Upload
pebinscribd
View
220
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kor pulmo kronik
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan
dilatasi ventrikel kanan yang timbul akibat penyakit yang menyerang struktur
atau fungsi paru atau pembulu darah. Definisi ini menyatakan bahwa penyakit
jantung kiri dan penyakit jantung bawaan tidakbertanggung jawab atas
pathogenesis kor pulmonal (Sylvia, 2006).
Terdapat sekitar 50.000 angka kematian di Amerika Serikat pada tahun 2006 ini
dalam setahun akibat emboli paru dan sekitar setengahnya terjadi dalam satu jam pertama
akibat gagal jantung kanan. Secara global, insidensi kor pulmonal bervariasi antar tiap
negara, tergantung pada prevalensi merokok, polusi udara, dan factor resiko lain untuk
penyakit paru yang bervariasi (Braun, 2006).
Indonesia memiliki angka prevalensi hipertensi pulmonal penyebab
kor pulmonal berkisar antara 0,65-28,6%. Biasanya kasus terbanyak ada pada
daerah perkotaan. Angka tertinggi tercatat di daerah Sukabumi, diikuti daerah
Silungkang, Sumatera barat (19,4%) serta yang terendah di daerah lembah
Bariem, Irian Jaya (Boedhi, 2006).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kor pulmonal adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau
dilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau
kelainan pada kontrol pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan
jantung kanan yang terjadi akibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung
bawaan. (Antono, 2006)
Kor pulmonal merupakan suatu keadaan dimana timbul hipertrofi dan
dilatasi ventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan; timbul akibat
penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru atau pembuluh darahnya.
Definisi ini menyatakan bahwa penyakit jntung kiri maupun penyakit jantung
bawaan tidak bertanggung jawab atas patogenesis cor pulmonale. Kor
pulmonal bisa terjadi akut atau kronik. (A. Price Sylvia, 2006)
Gambar 1. Gambaran jantung penderita kor pulmonal
Sumber: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6, 2006
2.2 Etiologi
Menurut Corwin (2009) penyakit kor pulmonal disebabkan oleh:
1. Penyakit paru obstruksi kronik.
2. Emfisema
2
3. Penyumbatan vaskuler/ remodeling vaskuler/ obstruksi pembuluh darah:
emboli paru, atau penyakit yang menyebabkan kompresi perivaskular atau
destruksi jaringan pada fibrosis paru, granulomatosis, kanker paru.
4. Trombo emboli
5. Vasokonstriksi pulmonal menyeluruh: dapat disebabkan oleh hipoksia,
pirau intrapulmonal kanan ke kiri.
6. Penyakit / radang pembuluh darah
7. Penyakit sickle cell
8. Penyakit parenkim dan pengurangan daerah pembuluh darah
9. Bronkiektasis difus
10. TB paru luas
11. Menurut Sylvia (2006) Hipertensi pulmonal primer. Hipertensi pulmonale
merupakan komplikasi hemodinamik. Mekanisme terjadinya hipertensi
pulmonale pada cor pulmunale dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu :
a. Obstuksi
Terjadi karena emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic
Thromboembolic Pulmonary Hypertesion (CTEPH) merupakan salah
satu penyebab hipertensi pulmonale yang penting dan terjadi pada 0.1
– 0.5 % pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli paru,
system fibrinolisis akan bekerja untuk melarutkan bekuan darah
sehingga hemodinamik paru dapat berjalan dengan baik. Pada
sebagian kecil pasien system fibrinolitik ini tidak berjalan baik
sehingga terbentuk emboli yang terorganisasi disertai pembentukan
rekanalisasi dan akhirnya menyebabkan penyumbatan atau
penyempitan pembuluh darah paru.
b. Obliterasi
Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi
pulmonale adalah lupus eritematosus sistemik scleroderma,
sarkoidosis, asbestosis, dan pneumonitis radiasi. Pada penyakit-
penyakit tersebut fibrosis paru dan infiltrasi sel-sel yang progersif
3
selain menyebabkan penebalan atau perubahan jaringan interstisium,
penggantian matriks mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat,
juga menyebabkan terjadinya obliterasi pembuluh paru.
c. Vasokontriksi
Vasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam
patogenesis terjadinya hipertensi pulmonale. Hipoksia sejauh ini
merupakan vasokontrikstor yang paling penting. Penyakit paru
obstruktif kronik merupakan penyebab yang paling di jumpai. Selain
itu tuberkolosis dan sindrom hipoventilasi lainnya misalnya sleep
apnea syndrome, sindrom hipoventilasi pada obesitas, dapat juga
menyebabkan kelainan ini. Asidosis juga dapat berperan sebagai
vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapi dengan potensi lebih
rendah. Hiperkapnea secara tersendiri tidak mempunyai efek
fasokonstriksi tetepi secara tidak langsung dapat meningkatkan
tekanan arteri pulmunalis melalui efek asidosisnya. Eritrositosis yang
terjadi akibat hipoksia kronik dapat meningkatkan vikositas darah
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan arteri pumonalis.
d. Idiopatik
Kelainan idiopatik ini didapatkan pada pasien hipertensi pulmonale
primer yang di tandai dengan lesi pada arteri pumonale yang kecil
tanpa didapatkan penyakit dasar lainnya baik pada paru maupun pada
jantung. Secara histopatologis di dapatkan hipertrofi tunika media,
fibrosis tunika intima, lesi pleksiform serta pembentukan mikro
thrombus. Kelainan ini jarang di dapat dan etiologinya belum di
ketahui. Walaupun sering di kaitkan dengan penyakit kolagen,
hipertensi portal, penyakit autoimun lainnya serta infeksi HIV.
2.3 Klasifikasi
4
Menurut Restrepo (2008) kor pulmonal diklasifikasikan berdasarkan
etiologinya, yaitu :
1. Kor pumonal akibat Emboli Paru adalah hipertropi ventrikel kanan yang
disebabkan karena sumbatan pada area sirkulasi pulmonal.
2. Kor pulmonal dengan PPOK adalah hipertropi ventrikel kanan karena
pengaruh penyakit bronkhitis kronik, bronkhiektosis, emfisema paru dan asma
yang menyerang paru.
3. Kor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer adalah hipertropi ventrikel
kanan yang dikarenakan oleh peningkatan tekanan darah dalam sirkulasi
pulmonal.
4. Kor pulmonal dengan kelainan jantung kanan adalah hipertropi ventrikel
kanan yang memang dicetuskan oleh gangguan pada vertrikel kanan itu
sendiri.
2.4 Epidemiologi
Prevalensi PPOK di Amerika Serikat pada tahun 2006 terdapat sekitar 15 juta, prevalensi
yang tepat dari kor pulmonal sulit untuk ditentukan karena tidak terjadi pada semua kasus
PPOK, pemeriksaan fisik tidak sensitive untuk mendeteksi hipertensi pulmonal. Kor pulmonal
mempunyai insidensi sekitar 6-7 % dari seluruh kasus penyakit jantung dewasa di Amerika
Serikat, dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) karena bronchitis kronis dan
emfisema menjadi penyebab lebih dari 50% kasus kor pulmonal (Bahar, 2011)
Sebaliknya, kor pulmonal akut biasanya menjadi kelainan sekunder akibat emboli paru
massif. Tromboemboli paru akut adalah penyebab paling sering dari kor pulmonal akut yang
mengancam jiwa pada orang dewasa. Terdapat sekitar 50.000 angka kematian di Amerika
Serikat pada tahun 2006 ini dalam setahun akibat emboli paru dan sekitar setengahnya terjadi
dalam satu jam pertama akibat gagal jantung kanan (Restrepo, 2008).
Menurut Boedhi-Darmojo (2006) di Indonesia angka prevalensi hipertensi
pulmonal penyebab kor pulmonal berkisar antara 0,65-28,6%. Biasanya kasus
terbanyak ada pada daerah perkotaan. Angka tertinggi tercatat di daerah
5
Sukabumi, diikuti daerah Silungkang, Sumatera barat (19,4%) serta yang terendah
di daerah lembah Bariem, Irian Jaya.
2.5 Manifestasi Klinis
Menurut Braun (2006) manifestasi klinis yang didapat bisa berbeda-beda
antara satu penderita yang satu dengan yang lain tergantung pada penyakit
dasar yang menyebabkan kor pulmonale.
1. Kor pulmonal akibat Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-
kadang didapatkan batuk-batuk, dan hemoptisis.
2. Kor pulmonal dengan PPOK : sesak napas disertai batuk yang produktif
(banyak sputum).
3. Kor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer: sesak napas dan sering
pingsan jika beraktifitas (exertional syncope).
4. Kor pulmonal dengan kelainan jantung kanan: bengkak pada perut dan kaki
serta cepat lelah.
Gejala predominan kor pulmonal yang terkompensasi berkaitan dengan
penyakit parunya, yaitu batuk produktif kronik, dispnea karena olahraga,
wheezing respirasi, kelelahan dan kelemahan. Jika penyakit paru sudah
menimbulkan gagal jantung kanan, gejala - gejala ini lebih berat. Edema
dependen dan nyeri kuadran kanan atas dapat juga muncul.
Tanda-tanda kor pulmonal misalnya sianosis, clubbing, vena leher
distensi, ventrikel kanan menonjol atau gallop (atau keduanya), pulsasi
sternum bawah atau epigastrium prominen, hati membesar dan nyeri tekan,
dan edema dependen.
Gejala- gejala tambahan ialah:
1. Sianosis
2. Kurang tanggap/ bingung
3. Mata menonjol
6
2.6 Patofisiologi
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit
yang secara primer menyerang pembuluh darah paru, seperti emboli paru berulang,
dan penyakit yang mengganggu aliaran darah paru akibat penyakit pernapasan
obstruktif atau restriktif. PPOK terutama jenis bronkitis, merupakan penyebab
tersering dari kor pulmonale. Penyakit-penyakit pernapasan restriktif yang
menyebabkan Kor pulmonal dapat berupa penyakit-penyakit ”intrinsik” seperti
fibrosis paru difus, dan kelainan ”ektrinsik” seperti obesitas yang ekstrim,
kifoskoliosis, atau gangguan neuromuskuler berat yang melibatkan otot-otot
pernapasan (Sylvia, 2006).
Menurut Robbin (2010) penyakit vaskuler paru yang mengakibatkan
obstruksi terhadap aliran darah dan kor pulmonal cukup jaran terjadi dan biasanya
merupakan akibat dari emboli paru berulang. Apapun penyakit awalnya, sebelum
timbul Kor pulmonal biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru dan
hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmonar pada akhirnya meningkatkan beban kerja
dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung.
Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan
resistensi vaskuler paru pada arteria dan arteriola kecil. Dua mekanisme dasar yang
mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru-pru adalah :
1. Vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru.
2. Obstruksi dan/atau obliterasi anyaman vaskuler paru.
Mekanisme yang pertama tampaknya paling penting dalam patogenesis cor
pulmonale. Hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari
PPOK bronkitis lanjut adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana
kedua mekanisme itu terjadi. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan
yang lebih kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonar daripada hipoksemia.
Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos
7
arteriola paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut.
Asidosis, hiperkapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan
vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan
peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnea,
juga ikut meningkatkan tekanan arteria paru (Restrepo, 2008).
Mekanisme kedua yang turut meningkatkann resistensi vaskuler dan
tekanan arteria paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema dicirikan oleh kerusakan
bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari
kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen
menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada penyakit obstruktif,
pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru
yang besar (Wilson, 2006).
Akan tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman
vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis cor
pulmonale. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus
mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru
yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit
pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau
akibat kelainan perfusi-ventilasi (Sibernagl, 2006).
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Menurut Bahar (2011) Pemeriksaan fisik, didapatkan :
a. JVP meningkat dikaitkan dengan respon gagal jantung kanan dan
hipertropi ventrikel kanan sendiri, ketika terjadi hipertropi ventrikel
kanan dan akhirnya gagal jantung kanan, maka vena jugularis juga ikut
menunjang kompensasi sehingga tekanan atau venous jugularis pulse
mengalami peningkatan.
b. Hepatomegali dikatkan dengan desakan dari arah ventrikel kanan
jantung yang mendesak ruang diafragma dan hepar sehingga ketika
8
dilakukan pemeriksaan, yaitu palpasi dan perkusi hepar ditemukan
hepatomegali.
c. Asites dan edema tungkai dikaitkan dengan salah satu tanda penyakit
gagal jantung kanan sebagai respon komplikasi penyakit kor pulmonal
ini, yaitu oedema pada daerah ekstremitas bawah (tungkai) dan berisi
cairan (asites).
2. Pemeriksaan jantung, didapatkan :
a. Peningkatan bunyi komponen pulmoner merupakan tanda hipertensi
pulmoner.
b. Tekanan arteri pulmoner sangat tinggi akan terjadi regurgitasi di katup
trikuspid ditandai dengan bunyi murmur sistolik.
3. Elektro Kardiogram (EKG), digambarkan :
Pada tingkat awal (hipoksemia) EKG hanya menunjukkan gambaran
sinus takikardia saja.
Pada tingkat hipertensi pulmonal EKG akan menunjukkan gambaran
sebagai berikut, yaitu:
a. Gelombang P mulai tinggi pada lead II
b. Depresi segmen S-T di lead II, III, Avf
c. Gelombang T terbalik atau mendatar di lead V1-3
d. Kadang-kadang teadapat RBBB incomplete atau complete
Pada tingkat kor pulmonal dengan hipertrofi ventrikel kanan, EKG
menunjukkan:
a. Aksis bergeser ke kanan (RAD) lebih dari +90
b. Gelombang P yang tinggi (P pulmonal) di lead II, III, Avf
c. Rotasi kea rah jarum jam (clockwise rotation)
d. Rasio R/ S di V1 lebih dari 1
e. Rasio R/ S di V6 lebih dari 1
f. Gelombang S ang dalam di V5 dan V6 (S persissten di precordial kiri)
g. RBBB incomplete atau incomplete
9
Pada kor pulmonal akut (emboli paru masif), EKG menunjukkan
Right Ventrikular Strain yaitu depresi segmen S-T dan gelombang T yang
terbalik pada sandapan pericordial kanan. Kadang-kadang kriteria hipertrofi
ventrikel kanan yang klasik sulit didapat. Padmavati dalam penelitiannya
menyatakan criteria yang lain untuk kor pulmonal dalam kombinasi EKG
sebagai berikut :
a. RS di V5 dan V6
b. Aksis bergeser ke kanan
c. QR di AVR
d. P pulmonal
Gambar 2. Kor pulmonal dan EKG
Sumber: Heart Failure and Cor Pulmonale, 2006
4. Radiografi, digambarkan :
Menurut Kusumawidjaja (2006) pada tingkat hipertensi pulmonal
jantung belum terlihat membesar, tetapi hilus dan arteri pulmonalis utama
amat menonjol dan pembuluh darah perifer menjadi kecil/tidak nyata.
Pada tingkat Cor pulmonaljantung terlihat membesar karena dilatasi
dan hipertrofi ventrikel kanan. Hal ini kadang-kadang sulit dinyatakan pada
foto dada karena hiperinflasi paru (misalnya pada emfisema). Selain itu
didapatkan juga diafragma yang rendah dan datar serta ruang udara
10
retrosternal yang lebih besar, sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan
tidak membuat jantung menjadi lebih besar dari ukuran normal. Lebih
singkatnya sebagai berikut :
a. Pembesaran jantung dimana ikhtus akan tampak bergeser ke kiri atas.
b. Arteri pulmonale kanan di katakan melebar apabila lebih dari 16 mm
dan kiri lebih 18 mm.
c. Tampak gambaran penyakit dasarnya
Gambar 3. Gambaran radiologis pada pasien dengan kor pulmonal
Sumber: Radiologi Diagnostik Edisi Kedua,2006
5. Ekokardiografi, digambarkan :
a. Tampak gambaran pembesaran ventrikel kanan
b. Tampak gambaran regurgitasi saat sistole
Gambar 4. Gambaran ekokardiografi pada penderita kor pulmonal
Sumber: Radiologi Diagnostik Edisi Kedua,2006
11
6. Kateterisasi jantung kanan
Diagnosis pasti untuk hipertensi pulmonale.
Gambar 5. Kateterisasi jantung
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV, 2006
7. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan polisitemia (Ht > 50%),
tekanan oksigen (PaO2) darah arteri < 60 mmHg,tekanan karbondioksida
(PaO2) >50 mmHg.
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Penatalaksanaan
Menurut Antono (2006) pada dasarnya adalah mengobati penyakit
dasarnya. Pengobatan terdiri dari:
1. Tirah baring, anjuran untuk diet rendah garam .
Tirah baring mencegah memburuknya hipoksemia yang akan lebih
menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi
tidak secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan
menghalangi usaha untuk menurunkan hiperkapnia.
2. Tindakan preventif , yaitu berhenti merokok olahraga dan teratur, serta
senam pernapasan sangat bermanfaat walaupun harus dalam jangka
panjang.
12
2.8.2 Penatalaksanaan
Menurut Bahar (2011) Terapi medis untuk Kor pulmonal kronis di fokuskan
pada penatalaksanaan untuk penyakit paru dan peningkatan oksigenasi serta
peningkatan fungsi ventrikel kanan dengan menaikkan kontraktilitas dari
ventrikel kanan dan menurunkan vasokonstriksi pada pembuluh darah di paru.
Pada kor pulmonal akut akan dilakukan pendekatan yang berbeda yaitu di
fokuskan pada kesehatan pasien.
Untuk mendukung system kardiopulmonal pada pasien dengan kor pulmonal
harus diperhatikan mengenai kegagalan jantung kanan yang meliputi masalah
pengisian cairan di ventrikel dan pemberian vasokonstriktor (epinephrine) untuk
memelihara tekanan darah yang adekuat. Tetapi pada dasarnya penatalaksanaan
akan lebih baik jika di fokuskan pada masalah utama, misalnya pada emboli paru
harus dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan, agen trombilisis atau
tindakan pembedaham embolektomi. Khususnya jika sirkulasi terhambat akan
dipertimbangkan pula pemberian broncodilator dan penatalaksanaan infeksi untuk
pasien dengan PPOK; pemberian steroid dan imunosupresif pada penyakit
fibrosis paru.
Terapi oksigen, pemberian diuretic, vasodilator, digitalis, theophyline, dan
terapi antikoagulan di gunakan untuk terapi jangka panjang pada kor pulmonal
kronis.
a) Terapi Oksigen
Terapi oksigen sangat penting, bahkan kadang-kadang perlu ventilator
mekanik bila terjadi retensi CO2 yang berbahaya (gagal napas). Pada kasus
eksaserbasi akut insufisiensi paru, sering pasien perlu dirawat intensif untuk
aspirasi sekret bronkus, pengobatan infeksi paru, bronkodilator,
cortikosteroid, keseimbangan cairan, dan pengawasan penggunaan sedatif.
Pasien dengan kor pulmonal memiliki tekanan oksigen (PO2) di bawah 55 mm
Hg dan menurun dengan cepat ketika beraktivitas atau tidur. Terapi oksigen
dapat menurunkan vasokonstriksi hipoksemia pulmonar, kemudian dapat
menaikkan cardiac output, mengurangi vasokonstriksi, meringankan
13
hipoksemia jaringan, dan meningkatkan perfusi ginjal. Secara umum, terapi
oksigen di berikan jika PaO2 kurang dari 55 mm Hg atau saturasi O2 kurang
dari 88%.
Manfaat dari terapi oksigen adalah untuk menurunkan tingkat gejala
dan meningkatkan status fungsional. Oleh karena itu, terapi oksigen penting di
berikan untuk managemen jangka panjang khususnya untuk pasien dengan
hipoksia atau penyakit paru obstruktif (PPOK).
b) Diuretik
Diuretik di gunakan pada pasien dengan Cor pulmonalkronis, terutama
ketika pengisian ventrikel kiri terlihat meninggi dan pada edema perifer.
Diuretic berperan dalam peningkatan fungsi dari ventrikel kanan maupun kiri.
Diuretik memproduksi efek hemodinamik yang berlawanan jika tidak di
perhatikan penggunaannya. Volume pengosongan yang berlebihan dapat
menimbulkan penuruna cardiac output. Komplikasi lain dari diuretic adalah
produksi hypokalemic metabolic alkalosis, yang akan mengurangi efektivitas
stimulasi karbondioksida pada pusat pernafasan dan menurunkan ventilasi.
Produksi elektrolit dan asam yang merugikan sebagai akibat dari penggunaaan
diuretic juga dapat menimbulkan aritmia, yang berakibat menurunnya cardiac
output. Oleh karena itu diuretik di rekomendasikan pada managemen Cor
pulmonalkronis, dengan memperhatikan pemakaian. Contoh : Aldactone
(spironalactone), Anhydrone (Siklotiazida), Aquatag (Benztiazida),
Aquatensin (Metiklotiazida), Lasix (Furosemida), Midamor (Amilorid),
Naqua (Triklormetiazida), Zaroxolyne (Metolazone).
Dosis pemberian diuretik tergantung efek diuresis yang dikehendaki.
c) Vasodilator
Tujuan terapi dg vasodilator adalah menurunkan hipertensi pulmonale
tetapi sebagian besar berdampak pada sirkulasi sistemik sehingga akan terjadi
hipotensi. Contoh obat vasodilator adalah
ACE-inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitio) =
mengembangkan pembuluh darah arteri dan vena.
14
Nitroglycerine = mengembangkan pembuluh darah vena saja.
Hidrolacyne = mengembangkan pembuluh darah arteri saja.
d) Digitalis
Adalah obat yang meningkatkan kekuatan dan efisiensi jantung dan
digunakan untuk mengobati layu jantung dan menormalkan lagi denyut
jantung. Dalam kaitannya terhadap pengobatan kor pulmonal hanya
bermanfaat diberikan apabila telah disertai dengan penurunan fraksi ejeksi
ventrikel kiri. Digitalis diberikan terutama bila terdapat gagal jantung kanan,
tetapi yang paling penting adalah mengobati penyakit paru yang
mendasarinya.
Dosis pemberian obat digitalis :
1) Jika dalam 2 minggu terakhir pasien tidak mendapat terapi digitalis,
maka dapat diberikan digitalis cepat (IV) dengan dosis 0,2-0,4 mg
setiap 4-6 jam sampai dengan total dosis 1,6 mg.
2) Dosis maintenanceny adalah 0,25-0,50 mg/hari.
Beberapa nama obat digitalis adalah digitoksin (paten= Crystodigin,
Digifortis, Lanoxin).
e) Trakeostomi
Kadang-kadang diperlukan trakeostomi untuk membantu aspirasi
sekret dan mengurangi ruang mati.
f) Antikoagulan
Antikoagulan dapat mencegah trombosis yang memperberat penyakit
paru obstruktif kronik. Contoh obat antikoagulan oral adalah warfarin,
sedangkan yang melalui IV line adalah Heparin atau Syntrom dan obat jenis
Anti-agresi Platelet (antiplatelet) : AsamvSalisilat (Aspirin/ Aspilet).
Dosis pemberian Heparin adalah sebagai berikut :
1) Heparin : IV bolus 5000 IU, drip 1000 IU/jam atau sesuai dengan hasil
APTT. Contoh :
RUMUS = DOSIS : PENGENCERAN
i. Heparin 1000 unit/jam
15
ii. Pengenceran 25.000 dalam 500 ml normal saline
iii. 500 ml = 25.000 unit 1 ml = 50 unit
iv. 1000 : 50 = 20 ml/jam
v. Jika menggunakan infus set mikro, maka (20 ml/jam x 60) : 60
= 20 tetes/menit
2) Syntrom 2-20 mg/hari atau sesuai dengan waktu pembekuan.
3) Anti-agresi Platelet (antiplatelet) : AsamvSalisilat (Aspirin/ Aspilet)
dengan dosis 50-300 mg/hari.
g) Pengobatan Lain
Inhibitor karbonik anhidrase (asetasolamid) suatu waktu banyak
dipakai pada pasien hiperkapnia kronik. Tetapi efek sampingnya yang
membahayakn adalah terjadinya asidosis metabolik pada asidosis respiratorik
yang telah ada.
Phlebotomy menjadi tatalaksana standar pada polisitemia yang
disebabkan hipoksia kronik. Saat ini belum berhasil dibuktikan perbaikan
onyektif pada pertukaran gas maupun tekanan arteri pulmonalis akibat
phlebotomy. Beberapa ahli mengeluarkan darah vena sebanyak ± 250 mL,
untuk mencegah tromboemboli bila hematokrit atau hipertensi pulmonal
sangat tinggi.
2.9 Komplikasi
Komplikasi dari kor pulmonal diantaranya:
a. Sinkope
b. Gagal jantung kanan
c. Edema perifer
d. Kematian
2.10 Prognosis
Menurut Restrepo (2008) belum ada pemeriksaan prospektif yang
dilakukan untuk mengetahui prognosis kor pulmonal kronik. Pengamatan
16
yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa bila terjadi gagal jantung
kanan yang menyebabkan kongesti vena sistemik, harapan hidupnya menjadi
kurang dari 4 tahun.
Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama
episode akut yang berkaitan dengan infeksi dan gagal napas mangalami
banyak kemajuan dalam 5 tahun terakhir.
Prognosis kor pulmonal berkaitan dengan penyakit paru yang
mendasarinya. Pasien yang mengalami kor pulmonal akibat obeliterasi
pembuluh darh arteri kecil yang terjadi secara perlahan-lahan akibat penyakit
intrinsiknya (misal emboli), atau akibat fibrosis intertisial harapan juntuk
perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi yang terjadi
subah menetap. Harapan hidup pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas
darahnya dapat dipertahankan mendekati normal.
Penelitian lain menyatakan bahwa prognosis kor pulmonal sangat
bervariasi, tergantung penjalanan alami penyakit paru yang mendasari dan
ketaatan pasien berobat. Penyakit bronko pulmonal simtomatik angka
kematian rata-rata 5 tahun sekitar 40-50%. Juga obstruksi vaskular paru
kronik dengan hipertrofi ventrikel kanan mampunyai prognosis yang buruk.
Biasanya pasien hipertensi pulmonal dengan obstruksi vaskular kronik hanya
bertahan hidup 2-3 tahun sejak timbulnya gejala.
17
DAFTAR PUSTAKA
Antono, Dono, Kisyanto. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi
IV. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat
Penerbitan IPD FKUI. Jakarta
Bahar, Asril, dkk. 2011. Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III, Edisi ketiga
(Persatuan Ahli Penyakit Dalam). Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Braun E. 2006. Heart Failure and Cor Pulmonale. New York: Harrisons’s
Principles Internal Medicine
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi Edisi Tiga. Editor Egi Komara
Yudha, dkk. Jakarta: EGC
Hariadi, Selamet 2010. Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Departemen Ilmu
Penyakit Paru FK Unair-RSUD dr.soetomo
Kusumawidjaja K. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan
Ekayuda. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Mansjoer, Arif. 2012. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I Edisi Keempat.
Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Price Sylvia, M. Wilson Lorraine. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta: EGC.
Restrepo Clara I. 2008. Pulmonary Hipertension and cor pulmonale.
Philadelphia: Lippincott Published
Robbins, Kumar, Cotran. 2010. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC
Wilson LM. 2006. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi Enam.
Jakarta: EGC
Sibernagl,Stefan Florian Lang. 2006. Teks dan Atlaas berwarna Patofisiologi.
Jakarta: EGC
18