29
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan yang timbul akibat penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru atau pembulu darah. Definisi ini menyatakan bahwa penyakit jantung kiri dan penyakit jantung bawaan tidakbertanggung jawab atas pathogenesis kor pulmonal (Sylvia, 2006). Terdapat sekitar 50.000 angka kematian di Amerika Serikat pada tahun 2006 ini dalam setahun akibat emboli paru dan sekitar setengahnya terjadi dalam satu jam pertama akibat gagal jantung kanan. Secara global, insidensi kor pulmonal bervariasi antar tiap negara, tergantung pada prevalensi merokok, polusi udara, dan factor resiko lain untuk penyakit paru yang bervariasi (Braun, 2006). 1

isi kpc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kor pulmo kronik

Citation preview

Page 1: isi kpc

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan

dilatasi ventrikel kanan yang timbul akibat penyakit yang menyerang struktur

atau fungsi paru atau pembulu darah. Definisi ini menyatakan bahwa penyakit

jantung kiri dan penyakit jantung bawaan tidakbertanggung jawab atas

pathogenesis kor pulmonal (Sylvia, 2006).

Terdapat sekitar 50.000 angka kematian di Amerika Serikat pada tahun 2006 ini

dalam setahun akibat emboli paru dan sekitar setengahnya terjadi dalam satu jam pertama

akibat gagal jantung kanan. Secara global, insidensi kor pulmonal bervariasi antar tiap

negara, tergantung pada prevalensi merokok, polusi udara, dan factor resiko lain untuk

penyakit paru yang bervariasi (Braun, 2006).

Indonesia memiliki angka prevalensi hipertensi pulmonal penyebab

kor pulmonal berkisar antara 0,65-28,6%. Biasanya kasus terbanyak ada pada

daerah perkotaan. Angka tertinggi tercatat di daerah Sukabumi, diikuti daerah

Silungkang, Sumatera barat (19,4%) serta yang terendah di daerah lembah

Bariem, Irian Jaya (Boedhi, 2006).

1

Page 2: isi kpc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1 Definisi

Kor pulmonal adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau

dilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau

kelainan pada kontrol pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan

jantung kanan yang terjadi akibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung

bawaan. (Antono, 2006)

Kor pulmonal merupakan suatu keadaan dimana timbul hipertrofi dan

dilatasi ventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan; timbul akibat

penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru atau pembuluh darahnya.

Definisi ini menyatakan bahwa penyakit jntung kiri maupun penyakit jantung

bawaan tidak bertanggung jawab atas patogenesis cor pulmonale. Kor

pulmonal bisa terjadi akut atau kronik. (A. Price Sylvia, 2006)

Gambar 1. Gambaran jantung penderita kor pulmonal

Sumber: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6, 2006

2.2 Etiologi

Menurut Corwin (2009) penyakit kor pulmonal disebabkan oleh:

1. Penyakit paru obstruksi kronik.

2. Emfisema

2

Page 3: isi kpc

3. Penyumbatan vaskuler/ remodeling vaskuler/ obstruksi pembuluh darah:

emboli paru, atau penyakit yang menyebabkan kompresi perivaskular atau

destruksi jaringan pada fibrosis paru, granulomatosis, kanker paru.

4. Trombo emboli

5. Vasokonstriksi pulmonal menyeluruh: dapat disebabkan oleh hipoksia,

pirau intrapulmonal kanan ke kiri.

6. Penyakit / radang pembuluh darah

7. Penyakit sickle cell

8. Penyakit parenkim dan pengurangan daerah pembuluh darah

9. Bronkiektasis difus

10. TB paru luas

11. Menurut Sylvia (2006) Hipertensi pulmonal primer. Hipertensi pulmonale

merupakan komplikasi hemodinamik. Mekanisme terjadinya hipertensi

pulmonale pada cor pulmunale dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu :

a. Obstuksi

Terjadi karena emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic

Thromboembolic Pulmonary Hypertesion (CTEPH) merupakan salah

satu penyebab hipertensi pulmonale yang penting dan terjadi pada 0.1

– 0.5 % pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli paru,

system fibrinolisis akan bekerja untuk melarutkan bekuan darah

sehingga hemodinamik paru dapat berjalan dengan baik. Pada

sebagian kecil pasien system fibrinolitik ini tidak berjalan baik

sehingga terbentuk emboli yang terorganisasi disertai pembentukan

rekanalisasi dan akhirnya menyebabkan penyumbatan atau

penyempitan pembuluh darah paru.

b. Obliterasi

Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi

pulmonale adalah lupus eritematosus sistemik scleroderma,

sarkoidosis, asbestosis, dan pneumonitis radiasi. Pada penyakit-

penyakit tersebut fibrosis paru dan infiltrasi sel-sel yang progersif

3

Page 4: isi kpc

selain menyebabkan penebalan atau perubahan jaringan interstisium,

penggantian matriks mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat,

juga menyebabkan terjadinya obliterasi pembuluh paru.

c. Vasokontriksi

Vasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam

patogenesis terjadinya hipertensi pulmonale. Hipoksia sejauh ini

merupakan vasokontrikstor yang paling penting. Penyakit paru

obstruktif kronik merupakan penyebab yang paling di jumpai. Selain

itu tuberkolosis dan sindrom hipoventilasi lainnya misalnya sleep

apnea syndrome, sindrom hipoventilasi pada obesitas, dapat juga

menyebabkan kelainan ini. Asidosis juga dapat berperan sebagai

vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapi dengan potensi lebih

rendah. Hiperkapnea secara tersendiri tidak mempunyai efek

fasokonstriksi tetepi secara tidak langsung dapat meningkatkan

tekanan arteri pulmunalis melalui efek asidosisnya. Eritrositosis yang

terjadi akibat hipoksia kronik dapat meningkatkan vikositas darah

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan arteri pumonalis.

d. Idiopatik

Kelainan idiopatik ini didapatkan pada pasien hipertensi pulmonale

primer yang di tandai dengan lesi pada arteri pumonale yang kecil

tanpa didapatkan penyakit dasar lainnya baik pada paru maupun pada

jantung. Secara histopatologis di dapatkan hipertrofi tunika media,

fibrosis tunika intima, lesi pleksiform serta pembentukan mikro

thrombus. Kelainan ini jarang di dapat dan etiologinya belum di

ketahui. Walaupun sering di kaitkan dengan penyakit kolagen,

hipertensi portal, penyakit autoimun lainnya serta infeksi HIV.

2.3 Klasifikasi

4

Page 5: isi kpc

Menurut Restrepo (2008) kor pulmonal diklasifikasikan berdasarkan

etiologinya, yaitu :

1. Kor pumonal akibat Emboli Paru adalah hipertropi ventrikel kanan yang

disebabkan karena sumbatan pada area sirkulasi pulmonal.

2. Kor pulmonal dengan PPOK adalah hipertropi ventrikel kanan karena

pengaruh penyakit bronkhitis kronik, bronkhiektosis, emfisema paru dan asma

yang menyerang paru.

3. Kor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer adalah hipertropi ventrikel

kanan yang dikarenakan oleh peningkatan tekanan darah dalam sirkulasi

pulmonal.

4. Kor pulmonal dengan kelainan jantung kanan adalah hipertropi ventrikel

kanan yang memang dicetuskan oleh gangguan pada vertrikel kanan itu

sendiri.

2.4 Epidemiologi

Prevalensi PPOK di Amerika Serikat pada tahun 2006 terdapat sekitar 15 juta, prevalensi

yang tepat dari kor pulmonal sulit untuk ditentukan karena tidak terjadi pada semua kasus

PPOK, pemeriksaan fisik tidak sensitive untuk mendeteksi hipertensi pulmonal. Kor pulmonal

mempunyai insidensi sekitar 6-7 % dari seluruh kasus penyakit jantung dewasa di Amerika

Serikat, dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) karena bronchitis kronis dan

emfisema menjadi penyebab lebih dari 50% kasus kor pulmonal (Bahar, 2011)

Sebaliknya, kor pulmonal akut biasanya menjadi kelainan sekunder akibat emboli paru

massif. Tromboemboli paru akut adalah penyebab paling sering dari kor pulmonal akut yang

mengancam jiwa pada orang dewasa. Terdapat sekitar 50.000 angka kematian di Amerika

Serikat pada tahun 2006 ini dalam setahun akibat emboli paru dan sekitar setengahnya terjadi

dalam satu jam pertama akibat gagal jantung kanan (Restrepo, 2008).

Menurut Boedhi-Darmojo (2006) di Indonesia angka prevalensi hipertensi

pulmonal penyebab kor pulmonal berkisar antara 0,65-28,6%. Biasanya kasus

terbanyak ada pada daerah perkotaan. Angka tertinggi tercatat di daerah

5

Page 6: isi kpc

Sukabumi, diikuti daerah Silungkang, Sumatera barat (19,4%) serta yang terendah

di daerah lembah Bariem, Irian Jaya.

2.5 Manifestasi Klinis

Menurut Braun (2006) manifestasi klinis yang didapat bisa berbeda-beda

antara satu penderita yang satu dengan yang lain tergantung pada penyakit

dasar yang menyebabkan kor pulmonale.

1. Kor pulmonal akibat Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-

kadang didapatkan batuk-batuk, dan hemoptisis.

2. Kor pulmonal dengan PPOK : sesak napas disertai batuk yang produktif

(banyak sputum).

3. Kor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer: sesak napas dan sering

pingsan jika beraktifitas (exertional syncope).

4. Kor pulmonal dengan kelainan jantung kanan: bengkak pada perut dan kaki

serta cepat lelah.

Gejala predominan kor pulmonal yang terkompensasi berkaitan dengan

penyakit parunya, yaitu batuk produktif kronik, dispnea karena olahraga,

wheezing respirasi, kelelahan dan kelemahan. Jika penyakit paru sudah

menimbulkan gagal jantung kanan, gejala - gejala ini lebih berat. Edema

dependen dan nyeri kuadran kanan atas dapat juga muncul.

Tanda-tanda kor pulmonal misalnya sianosis, clubbing, vena leher

distensi, ventrikel kanan menonjol atau gallop (atau keduanya), pulsasi

sternum bawah atau epigastrium prominen, hati membesar dan nyeri tekan,

dan edema dependen.

Gejala- gejala tambahan ialah:

1. Sianosis

2. Kurang tanggap/ bingung

3. Mata menonjol

6

Page 7: isi kpc

2.6 Patofisiologi

Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit

yang secara primer menyerang pembuluh darah paru, seperti emboli paru berulang,

dan penyakit yang mengganggu aliaran darah paru akibat penyakit pernapasan

obstruktif atau restriktif. PPOK terutama jenis bronkitis, merupakan penyebab

tersering dari kor pulmonale. Penyakit-penyakit pernapasan restriktif yang

menyebabkan Kor pulmonal dapat berupa penyakit-penyakit ”intrinsik” seperti

fibrosis paru difus, dan kelainan ”ektrinsik” seperti obesitas yang ekstrim,

kifoskoliosis, atau gangguan neuromuskuler berat yang melibatkan otot-otot

pernapasan (Sylvia, 2006).

Menurut Robbin (2010) penyakit vaskuler paru yang mengakibatkan

obstruksi terhadap aliran darah dan kor pulmonal cukup jaran terjadi dan biasanya

merupakan akibat dari emboli paru berulang. Apapun penyakit awalnya, sebelum

timbul Kor pulmonal biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru dan

hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmonar pada akhirnya meningkatkan beban kerja

dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung.

Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan

resistensi vaskuler paru pada arteria dan arteriola kecil. Dua mekanisme dasar yang

mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru-pru adalah :

1.  Vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru.

2. Obstruksi dan/atau obliterasi anyaman vaskuler paru.

Mekanisme yang pertama tampaknya paling penting dalam patogenesis cor

pulmonale. Hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari

PPOK bronkitis lanjut adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana

kedua mekanisme itu terjadi. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan

yang lebih kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonar daripada hipoksemia.

Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos

7

Page 8: isi kpc

arteriola paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut.

Asidosis, hiperkapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan

vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan

peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnea,

juga ikut meningkatkan tekanan arteria paru (Restrepo, 2008).

Mekanisme kedua  yang turut meningkatkann resistensi vaskuler dan

tekanan arteria paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema dicirikan oleh kerusakan

bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari

kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen

menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada penyakit obstruktif,

pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru

yang besar (Wilson, 2006).

Akan tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman

vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis cor

pulmonale. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus

mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru

yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit

pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau

akibat kelainan perfusi-ventilasi (Sibernagl, 2006).

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Menurut Bahar (2011) Pemeriksaan fisik, didapatkan :

a. JVP meningkat dikaitkan dengan respon gagal jantung kanan dan

hipertropi ventrikel kanan sendiri, ketika terjadi hipertropi ventrikel

kanan dan akhirnya gagal jantung kanan, maka vena jugularis juga ikut

menunjang kompensasi sehingga tekanan atau venous jugularis pulse

mengalami peningkatan.

b. Hepatomegali dikatkan dengan desakan dari arah ventrikel kanan

jantung yang mendesak ruang diafragma dan hepar sehingga ketika

8

Page 9: isi kpc

dilakukan pemeriksaan, yaitu palpasi dan perkusi hepar ditemukan

hepatomegali.

c. Asites dan edema tungkai dikaitkan dengan salah satu tanda penyakit

gagal jantung kanan sebagai respon komplikasi penyakit kor pulmonal

ini, yaitu oedema pada daerah ekstremitas bawah (tungkai) dan berisi

cairan (asites).

2. Pemeriksaan jantung, didapatkan :

a. Peningkatan bunyi komponen pulmoner merupakan tanda hipertensi

pulmoner.

b. Tekanan arteri pulmoner sangat tinggi akan terjadi regurgitasi di katup

trikuspid ditandai dengan bunyi murmur sistolik.

3. Elektro Kardiogram (EKG), digambarkan :

Pada tingkat awal (hipoksemia) EKG hanya menunjukkan gambaran

sinus takikardia saja.

Pada tingkat hipertensi pulmonal EKG akan menunjukkan gambaran

sebagai berikut, yaitu:

a. Gelombang P mulai tinggi pada lead II

b. Depresi segmen S-T di lead II, III, Avf

c. Gelombang T terbalik atau mendatar di lead V1-3

d. Kadang-kadang teadapat RBBB incomplete atau complete

Pada tingkat kor pulmonal dengan hipertrofi ventrikel kanan, EKG

menunjukkan:

a. Aksis bergeser ke kanan (RAD) lebih dari +90

b. Gelombang P yang tinggi (P pulmonal) di lead II, III, Avf

c. Rotasi kea rah jarum jam (clockwise rotation)

d. Rasio R/ S di V1 lebih dari 1

e. Rasio R/ S di V6 lebih dari 1

f. Gelombang S ang dalam di V5 dan V6 (S persissten di precordial kiri)

g. RBBB incomplete atau incomplete

9

Page 10: isi kpc

Pada kor pulmonal akut (emboli paru masif), EKG menunjukkan

Right Ventrikular Strain  yaitu depresi segmen S-T dan gelombang T yang

terbalik pada sandapan pericordial kanan. Kadang-kadang kriteria hipertrofi

ventrikel kanan yang klasik sulit didapat. Padmavati dalam penelitiannya

menyatakan criteria yang lain untuk kor pulmonal dalam kombinasi EKG

sebagai berikut :

a. RS di V5 dan V6

b. Aksis bergeser ke kanan

c. QR di AVR

d. P pulmonal

Gambar 2. Kor pulmonal dan EKG

Sumber: Heart Failure and Cor Pulmonale, 2006

4. Radiografi, digambarkan :

Menurut Kusumawidjaja (2006) pada tingkat hipertensi pulmonal

jantung belum terlihat membesar, tetapi hilus dan arteri pulmonalis utama

amat menonjol dan pembuluh darah perifer menjadi kecil/tidak nyata.

Pada tingkat Cor pulmonaljantung terlihat membesar karena dilatasi

dan hipertrofi ventrikel kanan. Hal ini kadang-kadang sulit dinyatakan pada

foto dada karena hiperinflasi paru (misalnya pada emfisema). Selain itu

didapatkan juga diafragma yang rendah dan datar serta ruang udara

10

Page 11: isi kpc

retrosternal yang lebih besar, sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan

tidak membuat jantung menjadi lebih besar dari ukuran normal. Lebih

singkatnya sebagai berikut :

a. Pembesaran jantung dimana ikhtus akan tampak bergeser ke kiri atas.

b. Arteri pulmonale kanan di katakan melebar apabila lebih dari 16 mm

dan kiri lebih 18 mm.

c. Tampak gambaran penyakit dasarnya

Gambar 3. Gambaran radiologis pada pasien dengan kor pulmonal

Sumber: Radiologi Diagnostik Edisi Kedua,2006

5. Ekokardiografi, digambarkan :

a. Tampak gambaran pembesaran ventrikel kanan

b. Tampak gambaran regurgitasi saat sistole

Gambar 4. Gambaran ekokardiografi pada penderita kor pulmonal

Sumber: Radiologi Diagnostik Edisi Kedua,2006

11

Page 12: isi kpc

6. Kateterisasi jantung kanan

Diagnosis pasti untuk hipertensi pulmonale.

Gambar 5. Kateterisasi jantung

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV, 2006

7. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan polisitemia (Ht > 50%),

tekanan oksigen (PaO2) darah arteri < 60 mmHg,tekanan karbondioksida

(PaO2) >50 mmHg.

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Penatalaksanaan

Menurut Antono (2006) pada dasarnya adalah mengobati penyakit

dasarnya. Pengobatan terdiri dari:

1. Tirah baring, anjuran untuk diet rendah garam .

Tirah baring mencegah memburuknya hipoksemia yang akan lebih

menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi

tidak secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan

menghalangi usaha untuk menurunkan hiperkapnia.

2. Tindakan preventif , yaitu berhenti merokok olahraga dan teratur, serta

senam pernapasan sangat bermanfaat walaupun harus dalam jangka

panjang.

12

Page 13: isi kpc

2.8.2 Penatalaksanaan

Menurut Bahar (2011) Terapi medis untuk Kor pulmonal kronis di fokuskan

pada penatalaksanaan untuk penyakit paru dan peningkatan oksigenasi serta

peningkatan fungsi ventrikel kanan dengan menaikkan kontraktilitas dari

ventrikel kanan dan menurunkan vasokonstriksi pada pembuluh darah di paru. 

Pada kor pulmonal akut akan dilakukan pendekatan yang berbeda yaitu di

fokuskan pada kesehatan pasien.

Untuk mendukung system kardiopulmonal pada pasien dengan kor pulmonal

harus diperhatikan mengenai kegagalan jantung kanan yang meliputi masalah

pengisian cairan di ventrikel dan pemberian vasokonstriktor (epinephrine) untuk

memelihara tekanan darah yang adekuat.  Tetapi pada dasarnya penatalaksanaan

akan lebih baik jika di fokuskan pada masalah utama, misalnya pada emboli paru

harus dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan, agen trombilisis atau

tindakan pembedaham embolektomi. Khususnya jika sirkulasi terhambat akan

dipertimbangkan pula pemberian broncodilator dan penatalaksanaan infeksi untuk

pasien dengan PPOK; pemberian steroid dan imunosupresif pada penyakit

fibrosis paru.

Terapi oksigen, pemberian diuretic, vasodilator, digitalis, theophyline, dan

terapi antikoagulan di gunakan untuk terapi jangka panjang pada kor pulmonal

kronis.

a) Terapi Oksigen

Terapi oksigen sangat penting, bahkan kadang-kadang perlu ventilator

mekanik bila terjadi retensi CO2 yang berbahaya (gagal napas). Pada kasus

eksaserbasi akut insufisiensi paru, sering pasien perlu dirawat intensif untuk

aspirasi sekret bronkus, pengobatan infeksi paru, bronkodilator,

cortikosteroid, keseimbangan cairan, dan pengawasan penggunaan sedatif.

Pasien dengan kor pulmonal memiliki tekanan oksigen (PO2) di bawah 55 mm

Hg dan menurun dengan cepat ketika beraktivitas atau tidur. Terapi oksigen

dapat menurunkan vasokonstriksi hipoksemia pulmonar, kemudian dapat

menaikkan cardiac output, mengurangi vasokonstriksi, meringankan

13

Page 14: isi kpc

hipoksemia jaringan, dan meningkatkan perfusi ginjal. Secara umum, terapi

oksigen di berikan jika PaO2 kurang dari 55 mm Hg atau saturasi O2 kurang

dari 88%.

Manfaat dari terapi oksigen adalah untuk menurunkan tingkat gejala

dan meningkatkan status fungsional. Oleh karena itu, terapi oksigen penting di

berikan untuk managemen jangka panjang khususnya untuk pasien dengan

hipoksia atau penyakit paru obstruktif (PPOK).

b) Diuretik

Diuretik di gunakan pada pasien dengan Cor pulmonalkronis, terutama

ketika pengisian ventrikel kiri terlihat meninggi  dan pada edema perifer.

Diuretic berperan dalam peningkatan fungsi dari ventrikel kanan maupun kiri.

Diuretik memproduksi efek hemodinamik yang berlawanan jika tidak di

perhatikan penggunaannya. Volume pengosongan yang berlebihan dapat

menimbulkan penuruna cardiac output. Komplikasi lain dari diuretic adalah

produksi hypokalemic metabolic alkalosis, yang akan mengurangi efektivitas

stimulasi karbondioksida pada pusat pernafasan dan menurunkan ventilasi.

Produksi elektrolit dan asam yang merugikan sebagai akibat dari penggunaaan

diuretic juga dapat menimbulkan aritmia, yang berakibat menurunnya cardiac

output. Oleh karena itu diuretik di rekomendasikan pada managemen Cor

pulmonalkronis, dengan memperhatikan pemakaian. Contoh : Aldactone

(spironalactone), Anhydrone (Siklotiazida), Aquatag (Benztiazida),

Aquatensin (Metiklotiazida), Lasix (Furosemida), Midamor (Amilorid),

Naqua (Triklormetiazida), Zaroxolyne (Metolazone).

Dosis pemberian diuretik tergantung efek diuresis yang dikehendaki.

c) Vasodilator

Tujuan terapi dg vasodilator adalah menurunkan hipertensi pulmonale

tetapi sebagian besar berdampak pada sirkulasi sistemik sehingga akan terjadi

hipotensi. Contoh obat vasodilator adalah

ACE-inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitio) =

mengembangkan pembuluh darah arteri dan vena.

14

Page 15: isi kpc

Nitroglycerine = mengembangkan pembuluh darah vena saja.

Hidrolacyne = mengembangkan pembuluh darah arteri saja.

d) Digitalis

Adalah obat yang meningkatkan kekuatan dan efisiensi jantung dan

digunakan untuk mengobati layu jantung dan menormalkan lagi denyut

jantung. Dalam kaitannya terhadap pengobatan kor pulmonal hanya

bermanfaat diberikan apabila telah disertai dengan penurunan fraksi ejeksi

ventrikel kiri. Digitalis diberikan terutama bila terdapat gagal jantung kanan,

tetapi yang paling penting adalah mengobati penyakit paru yang

mendasarinya.

Dosis pemberian obat digitalis :

1) Jika dalam 2 minggu terakhir pasien tidak mendapat terapi digitalis,

maka dapat diberikan digitalis cepat (IV) dengan dosis 0,2-0,4 mg

setiap 4-6 jam sampai dengan total dosis 1,6 mg.

2) Dosis maintenanceny adalah 0,25-0,50 mg/hari.

Beberapa nama obat digitalis adalah digitoksin (paten= Crystodigin,

Digifortis, Lanoxin).

e) Trakeostomi

Kadang-kadang diperlukan trakeostomi untuk membantu aspirasi

sekret dan mengurangi ruang mati.

f) Antikoagulan

Antikoagulan dapat mencegah trombosis yang memperberat penyakit

paru obstruktif kronik. Contoh obat antikoagulan oral adalah warfarin,

sedangkan yang melalui IV line adalah Heparin atau Syntrom dan obat jenis

Anti-agresi Platelet (antiplatelet) : AsamvSalisilat (Aspirin/ Aspilet).

Dosis pemberian Heparin adalah sebagai berikut :

1) Heparin : IV bolus 5000 IU, drip 1000 IU/jam atau sesuai dengan hasil

APTT. Contoh :

RUMUS = DOSIS : PENGENCERAN

i. Heparin 1000 unit/jam

15

Page 16: isi kpc

ii. Pengenceran 25.000 dalam 500 ml normal saline

iii. 500 ml = 25.000 unit 1 ml = 50 unit

iv. 1000 : 50 = 20 ml/jam

v. Jika menggunakan infus set mikro, maka (20 ml/jam x 60) : 60

= 20 tetes/menit

2) Syntrom 2-20 mg/hari atau sesuai dengan waktu pembekuan.

3) Anti-agresi Platelet (antiplatelet) : AsamvSalisilat (Aspirin/ Aspilet)

dengan dosis 50-300 mg/hari.

g) Pengobatan Lain

Inhibitor karbonik anhidrase (asetasolamid) suatu waktu banyak

dipakai pada pasien hiperkapnia kronik. Tetapi efek sampingnya yang

membahayakn adalah terjadinya asidosis metabolik pada asidosis respiratorik

yang telah ada.

Phlebotomy menjadi tatalaksana standar pada polisitemia yang

disebabkan hipoksia kronik. Saat ini belum berhasil dibuktikan perbaikan

onyektif pada pertukaran gas maupun tekanan arteri pulmonalis akibat

phlebotomy. Beberapa ahli mengeluarkan darah vena sebanyak ± 250 mL,

untuk mencegah tromboemboli bila hematokrit atau hipertensi pulmonal

sangat tinggi.

2.9 Komplikasi

Komplikasi dari kor pulmonal diantaranya: 

a. Sinkope

b. Gagal jantung kanan

c. Edema perifer

d. Kematian

2.10 Prognosis

Menurut Restrepo (2008) belum ada pemeriksaan prospektif yang

dilakukan untuk mengetahui prognosis  kor pulmonal kronik. Pengamatan

16

Page 17: isi kpc

yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa bila terjadi gagal jantung

kanan yang menyebabkan kongesti vena sistemik, harapan hidupnya menjadi

kurang dari 4 tahun.

Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama

episode akut yang berkaitan dengan infeksi dan gagal napas mangalami

banyak kemajuan dalam 5 tahun terakhir.

Prognosis kor pulmonal berkaitan dengan penyakit paru yang

mendasarinya. Pasien yang mengalami kor pulmonal akibat obeliterasi

pembuluh darh arteri kecil yang terjadi secara perlahan-lahan akibat penyakit

intrinsiknya (misal emboli), atau akibat  fibrosis intertisial harapan juntuk

perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi yang terjadi

subah menetap. Harapan hidup pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas

darahnya dapat dipertahankan mendekati normal.

Penelitian lain menyatakan bahwa prognosis kor pulmonal sangat

bervariasi, tergantung penjalanan alami penyakit paru yang mendasari dan

ketaatan pasien berobat. Penyakit bronko pulmonal simtomatik angka

kematian rata-rata 5 tahun sekitar 40-50%. Juga obstruksi vaskular paru

kronik dengan hipertrofi ventrikel kanan mampunyai prognosis yang buruk.

Biasanya pasien hipertensi pulmonal dengan obstruksi vaskular kronik hanya

bertahan hidup 2-3 tahun sejak timbulnya gejala.

17

Page 18: isi kpc

DAFTAR PUSTAKA

Antono, Dono, Kisyanto. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi

IV. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat

Penerbitan IPD FKUI. Jakarta

Bahar, Asril, dkk. 2011. Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III, Edisi ketiga

(Persatuan Ahli Penyakit Dalam). Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Braun E. 2006. Heart Failure and Cor Pulmonale. New York: Harrisons’s

Principles Internal Medicine

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi Edisi Tiga. Editor Egi Komara

Yudha, dkk. Jakarta: EGC

Hariadi, Selamet 2010. Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Departemen Ilmu

Penyakit Paru FK Unair-RSUD dr.soetomo

Kusumawidjaja K. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan

Ekayuda. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Mansjoer, Arif. 2012. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I Edisi Keempat.

Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia

Price Sylvia, M. Wilson Lorraine. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta: EGC.

Restrepo Clara I. 2008. Pulmonary Hipertension and cor pulmonale.

Philadelphia: Lippincott Published

Robbins, Kumar, Cotran. 2010. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC

Wilson LM. 2006. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi Enam.

Jakarta: EGC

Sibernagl,Stefan Florian Lang. 2006. Teks dan Atlaas berwarna Patofisiologi.

Jakarta: EGC

18