Maksilofasial referat

Embed Size (px)

Citation preview

Patah tulang wajah terjadi karena berbagai alasan yang berkaitan dengan partisipasi olahraga: kontak antara pemain (misalnya, kepala, tangan, siku), kontak dengan peralatan (misalnya, bola, pucks, setang), atau kontak dengan lingkungan, hambatan, atau bermain permukaan (misalnya, gulat tikar, peralatan senam, tiang gawang, pohon). Meskipun cedera wajah yang berhubungan dengan olahraga yang kecil, potensi kerusakan yang serius tetap ada. Seorang dokter yang memeriksa luka harus cepat menilai pasien secara konsisten dan metodis, memungkinkan untuk diagnosis dan pengobatan yang tepat, sementara mempertimbangkan tuntutan fisik olahraga, serta mengembalikan atlet untuk bermain (1).Fraktur tulang wajah memerlukan sejumlah besar kekuatan. Dokter harus mempertimbangkan mekanisme cedera serta temuan pemeriksaan fisik ketika menilai pasien. Kekuatan yang diperlukan untuk menghasilkan fraktur tulang wajah adalah sebagai berikut (1): Fraktur hidung - 30 g

Fraktur zygoma - 50 g

Fraktur mandibula (sudut) - 70 g

Fraktur area frontal - 80 g Fraktur maksila (garis tengah) - 100 g

Fraktur mandibula (garis tengah) - 100 g

Fraktur rim supraorbital - 200 gA. ANATOMI MAKSILOFASIAL

Gambar. 1 Anatomi tulang wajah (3)Daerah maksilofasial dapat dibagi menjadi 3 bagian (2):1. Upper face - tulang frontal dan sinus frontal.

2. Midface - tulang hidung, tulang ethmoid, tulang zigoma dan tulang maksila.

3. Lower face - tulang mandibula.I.1. Tulang Frontalis dan Orbita

Gambar. 2 Anatomi Tulang Frontalis (3)Tulang frontalis terletak di bagian depan kepala / tengkorak dan sesuai dengan daerah yang dikenal sebagai dahi. Fungsi utama dari tulang frontal perlindungan otak dan membentuk wajah. Tulang-tulang frontal terdiri dari dua bagian: bagian vertikal dikenal sebagai squama frontalis dan bagian horizontal, yang dikenal sebagai pars orbital. Bagian vertikal sesuai dengan dahi sementara bagian horizontal berkorelasi dengan atap rongga orbital (mata) dan hidung (3).Batas-batas area orbital (2): Batas orbital superior dibentuk oleh tulang frontal.

Batas orbital lateral dibentuk oleh proses frontal zygoma, proses zygomatic tulang frontal dan sayap yang lebih besar dari tulang sphenoid.

Batas orbital inferior dibentuk oleh rahang atas dan zygoma tersebut.

Batas orbital medial dibentuk oleh proses frontal rahang atas, tulang lakrimalis, proses sudut dan orbital tulang frontal dan tulang ethmoid.

Dasar orbital dibentuk oleh atap sinus maksilaris.

Bagian dari, tulang sphenoid palatina dan ethmoid membentuk puncak orbital.

I.2. Tulang HidungGambar. 3 Anatomi Tulang Hidung (3)Tulang hidung terdiri dari dua tulang yang terletak di dekat tengah wajah yang bertemu untuk membentuk jembatan hidung. Tulang-tulang bervariasi dalam ukuran dari individu ke individu. Setiap tulang hidung terdiri dari dua permukaan, permukaan luar dan dalam, dan empat perbatasan. Fungsi-fungsi tulang hidung dalam membentuk hidung dan pembentukan jembatan hidung. Selanjutnya, tulang hidung menyentuh empat tulang lain, yaitu tulang frontal, tulang ethmoid, tulang maksila, dan tulang hidung yang berlawanan (3).I.3. Tulang Etmoid

Gambar. 4 Anatomi Tulang Etmoid (3)Tulang ethmoid adalah tulang berbentuk persegi atau kubus yang terletak di bagian atas hidung dan di antara dua soket mata. Ini tulang ringan terbuat dari tulang spons dan seperti sphenoid, merupakan salah satu tulang yang membentuk struktur rongga mata. Fungsi utama dari tulang ethmoid adalah perlindungan organ-organ vital di wilayah dan dukungan dari hidung dan orbita (rongga mata) (3).I.4. Tulang Zigoma dan Arkus ZigomaGambar. 5 Anatomi Tulang Zigoma (3)Zygoma membentuk bagian lateral tepi orbita inferior, serta tepi lateral dan dinding lateral orbita. Selain itu, membentuk lengkungan zygoma anterior. Di permukaan lateral, tulang zygoma memiliki 3 prosesus. Prosesus inferior, yaitu prosesus yang cekung, sebelah medial membentuk artikulasi prosesus zygomatic dengan maksila, membentuk bagian lateral tepi infraorbital. Sebelah superior membentuk prosesus frontal yang berartikulasi dengan tulang frontal.(4)Prosesus posterior, sebuah prosesus temporal yang berartikulasi dengan prosesus zygoma dari tulang temporal untuk membentuk lengkung/arkus zygoma. Pada permukaan medial zygoma adalah lempeng orbital halus yang membentuk dasar lateral dan dinding lateral orbita. Prosesus ini berartikulasi dengan sayap dari tulang sphenoid di sebelah posterior (4).Dari posterior ke tepi lateral dan sedikit ke inferior menuju sutura frontozygomatic adalah batas dari tuberkulum Whitnall, dimana ligamentum palpebral lateralis menempel. Di medial permukaan orbital yang halus terdapat foramen, yang mengirimkan saraf zygomaticofacial dan zygomaticotemporal untuk masing-masing lubang pada permukaan lateral. Foramen zygomaticofacial terletak tepat di lateral ke tepi lateral orbital pada persimpangan prosesus frontal dan maksila. Foramen zygomaticotemporal terletak pada permukaan cekung posterior rim orbital lateralis (4).I.5. Tulang MaksilaGambar. 6 Anatomi Tulang Maksila (4)Maksila terdiri dari dua tulang terpisah yang menyatu secara kolektif. Maksila, sering dikenal sebagai tulang kumis karena bentuknya, terletak di atas mandibula dan di bawah orbita. Fungsi maksila adalah untuk memberikan perlindungan wajah, mendukung orbita, tempat melekatnya gigi bagian atas, dan membentuk dasar hidung (3).Rahang atas dibagi menjadi komponen-komponen berikut: tubuh, prosesus zygomaticus, prosesus frontal, prosesus alveolar, prosesus palatina, foramen infraorbital, dan sinus maksilaris. Prosesus alveolar dikenal sebagai lengkung/arkus maksila dan merupakan bagian dari maksila yang menjadi tempat melekatnya gigi bagian atas (3).I.6. Tulang MandibulaA.

B.

Gambar. 7 Anatomi Tulang Mandibula. A) tampak dari superior. B) tampak dari posterior (4).Mandibula adalah tulang yang membentuk huruf U. Tulang ini adalah satu-satunya tulang yang dapat bergerak di kerangka wajah, dan karena merupakan tempat melekatnya gigi bawah, gerak adalah penting untuk proses mengunyah. Hal ini dibentuk oleh pengerasan intramembranosus. Mandibula terdiri dari 2 hemi-mandibula yang bergabung di garis tengah oleh simfisis vertikal. Hemi-mandibula menyatu membentuk satu tulang pada usia 2 tahun. Setiap hemi-mandibula terdiri dari badan horizontal dengan ekstensi posterior vertikal disebut ramus (4).I.7. Perdarahan dan Persarafan (2) Cabang darah arteri karotis eksternal memperdarahi wajah.

Saraf wajah memasok otot-otot ekspresi wajah.

Mata, maksila dan bawah cabang dari sensasi pasokan saraf trigeminal pada kulit wajah.B. TRAUMA MAKSILOFASIALII.1. DefinisiTrauma maksilofasial mengacu pada setiap cedera pada wajah atau rahang yang disebabkan oleh kekuatan fisik, terdapatnya benda asing, binatang atau gigitan manusia, atau luka bakar (5). Cedera Maksilofasial dapat menjadi kompleks dan melibatkan multi-spesialisasi. Cedera dapat melibatkan jaringan kulit dan jaringan lunak serta mengakibatkan patah tulang. Masalah psikologis akut dan jangka panjang dapat diakibatkan dari trauma maxillofacial dan cacat tubuh (2).II.2. Etiologi Kecelakaan mobil adalah penyebab utama trauma rahang atas, serta partisipasi dalam olahraga, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya. Atlet mungkin mempertahankan cedera wajah dari bertabrakan dengan pemain lain (seperti dalam sepak bola atau rugby), dari kontak langsung dengan peralatan (pemukul bisbol, tongkat hoki, tiang gawang, paralel bar, dll), atau dari kontak dengan benda lain yang berhubungan dengan olahraga (bola sepak, hoki pucks, ski, dll) orang yang paling berisiko adalah atlet, siapa pun yang mengendarai kendaraan atau naik dalam satu, dan mereka yang hidup di peternakan, melakukan pekerjaan yang berbahaya, atau terlibat dalam jenis perilaku agresif (5).Hewan adalah penyebab umum trauma maksilofasial. Kuda dan hewan ternak lainnya yang besar dapat menyebabkan cedera parah di wajah dan rahang dari tendangan atau gigitan. Selain itu, beberapa anjing peliharaan yang besar bisa menggigit cukup keras untuk fraktur tulang wajah anak kecil (5).Kekerasan domestik dan pelecehan juga merupakan penyebab umum dari cedera wajah pada anak-anak dan remaja (5).II.3. Gejala dan TandaPada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti (6):a. kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi);

b. emfisema subkutis;

c. rasa nyeri;

d. terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan;

e. epistaksis (anterior dan posterior);

f. adanya obstruksi hidung yang disebabkan timbulnya hematoma pada septum nasi, fraktur septum atau dislokasi septum;

g. gangguan pada mata, misalnya gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi bola mata, abrasi kornea, epifora, ekimosis pada konjungtiva, periorbita;

h. gangguan saraf sensoris berupa anesthesia atau hipestesia dari ketiga cabang saraf otak kelima;

i. gangguan saraf motorik terdapatnya parese atau paresis dari satu atau semua saraf otak cabang ketujuh; terdapat krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula;

j. trismus;

k. maloklusi;

l. terdapat fraktur gigi atau terlepasnya gigi tersebut;

m. kebocoran cairan otak (leakage); dan terdapat tanda infeksi jaringan lunak pada daerah hematoma.

Gejala-gejala seperti yang disebutkan diatas, mengharuskan kita melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi ke bagian lain yang terkait, penanggulangan sumbatan jalan nafas secepatnya serta mengatasi syok. Pemeriksaan fisik secara sistematis akan membantu menegakkan diagnosis yang tepat (6).II.4. Perawatan Awal

Perawatan awal bergantung pada keparahan cedera. Perawatan awal berupa evaluasi umum secara cepat dari tanda-tanda vital pasien dan bila perlu pelaksanaan tindakan-tindakan dasar penyokong hidup. Pemeliharaan jalan nafas merupakan prioritas pertama dan dapat memerlukan penghisapan rongga mulut dan hidung untuk mengeluarkan darah atau debris lainnya. Bila pasien dalam keadaan koma atau bila fraktur mandibula mengakibatkan dasar mulut menjadi tidak stabil disertai prolaps lidah kedalam faring, maka suatu jalan nafas oral mungkin diperlukan. Jika untuk alasan apapun, suatu jalan nafas oral ternyata tidak memuaskan dan ventilasi trakea merupakan keharusan maka intubasi endotrakea merupakan metode terpilih. Trakeostomi darurat perlu dihindarkan bila mana mungkin, oleh karena prosedur ini penuh bahaya jika operator tidak benar-benar mengenal anatomi dan telah berpengalaman dalam teknik bedah ini (7).

Prioritas kedua dalam penatalaksanaan awal pasien trauma adalah pemeliharaan curah jantung yang memadai. Penyebab tersering dari curah jantung yang tidak adekuat pada pasien trauma adalah syok hipovolemik. Keadaan ini biasanya berespons dengan penggantian volume dan tindakan hemostatik yang tepat. Setelah stabilitas tercapai maka menyusul tindakan-tindakan resusitatif awal, dilakukan pemeriksaan kepala dan leher secara sistematis (7).II.5. Diagnosis

Seperti cedera pada sistem organ lain, maka evaluasi awal pada trauma kepala dan leher memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan akurat. Riwayat peristiwa trauma harus termasuk dalam cedera serta deskripsi rinci mengenai keadaan sekeliling pada saat insiden terjadi. Detail seperti apakah pasien mengenakan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan, dapat memberi petunjuk mengenai tipe cedera yang harus dicari (7).

Pemeriksaan fisik harus dilakukan segera mungkin oleh karena pembengkakakn akan menyamarkan deformitas tulang ataupun tulang rawan. Hal pertama yang perlu diamati adalah status kesadaran pasien, oleh karena adanya cedera otak merupakan prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien setelah fungsi kardiovaskular dan pernapasan menjadi stabil. Jaringan lunak yang menutup kepala dan leher perlu diinspeksi secara cermat dan menyeluruh guna mencari laserasi, termasuk bagian dalan telinga, hidung dan mulut. Mobilitas wajah perlu perhatian khusus, karena ada tidaknya paralisis saraf ketujuh dapat sangat penting artinya dalam penatalaksanaan pasien selanjutnya. Semua luka perlu dieksplorasi cukup dalam untuk menentukan apakah cedera tulang atau tulang menjadi terpapar atau apakah terdapat benda asing dalam luka. Pemeriksa mempalpasi seluruh kepala dan leher, mulai dari puncak kepala dan bergerak ke bawah untuk mencari fraktur yang tergeser ataupun struktur gerak yang abnormal (7).

Gambar. 8 Pemeriksaan Palpasi pada trauma muka. a) palpasi struktur tulang dan kartilago hidung. b) palpasi zigoma. c-e) palpasi rahang atas. f) palpasi mandibula. g-h) palpasi orbita superior dan inferior.

Pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan lainnya dapat membantu mencapai diagnosis yang akurat setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. X-ray dan CT scan dapat memberikan lokasi fraktur yang akurat. Pengambilan gambar spesifik tergantung pada daerah fraktur yang dicurigai (2,7).II.6. Jenis - Jenis FrakturII.6.1 Fraktur Tulang HidungPada trauma muka paling sering terjadi adalah fraktur hidung. Diagnosis fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan adanya robekan pada mukosa septum, hematoma septum,dislokasi atau deviasi septum (6).Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinus paramasal posisi Water dan juga bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk melihat fraktur hidung atau kemungkinan fraktur penyerta lain (6).1. Fraktur hidung sederhanaJika hanya fraktur tulang hidung saja, dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam analgesia local. Akan tetapi pada anak - anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan memerlukan anestesi umum. Analgesia local dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidokain 1-2% yang dicampur dengan epinefrin 1:1000% (6).Tampon kapas yang berisi obat analgesia loKal ini dipasang masing- masing 3 buah, pada setiap hidung. Tanpon pertama diletakkan pada meatus superior tepat dibawah tulag hidung, tampon kedua diletakkan antara konka media dan septum dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat foramen sphenopalatina, tampon ketiga diletakkan antara konka inferior dengan septum nasi. Kadang-kadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin spray beberapa kali, melalui rinoskopi anterior untuk memperoleh efek anestesi dan efek vasokonstriksi yang baik (6).

Penatalaksanaan

Teknik reduksi tertutup. Jenis fraktur tersering menimbulkan depresi pada satu tulang hidung disertai pergeseran pyramid hidung ke sisi satunya. Elevasi tulang hidung yang mengalami depresi tersebut dengan suatu elevator yang pipih, diikuti dengan penggeseran pyramid kembali ke posisi semula biasanya dapat dilakukan tanpa kesulitan. Tindakan reduksi ini dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang mungkin terjadi sangat sedikit. Sesudah waktu tersebut, tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terjadi kalsifikasi sehingga harus dilakukan tindakan rinoplasti estektomi (6).Sesudah fraktur hidung dikembalikan keadaan semula, dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah dengan antibiotika. Perdarahan yang timbul selama tindakan akan berhenti, sesudah pemasangan tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar (gips) dilakukan dengan menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk seperti huruf T dan dipertahankan hingga 10-14 hari (6).

Gambar. 9 Reduksi tertutup fraktur os nasal menggunakan forcep Walsham (kiri) dan cunam Ash (kanan) (6)2. Fraktur tulang hidung terbuka

Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung. Cedera berat tidak hanya memerlukan reduksi terbuka namun juga berbagai teknik fiksasi seperti pemasangan kawat langsung, penyangga eksternal, atau bahkan transfiksasi dengan kawat stainless steel dan pemasangan lempeng plumbum (6,7).3. Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks

Jika nasal pyramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat akan menimbukan fraktur hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan frontal. Tulang hidung bersambungan dengan prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal. Bagian dari nasal pyramid yang terletak diantara kedua bola mata akan terdorong kebelakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan fraktur nasoorbita (6).Klasifikasi nasoorbitoetmoid kompleks (6): Tipe I: mengenai satu sisi noncomminuted fragmen sentral tanpa robeknya tendo kantus media.

Tipe II: mengenai fragmen sentral tanpa robeknya tendo kantus media.

Tipe III: mengenai kerusakan fragmen sentral berat dengan robeknya tendo kantus media.

Fraktur nasoorbitoetmoid kompleks ini seringkali tidak dapat diperbaiki dengan cara sederhana menggunakan tampon hidung atau fiksasi dari luar. Apabila terjadi kerusakan duktus naso-lakrimalis akan menyebabkan airmata selalu keluar. Tindakan ini memerlukan penanganan yang lebih hati-hati dan teliti. Rekonstruksi dilakukan dengan menggunakan kawat (stainless steel) atau plate & screw. Pada fraktur tersebut diatas, memerlukan tindakan rekonstruksi kantus media (6).II.6.2. Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma

1. Fraktur zigomaTulang zygoma merupakan bagian dari dasar dan dinding lateral orbita dan arkus zygoma merupakan fitur penting dalam struktur dan penampilan wajah. Kompleks malar mengacu pada zygoma dan tulang rahang atas (dan karena itu merupakan bagian dari dasar orbita dan dinding lateral orbita). Hal ini memainkan peran kunci dalam struktur dan fungsi skeleton wajah. Selain memberikan dukungan pada wajah secara umum, tulang zigoma merupakan insersi untuk otot masseter dan melindungi otot temporalis dan proses koronoideus. Cedera yang menimbulkan fraktur zigoma biasanya akibat suatu benturan pada korpus zigoma atau tonjolan malar. Fraktur zigoma dapat dicirikan oleh (1) deformitas yang dapat diraba pada lingkar bawah orbita, (2) diplopia saat melirik keatas, (3) hipestesia pada pipi, (4) pendataran sisi lateral pipi, (5) ekimosis periorbita, atau (6) pergeseran bola mata ke bawah (7,8).Penatalaksanaan

Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma (oleh Keen dan Goldthwaite). Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus gingivobukalis. Dibuar sayatan kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator melengkung dimasukkan di belakang tuberositas tersebutdan dengan sedikit tekanan tulang zigoma yang fraktur dikembalikan pada tempatnya. Cara reduksi ini mudah dikerjakan dan memberikan hasil yang baik (6).Reduksi terbuka dari tulang zigoma. Tulang zigoma yang patah tidak bisa diikat dengan kawat baja dari Kirschner harus ditanggulangi dengan cara reduksi terbuka dengan menggunakan kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul diatas zigoma dapat dipakai sebagai marka untuk melakukan insisi permulaan pada reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi dibawah palpebra inferior untuk mencapai fraktur disekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini harus dilakukan secara hati.hati karena dapat merusak bola mata (6).2. Fraktur arkus zigomaFraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa sakit pada waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap prosesus koronoid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah dikenal dengan palpasi (6).Penatalaksanaan

Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan tempat dari arkusdapat ditanggulangi dengan melakikan elevasi arkus zigoma tersebut. Pada tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan reduksi terbuka, selanjutnya dipasang kawat baja atau miniplate pada arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan di atasarkus zigoma, diteruskan kebawah sampai kebagian zigoma di preaurikuler.Tindakan reduksi didaerah ini dapat merusak cabang frontalis dari nervus fasialis,sehingga harus dilakukan tindakan proteksi (6).II.6.3. Fraktur tulang maksila

Fraktur maksila merupakan salah satu cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh: 1) mobilitas atau pergeseran palatum, 2) mobilitas hidung yang menyertai palatum, 3) epistaksis, atau 4) mobilitas atau pergeseran seluruh bagian sepertiga tengah wajah (7).

Sebagian besar pemahaman tentang pola propagasi fraktur pada trauma midface berasal dari karya Rene Le Fort. Pada tahun 1901, ia melaporkan karyanya pada tengkorak mayat yang mengalami tumpul kekuatan berbagai besaran dan arah. Dia menyimpulkan bahwa pola diprediksi patah tulang mengikuti jenis tertentu cedera. Tiga jenis dominan digambarkan, yaitu (9): Fraktur maksila Le Fort I

Le Fort I/fraktur Guerin (horizontal) bisa terjadi akibat kekuatan dari cedera mengarah rendah di tepi alveolar maksila ke arah bawah. Fraktur meluas dari septum hidung ke rima piriformis lateralis, berjalan horizontal di atas apeks gigi, melintasi bawah persimpangan zygomaticomaxillary, dan melintasi persimpangan pterygomaxillary untuk mengganggu lempeng pterygoideus.

Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan menggerakkan dengan jari pada saat pemeriksaan secara palpasi. Garis fraktur yang mengarah vertical, yang biasanya terdapat pada garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian (palatal split) Fraktur maksila Le Fort IILe Fort II fraktur (piramida) bisa terjadi akibat pukulan ke bawah atau pertengahan maksila. Fraktur ini memiliki bentuk piramida dan memanjang dari tulang hidung pada atau di bawah sutura nasofrontal melalui prosesus frontal maksila, melalui tulang lakrimalis dan dasar inferior orbita dan rima melalui atau dekat foramen orbital inferior, dan melalui dinding sinus maksilaris anterior, kemudian berjalan di bawah zygoma, menyeberangi fisura pterygomaxillary, dan melalui lempeng pterygoideus.

Fraktur maksila Le Fort IIILe Fort III fraktur (melintang), disebut juga craniofacial dysjunctions, dapat memberi dampak terhadap tulang hidung atau maksila bagian atas. Fraktur ini mulai pada sutura nasofrontal dan frontomaxillary dan meluas ke posterior sepanjang dinding medial orbita melalui alur nasolacrimal dan tulang ethmoid. Di posterior tulang sphenoid tebal biasanya mencegah kelanjutan dari patah tulang ke kanal optik. Sebaliknya, fraktur berlanjut sepanjang dasar orbita sepanjang fisura orbital inferior dan berlanjut kearah superior lateral melalui dinding lateral orbital, melalui persimpangan zygomaticofrontal dan arkus zygomatic. Di dalam nasal, sebuah cabang dari fraktur meluas melalui dasar lempeng tegak lurus dari ethmoid, melalui vomer, dan melalui pertemuan dari lempeng pterygoideus ke dasar sphenoid.

Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface. Fraktue maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intracranial seperti pengeluaran cairan otak melalui atap sek etmoid dan lamina kribiformis (6).

Gambar. 10 Klasifikasi Fraktur Maksila menurut Le Fort (3)Sistem klasifikasi yang baru menggunakan sistem penyangga tulang muka vertical dan horizontal yang pada kepustakaan disebut vertical buttresses dan horizontal beams. Penyangga vertical muka terdiri dari zigomatiko-maksila (lateral), nasomaksila (medial) dan pterigomaksila (posterior). Horizontal beams adalah alveolus, dasar orbita dan rim orbita dan supraorbita (6).

Gambar. 11 Vertical buttresses dan horizontal beams (6)Penatalaksanaan

Prinsip dasar dalam penatalaksanaan adalah fiksasi fragmen-fragmen fraktur secara kuat pada bagian rangka wajah yang utuh dengan teknik pemasangan kawat secara langsung atau memakai kawat penyangga internal. Plat tulang yang kecil juga dapat dipakai untuk immobilisasi segmen - segmen fraktur sebagai pengganti kawat pengikat. Bila dengan teknik reduksi terbuka dan fiksasi interna mamakai kawat tidak memberi reduksi atau fiksasi yang memuaskan, maka mungkin dapat digunakan alat fiksasi eksternal untuk membuat traksi lateral atau anterior juga jika diperlukan (7).II.6.4. Fraktur tulang orbita

Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Akhir-akhir ini fraktur tulang orbita dan fraktur maksilla sangat sering terjadi akibat ketidak hati-hatian dalam mengendarai kendaraan. Penggunaan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan yang sesuai, tidak meminum alcohol atau obat yang mengganggu kesadaran sangat penting intuk dihindarkan. Fraktur orbita ini memberika gejala-gejala (6):1. Enoftalmos

2. Exoftalmos

3. Diplopia

Ketiga kelainan bentuk mata tersebut harus diperiksa dengan teliti dan dilakukan rekonstruksi dari tulang yang fraktur. Hal ini biasanya dikerjakan oleh dokter spesialis mata

4. Asimetri pada muka

Kelainan ini tidak lazim terdapat pada penderita dengan blowout fracture dari dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma.

5. Gangguan saraf sensoris

Hipestesia dan anesthesia dari saraf sensoris nervus infraorbitalis berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra orbitalis. Selanjutnya gangguan fungsi nervus infra orbita sangat mungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada rimaorbita. Bila timbuk anesthesia untuk waktu yang lama harus dilakukan eksplorasi dan dekompresi nervus infra orbitalis.II.6.5. Fraktur tulang mandibulaFraktur mandibula ini paling sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari kranium. Penyebab cedera dapat karena kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, jatuh, cedera industri atau cedera olahraga tetapi jumlah relatif masing-masing bervariasi antara negara dan daerah. Di bawah usia 25, jumlah trauma gigi sehingga kehilangan gigi lebih banyak dari karies atau gum disease. Dalam hal kekerasan, laki-laki muda yang paling berisiko dengan alkohol merupakan faktor memberatkan. Perempuan dan anak-anak jauh lebih sedikit beresiko, tetapi bisa dari kekerasan dalam rumah tangga. Ada dominan laki-laki sekitar 3:1 pada orang dewasa dan 3:2 pada anak-anak (6,10).Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya riwayat kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala sebagai berikut (6):1. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi mandibula

2. Rasa nyeri yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris inferior

3. Anesthesia dapat terjadi pada salh satu sisi bibir bawah, pada gusi atau pada gigi dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak

4. Maloklusi

5. Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi

6. Malfungsi berupa trismus, rasa nyeri waktu mengunyah, dll

7. Gangguan jalan nafas. Kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan perubahan posisi, trismus, hematoma, edema pada jaringan lunak yang kalau terjadi obtruksi hebat dari jalan nafas harus dilakukan trakeostomi.

8. Dan lain-lainDingman mengklasifikasi fraktur mandibula secara simple dan praktis. Mandibula dibagi menjadi tujuh regio, yaitu : badan, simfisis, sudut, ramus, prosesus koronoid, prosesus kondilar dan prosesus alveolar (6).

Gambar. 12 Regio Mandibula (14)Penatalaksanaan

Penangulangan fraktur mandibula ini tergantung pada lokasi fraktur, luasnya fraktur dan keluhan yang diderita. Lokasi fraktur dapat ditentukan dengan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan dapat dengan foto polos pada posisi posteroanterior, lateral, Towne, lateral oblik, kiri dan kanan. Jikalau diperlukan pada hal-hal yang kurang jelas, dilakukan pemeriksaan tomografi komputer (6).Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum pembidaian mandibula dengan geligi utuh terhadap maksila dengan geligi yang utuh juga. Lengkung geligi atas biasanya diikatkan pada lengking geligi bawah memakai batang - batang lengkung ligasi dengan kawat. Batang - batang lengkung ini memiliki kait kecil yang dapat menerima simpai kawat atau elastis guna mengikatkan lengkung geligi atas dengan lengkung geligi bawah. Fraktur mandibula yang lebih kompleks mungkin memerlukan reduksi terbuka dan pemasangan kawat ataupun plat secara langsung pada fragmen-fragmen guna mencapai stabilitas, disamping melakukan fiksasi intermaksilaris dengan batang-batang lengkung. Tindakan ini meninggikan tingkat kenyamanan pasien, hygiene mulut, bicara, jalan nafas, dan pemberian makanan. Antibiotika harus diberikan sejak saat fraktur sampai mukoperiosteum menyembuh dan fraktur menjadi stabil (7).Perawatan awal segera setelah fraktur mandibula harus memperhatikan hygiene mulut dengan melakukan penghisapan dan obat kumur, pemberian terapi antibiotika yang telah dijelaskan diatas, serta analgesik, demikian juga tindakan stabilisasi darurat pada fraktur yang sangat tidak stabil (7).III.7. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi adalah aspirasi; gangguan jalan nafas; sikatrik/bekas luka; deformitas fasial permanen sekunder akibat tatalaksana yang tidak tepat; kerusakan saraf yang berakibat hilangnya sensasi, pergerakan wajah, penghidu, perasa dan penglihatan; sinusitis kronis; infeksi; malnutrisi; penurunan berat badan; fraktur mengalami nonunion atau malunion; maloklusi; dan pendarahan (11).III.8. Prognosis

Reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur wajah menghasilkan kepuasan dalam tampilan fisik wajah dan pengembalian fungsi.

Fraktur wajah hebat sering berhubungan dengan cedera tubuh lainnya yang dapat membahayakan nyawa. Fraktur yang berkekuatan rendah jarang menimbulakan kematian jika ditangani dengan tepat. Cedera jaringan lunak yang luas atau avulsi dan fraktur comminuted jauh lebih sulit penanganannya dan mungkin memiliki hasil yng buruk. Pendarahan hebat dari cedera masif pada midface dapat berakibat kematian. Obstruksi jalan nafas, jika tidak terdeteksi dan ditangani dengan benar, dapat dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi (11).C. KESIMPULAN Daerah maksilofasial dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Upper face (tulang frontal dan sinus frontal), Midface (tulang hidung, tulang ethmoid, tulang zigoma dan tulang maksila) dan Lower face (tulang mandibula). Trauma maksilofasial mengacu pada setiap cedera pada wajah atau rahang yang disebabkan oleh kekuatan fisik, terdapatnya benda asing, binatang atau gigitan manusia, atau luka bakar. Pada perawatan awal, pemeliharaan jalan nafas merupakan prioritas pertama dan prioritas kedua adalah pemeliharaan curah jantung yang memadai. Pada trauma muka paling sering terjadi adalah fraktur hidung.

Fraktur zigoma dapat dicirikan oleh (1) deformitas yang dapat diraba pada lingkar bawah orbita, (2) diplopia saat melirik keatas, (3) hipestesia pada pipi, (4) pendataran sisi lateral pipi, (5) ekimosis periorbita, atau (6) pergeseran bola mata ke bawah.

Fraktur maksila merupakan salah satu cedera wajah yang paling berat. Pola fraktur maksila diklasifikasikan menurut klasifikasi Le Fort, tiga jenis dominan digambarkan. Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor.

Fraktur mandibula ini paling sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari kranium. Yang paling sering mengalami fraktur adalah prosesus kondilar.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah aspirasi; gangguan jalan nafas; sikatrik/bekas luka; deformitas fasial permanen sekunder; kerusakan saraf; sinusitis kronis; infeksi; malnutrisi; penurunan berat badan; fraktur mengalami nonunion atau malunion; maloklusi; dan pendarahan Fraktur wajah hebat sering berhubungan dengan cedera tubuh lainnya yang dapat membahayakan nyawa. Fraktur yang berkekuatan rendah jarang menimbulakan kematian jika ditangani dengan tepat.