Fraktur Maksilofasial

Embed Size (px)

DESCRIPTION

re-upload

Citation preview

Fraktur Maksilofasial (Tinjauan)2. FRAKTUR MAKSILOFASIAL2.1 Pengertian Fraktur MaksilofasialFraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh (Grace and Borley, 2007).Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah(gambar 2.1).Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah (Kruger, 1984). Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah.Gambar 2.1 Pembagian Wajah Secara Lateral (Fonseca, 2005)2.2 Etiologi Fraktur MaksilofasialFraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau diakibatkan oleh hal yang bersifat patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya bagian tulang (Fonseca, 2005).

2.3 Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial2.3.1Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah (gambar 2.2) :1.SimpleatauClosed: merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.2.CompoundatauOpen: merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya tulang.3.Comminuted: merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.4.Greenstick: merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.5.Pathologic: merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang dikarenakan adanya penyakit tulang.6.Multiple: sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang sama tidak berhubungan satu sama lain.7.Impacted: merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian lainnya.8.Atrophic: merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang, biasanya pada tulang mandibula orang tua.9.Indirect: merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.10.Complicated atau Complex: merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan dengan jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisasimpleataucompound.

Gambar 2.2 Jenis Fraktur Mandibula. A.Greenstick; B.Simple; C.Comminuted; dan D.Coumpound(Huppet al., 2008)

Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya (gambar 2.3):1.Midline: fraktur diantaraincisalsentral.2.Parasymphyseal: dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3).3.Symphysis: berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.4.Angle: area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3).5.Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis apikal pada sigmoid notch.6.Processus Condylus: area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus.7.Processus Coronoid: termasuk prosesus koronoid pada superior mandibula hingga regio ramus.8.Processus Alveolaris: regio yang secara normal terdiri dari gigi.

Gambar 2.3 Lokasi Fraktur mandibula (Coulthardet al., 2008)

2.3.2Fraktur Sepertiga Tengah WajahSebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur.Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :1.Fraktur Le Fort tipe I (Guerins)Fraktur Le Fort I (gambar 2.4) merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebutfloating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.

Gambar 2.4 Fraktur Le Fort I(Fonseca, 2005)

2.Fraktur Le Fort tipe IIFraktur Le Fort tipe II (gambar 2.5) biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat sepertiracoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini.

Gambar 2.5 Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)

3.Fraktur Le Fort IIIFraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6) menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.

Gambar 2.6 Fraktur Le Fort III (Fonseca, 2005)

2.3.3 Fraktur Sepertiga Atas WajahFraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifatdepressedke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.

2.3.4 Fraktur Dentoalveolar (Fonseca, 2005; Andreasenet al., 2007)Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh saat bermain atau dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Struktur dentoalveolar dapat terkena trauma yang langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya dapat menyebabkan trauma pada gigi insisif sentral maksila karena berhubungan dengan posisinya yang terekspos. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur dentoalveolar ialah oklusi yang abnormal, adanya overjet lebih dari 4mm, inklinasi gigi insisal ke arah labial, bibir yang inkompeten, pendeknya bibir atas, dan bernafas lewat hidung. Kondisi tersebut dapat dilihat pada individu dengan kelainan maloklusi kelas II divisi I Angle, atau pada orang dengan kebiasaan buruk menghisap ibu jari.

Gambar 2.7 Fraktur Dentoalveolar Disertai Avulsi Pada Gigi 52, 53, dan 63 Pada Pasien Instalasi Gawat darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Klasifikasi KlinisTraumatic Dental Injuries(TDI) yang diadaptasi dariWorld Health Organization(WHO) padaApplication of international classification of disease to dentistry and stomatologydapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Klasifikasi Trauma Pada Jaringan Keras Gigi dan PulpaKodeTraumaKriteria

N.502.50Infraksi EmailFraktur yang tidak menyeluruh pada email tanpa hilangnya substansi gigi (retak).

N.502.50Fraktur Email (uncomplicatedfraktur mahkota)Fraktur dengan adanya kehilangan substansi gigi pada email, tanpa melibatkan dentin.

N.502.51Fraktur Email-Dentin (uncomplicatedfraktur mahkota)Fraktur dengan adanya kehilangan substansi gigi dengan melibatkan email dan dentin, namun tidak melibatkan pulpa.

N.502.52ComplicatedFraktur MahkotaFraktur yang melibatkan email dan dentin, dan menyebabkan tereksposnya pulpa.

N.502.53Fraktur AkarFraktur yang melibatkan email, dentin, dan pulpa. Fraktur akar dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan berpindahnya bagian koronal gigi.

N.502.54Uncomplicatedfraktur akar-mahkotaFraktur yang melibatkan email, dentin, dan sementum namun tidak menyebabkan tereksposnya pulpa.

N.502.54Complicatedfraktur akar-mahkotaFraktur yang melibatkan email, dentin, sementum, dan juga menyebabkan tereksposnya pulpa.

Tabel 2.2 Klasifikasi Trauma Pada Tulang Pendukung GigiKodeTraumaKriteria

N.502.40ComminutionSoket Alveolar MaksilaHancur dan tertekannya soket alveolar. Kondisi ini ditemukan bersamaan dengan intrusif dan luksasi lateral gigi.

N.502.60ComminutionSoket Alveolar MandibulaHancur dan tertekannya soket alveolar. Kondisi ini ditemukan bersamaan dengan intrusif dan luksasi lateral gigi.

N.502.40Fraktur dinding soket alveolar maksilaFraktur yang melibatkan dinding soket bagian fasial atau oral.

N.502.60Fraktur dinding soket alveolar mandibulaFraktur yang melibatkan dinding soket bagian fasial atau oral.

N.502.40Fraktur prosesus alveolaris maksilaFraktur pada prosesus alveolaris dimana dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

N.502.60Fraktur prosesus alveolaris mandibulaFraktur pada prosesus alveolaris dimana dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

N.502.42Fraktur MaksilaFraktur dimana melibatkan maksila atau mandibula dan juga prosesus alveolaris. Fraktur tersebut dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

N.502.61Fraktur MandibulaFraktur dimana melibatkan maksila atau mandibula dan juga prosesus alveolaris. Fraktur tersebut dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

2.4 Penatalaksanaan Pasien Fraktur Maksilofasial (Fonseca, 2005; Huppet al., 2008)2.4.1 Kontak Awal PasienSurvey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas perawatan pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme terjadinya luka.Advance Trauma Life Support(ATLS) yang dianjurkan olehAmerican College of Surgeonialah perawatan trauma ABCDE.A:Airway maintenance with cervical spine control/ protection1.Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.2.Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur wajah untuk membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.3.Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas atas.B:Breathing and adequate ventilation1.Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien yang sadar.C:Circulation with control of hemorrhage1.Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk meningkatkan jalan nafas dan mengontrol perdarahan.2.Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di kepala.3.Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi wajah yang meluas dan perdarahan kepala.D:Disability: neurologic examination1.Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan reaksi.2.Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara langsung maupun tdak langsung yang dapat dilihat dari ukuran pupil, kontur, dan respon yang dapat mengaburkan pemeriksaan neurologis pada pasien dengan sistem saraf pusat yang utuh.3.Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan sensoris (alkohol atau obat) yang tidak berhubungan dengan trauma intrakranial.E:Exposure/ enviromental control1.Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.2.Menghilangkan lensa kontak.

2.4.2 PenilaianGlasgow Coma Scale(Huppet al., 2008) Pada umumnya,Glasgow coma scale(GCS) digunakan untuk memeriksa kesadaran yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gangguan neurologis pada saat pertama kali terjadi trauma maksilofasial. Ada tiga variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik. Nilai GCS ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh berdasarkan tabel berikut.

Tabel 2.3Glasgow Coma Scale(GCS)Glasgow Coma ScaleNilai

Respon Membuka Mata(E)Buka mata spontan4

Buka mata bila dipanggil / ada rangsangan suara3

Buka mata bila ada rangsang nyeri2

Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun1

Respon Verbal(V)Komunikasi verbal baik, jawaban tepat5

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang4

Kata-kata tidak teratur3

Suara tidak jelas2

Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun1

Respon Motorik(M)Mengikuti Perintah6

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan5

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan4

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal3

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal2

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi1

Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5), dan respon membuka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya, cedera kepala dikelompokkan menjadi :(1)Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15(2)Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13(3)Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8Glasgow Coma Scale ditujukan untuk menilai koma pada trauma kepala dan sebagian tergantung pada respon verbal sehingga kurang sesuai bila diterapkan pada bayi baru lahir, bayi, dan anak kecil. Oleh karena itu, diajukan beberapa modifikasi untuk anak. Anakdengan kesadaran normal mempunyai nilai 15 pada GCS, nilai 12-14 menunjukkan gangguan kesadaran ringan, nilai 9-11 berkorelasi dengan koma moderat sedangkan nilai dibawah 8 menunjukkan koma berat. (The Paediatric Accident and Emergency Research Group, 2008)

Tabel 2.4 Glasgow Coma Scale Modifikasi Untuk Bayi dan AnakGlasgow Coma ScaleNilai

Respon Verbal(V)Berceloteh, bersuara, berkata-kata seperti biasanya

5

Rewel, Bingung4

Menangis bila ada rangsangan nyeri, berkata-kata tidak jelas

3

Merintih bila ada rangsang nyeri, bersuara tidak jelas

2

Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

1

2.4.3 Riwayat penyakit, Keluhan Utama dan Pemeriksaan Klinis (Fonseca, 2005; Huppet al., 2008)Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien penderita fraktur maksilofasial ialah:1.Bagaimana kejadiannya?2.Kapan kejadiannya?3.Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang kemungkinan dapat menyebabkannya?4.Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?5.Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri, sensasi, perubahan penglihatan, dan maloklusi?Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan, imunisasi tetanus terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang pernah dilakukan.Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan keluhan sakit kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa di daerah kening.Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan perubahan ketajaman penglihatan, diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati rasa di daerah paranasal dan infraorbital, dan obstruksi jalan nafas.Jejas pada sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada rahang, kaku di daerah telinga, dan trismus.

Gambar 2.8 Perubahan Oklusi dan Laserasi Gingiva Serta Mukosa Pada Insisif Sentral Pasien Instalasi Gawat Darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung Menandakan Adanya Fraktur Mandibula.

Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain yang berpotensi terkena trauma, termasuk dada, abdomen, dan area pelvis.Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma seperti laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di periorbital, terutama dengan adanya perdarahan subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur zigomatikus kompleks dan fraktur rima orbita.

Gambar 2.9 Hematoma Pada Orbita Sinistra Pasien Fraktur Maksilofasial di Instalasi Gawat darurat RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Gambar 2.10 Ekimosis di Periorbital (Huppet al., 2008)

Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan memeriksa penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap cahaya.Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya laserasi pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila, stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan salah satu tangan. Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk melihat mobilisasi maksila.

Gambar 2.11 Pemeriksaan Mobilisasi Maksila (Huppet al., 2008)

Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya kerusakan di daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma. Penekanan dilakukan pada area tersebut secara hati-hati untuk mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika adanya edema di area tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus kompleks, jari telunjuk dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi dan tekan kearah superior lateral.

2.4.4Pemeriksaan Radiografis (Huppet al., 2008)Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto radiografispanoramic view, open-mouth Townes view, postero-anterior view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan periapikal.Computed Tomography(CT)scansdapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkanCT-scanuntuk menilai gangguan neurologi, selain ituCT-scandapat juga digunakan sebagai tambahan penilaian radiografi. Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakanWaters view, lateral skull view, posteroanterior skull view, dansubmental vertex view.

2.4.5 Perawatan Fraktur Maksilofasial (Huppet al., 2008)Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status nutrisi pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien merasa tidak nyaman.Untuk mendapatkan hasil yang baik, prinsip dasar pada bedah yang harus dipersiapkan sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur maksilofasial ialah : reduksi fraktur (mengembalikan segmen-segmen tulang pada lokasi anatomi semula) dan fiksasi segmen-segmen tulang untuk meng-imobilisasi segmen-segmen pada lokasi fraktur. Sebagai tambahan, sebelum tindakan, oklusi sebaiknya sudah direstorasi dan infeksi pada area fraktur sebaiknya di cegah dan dihilangkan terlebih dahulu.Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih cepat merawat luka akan lebih baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa semakin lama luka dibiarkan terbuka dan tidak ditangani, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan malunion.Perawatan fraktur dengan menggunakanintermaxillary fixation(IMF) disebut juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur secara langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah penggunaanarch bar.

Gambar 2.12 Jenis TeknikMaxillomandibular fixation wiring Arch barPada Pasien Fraktur Maksilofasial Instalasi Gawat Darurat RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan reduksi terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Reduksi terbuka dilakukan bila diperlukan reduksi tulang secara adekuat. Indikasi perawatan reduksi terbuka ialah berpindahnya segmen tulang secara lanjut atau pada frakturunfavorable, seperti fraktur angulus, dimana tarikan otot masseter dan medialis pterygoid dapat menyebabkan distraksi segmen proksimal mandibula.