gangguan oklusi.

Palpasi bimanual intraoral dan ektra oral dapat membantu menemukan lokasi fraktur.

Apabila terdapat faraktur mandibula dengan palpasi bimanual kita temukan garis fraktur.

Gejala yang lain adalah terdapat krepitasi, rasa sakit gangguan oklusi dan pergerakan

mandibula dan kadang-kadang terdapat hipestesi bibir bagian bawah.

Pemerikasaan radiologik yaitu proyeksi waters, proyeksi anteroposterior

tengkorak, proyeksi lateral, proyeksi submentoverteks dan sebagainya.

Klasifikasi Fraktur Maksilla

Fraktur maksila Le Fort I

Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur bagian bawah. Fraktur ini bisa

bagian lateral atau bilateral. Garis fraktur berjalan sepanjang maksila bagian bawah

sampai bgian bawah rongga hidung. Kerusakan yang mungkin terdapat pada Le Fort I :

1. Prosesus arteroralis

2. bagian bawah sinus maksilaris

3. palatum durum

4. bagian bawah lamina pterigoid

Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan menggerakkan

jari. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya terdapat pada garis

tengah, membagi muka menjadi dua bagian.

9

Page 10: Crs-trauma Maksilofasial

Fraktur maksila Le Fort II

Garis fraktur Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang hidung dan

diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infra-orbita dan menyebrang ke

bagian atas dari sinus maksilaris juga ke arah lamina pterigoid sampai ke fossa

pterigopalatina. Fraktur pada lamina cribiformis dan pada atap sel ethmoid dapat merusak

sistim lakrimalis. Karena fraktur ini sangat mudah digerakkan maka disebut floating

maxilla.

Fraktur Le fort III

Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang

memisahkan secara lengkap antara tulang dan tulang kranial. Garis fraktur berjalan

melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid jucntion melalui fisura orbitalis

superior melintang ke arah diding lateral ke orbita, suturra zigomatika frontal dan sutura

temporozigomatik. Fraktur Le Fort ini biasanya besifat kominutif yang disebut dengan

kelainan dishface/. Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intra

kranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel ethmoid dan lamina

cribiformis.

10

Page 11: Crs-trauma Maksilofasial

Penanggulangan

Penanggulangan fraktur maksila (Mid facial fraktur) sasngat ditekankan bahwa

rahang atas dan rahang bawah dapat menutup.Dilakukan fiksasi inter-maksilar sehingga

oklusi gigi menjadi sempurna. Pada tindakan ini banyak digunakan kawat baja atau mini

plate sesuai dengan garis fraktur.

Forcep Walsmane

Fiksasi miniplate

Fraktur tulang hidung

Fraktur tulang hidung merupakan fraktur yang sering terdapat pada wajah. Fraktur

tersebut dapat berbentuk suatu angualis tulang, hidung ke arah lateral, atau suatu bentuk

farktur depressed atau juga comminuted.

Diagnosis umumnya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinik yaitu adanya

deformitas tulang hidung, krepitasi, disamping adanya kemungkinan epistaksis. Dapat

11

Page 12: Crs-trauma Maksilofasial

pula dilakukan foto Rongent proyeksi lateral tulang hidung. Tanda-tanda fraktur yang

lazim adalah depresi atau pergeseran dari tulang-tulang hidung, edema hidung, epistaksis,

fraktur dari kartilago septum diserai pergeseran ataupun dapat digerakkan.

Fraktur tulang hidung jarang merupakan fraktur terbuka. Pada reposisi selain

faktor kosmetik, sangat penting diperhatikan fungsi hidung sebagia sistim saluran bagian

atas. Hal yang kadang-kadang memerlukan perhatian segera adalah penghentian

epistaksis.

Pada reposisi ini juga harus diperhatikan tentang kemungkinan adanya hematom

septum. Hematom septum ini apabila tidak segera dievakuasi, akan segera nenimbulkan

suatu perforasi septum nasi. Pada fraktur tulang, hampir tidak pernah dilakukan reposisi

secara terbuka. Pada fraktur septum nasi, apabila obstruksi kavum nasi yang berat,

diperlukan suatu reposisi terbuka seperti akan melakukan suatu operasi septum reseksi.

Dianjurkan untuk melakukan reposisi tulang hidung dalam waktu yang secepat-

cepatnya, maksimal sebelum 10 hari pasca trauma.

Untuk kepentingan fiksasi tulang hidung yang baru direposisi, perlu dipasang gips

pada hidung, seperti juga dilakukan operasi-operasi plastik rekontruksi pada hidung. Gips

kita pertahankan kurang lebih selama 2 minggu.

Pada kasus dimana terdapat obstruksi atau putusnya duktus nasolakrimalis, perlu

dilakukan operasi khusus yang disebut dacryocystorhinostomy.

Fraktur hidung sederhana

Jika fraktur tulang hidung saja, dapat dilakukan perbaikan dari fraktur tersebut

dengan anastesi lokal. Akan tetapi pada anak-anak atau orang dewasa yang tidak

kooeperatif tindakan penanggulangan menggunakan anastesi umum. Anastesi lokal

dilakukan dengan pemasangan tampon lidocain 1-2 % yang dicampur dengan epinfrin1 :

1000 %.

Tampon kapas yang berisi anastesi lokal dipasang masing-masing 3 buah, pada

setiap lubang hidung. Tampon pertama diletakkan pada meatus superior persis dibawah

tulang hidung, tampon kedua diletakkan antara konka media dan septum dan bagian

distal bagan dista dari tampon tersebut terletak dekat foramen sfenopalatina., tampon

12

Page 13: Crs-trauma Maksilofasial

ketiga ditempatkan antara konka inferior dan septum nasi. Ketiga tampon tersebut

dipertahankan selama 10 menit.

Tehnik redusi fraktur tulang hidung

Penggunaan anaestesi lokal yang baik, dapat memberikan hasil sempurna pada tindakan

redusi fraktur tulang hidung.

Alat-alat yang dipakai pada tindakan redusi adalah :

1. elevator yang tumpul yang lurus (Boies Nasal Fraktur Elevator)

2. Cunam Ash

3. Cunam Walshman

4. Spekulum hidung pendek dan panjang (Killian)

5. Pinset hidung yang panjang

Terdapatnya perubahan tempat dari tulang hidung yang patah, dapat dikembalikan

dengan tindakan yang sederhana saja menggunakan tenaga yang minim. Kalau tulang

hidung yang patah agak keras diperlukan tenaga yang lebih kuat. Fraktur hidung yang

sulit digeserkan pada posisi semula , mungkin tulang tersebut tergeser sehingga

diperlukan bantuan cunam Walsham.

Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi dislokasi tulang hidung, cunam

Asch digunakan dengan cara memasukkan masing-masing sisi (blade) kedalam rongga

hidung sambil menekan septum dengan kedua sisi porsef.

Fraktur tulang hidung terbuka

Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung

tersebut yang juga disertai dengan laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga

hidung. Kerusakan atau kelainan kulit diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi

pada saat tindakan.

Fraktur tulang nasoethmoid

Jika nasal piramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat akan

menimbulkan fraktur yang hebat pada tulang hidung, prosesus frontal pasien maksila dan

prosesus nasalis pasien frontal. Bagian dari nasal piramid yang terletak antara dua bola

mata akan terdorong kebelakang. Terjai fraktur nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan

13

Page 14: Crs-trauma Maksilofasial

fraktur nasoorbita. Fraktur ini dapat menyebabkan komlikasi atau sekuele dibelakang

hari.

Komplikasi yang terjadi :

a. Komplikasi Neurologik

1. robeknya duramater.

2. keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbulnya

meningitis.

3. pneumosefalus.

4. laserasi otak

5. efusi dari nervus olvaktorius.

6. hematom epidural dan subdural

7. kontusio otak dan nekrosis jaringan otak

b. Komplikasi pada mata

1. telekantus traumatika

2. hematom pada mata

3. kerusakan nervus optikus yang mungkin menyebabkan kebutaan

4. epifora.

5. ptosis.

6. kerusakan bola mata

7. dan lai-lain

c. Komplikasi pada hidung “

1. perubahan bentuk hidung

2. obtruksi rongga hidung yang disebabkan oleh fraktur, dislokasi atau

hematom pada septum.

3. gangguan penciuman (hiposmia atau anosmia.

4. epistaksis posterior yang hebat yang disebabkan karena robeknya arteri

ethmoidalis

5. kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis frontalis

atau mukokel.

Fraktur mandibula

14

Page 15: Crs-trauma Maksilofasial

Fraktur mandibula lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan maksila, karena

posisinya lebih menonjol dan bentuk tulang seperti busur panah (Pedersen 1996).

Daerah mandibula yang lemah adalah daerah subkondilus, angulus mandibula dan

daerah mentalis. Fraktur subkondilus banyak ditemukan pada anak-anak. Secara

garis besar fraktur mandibula diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu berdasarkan

jenis fraktur, berdasarkan daerah fraktur dan berdasarkan penyebab fraktur.

Berdasarkan jenis fraktur (Fonseca, 2002; Pedersen, 1996)

a. Fraktur sederhana. Fraktur yang terjadi tidak mempunyai hubungan

dengan dunia luar dan tidak terjadi disdislokasi atau displacement. Fraktur jenis

ini disebut juga fraktur tertutup atau closed fracture.

b. Fraktur greenstick. Fraktur yang tidak seluruh kontinuitas tulang

terputus, tetapi hanya sebagian saja. Fraktur ini merupakan salah satu tipe fraktur

yang sering terjadi pada anak-anak. Hal ini diakibatkan karena tulang anak-anak

masih bersifat lentur, karena tulangnya belum sepenuhnya terkalsifikasi.

c. Fraktur compound. Fraktur ini mempunyai hubungan antara tulang

yang patah dengan permukaan luar wajah atau dengan rongga mulut. Hubungan

ini dapat terjadi melalui kulit, jaringan mukosa dan membran periodontal. Fraktur

jenis ini disebut juga fraktur terbuka atau open fracture.

d. Fraktur cominutted. Fraktur dimana tulang terbagi menjadi beberapa

bagian atau fragmen-fragmen kecil. Biasanya fraktur ini terjadi pada regio

simfisis mandibula.

e. Fraktur kompleks. Fraktur yang melukai jaringan lunak baik kulit, mukosa atau

bagian yang berdekatan seperti otot, pembuluh darah dan syaraf.

f. Teleskop atau fraktur impaksi. Fraktur tipe ini jarang terlihat pada mandibula,

tetapi dapat terjadi dimana sisi fargmen terdorong kesisi yang berlawanan.

g. Fraktur indirect dan direct. Fraktur direct terjadi langsung pada titik kontak dari

trauma sedangkan indirect terjadi jauh dari sisi datangnya trauma.

15

Page 16: Crs-trauma Maksilofasial

h. Fraktur patologis. Fraktur yang terjadi pada fungsi normal atau trauma minimal

pada tulang yang mengalami gangguan patologis, seperti kista atau metastasis

tumor.

Gambar 3. Tipe fraktur: A. Fraktur sederhana; B. Fraktur compound; C. Fraktur comminuted; D. Fraktur impaksi pada subkondilus dekstra dan fraktur patologis pada angulus sinistra; E. Fraktur direct dan indirect (Peterson, 2004).

Fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan sebagai fraktur favorable atau unfavorable, masing-masing dari arah vertikal dan horisontal tergantung pada otot sekitarnya yang menahan atau memindahkan segment fraktur tersebut. Garis fraktur favorable horizontal menahan gaya tarikan ke atas, seperti tarikan otot masseter dan temporalis pada fragmen proksimal. Garis fraktur favorable vertikal menahan gaya tarikan medial pterygoid medial pada fragmen proksimal (Booth, 2007)

16

Page 17: Crs-trauma Maksilofasial

Gambar 4. Unfavorable horizontal (kiri) dan favorable (kanan)

Gambar 5. Favorable vertikal (kiri) dan unfavorable (kanan)Berdasarkan lokasi anatomis, fraktur mandibula dibagi atas (Peterson, 2004):

1. Fraktur dentoalveolar

Fraktur yang hanya terjadi pada area penyangga gigi pada mandibula dan tidak mengganggu kontinuitas struktur tulang dibawahnya.

2. Fraktur simfisis

Fraktur pada regio insisivus yang melalui prosessus alveolaris ke batas inferior mandibula dalam arah vertikal atau hampir vertikal.

3. Fraktur parasimfisis

Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior batas distal insisivus lateral hingga ke foramen mentalis.

4. Fraktur korpus

Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior regio antara foramen mentalis hingga ke sisi distal dari molar kedua.

5. Fraktur angulus

Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior distal molar kedua hingga ke sudut yang dibentuk oleh korpus dan ramus madibula.

6. Fraktur ramus

Fraktur horizontal melalui batas anterior dan posterior ramus.7. Fraktur prosseus kondiloideus

17

Page 18: Crs-trauma Maksilofasial

Fraktur yang terjadi dari sigmoid notch ke batas posterior ramus mandibula sepanjang aspek superior dari ramus mandibula.

DAFTAR PUSTAKA

1. Boesoirie, M. Thaufiq. Trauma Maksilofasial dan Penatalaksanaannya. Bag.

Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokkan dan Bedah Kepala Leher

Fakultas Kedokteran Unveritas Padjadjaran.

2. Wilson, Kent S. Trauma rahang-wajah. Boies, Buku Ajar Penyakit THT, Penerbit

buku kedokteran EGC.

3. Fonseca, R.J. et al. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. Vol. 2. St Louis:

Elsevier. 2005

18